"Safitri… tolong maafkan saya di masa lalu," ucap Pak Jaya saat aku bergabung dengan mereka di ruang tamu. Tika sudah mau kutinggal sebentar ke depan. Aku harus mengabarkan mereka mengenai apa yang sudah Tika alami selama beberapa hari ini. "Puluhan tahun lamanya aku menanggung beban sendiri. Saya merasa sangat berdosa padamu. Sari kubiarkan merusak keluargamu. Membuatmu terusir dari sini. Saya membiarkan ketidakadilan menimpamu. Mungkin inilah yang membuat saya harus menerima kenyataan pahit ini. Anak saya dua-duanya harus kehilangan kehormatannya sebelum pernikahan." Pak Jaya mengusap air matanya yang jatuh. Laki-laki paruh baya itu nampak sangat terpukul. Aku masih ingat betapa dia harus malu saat keributan beberapa bulan lalu di rumah mertuaku. Dia harus menanggung malu saat seorang laki-laki mengaku sebagai ayah dari anak yang dikandung Rahma. Padahal saat itu Rahma tengah meminta pertanggungjawaban pada Mas Riza yang akan menikahinya. Meski akhirnya rencana gila ibu mertua i
Keputusan "Saya rasa itu kurang tepat. Bahkan Tika belum tahu bahwa Anda adalah ayah kandungnya. Belum lagi tanggapan keluarga Bapak. Kurasa langkah itu belum tepat. Kita harus memikirkan perasaan berbagai pihak," timpal Mas Riza. Aku sepemikiran dengannya. Apakah langkah itu tak akan membawa dampak buruk bagi keluarga Pak Jaya sendiri? Jangan sampai kenyataan dan keberadaan Tika yang tiba-tiba justru merusak ketentraman keluarga Pak Jaya. "Aku punya ide lain. Mudah-mudahan dia aman di tempat itu." Mas Riza mengucapkan kalimat yang membuat kedua alisku bertaut. Apa yang dia rencanakan? "Saya akan membawanya ke pesantren milik orang tua temanku. Beberapa waktu lalu saya membicarakan hal ini dengannya. Alhamdulillah dia mau membantu mengamankan Tika untuk sementara. Paling tidak sampai dia melahirkan. Setelah dia melahirkan baru kita bicarakan langkah selanjutnya." Mas Riza memandang kami bergantian. Aku mengangguk setuju dengan pilihannya. Ibu dan Pak Jaya mengangguk setuju. Sek
Ibu menoleh ke arah Tika. Terlihat sekali dia amat mempedulikan anak ini. Meskipun Tika adalah anak dari wanita yang pernah menghancurkan hidupnya, dia tetap lembut padanya. Barang-barang Tika yang hanya satu tas besar diletakkan Mas Riza di ruangan yang ditunjukkan oleh Uztadzah Fatma. Dia istri dari ustadz Fahri, pengajar sekaligus pengurus di pondok pesantren yang lokasinya lumayan terpisah dari pemukiman penduduk. Tika nampak melihat sekelilingnya. Dia terlihat ragu melangkahkan kakinya. Kugenggam erat tangannya untuk menguatkanmenguatkannya adik iparku itu. "Bismillah, Mbak. Insyaallah Mbak Tika kerasan di sini," ucap Ustadzah Fatma yang nampak memahami kondisi Tika saat ini. Wanita itu tersenyum hangat hingga menampakkan barisan giginya yang putih. Wajahnya yang teduh itu menyiratkan keyakinan dengan apa yang diucapkannya. "Jika butuh apa-apa silahkan hubungi saya, Mbak Tika." "Tika. Panggil saja Tika." Tika menampakkan senyumnya yang sedikit dipaksa. Ustadzah Fatma mengusa
