Share

BAB 151

Penulis: Yuli Zaynomi
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-19 23:56:04

Keras Kepala

Kabar tak mengenakkan yang menimpa rumah tangga Tika membuat kepalaku berdenyut nyeri. Aku yang terbiasa melihat mereka menjadi keluarga kecil yang amat harmonis itu cukup kaget. Meski bukan disebabkan oleh kesalahan di antara dua orang itu, tetapi tetap saja aku sangat menyayangkan hal tersebut bisa terjadi.

"Apakah semua ini karena karma yang kulakukan di masa lalu, Mbak?"

Aku menghela napas sesaat. Rasanya lidahku kelu memberikan komentar untuk kasus yang menimpanya. Hal ini sungguh sensitif, tak mungkin memberikan komentar asal-asalan karena perasaan Tika pun harus kujaga.

"Percaya saja dengan Tio, dia tak akan melakukan hal yang curang menurutku. Lagi pula kesalahan ini hanya dilakukan oleh wanita itu. Tip tak menanggapinya bukan? Selagi Tio tak memberikan tanggapan apapun pada wanita itu, biarkanlah. Jangan membebani dirimu dan juga Tio dengan prasangkamu sendiri."

Tika mematung. Dia nampak mencerna dengan baik apa yang sedang kukatakan. Sungguh cobaan setiap r
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Mesin Cuci   BAB 152

    Aku mengangguk. Memang sangat menakutkan membayangkan ibu kandung Mas Riza yang ingin kembali ke daerah asalnya. Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mas Riza, kebahagiaan yang dia rasakan setelah bertahun-tahun memendam kerinduan pada sosok ibu kandungnya kembali harus menelan kekecewaan akibat sikap egois ayahnya. Belum lagi Lala dan Risa. Kedua gadis kecilku itu sudah begitu akrab dengan nenek kandungnya. Tak bisa kubayangkan mendung kembali menghiasi wajah kedua anak itu jika kembali harus berpisah dengan nenek mereka. Dan aku sendiri, seorang yatim piatu yang sudah lelah dengan sikap ibu tiri Mas Riza kembali tak bisa merasakan sikap tulus seorang ibu pada anaknya. Hatiku dilanda gerimis hebat. Aku tak siap kembali berpisah dengan wanita yang membuatku berharga sebagai seorang menantu. ***"Dendeng balado kemarin pasti masakan ibumu 'kan, Riza?" Aku yang tengah menata makanan di meja makan rumah lama Mas Riza menoleh. Lelaki setengah baya yang duduk menghadap jendela

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-19
  • Mesin Cuci   BAB 153

    Rahma? "Vit, kemana? Tadi kupanggil kok nggak nengok?" ucap Farida melalui sambungan telepon. Aku menautkan kedua alisku. Sebelum kujawab, Farida kembali melanjutkan kalimatnya hingga membuatku memilih diam dan mendengarkan apa yang akan dikatakannya lagi. "Keliatannya Mas Riza bawa motornya buru-buru sekali? Kalian sehat-sehat 'kan Vit?" Aku menelan ludahku. Mas Riza bawa motor? Artinya dia memboncengkan seseorang yang Farida kira adalah aku. Siapa? "Vit?" panggil Farida."Maaf, Fa. Lagi kurang fokus. Tiba-tiba tadi aku dihubungi Ibu mertuaku kalau kepalanya sakit, jadi mungkin kami sedikit terburu-buru," ujarku berbohong. Aku meminta maaf dalam hati untuk Ibu mertuaku, kali ini berbohong membawa nama dirinya. "Oh, pantas saja kau pegangan erat sekali. Tadi mobil Mas Dika di belakang motormu," ucap Farida lagi. Mendadak kepalaku pusing membayangkan seseorang yang memegang tubuh suamiku erat seperti yang diucapkan Farida. "Sudah ya, Fa. Aku mau masak. Kamu sehat-sehat, jangan lu

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-26
  • Mesin Cuci   BAB 154

    Kuberikan sepiring nasi beserta lauknya kepada Risa dan segera ke depan untuk menemui tamuku. Dari dalam rumah aku bisa melihat seorang wanita berdiri membelakangi pintu. Saat pintu kubuka, rasanya jantungku hampir terlepas melihat sosok itu berbalik. Wanita yang sempat membuat rumah tanggaku berada di ujung tanduk tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. Wajah itu kini berubah, jauh lebih cantik. Jika dulu dia hanya berani mengenakan make up tipis, tidak dengan sekarang. "Hai, Mbak. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang tak bisa kuartikan. Aku mencoba menormalkan degup jantungku dan tampil dengan ekspresi sebiasa mungkin. Aku tak ingin dia merasa keberadaannya membuatku khawatir. Aku tak ingin dia merasa besar kepala. "Baik, ada perlu apa?" Aku langsung menanyakan hal tersebut langsung. Tak ada keinginan untuk basa-basi padanya. Bayangan tentang masa lalunya yang begitu licik membuatku enggan melakukan hal tersebut. Lagi pula aku penasaran dengan tujuannya kemari. "Mas Riza a

