Aku menenggelamkan kepala Risa ke dalam pelukanku. Lala pun sudah terlelap di sampingku. Sejak makan malam tadi, Mas Riza belum juga masuk kamar. Lamat-lamat kudengar ibu mertua setengah berteriak pada Mas Riza. Aku tak mau ambil bagian di keributan kali ini. Lelah, rasanya jiwa raga ini sudah terlalu lama bergelut dengan hal yang sia-sia. Biarlah Mas Riza menghadapi keinginan ibunya sendiri. Kurasakan Mas Riza masuk ke kamar dan menutup pintu dengan pelan. Aku yang penasaran segera duduk. Kutatap wajah lelakiku. Tak ada ketenangan di sorot matanya. "Apa yang terjadi dengan ibu, Mas?" tanyaku yang sudah tak mampu membendung rasa penasaran. Mas Riza menyentak napasnya kasar. "Ibu tetap tak mau kita pindah. Maksudku… Paling tidak jangan dalam waktu dekat.""Apa alasannya?" cecarku. Jujur saja aku ingin tahu alasan sebenarnya menahan kami di sini."Apakah dia takut mengurus pekerjaan rumah sendiri? Atau takut jatahnya dikurangi karena kita sudah tidak tinggal satu rumah?" Mas Riza
Drama " Besok kita mulai packing barangnya anak-anak, Mas pakai mobil bak terbuka buat bawa barang-barang sebelum ke toko. Jadi pas hari H tidak terlalu repot dengan barang bawaan. Toh perabot di rumah orangtuamu masih penuh. Paling nambah beberapa item saja. Urusan ibu kita lupakan dulu. Benar katamu, sudah waktunya kita mandiri." Ucapan Mas Riza membuat mataku berkaca-kaca. Alhamdulillah. Akhirnya Mas Riza lebih mementingkan keluarga kecilnya. Untuk ibu, kudoakan hatinya lekas luluh hingga melepas kami dengan curahan doa kebaikan.Paginya aku bangun dengan suasana hati yang senang. Akhirnya Mas Riza mantap untuk pindah. Berhubung hari ini libur, kumanfaatkan untuk berkemas. Setelahnya aku akan ikut Mas Riza mengantarkan barang-barang ke rumah kami. Sudah kuhubungi Mbak Marni untuk menjemput Lala dan Risa lebih awal, karena aku tak mau membawa mereka kali ini. Beberapa kardus berisi mainan anak-anak sudah selesai kukemas. Untuk baju bahkan sengaja kutinggalkan beberapa potong saja
Sengaja aku menempelkan telinga di tembok pembatas kamar ibu mertua. Luar biasa sekali kalimat yang meluncur dari mulut Tika. Bahkan dia tega menyarankan Mas Riza mencari istri baru. Rupa-rupanya anak itu memang harus kuberi pelajaran. Baru mau melangkah, kudengar suara Bapak mertua masuk rumah. Pakaian yang dia gunakan membuatku memutar otak. Bukankah tadi Tika berkata bapak sedang ke kebun untuk panen jagung? "Loh, Pak. Katanya habis panen jagung, kok pakaian rapi begitu?" tanyaku sambil mendekatinya. Kuletakkan air minum pesanan Tika di meja ruang tengah. "Panen jagung? Siapa yang bilang? Bapak habis disuruh ibu beli sarapan. Katanya pengin nasi gudeg depan pasar," jawab bapak mertua. "Tapi maaf Vit. Bapak cuma dikasih uang buat beli tiga bungkus. Nggak beli buat kamu dan Riza." Aku semakin bingung, bukankah tadi Tika mengiyakan bahwa bapak tetap pergi ke kebun meski sudah tahu ibu pingsan? Mengapa sekarang Bapak berkata dia disuruh Ibu untuk ke pasar membeli nasi gudeg? "Lah