Penjelasan BapakKubuatkan segelas teh hangat untuk ibu mertua yang tengah duduk di ruang depan sambil menunggu kepulangan Mas Riza dari toko. Tidak seperti biasanya Mas Riza telat. Jika pun telat, biasanya Mas Riza akan menghubungiku agar aku tak mengkhawatirkannya. "Apakah Riza sudah menghubungimu?" tanya ibu saat aku meletakkan gelas di depannya. Aku menggeleng dan segera kuraih ponsel yang terletak jauh dari tempatku duduk. Belum ada balasan akan pesan-pesanku itu. "Kalau setengah jam lagi belum pulang akan aku susul ke toko, Bu," ucapku yang disambut anggukan kepala olehnya. Tak dapat dipungkiri, mata tuanya terlihat sekali mengkhawatirkan anak satu-satunya itu. Baru akan ke dalam mengambil makanan ringan untuk ibu, kudengar suara mobil Mas Riza masuk ke dalam halaman rumah. Kuikuti langkah ibu yang langsung mendekati Mas Riza. Begitu Mas Riza turun dari mobil, aku melihat pemandangan yang tak biasa. Wajah Mas Riza nampak lebam di bagian tulang pipinya. Bahkan ujung kiri bibi
Mas Riza menggeleng."Kelihatannya dia di bawah tekanan yang kuat. Dia tak mempedulikan keadaannya sendiri. Yang dia pedulikan hanya keberadaan Tika. Karena apa yang dia inginkan tak kunjung kuberitahu, akhirnya dia mulai menyerangku." "Benar-benar sudah gila! Kita harus benar-benar memastikan keamanan Tika. Jangan sampai dia menemukan anak itu. Jika tidak, kita bisa pastikan apa yang akan terjadi dengan Tika dan bayinya." Aku dan Mas Riza setuju dengan pendapat ibu. Setelah itu kuminta Mas Riza membersihkan tubuhnya. Hampir sudah jam delapan malam. Sudah pasti suamiku itu merasa lelah karena aktivitas serta kejadian tadi yang menimpanya. ***Suara ketukan pintu yang keras membuat mataku terjaga seketika. Kubangunkan Mas Riza yang langsung membuka matanya. Jam di dinding menunjukkan pukul satu malam. Entah siapa yang sudah membangunkan kami di tengah malam seperti ini. Rasa penasaran kami yang besar membuatku dan Mas Riza melangkah keluar kamar. Ternyata ibu mertuaku juga sudah b
Keributan di Pagi HariSemalaman bapak mertua terpaksa tidur di sofa ruang tamu. Kamar tamu sudah ditempati oleh ibu mertuaku. Sejak tadi malam ibu masuk ke dalam kamarnya dan belum keluar lagi hingga pagi ini. Aku tahu, keengganannya keluar disebabkan oleh keberadaan bapak mertuaku. "Bun. Ibu belum keluar?" tanya Mas Riza saat aku meletakkan panci untuk menjerang air di atas kompor. Aku menggeleng untuk menjawab pertanyaan suamiku. Mas Riza duduk di kursi tak jauh dari tempatku beraktivitas di dapur. Kusiapkan sayuran untuk kumasak pagi ini. Biasanya setiap pagi aku dan ibu mertua bahu-membahu menyelesaikan urusan dapur. Beruntung hari ini minggu, jadi aku tak perlu cepat-cepat menyelesaikan aktivitasku. "Mas bingung gimana cara ngomong ke bapak. Tidak baik dia di sini lama-lama. Orang akan menyangka tidak-tidak. Belum lagi ibu juga sepertinya tak berkenan dengan keberadaannya di sini. Tak bisa dipungkiri, ibu pasti tak nyaman dengan adanya bapak di sini," ucap Mas Riza memulai pe
Kulihat ibu kembali mengambil batu besar yang memang sengaja kuletakkan sebagai aksen hiasan di taman mini depan rumahku. Nyatanya benda itu justru digunakan ibu untuk melempari kaca rumahku saat ini. Mas Riza nampak berlari cepat ke arah ibu. Tak kusangka, justru suamiku harus merasakan sasaran lemparan baru yang di arahkan padanya. Batu seukuran kepalan tangan anak itu mendarat di pelipis suamiku yang tak sempat menghindar. Aku berteriak histeris melihat kucuran darah dari kepala suamiku. Rasanya seluruh persendianku lemas seketika. Wanita itu benar-benar jauh lebih mengerikan dari biasanya. "Apa kau sudah gila? Kau melukai anakmu sendiri, Sari!" teriak bapak yang langsung mencekal lengan istrinya. Sementara Mas Riza yang berjalan sempoyongan segera kupapah meski rasa marahku pada wanita yang melakukannya begitu besar. Rasanya ingin kubalas perlakuan kasarnya pada Mas Riza itu. "Anak? Bahkan anak ini sudah tak menganggapku ibu semenjak wanita itu datang kemari! Dia melupakan jasa