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-26
  • Mesin Cuci   BAB 155

    "Mantan pacarmu mengembalikan ponselmu yang tadi terbawa olehnya. Dia juga titip pesan padamu untuk mengantar motor yang sudah digunakan kalian untuk berboncengan ke rumah sakit besok pagi. Oh ya, satu lagi. Ada salam pula dari wanita itu. Untukmu." Aku segera menekan kata terakhir padanya. Amarahku benar-benar menggelegak kali ini. Seharian tanpa kabar, tiba-tiba Farida mengabari hal yang tidak mengenakkan sama sekali, kemudian kedatangan Rahma ke rumah ini untuk menceritakan apa yang telah terjadi, sungguh membuat kepalaku sakit tak terkira. "Bun, bisa dengar penjelasanku?" ucap Mas Riza dengan penuh permohonan. "Tadi aku buru-buru sekali hingga tak sempat berpikir panjang. Kabar yang menimpa Bapak membuatku tak bisa berpikir hati-hati. Aku langsung mengiyakan ajakan Rahma untuk menaiki mobilnya ke rumah sakit. Maaf, Bun. Mobil toko sedang dibawa Rian untuk mengantar pesanan minyak dalam jumlah banyak. Dan motor, kau tahu sendiri motornya sedang di bengkel." Penjelasan Mas Riza sa

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-26
  • Mesin Cuci   BAB 156

    Perdebatan di Rumah Sakit Rencana untuk menjenguk Ibu Sari di rumah sakit kami tangguhkan. Kondisi Bapak lumayan mengkhawatirkan. Badannya kaku, tak bisa digerakkan. Aku yang melihatnya dari samping kiri ranjang tak kuasa menahan air mata. Rasanya tak percaya kemarin kami baru saja menemuinya di rumah saat mengantar makanan. Lelaki itu nampak sehat, tak disangka kini dia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Kudengar erangannya lirih, menandakan apa yang dia rasakan benar-benar menyiksanya. Mas Riza menangkupkan kedua tangan di wajah, sesekali dia terdengar helaan napasnya yang cukup berat. Aku yang sebenarnya masih malas berbicara dengan Mas Riza dengan agak terpaksa menemani lelaki itu ke rumah sakit. Sore tadi Tika mengabarkan kalau dia tak bisa bergantian jaga dengan Mas Riza. Entah apa alasannya, aku pun malas bertanya lebih lanjut. Moodku sudah hancur berkeping-keping karena ulah Rahma. Meski ini pun bukan sepenuhnya salah wanita itu. Mas Riza yang tak mampu berpikir

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-13
  • Mesin Cuci   BAB 157

    Aku menoleh cepat ke arah lelaki itu. Kalimatnya memberi tamparan untukku. Ada sudut hatiku yang nyeri mendengar kenyataan bahwa dia membutuhkanku sebagai teman untuk berdiskusi. Apakah hanya sebatas itu arti diriku baginya? "Bun, aku benar-benar pusing saat ini. Tolong, bantu aku untuk menghadapi semua ini bersama-sama." "Memangnya ada lagi fungsiku bagimu selain untuk menghadapi seluruh masalah-masalahmu itu?" ucapku sinis. Kupandang dengan raut masam lelaki di depanku. Rasanya memang apapun yang dilakukan atau dikatakan Mas Riza tak akan benar di mataku. "Bun, tolong jangan memperkeruh suasana." Aku berdiri, tak terima dengan tuduhannya. Dadaku naik turun menahan emosi yang kembali tersulut akibat perkataan suamiku. "Ini, lihat ini! Aku atau adikmu yang memperkeruh suasana. Aku tak habis pikir dengan kelakuannya!" Kuberikan ponselku ke tangannya berharap dia tak banyak bicara dan langsung melihat foto yang kutunjukkan. Seketika mata lelaki itu membulat, menatap tak percaya l

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-13
  • Mesin Cuci   BAB 158