Siapa Dia? "Cepat kalian semua keluar! Biar aku yang menunggui ibu sendirian. Kalian semua nggak guna!" teriak Tika sambil mendorongku keluar. Mas Riza dan bapak mertua ikut keluar. Jika dia berkata kasar hanya padaku dan Mas Riza, mungkin aku masih menganggapnya wajar. Tetapi ini pada bapak? Tika memang benar-benar keterlaluan! Mas Riza dan bapak berlalu. Pintu yang ditutup Tika membuatku leluasa untuk menguping. Benar saja, ketika kami bertiga keluar, suara gaduh terdengar dari dalam. Sumpah serapah ibu mulai terdengar. Kena kalian! Mau menggagalkan rencanaku? Tidak semudah itu! Kulanjutkan menaikkan barang-barang ke bak mobil Mas Riza. Beruntung bapak mertua membantu kami mengangkat barang-barang tersebut. Sekelebat kulihat bayangan Tika tengah mengawasi kami dari balik gorden. Aku terkekeh geli. Tingkahnya membuat hiburan di saat yang melelahkan seperti ini. Kali ini rencana mereka tak berhasil. Aku tak boleh senang dulu, karena pastinya mereka berdua akan melanjutkan sera
"Tika kenapa, Bun?" tanya Mas Riza setelah aku mengganti nada panggilan ponselnya menjadi mode senyap. Aku tidak mau acaraku kali ini gagal atau terganggu akibat panggilan Tika dan ibu. Biarlah mereka berlatih hidup tanpa kami. "Nggak tau, Mas. Nggak kedengeran suaranya." "Tumben. Biasanya sinyal di sini bagus. Nanti lah kalau sudah sampai coba kuhubungi. Siapa tahu penting." Kalimat Mas Riza membuatmu menarik sudut bibirku. Mas Riza masih belum tahu juga kalau ibu dan adiknya akan menggunakan berbagai cara untuk mencegah kepindahan kami. Kupastikan suamiku tak akan menelepon Tika sesampainya di Karangsari.Mobil Mas Riza masuk ke rumah yang sedang direnovasi. Beberapa sudut rumah sudah terlihat rapi. Semangat sekali aku menemui Pak Warto, kepala tukang yang kupilih menangani renovasi rumah ini. Sejauh ini pekerjaannya membuatku puas. "Mbak. Ini lusa sudah bisa ditinggali. InsyaAllah cat sudah kering, tinggal menata perabotan. Kami sengaja nunggu Mbak Vita biar ngatur sesuai seler
Gadis Itu Bernama RahmaKulanjutkan pesan lainnya yang memang hampir semua berisi ancaman agar Mas Riza tidak pindah. Hingga sebuah pesan baru muncul. Sebuah foto yang menampakkan seorang wanita tengah berada di kamar ibu mertua. Wanita itu memijit kaki ibu mertua. Tertulis kalimat di bawahnya yang membuat dadaku bergemuruh. [ Lihatlah. Pernahkah si yatim piatu itu memijit kaki ibumu, Mas?]Aku meremas ponsel Mas Riza. Mulut dan jari adik iparku memang limited edition. Barang langka, yang seharusnya sudah lama musnah. Bahkan dia memanggilku si yatim piatu. Entah apa yang bisa membuatnya tersadar. Dan wanita yang ada di foto Tika. Siapa dia? Ada urusan apa hingga dia ke kamar ibu dan memijit kakinya? Aku harus segera meminta kejelasan dari Mas Riza. Kusodorkan ponsel Mas Riza dengan wajah keruh tak bersahabat. " Tolong, ajari adikmu berkata sopan. Jika tidak, jangan salahkan tanganku menyentuh pipinya!" ancamku pada Mas Riza setelah menyeretnya ke kamar. Aku tak mau orang lain meli
"Lalu, pernahkah kamu mengatakan serupa pada Tika saat dia mengolok-olokku? Pernahkah Mas Riza mengatakan bahwa aku kakak iparnya yang wajib dia hormati? Pernah? Atau pada ibumu? Pernahkah Mas minta dia juga menyayangiku layaknya anak kandungnya sendiri? Pernahkah kau meminta mereka untuk merongrong hidupku? Aku manusia,Mas! Jangan terus -menerus diam atas nama bakti dan sayang pada kedua manusia itu hingga lantas kau mengabaikan perasaan istrimu sendiri. Atau memang kau pun menganggap apa yang mereka lakukan memang layak kudapatkan?" tanyaku penuh penghakiman. Mas Riza tertunduk. Aku benci sekali melihatnya selalu tak berdaya jika berurusan dengan adik dan ibunya. Aku benci dia yang kehilangan arah saat membela dua wanita itu. "Maaf, Bun." "Kumaafkan. Sudah biasa, bukan? Aku selalu memberi maaf atas kesalahan yang sebenarnya bukan kau yang membuatnyamembuatnya!" Aku menatap penuh kemarahan pada lelaki itu. "Dan wanita itu?" tanyaku. Mas Riza mengangkat wajahnya hingga berhadapan
