Skakmat"Mas… Mas Riza," panggil Tika yang menggunakan dress batik selutut. Dia langsung masuk dan duduk di sofa rumah kami. Aku yang berada di depan rumah tengah menyiangi rumput yang tumbuh di pot bunga akhirnya menoleh. Bahkan anak itu tak menyapaku meski tadi melewatiku. "Mas… " panggilnya lagi. Aku yang risih dengan teriakannya mendekat. "Mas Riza pergi ke toko. Hari ini ada kiriman beras dan gula pasir. Jadi meskipun Minggu dia tetap ke toko." Aku memberitahu kemana kakaknya pergi hari ini. Kulihat sudut bibir gadis itu mencebik. "Kasian amat kakakku. Makin hari makin kering kerontang tubuhnya disuruh kerja terus sama istrinya!" ucap Tika dengan nada sinis. Kedua kakinya naik ke sofa. Aku tak menyahut perkataannya. Malas saja berdebat hari ini. Kulanjutkan saja pekerjaanku di depan. Lala dan Risa sedang ikut Mbak Marni ke swalayan membeli kebutuhan dapur yang hampir habis. Setelah kami pindah ke rumah ini, Mbak Marni kuminta untuk stay di sini saat aku dan Mas Riza bekerja.
"Maaf. Mas Riza nggak suka minuman kaya gitu. Suka gatal tenggorokannya. Maaf ya, diminum kamu saja." Aku menjawab singkat dan ketus. "Loh, Mas Rizanya belum pulang, Tik?bukannya tadi kamu bilang aku disuruh cepet-cepet ke mari karena sudah ditunggu Mas Riza?" tanya Rahma pada adik iparku. Tika terlihat tak enak pada Rahma, kemudian beralih memandangku dengan mata hampir keluar. "Ada urusan apa sama suamiku, Mbak?" tanyaku yang memang sudah penasaran. Tak ada rasa tak enak bertanya demikian, daripada aku menduga-duga dan akhirnya berubah dongkol. Bisa rugi habis uang buat beli skincare, tetapi wajah cepat menua! "Kita janjian mau kondangan bareng. Secara mereka kan satu circle pertemanan, jadi temannya Mas Riza banyak juga yang temenan sama Mbak Rahma!" jawab Tika sangat ketus. Aku kaget, karena Mas Riza tidak memberitahuku hari ini dia ada acara kondangan. "Kebetulan aku kenal sama teman mereka, jadi aku minta Mas Riza kita kondangan bertiga saja ke sana. Biar rame. Lagian Mbak V
Pertengkaran Hingga malam hari aku tak melihat tanda-tanda Mas Riza akan pergi kondangan. Bahkan sedari pulang dia hanya fokus bermain dengan anak-anak tanpa memperhatikan ponselnya sama sekali. "Mas. Ada yang mau aku tanyakan," ucapku saat Mas Riza merebahkan diri di sampingku. Aku ingin menanyakan perihal kondangan dan hal lain yang mengganggu pikiranku akhir-akhir ini. Daripada aku menebak-nebak dan tak ada kejelasan, lebih baik aku menanyakannya langsung padanya. "Tanya apa?" Mas Riza bertanya dengan tetap memejamkan mata. Lala dan Risa sudah tidur di kamar mereka. Semenjak kami pindah, mereka berdua kutempatkan satu kamar di sebelah kamar orang tuanya. Aku ingin mereka terbiasa mandiri sejak dini."Mas, ada yang belum selesai antara kamu dan Rahma?" tanyaku langsung. Aku tak ingin berbelit-belit dengan urusan ini. Karena jujur saja, aku tak ingin ada bibit ulat bulu masuk dan berkembang biak di celah yang tidak kami sadari. Apalagi ulat bulu tersebut sepertinya mendapat dukung