    Mengulangi Kesalahan"Kenapa Tik?" Sepasang suami istri di depanku dan Mas Tio ini menunduk, sementata Fatih—anak mereka duduk di lantai bermain dengan kedua anakku. Tika nampak memainkan kedua tangannya. Terlihat sekali tangan wanita itu bergetar. "Tio, ada yang bisa kalian katakan? Apakah hal yang membuat kalian seperti ini?" tanya Mas Riza dengan suara pelan. Bapak yang tidur di kamarnya menjadi satu-satunya orang yang menjadi alasan diab bersikap demikian. "Adakah yang bisa Mas Riza atau Mbak Vita bantu?" Lagi-lagi pertanyaan Mas Riza hanya ditanggapi sepi. Tak ada yang membuka mulutnya. "Tolong, jaga Bapak baik-baik. Kalian tahu sendiri di rumah kami ada Ibu, tak mungkin membiarkan Bapak tinggal disana. Kuharap kalian mengerti kondisi kami. Terima kasih sekali kalian bersedia tinggal di rumah ini bersama Bapak. Mudah-mudahan keadannya segera membaik." "Mas, ada yang ingin kukatakan sebenarnya. Mohon maaf jika momennya kurang pas. Tetapi ini harus segera diselesaikan dengan

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-13
  • Mesin Cuci   BAB 159

    "Mas, bagaimana aku bisa melupakan hal yang membuatku menanggung malu seumur hidup?" Tika mengusap air matanya yang jatuh tak terbendung. "Bahkan aku selalu didera rasa malu pada suamiku. Aku merasa tak percaya diri dengan diriku sendiri. Aku begitu kotor, menjijikkan. Lebih-lebih saat ada wanita itu, yang mengorek luka lamaku. Dia membuatku muak, dia membandingkan dirinya denganku yang memang tak pantas bersanding dengan Mas Tio. Oleh karenanya aku ingin sekali mencari laki-laki yang memang bertanggung jawab pada semua yang menimpaku ini. Aku tak bisa membiarkannya lepas begitu saja. Itu terlalu menyakitkan untukku!" "Tik, tapi kau bisa membicarakannya denganku! Bukan dengan lelaki itu! Kau membuatku berpikir macam-macam!" Suami Tika pun sama dengan Mas Riza. Intonasi suaranya menunjukkan betapa laki-laki itu marah dengan perbuatan istrinya. "Maaf, itu memang salahku." "Ya, hanya kata itu saja yang mampu kau katakan! Kau tak mampu mengucap hal lain karena memang kau tak percaya p

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-13

Bab terbaru

  • Mesin Cuci   BAB 162

    Anak-anak sudah tidur di kamar mereka. Ibu pun tak terlihat keluar lagi setelah jam sembilan tadi. Sedangkan Mas Riza sendiri entah apa yang dilakukannya di luar. Kurasa dia tengah menghubungi pegawai tokonya yang sedang melakukan proses bongkar kiriman gula pasir dari suplier. Aku bersyukur sekali, usaha Mas Riza berkembang begitu pesat seiring perjalanan waktu. Sungguh perjalanan yang tak mudah, aku dan Mas Riza sangat beruntung berada di posisi kami ini. Cobaan hidup yang tak mudah sudah kami lewati. Sungguh kuasa Tuhan, pemilik seluruh alam semesta dan isinya. Tak ada yang tak mungkin, seperti perubahan pada Tika contohnya. Gadis yang amat kubenci itu akhirnya berubah seiring pernikahannya yang juga tak semulus jalan tol. Aral melintang pun mereka jumpai di perjalanan rumah tangga Tika dan Tio. Tak kusangka, lelaki yang bukan berasal dari keluarga tak berpunya itu justru menjadi satu-satunya lelaki yang bisa menaklukkan hati Tika yang keras bagai karang. Sungguh kuasa Allah, p

  • Mesin Cuci   BAB 161

    Aku mengelus dada mendengar kabar wanita yang entah kemana nuraninya berada. Lila kini meringkuk di dalam penjara, berteman sepi. Tak ada lagi harta yang dia bangga-banggakan untuk menekan Tika. Tak ada lagi harta yang bisa dia sombongkan di depan orang-orang. Lila kembali menjadi kaum papa yang bahkan entah kapan bisa menghirup udara bebas. Dan kabar orangtua dan adik-adiknya yang baru sekejap menikmati harta peninggalan Pak Ranu kini kembali hidup seperti semula. "Makan, Bu," ucapku perlahan pada wanita yang dulu seringkali mencaci maki diriku. Terkadang masih ada ketakutan yang kusimpan saat beradu pandang dengan ibu tiri Mas Riza itu. Aku takut dia akan bertindak brutal padaku. Namun lagi-lagi itu hanya ketakutanku saja, nyatanya selepas dari rumah sakit jiwa kondisi Ibu seperti kehilangan tenaga. Waktunya hanya dihabiskan untuk melamun, dengan sesekali bibirnya meracau tak jelas. Hanya ungkapan maaf saja yang mampu kutangkap dengan jelas. Selebihnya tidak. "Bu," panggilku seray

