"Tentu saja. Ibu kandung Mas Riza masih hidup. Mereka sudah bertemu. Bahkan sebentar lagi mereka akan sampai," ucapku pada wanita itu. Tentu saja aku berbohong. Mas Riza belum mengabariku lagi mengenai kelanjutan pencariannya pada ibu kandungnya. Tetapi aku sangat berharap mudah-mudahan Mas Riza berhasil bertemu dan membawanya pulang ke mari. Rasanya aku sudah terlalu lelah memiliki ibu mertua seperti wanita di depanku. "Jangan bohong kau, Vit. Mana mungkin Safitri masih hidup? Bahkan dulu dia pergi dalam keadaan sakit. Mana sanggup dia bertahan, apalagi ternyata dia pulang ke luar pulau! Sudah keburu mati di jalan!" Ucapan ibu mertuaku membuat emosiku kembali naik. "Astaghfirullah Ibu. Bahkan di saat tertimpa musibah seperti ini Ibu masih sempat berkata buruk untuk orang lain? Entah musibah apalagi yang akan Ibu terima hingga membuatmu sadar!" Aku berbalik dan secepat kilat menuju ke motorku. Rasanya kepala sudah mau pecah menghadapi tingkah manusia satu itu. Sayup-sayup kudengar m
Tak Sabar "Ibu… ," ucapku lirih. Jujur saja aku masih kaku dan syok saat bersitatap dengan wanita itu. Hidungnya sama persis dengan hidung suamiku. Belum lagi tulang pipinya menonjol yang juga dimiliki oleh suamiku. Sepintas orang yang melihat pasti tahu mereka berdua memiliki ikatan darah. "Iya… ini Ibu, Nak. Apa kabarmu? Luar biasa sekali Allah mengabulkan doaku selama puluhan tahun. Akhirnya Ibu bisa bertemu dengan anak dan sebentar lagi dengan menantu Ibu satu-satunya," ujar ibu kandung suamiku sambil membasuh air matanya. Siapa yang tak haru mendapat perlakuan selembut itu? Terlebih selama ini aku hanya tahu bahwa mertuaku satu-satunya hanya ibu tiri Mas Riza yang perlakuannya padaku hampir tak pernah ada baiknya. "Loh… kok diam? Kenapa? Masih syok dengan ibu mertuamu ini?" Aku tersenyum bahagia menerima pertanyaan berulang darinya. "Ibu… kapan ke mari?" tanyaku berusaha menghapuskan kekakuan. Tiba-tiba aku teringat dengan keberadaan ibu mertua yang masih duduk menatapku den
Mudah-mudahan segera berkumpul dengan keluarga yang selama ini dirindukannya. Tidak bisa kubayangkan, pergi dalam keadaan sakit apalagi dalam keadaan difitnah seperti itu. Mudah-mudahan beliau sampai di sini dalam keadaan sehat hingga berkesempatan melihat orang yang memfitnahnya mengalami kehancuran," ujarku enteng. "Heh! Kamu menyumpahiku?" "Lho, apakah aku menyebut nama Ibu tadi? Kalau Ibu merasa aku tengah menyumpahimu, artinya Ibu merasa telah memfitnah Ibu kandung Mas Riza? Begitu, Bu?" "Diam. Dasar kompor mleduk. Bisa-bisanya kamu memanas-manasiku! Sial*n!" "Sudah, Bu. Pulanglah. Urusi Tika. Dampingi dia, jangan sampai melakukan hal-hal bodoh. Barangkali kehadiran anak dalam rahimnya membuat Tika sadar dengan kesalahannya selama ini. Wanita yang sedang hamil rawan sekali stres. Minta Tika jaga kandungannya baik-baik, di luar sana banyak yang menginginkan anak hingga puluhan tahun pernikahan belum juga diberi anak. Nah ini Tika nggak perlu pake nikah langsung punya anak."