Masih belum ada jawaban dari suamiku. Aku masih lega, meskipun tetap kecewa mengapa Mas Riza tak memblokir kontaknya. Tapi melihat emotikon lidah terjulur membuatku mual parah. Kubaca semua chat dari Rahma, yang kebanyakan berisi kalimat basa-basi busuk. Mataku menangkap satu balasan chat untuk Rahma dari suamiku.[ Mas Riza, Gimana dimsum yang kuberikan tadi? Aku masih ingat Mas Riza suka sekali makanan itu ] [ Terima kasih ] Jawab Mas Riza. Aku tiba-tiba teringat dengan sekotak makanan yang diulurkan Rahma saat itu. Bukankah isinya bukan dimsum? Bahkan aku yang membuka kotak makan itu. Isinya potongan rendang sapi yang akhirnya kuberikan pada tukang yang sedang merenovasi rumahku. Bahkan aku masih ingat Pak Warto dan teman-temannya bersorak senang saat mendapati makanan lezat itu di depan mereka. Lalu kapan Mas Riza menerima dimsum dari gadis itu? Buru-buru kulihat tanggal dikirimkan pesan itu. Satu minggu yang lalu. "Dimana Rahma ngasih dimsum ke kamu, Mas?" Aku sudah tak mam
Di Toko Kepalaku terasa berat saat memulai pekerjaan di dapur. Mataku panas dan perih. Semalaman aku tak bisa tidur. Kukira Mas Riza pulang ke rumah ibunya. Ternyata pagi tadi aku mendapatinya tidur di sofa ruang tengah. Tubuhnya meringkuk tanpa selimut. Apakah aku sudah keterlaluan menuduh Mas Riza seperti tadi malam? Kenapa pula harus semarah itu jika memang dia dan Rahma tidak ada apa-apa? Atau hanya Rahma saja yang menganggap urusan mereka di masa lalu belum selesai? Rasanya kepalaku mau pecah saja. Soal aku yang tak bisa akur dengan ibu dan Tika, aku bisa apa? Nyatanya memang seperti itu. Bagaimana aku bisa akur dengan mereka, sementara mereka sendiri hampir tiap saat membuatku mengeluarkan tanduk. Aku bukan berhati malaikat yang bisa menerima segala perlakuan mereka. Aku punya batas sabar. Perbuatan dan perkataan mereka selalu memancing emosiku. Percuma saja disabar-sabarkan, memang nyatanya mereka diciptakan untuk menguji kesabaranku. Tentu saja keluar dari sana adalah pil
"Loh, Mbak Vita tumben nyamperin ke mari. Kangen sama Mas Riza ya?" tanyanya dengan senyum usil. Aku menyerahkan bungkusan nasi ke arahnya. Pegawai sejumlah tiga orang semuanya kubelikan makanan yang sama dengan Mas Riza. "Sekalian mau beli bumbu dapur, jadi dari sekolah langsung ke mari. Mas Riza ada?" "Ada. Di dalem. Ada temannya juga lagi belanja." Aku langsung ke dalam mencari keberadaan suamiku. Bak disambar petir aku melihat Rahma berada di sana. Bisa dibayangkan tingkahnya pada suamiku. Meskipun kulihat dengan jelas tak ada respon berarti dari Mas Riza, aku tetap tidak bisa membiarkan ulat bulu itu terus menerus mepet di dekat suamiku. "Mas, kubelikan nasi padang. Belum makan siang, kan?" tanyaku pada Mas Riza yang spontan membuat mereka terkejut. Yang membuatku heran, justru Rahma kelihatan menyeringai melihat kedatanganku. "Kamu tumben kemari, Bun?" tanya Mas Riza. Aku bersyukur Mas Riza mau menjawab pertanyaanku. Tadinya aku khawatir dia akan diam saat kujawab, yang oto
Sebuah FaktaMakin lama kelakuan Rahma terlihat makin berani. Padahal aku sudah terang-terangan pasang badan jika dia mencoba mendekati Mas Riza. Sayangnya dia selalu memanfaatkan waktuku bekerja untuk menemui Mas Riza. Herannya lagi, Mas Riza sepertinya tak punya alasan untuk menjauh karena Rahma yang cerdik, menggunakan alasan belanja agar bisa bertemu dengan Mas Riza. "Mas, jadi si Rahma itu beneran sering kemari buat ngasih makanan?" tanyaku setelah Rahma keluar sambil membawa belanjaan. Tadinya manusia itu memberi kode tidak mampu mengangkat belanjaannya yang cukup banyak, sehingga menatap Mas Riza bermaksud memintanya dibawakan ke motor. Untungnya Mas Riza segera memanggil Andi agar membawakan belanjaannya ke depan. Terlihat raut wajah kecewa dari perempuan itu. Dari pengamatanku sebenarnya Mas Riza tidak menanggapi umpan Rahma, hanya saja aku tetap harus waspada mengingat zaman sekarang ulat bulu makin ganas. Mereka makin tak tahu diri dan tak punya muka. "Iya. Itu di dapur