  • Mesin Cuci   BAB 160

    Akhir Sebuah Kisah (Ending) Kutatap suami istri yang seluruh rambutnya memutih. Sang suami, duduk di atas kursi roda yang beberapa tahun terakhir setia menemani setiap pergerakannya. Beruntung setelah melewati puluhan kali terapi dan juga pengobatan, laki-laki itu mulai menampakkan hasil yang menggembirakan. Meski separuh tubuhnya sulit untuk digerakkan, cara bicaranya sudah kembali lagi seperti semula.HSementara sang istri duduk termenung di atas kursi kayu yang juga sengaja disiapkan di salah satu sudut rumah yang menghadap ke jalan. Pandangannya kosong, dan itu lebih baik dari pada keadaanya yang sebelumnya. Kami sekeluarga sepakat untuk merawatnya di rumah setelah dokter yang menanganinya memberi rekomendasi. Ibu sudah menampakkan kemajuan yang berarti menurutku. Dia tak pernah bertindak brutal seperti sebelumnya. Hanya sesekali dia berkata pada dirinya sendiri yang ucapan yang sama yang selalu diulang-ulang. "Maaf, maaf, maaf…."Siapapun yang dilihatnya, terlebih padaku yang

  • Mesin Cuci   BAB 159

    "Mas, bagaimana aku bisa melupakan hal yang membuatku menanggung malu seumur hidup?" Tika mengusap air matanya yang jatuh tak terbendung. "Bahkan aku selalu didera rasa malu pada suamiku. Aku merasa tak percaya diri dengan diriku sendiri. Aku begitu kotor, menjijikkan. Lebih-lebih saat ada wanita itu, yang mengorek luka lamaku. Dia membuatku muak, dia membandingkan dirinya denganku yang memang tak pantas bersanding dengan Mas Tio. Oleh karenanya aku ingin sekali mencari laki-laki yang memang bertanggung jawab pada semua yang menimpaku ini. Aku tak bisa membiarkannya lepas begitu saja. Itu terlalu menyakitkan untukku!" "Tik, tapi kau bisa membicarakannya denganku! Bukan dengan lelaki itu! Kau membuatku berpikir macam-macam!" Suami Tika pun sama dengan Mas Riza. Intonasi suaranya menunjukkan betapa laki-laki itu marah dengan perbuatan istrinya. "Maaf, itu memang salahku." "Ya, hanya kata itu saja yang mampu kau katakan! Kau tak mampu mengucap hal lain karena memang kau tak percaya p

  • Mesin Cuci   BAB 158

    Mengulangi Kesalahan"Kenapa Tik?" Sepasang suami istri di depanku dan Mas Tio ini menunduk, sementata Fatih—anak mereka duduk di lantai bermain dengan kedua anakku. Tika nampak memainkan kedua tangannya. Terlihat sekali tangan wanita itu bergetar. "Tio, ada yang bisa kalian katakan? Apakah hal yang membuat kalian seperti ini?" tanya Mas Riza dengan suara pelan. Bapak yang tidur di kamarnya menjadi satu-satunya orang yang menjadi alasan diab bersikap demikian. "Adakah yang bisa Mas Riza atau Mbak Vita bantu?" Lagi-lagi pertanyaan Mas Riza hanya ditanggapi sepi. Tak ada yang membuka mulutnya. "Tolong, jaga Bapak baik-baik. Kalian tahu sendiri di rumah kami ada Ibu, tak mungkin membiarkan Bapak tinggal disana. Kuharap kalian mengerti kondisi kami. Terima kasih sekali kalian bersedia tinggal di rumah ini bersama Bapak. Mudah-mudahan keadannya segera membaik." "Mas, ada yang ingin kukatakan sebenarnya. Mohon maaf jika momennya kurang pas. Tetapi ini harus segera diselesaikan dengan