Kulihat wajah pucat dan kecewa terlihat di wajah ketiganya. Terlebih perempuan bernama Rahma ini. Wajahnya mendadak pias hingga nampak jelas rasa kecewanya. "Bagaimana keadaan Ibu? Sudah enakan?" tanyaku memecah kekakuan. Orang yang kutanya melengos dan melihat arah lain. Sabar, bahkan mungkin ribuan kali aku diperlakukan demikian. Mas Riza mengeratkan tanganku, seolah memberi kekuatan menghadapi ibunya."Ya jelas enakan. Kan sudah dipijiti sama Mbak Rahma, iya kan Bu?" tanya Tika dengan wajah meremehkanku. Sungguh ingin kuulekkan segenggam rawit merah dan kusumpalkan ke mulut adik iparku itu. Dia pantas mendapatkan hal itu. "Iya lah. Bener loh, Za. Pijitan Rahma enak sekali. Rasanya urat yang sakit langsung sembuh, hebat sekali Rahma." Wajah ibu berseri-seri manakala menyombongkan wanita di sampingnya. Sepertinya dia memang ingin membandingkanku dengan Rahma. Baiklah, kuterima tantanganmu kali ini. "Jadi, Mbak Rahma ini tukang pijit? Keliling atau mangkal?" tanyaku sok lugu. Wajah
Anak-anak sudah tidur di kamar mereka. Ibu pun tak terlihat keluar lagi setelah jam sembilan tadi. Sedangkan Mas Riza sendiri entah apa yang dilakukannya di luar. Kurasa dia tengah menghubungi pegawai tokonya yang sedang melakukan proses bongkar kiriman gula pasir dari suplier. Aku bersyukur sekali, usaha Mas Riza berkembang begitu pesat seiring perjalanan waktu. Sungguh perjalanan yang tak mudah, aku dan Mas Riza sangat beruntung berada di posisi kami ini. Cobaan hidup yang tak mudah sudah kami lewati. Sungguh kuasa Tuhan, pemilik seluruh alam semesta dan isinya. Tak ada yang tak mungkin, seperti perubahan pada Tika contohnya. Gadis yang amat kubenci itu akhirnya berubah seiring pernikahannya yang juga tak semulus jalan tol. Aral melintang pun mereka jumpai di perjalanan rumah tangga Tika dan Tio. Tak kusangka, lelaki yang bukan berasal dari keluarga tak berpunya itu justru menjadi satu-satunya lelaki yang bisa menaklukkan hati Tika yang keras bagai karang. Sungguh kuasa Allah, p
Aku mengelus dada mendengar kabar wanita yang entah kemana nuraninya berada. Lila kini meringkuk di dalam penjara, berteman sepi. Tak ada lagi harta yang dia bangga-banggakan untuk menekan Tika. Tak ada lagi harta yang bisa dia sombongkan di depan orang-orang. Lila kembali menjadi kaum papa yang bahkan entah kapan bisa menghirup udara bebas. Dan kabar orangtua dan adik-adiknya yang baru sekejap menikmati harta peninggalan Pak Ranu kini kembali hidup seperti semula. "Makan, Bu," ucapku perlahan pada wanita yang dulu seringkali mencaci maki diriku. Terkadang masih ada ketakutan yang kusimpan saat beradu pandang dengan ibu tiri Mas Riza itu. Aku takut dia akan bertindak brutal padaku. Namun lagi-lagi itu hanya ketakutanku saja, nyatanya selepas dari rumah sakit jiwa kondisi Ibu seperti kehilangan tenaga. Waktunya hanya dihabiskan untuk melamun, dengan sesekali bibirnya meracau tak jelas. Hanya ungkapan maaf saja yang mampu kutangkap dengan jelas. Selebihnya tidak. "Bu," panggilku seray