Masa LaluSeorang wanita memelukku dengan sangat erat. Berkali-kali dia menciumi kepalaku layaknya seorang ibu pada anaknya. Kedua anakku yang melihat ini hanya terpaku di sudut sofa rumah kami. Mas Riza pun mengusap genangan air yang mengembang di pelupuk matanya. "Benarkah ini menantuku?" Suara wanita di depanku terdengar lembut. Aku tersenyum seraya mengangguk. "MasyaAllah… Akhirnya Allah mengabulkan do'aku selama ini. Alhamdulillah Ya Allah… Engkau Maha Baik… Terima kasih… ," ucapnya lagi dengan tergugu. Sungguh aku tak mampu membendung air mataku. Kulihat Mas Riza berkali-kali menyembunyikan tatapan pandangannya ke arah lain. "Ibu sudah mendengar mengenai kejadian orang tuamu. Riza sudah menceritakan semuanya. Terima kasih kau mau memaafkan anak laki-lakiku. Sungguh kau wanita yang amat baik… Terima kasih sudah menerima anakku, Vita… ." Kembali kami larut dalam tangisan masing-masing. Hingga beberapa saat lamanya aku tersadar belum memperkenalkan buah cintaku dengan Mas Riza
Ibu mengusap matanya yang kembali basah. Terlihat sekali wajah sendu karena mengenang masa lalunya. Sepertinya ibu tiri Mas Riza sudah melakukan hal yang sangat menyakitkan padanya. "Ibu yakin sekali ayahnya Riza akan menyusul Ibu ke Sumatra. Nyata… harapan Ibu pupus. Puluhan tahun lamanya aku menunggu dia menjemputku… ."Terdengar nada kecewa dari ucapannya. Jelas saja dia kecewa. Tentu saja, siapa yang tak kecewa saat harus menunggu puluhan tahun tetapi orang yang ditunggunya tak kunjung datang? "Apakah setelah Ibu pulang ke Sumatra, Ibu tak menikah lagi?" Entah sopan atau tidak, nyatanya aku sangat penasaran dengan hal itu. "Tidak, Vit. Bahkan aku tak pernah melihat akta cerai dari ayahnya Riza.""Mmaksud Ibu, ayah dan Ibu tak bercerai?" "Entahlah," Ibu menerawang lagi ke arah luar rumah. Hatiku terasa sesak, entah bagaimna kehidupan yang dilakoni oleh ibu Mas Riza ini di sana sendirian. Meski tempat itu merupakan tanah kelahirannya, tetap saja dipisahkan sekian ribu mil dari a
Kenyataan Mencengangkan "Maaf, Bu. Apakah tidak sebaiknya Ibu pergi dan urusi Tika saja?" tawarku pada wanita yang masih memucat di depanku. "Kamu tuli, ya? Tika hampir tak sadarkan diri karena meminum obat yang dibelinya lewat online," ujar ibu mertuaku. Aku mendengus, bahkan dalam keadaan seperti ini pun dia masih saja mengumpatku. "Ibu yakin itu bukan drama?" Pertanyaan Mas Riza yang tiba-tiba membuatku menganga. Bahkan Mas Riza sudah tak percaya dengan apapun yang ibu tirinya katakan. "Riza! Apakah yang kau katakan? Kenapa kau tak percaya dengan apa yang ibumu ini katakan? Tika benar-benar kesakitan. Dia hampir tak sadar diri karena meminum obat penggugur kandungan. Tolong Riza, Ibu butuh bantuanmu!" "Bawa langsung ke rumah sakit, Bu. Di sana akan ditangani oleh tenaga yang ahli. Panggil Pak Yusuf, setahuku mobilnya bisa disewa untuk membawa ibu dan Tika ke rumah sakit. Aku sibuk dan juga tak mau mengurusi hal-hal yang membuatku pusing semacam ini. Tika sudah besar. Pasti dia
"Jaga anak kalian baik-baik. Arahkan mereka, jangan sampai kita sebagai orang tua tak mampu mengarahkan mereka kepada hal-hal yang baik. Keputusan kalian untuk pindah rumah sudah sangat tepat. Tak bisa dibayangkan jika Lala dan Risa harus melihat perbuatan nenek dan tantenya lebih lama lagi. Karena memori anak-anak masih dalam tahap perekaman, tanpa mereka sadari otak mereka merekam segala kejadian yang mereka lihat." Ibu membelai rambut legam kedua anakku bergantian. Sungguh, aku sangat bersyukur akhirnya anak-anakku merasakan kasih sayang dari nenek mereka yang tulus. "Riza… sebagai seorang ayah kamu juga harus tegas. Jangan mudah dipengaruhi orang lain. Apalagi jika itu berkaitan dengan pasangan kita. Jangan sampai kita mendengar informasi salah dari salah satu pihak saja, tanpa melakukan penyelidikan lebih lanjut kamu sudah terpengaruh. Ibu tak mau kejadian yang Ibu alami juga menimpa kalian. Cukup Ibu saja." Suara wanita itu bergetar, terdengar ada sesak yang dia rasakan. Seke