Sebuah PerubahanMas Riza menepikan mobil yang kami naiki tepat di restoran yang terkenal dengan menu ayam bakarnya. Beberapa kali kami menyempatkan diri singgah saat melewati rute ini. Satu tahun terakhir terpaksa kami harus bolak-balik melewati jalanan ini karena pihak rumah sakit jiwa tempat ibu tiri Mas Riza dirawat berkali-kali menghubungi kami. Ya… Wanita itu harus kami rawat di rumah sakit jiwa karena keadaan mentalnya terganggu. Tepat satu tahun kami harus merawatnya di tempat itu karena kondisinya makin yang mengkhawatirkan. Tidak hanya melukai diri sendiri, dia juga selalu berusaha melukai orang-orang yang ada di dekatnya. Bahkan bapak mertuaku harus mendapat puluhan jahitan di punggungnya karena ibu menyabetkan senjata tajam saat dia tengah tertidur lelap. Beruntung dia langsung terjaga dan menghindar meski punggungnya berdarah-darah. Dia masih sanggup berlari keluar rumah sambil meminta pertolongan. Tak hanya itu, saat frustasi tak kunjung menemukan Tika, dia langsung
Anak-anak sudah tidur di kamar mereka. Ibu pun tak terlihat keluar lagi setelah jam sembilan tadi. Sedangkan Mas Riza sendiri entah apa yang dilakukannya di luar. Kurasa dia tengah menghubungi pegawai tokonya yang sedang melakukan proses bongkar kiriman gula pasir dari suplier. Aku bersyukur sekali, usaha Mas Riza berkembang begitu pesat seiring perjalanan waktu. Sungguh perjalanan yang tak mudah, aku dan Mas Riza sangat beruntung berada di posisi kami ini. Cobaan hidup yang tak mudah sudah kami lewati. Sungguh kuasa Tuhan, pemilik seluruh alam semesta dan isinya. Tak ada yang tak mungkin, seperti perubahan pada Tika contohnya. Gadis yang amat kubenci itu akhirnya berubah seiring pernikahannya yang juga tak semulus jalan tol. Aral melintang pun mereka jumpai di perjalanan rumah tangga Tika dan Tio. Tak kusangka, lelaki yang bukan berasal dari keluarga tak berpunya itu justru menjadi satu-satunya lelaki yang bisa menaklukkan hati Tika yang keras bagai karang. Sungguh kuasa Allah, p
Aku mengelus dada mendengar kabar wanita yang entah kemana nuraninya berada. Lila kini meringkuk di dalam penjara, berteman sepi. Tak ada lagi harta yang dia bangga-banggakan untuk menekan Tika. Tak ada lagi harta yang bisa dia sombongkan di depan orang-orang. Lila kembali menjadi kaum papa yang bahkan entah kapan bisa menghirup udara bebas. Dan kabar orangtua dan adik-adiknya yang baru sekejap menikmati harta peninggalan Pak Ranu kini kembali hidup seperti semula. "Makan, Bu," ucapku perlahan pada wanita yang dulu seringkali mencaci maki diriku. Terkadang masih ada ketakutan yang kusimpan saat beradu pandang dengan ibu tiri Mas Riza itu. Aku takut dia akan bertindak brutal padaku. Namun lagi-lagi itu hanya ketakutanku saja, nyatanya selepas dari rumah sakit jiwa kondisi Ibu seperti kehilangan tenaga. Waktunya hanya dihabiskan untuk melamun, dengan sesekali bibirnya meracau tak jelas. Hanya ungkapan maaf saja yang mampu kutangkap dengan jelas. Selebihnya tidak. "Bu," panggilku seray