Akhir Sebuah Kisah (Ending) Kutatap suami istri yang seluruh rambutnya memutih. Sang suami, duduk di atas kursi roda yang beberapa tahun terakhir setia menemani setiap pergerakannya. Beruntung setelah melewati puluhan kali terapi dan juga pengobatan, laki-laki itu mulai menampakkan hasil yang menggembirakan. Meski separuh tubuhnya sulit untuk digerakkan, cara bicaranya sudah kembali lagi seperti semula.HSementara sang istri duduk termenung di atas kursi kayu yang juga sengaja disiapkan di salah satu sudut rumah yang menghadap ke jalan. Pandangannya kosong, dan itu lebih baik dari pada keadaanya yang sebelumnya. Kami sekeluarga sepakat untuk merawatnya di rumah setelah dokter yang menanganinya memberi rekomendasi. Ibu sudah menampakkan kemajuan yang berarti menurutku. Dia tak pernah bertindak brutal seperti sebelumnya. Hanya sesekali dia berkata pada dirinya sendiri yang ucapan yang sama yang selalu diulang-ulang. "Maaf, maaf, maaf…."Siapapun yang dilihatnya, terlebih padaku yang
"Mas, bagaimana aku bisa melupakan hal yang membuatku menanggung malu seumur hidup?" Tika mengusap air matanya yang jatuh tak terbendung. "Bahkan aku selalu didera rasa malu pada suamiku. Aku merasa tak percaya diri dengan diriku sendiri. Aku begitu kotor, menjijikkan. Lebih-lebih saat ada wanita itu, yang mengorek luka lamaku. Dia membuatku muak, dia membandingkan dirinya denganku yang memang tak pantas bersanding dengan Mas Tio. Oleh karenanya aku ingin sekali mencari laki-laki yang memang bertanggung jawab pada semua yang menimpaku ini. Aku tak bisa membiarkannya lepas begitu saja. Itu terlalu menyakitkan untukku!" "Tik, tapi kau bisa membicarakannya denganku! Bukan dengan lelaki itu! Kau membuatku berpikir macam-macam!" Suami Tika pun sama dengan Mas Riza. Intonasi suaranya menunjukkan betapa laki-laki itu marah dengan perbuatan istrinya. "Maaf, itu memang salahku." "Ya, hanya kata itu saja yang mampu kau katakan! Kau tak mampu mengucap hal lain karena memang kau tak percaya p
Mengulangi Kesalahan"Kenapa Tik?" Sepasang suami istri di depanku dan Mas Tio ini menunduk, sementata Fatih—anak mereka duduk di lantai bermain dengan kedua anakku. Tika nampak memainkan kedua tangannya. Terlihat sekali tangan wanita itu bergetar. "Tio, ada yang bisa kalian katakan? Apakah hal yang membuat kalian seperti ini?" tanya Mas Riza dengan suara pelan. Bapak yang tidur di kamarnya menjadi satu-satunya orang yang menjadi alasan diab bersikap demikian. "Adakah yang bisa Mas Riza atau Mbak Vita bantu?" Lagi-lagi pertanyaan Mas Riza hanya ditanggapi sepi. Tak ada yang membuka mulutnya. "Tolong, jaga Bapak baik-baik. Kalian tahu sendiri di rumah kami ada Ibu, tak mungkin membiarkan Bapak tinggal disana. Kuharap kalian mengerti kondisi kami. Terima kasih sekali kalian bersedia tinggal di rumah ini bersama Bapak. Mudah-mudahan keadannya segera membaik." "Mas, ada yang ingin kukatakan sebenarnya. Mohon maaf jika momennya kurang pas. Tetapi ini harus segera diselesaikan dengan
Aku menoleh cepat ke arah lelaki itu. Kalimatnya memberi tamparan untukku. Ada sudut hatiku yang nyeri mendengar kenyataan bahwa dia membutuhkanku sebagai teman untuk berdiskusi. Apakah hanya sebatas itu arti diriku baginya? "Bun, aku benar-benar pusing saat ini. Tolong, bantu aku untuk menghadapi semua ini bersama-sama." "Memangnya ada lagi fungsiku bagimu selain untuk menghadapi seluruh masalah-masalahmu itu?" ucapku sinis. Kupandang dengan raut masam lelaki di depanku. Rasanya memang apapun yang dilakukan atau dikatakan Mas Riza tak akan benar di mataku. "Bun, tolong jangan memperkeruh suasana." Aku berdiri, tak terima dengan tuduhannya. Dadaku naik turun menahan emosi yang kembali tersulut akibat perkataan suamiku. "Ini, lihat ini! Aku atau adikmu yang memperkeruh suasana. Aku tak habis pikir dengan kelakuannya!" Kuberikan ponselku ke tangannya berharap dia tak banyak bicara dan langsung melihat foto yang kutunjukkan. Seketika mata lelaki itu membulat, menatap tak percaya l