Tingkah Mengerikan Wanita Itu"A-pa? Ja-ya? Apakah yang Ibu maksud Pak Jaya… ayahnya Rahma?" Pertanyaan Mas Riza membuatku terperanjat. Benarkah apa yang diucapkannya? Karena saat ayahnya Rahma menemuiku, dia sempat mengatakan tentang keburukan wanita yang selama ini kupanggil mertua. "Benarkah dia masih hidup? Jaya itu memiliki tai lalat cukup besar di atas alisnya sebelah kiri. Selain itu, pipinya juga terdapat luka codet akibat terkena gancu saat dia bekerja," terang ibu yang sontak membuat kaki ini lemas. Ciri-ciri itu benar dimiliki oleh ayahnya Rahma. "Apakah dia punya ciri-ciri serupa?" tanya ibu pada kami. Aku dan Mas Riza berpandangan dan kemudian mengangguk bersamaan." Dia tinggal di sekitar sini?" tanya ibu lagi. Dan entah karena syok atau memang tak punya cara lain, kami berdua hanya mengangguk memberi jawaban pada wanita itu. "Luar biasa… bisa sekali Sari dan Jaya hidup berdampingan seperti ini. Apakah bapakmu tak curiga?" "Bapak tak bisa berbuat banyak. Seolah wanit
Anak-anak sudah tidur di kamar mereka. Ibu pun tak terlihat keluar lagi setelah jam sembilan tadi. Sedangkan Mas Riza sendiri entah apa yang dilakukannya di luar. Kurasa dia tengah menghubungi pegawai tokonya yang sedang melakukan proses bongkar kiriman gula pasir dari suplier. Aku bersyukur sekali, usaha Mas Riza berkembang begitu pesat seiring perjalanan waktu. Sungguh perjalanan yang tak mudah, aku dan Mas Riza sangat beruntung berada di posisi kami ini. Cobaan hidup yang tak mudah sudah kami lewati. Sungguh kuasa Tuhan, pemilik seluruh alam semesta dan isinya. Tak ada yang tak mungkin, seperti perubahan pada Tika contohnya. Gadis yang amat kubenci itu akhirnya berubah seiring pernikahannya yang juga tak semulus jalan tol. Aral melintang pun mereka jumpai di perjalanan rumah tangga Tika dan Tio. Tak kusangka, lelaki yang bukan berasal dari keluarga tak berpunya itu justru menjadi satu-satunya lelaki yang bisa menaklukkan hati Tika yang keras bagai karang. Sungguh kuasa Allah, p
Aku mengelus dada mendengar kabar wanita yang entah kemana nuraninya berada. Lila kini meringkuk di dalam penjara, berteman sepi. Tak ada lagi harta yang dia bangga-banggakan untuk menekan Tika. Tak ada lagi harta yang bisa dia sombongkan di depan orang-orang. Lila kembali menjadi kaum papa yang bahkan entah kapan bisa menghirup udara bebas. Dan kabar orangtua dan adik-adiknya yang baru sekejap menikmati harta peninggalan Pak Ranu kini kembali hidup seperti semula. "Makan, Bu," ucapku perlahan pada wanita yang dulu seringkali mencaci maki diriku. Terkadang masih ada ketakutan yang kusimpan saat beradu pandang dengan ibu tiri Mas Riza itu. Aku takut dia akan bertindak brutal padaku. Namun lagi-lagi itu hanya ketakutanku saja, nyatanya selepas dari rumah sakit jiwa kondisi Ibu seperti kehilangan tenaga. Waktunya hanya dihabiskan untuk melamun, dengan sesekali bibirnya meracau tak jelas. Hanya ungkapan maaf saja yang mampu kutangkap dengan jelas. Selebihnya tidak. "Bu," panggilku seray