Malamnya kami menyantap makan malam di meja makan. Mas Riza terlihat lahap ikan bakar yang kumasak tadi sore. Begitupun anak-anak, mereka juga menyukai menu andalanku. Rasanya puas sekali menatap wajah-wajah mereka saat menikmati hidangan yang kusiapkan. Selesai makan, kami berkumpul di space samping dapur yang kubuat sebagai ruangan terbuka tanpa atap. Sudut itu menjadi tempat favorit anak-anak bermain. Kutata sangat manis dilengkapi rumput sintetis dengan beberapa pot kecil tanaman hias. Untuk ukuran keluarga kecil seperti kami, tentu space berukuran tiga kali tiga meter ini cukup untuk sejenak melepaskan lelah. Kusandingkan teh hangat untuk Mas Riza di atas meja kecil yang juga kuletakkan di sana. Camilan di toples juga kusiapkan untuk anak-anakku. Rasanya sungguh nikmat, apalagi canda tawa anak-anak yang terdengar lepas. Tentu saja hal ini tidak bisa dilakukan di rumah mertua. Mendengar suara tangisan Risa saja, ibu ataupun Tika akan merepet kemana-mana. Bahkan Lala sudah takut
Anak-anak sudah tidur di kamar mereka. Ibu pun tak terlihat keluar lagi setelah jam sembilan tadi. Sedangkan Mas Riza sendiri entah apa yang dilakukannya di luar. Kurasa dia tengah menghubungi pegawai tokonya yang sedang melakukan proses bongkar kiriman gula pasir dari suplier. Aku bersyukur sekali, usaha Mas Riza berkembang begitu pesat seiring perjalanan waktu. Sungguh perjalanan yang tak mudah, aku dan Mas Riza sangat beruntung berada di posisi kami ini. Cobaan hidup yang tak mudah sudah kami lewati. Sungguh kuasa Tuhan, pemilik seluruh alam semesta dan isinya. Tak ada yang tak mungkin, seperti perubahan pada Tika contohnya. Gadis yang amat kubenci itu akhirnya berubah seiring pernikahannya yang juga tak semulus jalan tol. Aral melintang pun mereka jumpai di perjalanan rumah tangga Tika dan Tio. Tak kusangka, lelaki yang bukan berasal dari keluarga tak berpunya itu justru menjadi satu-satunya lelaki yang bisa menaklukkan hati Tika yang keras bagai karang. Sungguh kuasa Allah, p
Aku mengelus dada mendengar kabar wanita yang entah kemana nuraninya berada. Lila kini meringkuk di dalam penjara, berteman sepi. Tak ada lagi harta yang dia bangga-banggakan untuk menekan Tika. Tak ada lagi harta yang bisa dia sombongkan di depan orang-orang. Lila kembali menjadi kaum papa yang bahkan entah kapan bisa menghirup udara bebas. Dan kabar orangtua dan adik-adiknya yang baru sekejap menikmati harta peninggalan Pak Ranu kini kembali hidup seperti semula. "Makan, Bu," ucapku perlahan pada wanita yang dulu seringkali mencaci maki diriku. Terkadang masih ada ketakutan yang kusimpan saat beradu pandang dengan ibu tiri Mas Riza itu. Aku takut dia akan bertindak brutal padaku. Namun lagi-lagi itu hanya ketakutanku saja, nyatanya selepas dari rumah sakit jiwa kondisi Ibu seperti kehilangan tenaga. Waktunya hanya dihabiskan untuk melamun, dengan sesekali bibirnya meracau tak jelas. Hanya ungkapan maaf saja yang mampu kutangkap dengan jelas. Selebihnya tidak. "Bu," panggilku seray