Perdebatan di Rumah Sakit Rencana untuk menjenguk Ibu Sari di rumah sakit kami tangguhkan. Kondisi Bapak lumayan mengkhawatirkan. Badannya kaku, tak bisa digerakkan. Aku yang melihatnya dari samping kiri ranjang tak kuasa menahan air mata. Rasanya tak percaya kemarin kami baru saja menemuinya di rumah saat mengantar makanan. Lelaki itu nampak sehat, tak disangka kini dia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Kudengar erangannya lirih, menandakan apa yang dia rasakan benar-benar menyiksanya. Mas Riza menangkupkan kedua tangan di wajah, sesekali dia terdengar helaan napasnya yang cukup berat. Aku yang sebenarnya masih malas berbicara dengan Mas Riza dengan agak terpaksa menemani lelaki itu ke rumah sakit. Sore tadi Tika mengabarkan kalau dia tak bisa bergantian jaga dengan Mas Riza. Entah apa alasannya, aku pun malas bertanya lebih lanjut. Moodku sudah hancur berkeping-keping karena ulah Rahma. Meski ini pun bukan sepenuhnya salah wanita itu. Mas Riza yang tak mampu berpikir
"Mantan pacarmu mengembalikan ponselmu yang tadi terbawa olehnya. Dia juga titip pesan padamu untuk mengantar motor yang sudah digunakan kalian untuk berboncengan ke rumah sakit besok pagi. Oh ya, satu lagi. Ada salam pula dari wanita itu. Untukmu." Aku segera menekan kata terakhir padanya. Amarahku benar-benar menggelegak kali ini. Seharian tanpa kabar, tiba-tiba Farida mengabari hal yang tidak mengenakkan sama sekali, kemudian kedatangan Rahma ke rumah ini untuk menceritakan apa yang telah terjadi, sungguh membuat kepalaku sakit tak terkira. "Bun, bisa dengar penjelasanku?" ucap Mas Riza dengan penuh permohonan. "Tadi aku buru-buru sekali hingga tak sempat berpikir panjang. Kabar yang menimpa Bapak membuatku tak bisa berpikir hati-hati. Aku langsung mengiyakan ajakan Rahma untuk menaiki mobilnya ke rumah sakit. Maaf, Bun. Mobil toko sedang dibawa Rian untuk mengantar pesanan minyak dalam jumlah banyak. Dan motor, kau tahu sendiri motornya sedang di bengkel." Penjelasan Mas Riza sa
Kuberikan sepiring nasi beserta lauknya kepada Risa dan segera ke depan untuk menemui tamuku. Dari dalam rumah aku bisa melihat seorang wanita berdiri membelakangi pintu. Saat pintu kubuka, rasanya jantungku hampir terlepas melihat sosok itu berbalik. Wanita yang sempat membuat rumah tanggaku berada di ujung tanduk tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. Wajah itu kini berubah, jauh lebih cantik. Jika dulu dia hanya berani mengenakan make up tipis, tidak dengan sekarang. "Hai, Mbak. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang tak bisa kuartikan. Aku mencoba menormalkan degup jantungku dan tampil dengan ekspresi sebiasa mungkin. Aku tak ingin dia merasa keberadaannya membuatku khawatir. Aku tak ingin dia merasa besar kepala. "Baik, ada perlu apa?" Aku langsung menanyakan hal tersebut langsung. Tak ada keinginan untuk basa-basi padanya. Bayangan tentang masa lalunya yang begitu licik membuatku enggan melakukan hal tersebut. Lagi pula aku penasaran dengan tujuannya kemari. "Mas Riza a