  • Mesin Cuci   BAB 157

    Aku menoleh cepat ke arah lelaki itu. Kalimatnya memberi tamparan untukku. Ada sudut hatiku yang nyeri mendengar kenyataan bahwa dia membutuhkanku sebagai teman untuk berdiskusi. Apakah hanya sebatas itu arti diriku baginya? "Bun, aku benar-benar pusing saat ini. Tolong, bantu aku untuk menghadapi semua ini bersama-sama." "Memangnya ada lagi fungsiku bagimu selain untuk menghadapi seluruh masalah-masalahmu itu?" ucapku sinis. Kupandang dengan raut masam lelaki di depanku. Rasanya memang apapun yang dilakukan atau dikatakan Mas Riza tak akan benar di mataku. "Bun, tolong jangan memperkeruh suasana." Aku berdiri, tak terima dengan tuduhannya. Dadaku naik turun menahan emosi yang kembali tersulut akibat perkataan suamiku. "Ini, lihat ini! Aku atau adikmu yang memperkeruh suasana. Aku tak habis pikir dengan kelakuannya!" Kuberikan ponselku ke tangannya berharap dia tak banyak bicara dan langsung melihat foto yang kutunjukkan. Seketika mata lelaki itu membulat, menatap tak percaya l

  • Mesin Cuci   BAB 156

    Perdebatan di Rumah Sakit Rencana untuk menjenguk Ibu Sari di rumah sakit kami tangguhkan. Kondisi Bapak lumayan mengkhawatirkan. Badannya kaku, tak bisa digerakkan. Aku yang melihatnya dari samping kiri ranjang tak kuasa menahan air mata. Rasanya tak percaya kemarin kami baru saja menemuinya di rumah saat mengantar makanan. Lelaki itu nampak sehat, tak disangka kini dia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Kudengar erangannya lirih, menandakan apa yang dia rasakan benar-benar menyiksanya. Mas Riza menangkupkan kedua tangan di wajah, sesekali dia terdengar helaan napasnya yang cukup berat. Aku yang sebenarnya masih malas berbicara dengan Mas Riza dengan agak terpaksa menemani lelaki itu ke rumah sakit. Sore tadi Tika mengabarkan kalau dia tak bisa bergantian jaga dengan Mas Riza. Entah apa alasannya, aku pun malas bertanya lebih lanjut. Moodku sudah hancur berkeping-keping karena ulah Rahma. Meski ini pun bukan sepenuhnya salah wanita itu. Mas Riza yang tak mampu berpikir

  • Mesin Cuci   BAB 155

    "Mantan pacarmu mengembalikan ponselmu yang tadi terbawa olehnya. Dia juga titip pesan padamu untuk mengantar motor yang sudah digunakan kalian untuk berboncengan ke rumah sakit besok pagi. Oh ya, satu lagi. Ada salam pula dari wanita itu. Untukmu." Aku segera menekan kata terakhir padanya. Amarahku benar-benar menggelegak kali ini. Seharian tanpa kabar, tiba-tiba Farida mengabari hal yang tidak mengenakkan sama sekali, kemudian kedatangan Rahma ke rumah ini untuk menceritakan apa yang telah terjadi, sungguh membuat kepalaku sakit tak terkira. "Bun, bisa dengar penjelasanku?" ucap Mas Riza dengan penuh permohonan. "Tadi aku buru-buru sekali hingga tak sempat berpikir panjang. Kabar yang menimpa Bapak membuatku tak bisa berpikir hati-hati. Aku langsung mengiyakan ajakan Rahma untuk menaiki mobilnya ke rumah sakit. Maaf, Bun. Mobil toko sedang dibawa Rian untuk mengantar pesanan minyak dalam jumlah banyak. Dan motor, kau tahu sendiri motornya sedang di bengkel." Penjelasan Mas Riza sa

  • Mesin Cuci   BAB 154

    Kuberikan sepiring nasi beserta lauknya kepada Risa dan segera ke depan untuk menemui tamuku. Dari dalam rumah aku bisa melihat seorang wanita berdiri membelakangi pintu. Saat pintu kubuka, rasanya jantungku hampir terlepas melihat sosok itu berbalik. Wanita yang sempat membuat rumah tanggaku berada di ujung tanduk tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. Wajah itu kini berubah, jauh lebih cantik. Jika dulu dia hanya berani mengenakan make up tipis, tidak dengan sekarang. "Hai, Mbak. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang tak bisa kuartikan. Aku mencoba menormalkan degup jantungku dan tampil dengan ekspresi sebiasa mungkin. Aku tak ingin dia merasa keberadaannya membuatku khawatir. Aku tak ingin dia merasa besar kepala. "Baik, ada perlu apa?" Aku langsung menanyakan hal tersebut langsung. Tak ada keinginan untuk basa-basi padanya. Bayangan tentang masa lalunya yang begitu licik membuatku enggan melakukan hal tersebut. Lagi pula aku penasaran dengan tujuannya kemari. "Mas Riza a

DMCA.com Protection Status