Akhir Sebuah Kisah (Ending) Kutatap suami istri yang seluruh rambutnya memutih. Sang suami, duduk di atas kursi roda yang beberapa tahun terakhir setia menemani setiap pergerakannya. Beruntung setelah melewati puluhan kali terapi dan juga pengobatan, laki-laki itu mulai menampakkan hasil yang menggembirakan. Meski separuh tubuhnya sulit untuk digerakkan, cara bicaranya sudah kembali lagi seperti semula.HSementara sang istri duduk termenung di atas kursi kayu yang juga sengaja disiapkan di salah satu sudut rumah yang menghadap ke jalan. Pandangannya kosong, dan itu lebih baik dari pada keadaanya yang sebelumnya. Kami sekeluarga sepakat untuk merawatnya di rumah setelah dokter yang menanganinya memberi rekomendasi. Ibu sudah menampakkan kemajuan yang berarti menurutku. Dia tak pernah bertindak brutal seperti sebelumnya. Hanya sesekali dia berkata pada dirinya sendiri yang ucapan yang sama yang selalu diulang-ulang. "Maaf, maaf, maaf…."Siapapun yang dilihatnya, terlebih padaku yang
"Mas, bagaimana aku bisa melupakan hal yang membuatku menanggung malu seumur hidup?" Tika mengusap air matanya yang jatuh tak terbendung. "Bahkan aku selalu didera rasa malu pada suamiku. Aku merasa tak percaya diri dengan diriku sendiri. Aku begitu kotor, menjijikkan. Lebih-lebih saat ada wanita itu, yang mengorek luka lamaku. Dia membuatku muak, dia membandingkan dirinya denganku yang memang tak pantas bersanding dengan Mas Tio. Oleh karenanya aku ingin sekali mencari laki-laki yang memang bertanggung jawab pada semua yang menimpaku ini. Aku tak bisa membiarkannya lepas begitu saja. Itu terlalu menyakitkan untukku!" "Tik, tapi kau bisa membicarakannya denganku! Bukan dengan lelaki itu! Kau membuatku berpikir macam-macam!" Suami Tika pun sama dengan Mas Riza. Intonasi suaranya menunjukkan betapa laki-laki itu marah dengan perbuatan istrinya. "Maaf, itu memang salahku." "Ya, hanya kata itu saja yang mampu kau katakan! Kau tak mampu mengucap hal lain karena memang kau tak percaya p
Mengulangi Kesalahan"Kenapa Tik?" Sepasang suami istri di depanku dan Mas Tio ini menunduk, sementata Fatih—anak mereka duduk di lantai bermain dengan kedua anakku. Tika nampak memainkan kedua tangannya. Terlihat sekali tangan wanita itu bergetar. "Tio, ada yang bisa kalian katakan? Apakah hal yang membuat kalian seperti ini?" tanya Mas Riza dengan suara pelan. Bapak yang tidur di kamarnya menjadi satu-satunya orang yang menjadi alasan diab bersikap demikian. "Adakah yang bisa Mas Riza atau Mbak Vita bantu?" Lagi-lagi pertanyaan Mas Riza hanya ditanggapi sepi. Tak ada yang membuka mulutnya. "Tolong, jaga Bapak baik-baik. Kalian tahu sendiri di rumah kami ada Ibu, tak mungkin membiarkan Bapak tinggal disana. Kuharap kalian mengerti kondisi kami. Terima kasih sekali kalian bersedia tinggal di rumah ini bersama Bapak. Mudah-mudahan keadannya segera membaik." "Mas, ada yang ingin kukatakan sebenarnya. Mohon maaf jika momennya kurang pas. Tetapi ini harus segera diselesaikan dengan
Aku menoleh cepat ke arah lelaki itu. Kalimatnya memberi tamparan untukku. Ada sudut hatiku yang nyeri mendengar kenyataan bahwa dia membutuhkanku sebagai teman untuk berdiskusi. Apakah hanya sebatas itu arti diriku baginya? "Bun, aku benar-benar pusing saat ini. Tolong, bantu aku untuk menghadapi semua ini bersama-sama." "Memangnya ada lagi fungsiku bagimu selain untuk menghadapi seluruh masalah-masalahmu itu?" ucapku sinis. Kupandang dengan raut masam lelaki di depanku. Rasanya memang apapun yang dilakukan atau dikatakan Mas Riza tak akan benar di mataku. "Bun, tolong jangan memperkeruh suasana." Aku berdiri, tak terima dengan tuduhannya. Dadaku naik turun menahan emosi yang kembali tersulut akibat perkataan suamiku. "Ini, lihat ini! Aku atau adikmu yang memperkeruh suasana. Aku tak habis pikir dengan kelakuannya!" Kuberikan ponselku ke tangannya berharap dia tak banyak bicara dan langsung melihat foto yang kutunjukkan. Seketika mata lelaki itu membulat, menatap tak percaya l