Akhir Sebuah Kisah (Ending) Kutatap suami istri yang seluruh rambutnya memutih. Sang suami, duduk di atas kursi roda yang beberapa tahun terakhir setia menemani setiap pergerakannya. Beruntung setelah melewati puluhan kali terapi dan juga pengobatan, laki-laki itu mulai menampakkan hasil yang menggembirakan. Meski separuh tubuhnya sulit untuk digerakkan, cara bicaranya sudah kembali lagi seperti semula.HSementara sang istri duduk termenung di atas kursi kayu yang juga sengaja disiapkan di salah satu sudut rumah yang menghadap ke jalan. Pandangannya kosong, dan itu lebih baik dari pada keadaanya yang sebelumnya. Kami sekeluarga sepakat untuk merawatnya di rumah setelah dokter yang menanganinya memberi rekomendasi. Ibu sudah menampakkan kemajuan yang berarti menurutku. Dia tak pernah bertindak brutal seperti sebelumnya. Hanya sesekali dia berkata pada dirinya sendiri yang ucapan yang sama yang selalu diulang-ulang. "Maaf, maaf, maaf…."Siapapun yang dilihatnya, terlebih padaku yang
"Mas, bagaimana aku bisa melupakan hal yang membuatku menanggung malu seumur hidup?" Tika mengusap air matanya yang jatuh tak terbendung. "Bahkan aku selalu didera rasa malu pada suamiku. Aku merasa tak percaya diri dengan diriku sendiri. Aku begitu kotor, menjijikkan. Lebih-lebih saat ada wanita itu, yang mengorek luka lamaku. Dia membuatku muak, dia membandingkan dirinya denganku yang memang tak pantas bersanding dengan Mas Tio. Oleh karenanya aku ingin sekali mencari laki-laki yang memang bertanggung jawab pada semua yang menimpaku ini. Aku tak bisa membiarkannya lepas begitu saja. Itu terlalu menyakitkan untukku!" "Tik, tapi kau bisa membicarakannya denganku! Bukan dengan lelaki itu! Kau membuatku berpikir macam-macam!" Suami Tika pun sama dengan Mas Riza. Intonasi suaranya menunjukkan betapa laki-laki itu marah dengan perbuatan istrinya. "Maaf, itu memang salahku." "Ya, hanya kata itu saja yang mampu kau katakan! Kau tak mampu mengucap hal lain karena memang kau tak percaya p
Mengulangi Kesalahan"Kenapa Tik?" Sepasang suami istri di depanku dan Mas Tio ini menunduk, sementata Fatih—anak mereka duduk di lantai bermain dengan kedua anakku. Tika nampak memainkan kedua tangannya. Terlihat sekali tangan wanita itu bergetar. "Tio, ada yang bisa kalian katakan? Apakah hal yang membuat kalian seperti ini?" tanya Mas Riza dengan suara pelan. Bapak yang tidur di kamarnya menjadi satu-satunya orang yang menjadi alasan diab bersikap demikian. "Adakah yang bisa Mas Riza atau Mbak Vita bantu?" Lagi-lagi pertanyaan Mas Riza hanya ditanggapi sepi. Tak ada yang membuka mulutnya. "Tolong, jaga Bapak baik-baik. Kalian tahu sendiri di rumah kami ada Ibu, tak mungkin membiarkan Bapak tinggal disana. Kuharap kalian mengerti kondisi kami. Terima kasih sekali kalian bersedia tinggal di rumah ini bersama Bapak. Mudah-mudahan keadannya segera membaik." "Mas, ada yang ingin kukatakan sebenarnya. Mohon maaf jika momennya kurang pas. Tetapi ini harus segera diselesaikan dengan
Aku menoleh cepat ke arah lelaki itu. Kalimatnya memberi tamparan untukku. Ada sudut hatiku yang nyeri mendengar kenyataan bahwa dia membutuhkanku sebagai teman untuk berdiskusi. Apakah hanya sebatas itu arti diriku baginya? "Bun, aku benar-benar pusing saat ini. Tolong, bantu aku untuk menghadapi semua ini bersama-sama." "Memangnya ada lagi fungsiku bagimu selain untuk menghadapi seluruh masalah-masalahmu itu?" ucapku sinis. Kupandang dengan raut masam lelaki di depanku. Rasanya memang apapun yang dilakukan atau dikatakan Mas Riza tak akan benar di mataku. "Bun, tolong jangan memperkeruh suasana." Aku berdiri, tak terima dengan tuduhannya. Dadaku naik turun menahan emosi yang kembali tersulut akibat perkataan suamiku. "Ini, lihat ini! Aku atau adikmu yang memperkeruh suasana. Aku tak habis pikir dengan kelakuannya!" Kuberikan ponselku ke tangannya berharap dia tak banyak bicara dan langsung melihat foto yang kutunjukkan. Seketika mata lelaki itu membulat, menatap tak percaya l