Akhir Sebuah Kisah (Ending) Kutatap suami istri yang seluruh rambutnya memutih. Sang suami, duduk di atas kursi roda yang beberapa tahun terakhir setia menemani setiap pergerakannya. Beruntung setelah melewati puluhan kali terapi dan juga pengobatan, laki-laki itu mulai menampakkan hasil yang menggembirakan. Meski separuh tubuhnya sulit untuk digerakkan, cara bicaranya sudah kembali lagi seperti semula.HSementara sang istri duduk termenung di atas kursi kayu yang juga sengaja disiapkan di salah satu sudut rumah yang menghadap ke jalan. Pandangannya kosong, dan itu lebih baik dari pada keadaanya yang sebelumnya. Kami sekeluarga sepakat untuk merawatnya di rumah setelah dokter yang menanganinya memberi rekomendasi. Ibu sudah menampakkan kemajuan yang berarti menurutku. Dia tak pernah bertindak brutal seperti sebelumnya. Hanya sesekali dia berkata pada dirinya sendiri yang ucapan yang sama yang selalu diulang-ulang. "Maaf, maaf, maaf…."Siapapun yang dilihatnya, terlebih padaku yang
"Mas, bagaimana aku bisa melupakan hal yang membuatku menanggung malu seumur hidup?" Tika mengusap air matanya yang jatuh tak terbendung. "Bahkan aku selalu didera rasa malu pada suamiku. Aku merasa tak percaya diri dengan diriku sendiri. Aku begitu kotor, menjijikkan. Lebih-lebih saat ada wanita itu, yang mengorek luka lamaku. Dia membuatku muak, dia membandingkan dirinya denganku yang memang tak pantas bersanding dengan Mas Tio. Oleh karenanya aku ingin sekali mencari laki-laki yang memang bertanggung jawab pada semua yang menimpaku ini. Aku tak bisa membiarkannya lepas begitu saja. Itu terlalu menyakitkan untukku!" "Tik, tapi kau bisa membicarakannya denganku! Bukan dengan lelaki itu! Kau membuatku berpikir macam-macam!" Suami Tika pun sama dengan Mas Riza. Intonasi suaranya menunjukkan betapa laki-laki itu marah dengan perbuatan istrinya. "Maaf, itu memang salahku." "Ya, hanya kata itu saja yang mampu kau katakan! Kau tak mampu mengucap hal lain karena memang kau tak percaya p
Mengulangi Kesalahan"Kenapa Tik?" Sepasang suami istri di depanku dan Mas Tio ini menunduk, sementata Fatih—anak mereka duduk di lantai bermain dengan kedua anakku. Tika nampak memainkan kedua tangannya. Terlihat sekali tangan wanita itu bergetar. "Tio, ada yang bisa kalian katakan? Apakah hal yang membuat kalian seperti ini?" tanya Mas Riza dengan suara pelan. Bapak yang tidur di kamarnya menjadi satu-satunya orang yang menjadi alasan diab bersikap demikian. "Adakah yang bisa Mas Riza atau Mbak Vita bantu?" Lagi-lagi pertanyaan Mas Riza hanya ditanggapi sepi. Tak ada yang membuka mulutnya. "Tolong, jaga Bapak baik-baik. Kalian tahu sendiri di rumah kami ada Ibu, tak mungkin membiarkan Bapak tinggal disana. Kuharap kalian mengerti kondisi kami. Terima kasih sekali kalian bersedia tinggal di rumah ini bersama Bapak. Mudah-mudahan keadannya segera membaik." "Mas, ada yang ingin kukatakan sebenarnya. Mohon maaf jika momennya kurang pas. Tetapi ini harus segera diselesaikan dengan
Aku menoleh cepat ke arah lelaki itu. Kalimatnya memberi tamparan untukku. Ada sudut hatiku yang nyeri mendengar kenyataan bahwa dia membutuhkanku sebagai teman untuk berdiskusi. Apakah hanya sebatas itu arti diriku baginya? "Bun, aku benar-benar pusing saat ini. Tolong, bantu aku untuk menghadapi semua ini bersama-sama." "Memangnya ada lagi fungsiku bagimu selain untuk menghadapi seluruh masalah-masalahmu itu?" ucapku sinis. Kupandang dengan raut masam lelaki di depanku. Rasanya memang apapun yang dilakukan atau dikatakan Mas Riza tak akan benar di mataku. "Bun, tolong jangan memperkeruh suasana." Aku berdiri, tak terima dengan tuduhannya. Dadaku naik turun menahan emosi yang kembali tersulut akibat perkataan suamiku. "Ini, lihat ini! Aku atau adikmu yang memperkeruh suasana. Aku tak habis pikir dengan kelakuannya!" Kuberikan ponselku ke tangannya berharap dia tak banyak bicara dan langsung melihat foto yang kutunjukkan. Seketika mata lelaki itu membulat, menatap tak percaya l