Perdebatan di Rumah Sakit Rencana untuk menjenguk Ibu Sari di rumah sakit kami tangguhkan. Kondisi Bapak lumayan mengkhawatirkan. Badannya kaku, tak bisa digerakkan. Aku yang melihatnya dari samping kiri ranjang tak kuasa menahan air mata. Rasanya tak percaya kemarin kami baru saja menemuinya di rumah saat mengantar makanan. Lelaki itu nampak sehat, tak disangka kini dia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Kudengar erangannya lirih, menandakan apa yang dia rasakan benar-benar menyiksanya. Mas Riza menangkupkan kedua tangan di wajah, sesekali dia terdengar helaan napasnya yang cukup berat. Aku yang sebenarnya masih malas berbicara dengan Mas Riza dengan agak terpaksa menemani lelaki itu ke rumah sakit. Sore tadi Tika mengabarkan kalau dia tak bisa bergantian jaga dengan Mas Riza. Entah apa alasannya, aku pun malas bertanya lebih lanjut. Moodku sudah hancur berkeping-keping karena ulah Rahma. Meski ini pun bukan sepenuhnya salah wanita itu. Mas Riza yang tak mampu berpikir
"Mantan pacarmu mengembalikan ponselmu yang tadi terbawa olehnya. Dia juga titip pesan padamu untuk mengantar motor yang sudah digunakan kalian untuk berboncengan ke rumah sakit besok pagi. Oh ya, satu lagi. Ada salam pula dari wanita itu. Untukmu." Aku segera menekan kata terakhir padanya. Amarahku benar-benar menggelegak kali ini. Seharian tanpa kabar, tiba-tiba Farida mengabari hal yang tidak mengenakkan sama sekali, kemudian kedatangan Rahma ke rumah ini untuk menceritakan apa yang telah terjadi, sungguh membuat kepalaku sakit tak terkira. "Bun, bisa dengar penjelasanku?" ucap Mas Riza dengan penuh permohonan. "Tadi aku buru-buru sekali hingga tak sempat berpikir panjang. Kabar yang menimpa Bapak membuatku tak bisa berpikir hati-hati. Aku langsung mengiyakan ajakan Rahma untuk menaiki mobilnya ke rumah sakit. Maaf, Bun. Mobil toko sedang dibawa Rian untuk mengantar pesanan minyak dalam jumlah banyak. Dan motor, kau tahu sendiri motornya sedang di bengkel." Penjelasan Mas Riza sa
Kuberikan sepiring nasi beserta lauknya kepada Risa dan segera ke depan untuk menemui tamuku. Dari dalam rumah aku bisa melihat seorang wanita berdiri membelakangi pintu. Saat pintu kubuka, rasanya jantungku hampir terlepas melihat sosok itu berbalik. Wanita yang sempat membuat rumah tanggaku berada di ujung tanduk tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. Wajah itu kini berubah, jauh lebih cantik. Jika dulu dia hanya berani mengenakan make up tipis, tidak dengan sekarang. "Hai, Mbak. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang tak bisa kuartikan. Aku mencoba menormalkan degup jantungku dan tampil dengan ekspresi sebiasa mungkin. Aku tak ingin dia merasa keberadaannya membuatku khawatir. Aku tak ingin dia merasa besar kepala. "Baik, ada perlu apa?" Aku langsung menanyakan hal tersebut langsung. Tak ada keinginan untuk basa-basi padanya. Bayangan tentang masa lalunya yang begitu licik membuatku enggan melakukan hal tersebut. Lagi pula aku penasaran dengan tujuannya kemari. "Mas Riza a