Perdebatan di Rumah Sakit Rencana untuk menjenguk Ibu Sari di rumah sakit kami tangguhkan. Kondisi Bapak lumayan mengkhawatirkan. Badannya kaku, tak bisa digerakkan. Aku yang melihatnya dari samping kiri ranjang tak kuasa menahan air mata. Rasanya tak percaya kemarin kami baru saja menemuinya di rumah saat mengantar makanan. Lelaki itu nampak sehat, tak disangka kini dia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Kudengar erangannya lirih, menandakan apa yang dia rasakan benar-benar menyiksanya. Mas Riza menangkupkan kedua tangan di wajah, sesekali dia terdengar helaan napasnya yang cukup berat. Aku yang sebenarnya masih malas berbicara dengan Mas Riza dengan agak terpaksa menemani lelaki itu ke rumah sakit. Sore tadi Tika mengabarkan kalau dia tak bisa bergantian jaga dengan Mas Riza. Entah apa alasannya, aku pun malas bertanya lebih lanjut. Moodku sudah hancur berkeping-keping karena ulah Rahma. Meski ini pun bukan sepenuhnya salah wanita itu. Mas Riza yang tak mampu berpikir
"Mantan pacarmu mengembalikan ponselmu yang tadi terbawa olehnya. Dia juga titip pesan padamu untuk mengantar motor yang sudah digunakan kalian untuk berboncengan ke rumah sakit besok pagi. Oh ya, satu lagi. Ada salam pula dari wanita itu. Untukmu." Aku segera menekan kata terakhir padanya. Amarahku benar-benar menggelegak kali ini. Seharian tanpa kabar, tiba-tiba Farida mengabari hal yang tidak mengenakkan sama sekali, kemudian kedatangan Rahma ke rumah ini untuk menceritakan apa yang telah terjadi, sungguh membuat kepalaku sakit tak terkira. "Bun, bisa dengar penjelasanku?" ucap Mas Riza dengan penuh permohonan. "Tadi aku buru-buru sekali hingga tak sempat berpikir panjang. Kabar yang menimpa Bapak membuatku tak bisa berpikir hati-hati. Aku langsung mengiyakan ajakan Rahma untuk menaiki mobilnya ke rumah sakit. Maaf, Bun. Mobil toko sedang dibawa Rian untuk mengantar pesanan minyak dalam jumlah banyak. Dan motor, kau tahu sendiri motornya sedang di bengkel." Penjelasan Mas Riza sa
Kuberikan sepiring nasi beserta lauknya kepada Risa dan segera ke depan untuk menemui tamuku. Dari dalam rumah aku bisa melihat seorang wanita berdiri membelakangi pintu. Saat pintu kubuka, rasanya jantungku hampir terlepas melihat sosok itu berbalik. Wanita yang sempat membuat rumah tanggaku berada di ujung tanduk tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. Wajah itu kini berubah, jauh lebih cantik. Jika dulu dia hanya berani mengenakan make up tipis, tidak dengan sekarang. "Hai, Mbak. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang tak bisa kuartikan. Aku mencoba menormalkan degup jantungku dan tampil dengan ekspresi sebiasa mungkin. Aku tak ingin dia merasa keberadaannya membuatku khawatir. Aku tak ingin dia merasa besar kepala. "Baik, ada perlu apa?" Aku langsung menanyakan hal tersebut langsung. Tak ada keinginan untuk basa-basi padanya. Bayangan tentang masa lalunya yang begitu licik membuatku enggan melakukan hal tersebut. Lagi pula aku penasaran dengan tujuannya kemari. "Mas Riza a