Perdebatan di Rumah Sakit Rencana untuk menjenguk Ibu Sari di rumah sakit kami tangguhkan. Kondisi Bapak lumayan mengkhawatirkan. Badannya kaku, tak bisa digerakkan. Aku yang melihatnya dari samping kiri ranjang tak kuasa menahan air mata. Rasanya tak percaya kemarin kami baru saja menemuinya di rumah saat mengantar makanan. Lelaki itu nampak sehat, tak disangka kini dia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Kudengar erangannya lirih, menandakan apa yang dia rasakan benar-benar menyiksanya. Mas Riza menangkupkan kedua tangan di wajah, sesekali dia terdengar helaan napasnya yang cukup berat. Aku yang sebenarnya masih malas berbicara dengan Mas Riza dengan agak terpaksa menemani lelaki itu ke rumah sakit. Sore tadi Tika mengabarkan kalau dia tak bisa bergantian jaga dengan Mas Riza. Entah apa alasannya, aku pun malas bertanya lebih lanjut. Moodku sudah hancur berkeping-keping karena ulah Rahma. Meski ini pun bukan sepenuhnya salah wanita itu. Mas Riza yang tak mampu berpikir
"Mantan pacarmu mengembalikan ponselmu yang tadi terbawa olehnya. Dia juga titip pesan padamu untuk mengantar motor yang sudah digunakan kalian untuk berboncengan ke rumah sakit besok pagi. Oh ya, satu lagi. Ada salam pula dari wanita itu. Untukmu." Aku segera menekan kata terakhir padanya. Amarahku benar-benar menggelegak kali ini. Seharian tanpa kabar, tiba-tiba Farida mengabari hal yang tidak mengenakkan sama sekali, kemudian kedatangan Rahma ke rumah ini untuk menceritakan apa yang telah terjadi, sungguh membuat kepalaku sakit tak terkira. "Bun, bisa dengar penjelasanku?" ucap Mas Riza dengan penuh permohonan. "Tadi aku buru-buru sekali hingga tak sempat berpikir panjang. Kabar yang menimpa Bapak membuatku tak bisa berpikir hati-hati. Aku langsung mengiyakan ajakan Rahma untuk menaiki mobilnya ke rumah sakit. Maaf, Bun. Mobil toko sedang dibawa Rian untuk mengantar pesanan minyak dalam jumlah banyak. Dan motor, kau tahu sendiri motornya sedang di bengkel." Penjelasan Mas Riza sa
Kuberikan sepiring nasi beserta lauknya kepada Risa dan segera ke depan untuk menemui tamuku. Dari dalam rumah aku bisa melihat seorang wanita berdiri membelakangi pintu. Saat pintu kubuka, rasanya jantungku hampir terlepas melihat sosok itu berbalik. Wanita yang sempat membuat rumah tanggaku berada di ujung tanduk tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. Wajah itu kini berubah, jauh lebih cantik. Jika dulu dia hanya berani mengenakan make up tipis, tidak dengan sekarang. "Hai, Mbak. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang tak bisa kuartikan. Aku mencoba menormalkan degup jantungku dan tampil dengan ekspresi sebiasa mungkin. Aku tak ingin dia merasa keberadaannya membuatku khawatir. Aku tak ingin dia merasa besar kepala. "Baik, ada perlu apa?" Aku langsung menanyakan hal tersebut langsung. Tak ada keinginan untuk basa-basi padanya. Bayangan tentang masa lalunya yang begitu licik membuatku enggan melakukan hal tersebut. Lagi pula aku penasaran dengan tujuannya kemari. "Mas Riza a