Pak Guntur mendengar percakapan Adam dan juga Ibu Laila.
"Kesempatan untukku bisa membuat mantu tak tahu diri itu mengerti posisinya di sini!" gumam Pak Guntur.
Setelah Adam pergi, Pak Guntur lantas menunggu istrinya keluar dari kamar Hana. Benar saja, tak lama kemudian, Ibu Laila keluar dari kamar Hana dan pergi ke kamar mandi.
Sudah menjadi kebiasaan jika Ibu Laila ke kamar mandi, Beliau bisa menghabiskan waktu setengah jam atau bahkan lebih.
"Bagus! Waktu yang tepat untukku beraksi. Kamu kira Ayah akan menyerah begitu saja, Hana? Ayah akan tetap memaksa Adam menikah lagi, walaupun harus mengancamku," tekad Pak Guntur.
Sebelum masuk ke kamar Hana, Pak Guntur memastikan jika istrinya sudah benar-benar masuk ke kamar mandi. Setelah itu, Beliau dengan langkah mantap berjalan ke arah kamar Hana.
"Oek! Oek! Oek!" Suara tangisan cucunya terdengar dari luar kamar.
Kebetulan pintu kamar Hana tidak tertutup. Pak Guntur langsung masuk begitu saja dan mendapati Hana tengah menenangkan bayinya dengan cara menggendongnya.
"Ayah?" lirih Hana yang menyadari kehadiran mertuanya.
"Kamu pikir setelah kamu melahirkan anak dari anakku, aku akan berubah sikap padamu, Hana? SALAH! Rasa benciku terhadapmu malah semakin bertambah! Tunggu saja, Ayah akan membuat Adam mau menuruti perintah Ayah. Jangan kira kamu akan hidup enak setelah ini. Ayah akan pastikan kamu akan hidup bagaikan di neraka!"
"Tapi kenapa, Yah? Apa salah Hana pada Ayah? Dan apa salah bayi tak berdosa ini pada Ayah? Tidakkah Ayah iba pada cucu Ayah yang belum mengerti apa-apa ini?" Hana memberanikan diri berucap pada Pak Guntur.
"Cuih! Gak sudi Ayah punya cucu dari perempuan sepertimu! Sekalipun kamu melahirkan anak laki-laki, Ayah tak akan luluh!"
"Hari ini Ayah akan bawa perempuan untuk dinikahi Adam. Kamu gak akan bisa melarang atau menghalangi Ayah, Hana!"
Pak Guntur berlalu begitu saja setelah mengucapkan kalimat itu. Hana mematung mendengar ucapan mertuanya. Entah alasan apa yang membuat Pak Guntur begitu membencinya.
Seperti tengah merasakan kesedihan yang kini mendera Hana, bayi mungil di gendongan Hana itu menangis semakin kencang.
"Cup, Sayang! Jangan nangis, ya! Ibu sayang sama kamu, Nak!" ucap Hana lirih.
Air mata Hana mengalir dengan sendirinya karena hatinya hancur. Bayi Kanaya tidak mau menyusui. Apapun yang dilakukan Hana tak ada yang berhasil meredam tangisannya.
"Kamu kenapa, sih? Ini semua gara-gara kamu! Gara-gara aku melahirkanmu, rahimku diangkat dan aku tidak bisa memiliki anak laki-laki! Ya ... ini semua salahmu!" teriak Hana secara tiba-tiba.
Hana meletakkan bayinya dengan kasar di atas kasur. Tangisan bayi Kanaya semakin kencang dan Hana bahkan mencubit tangan bayinya itu.
"Ini semua salahmu!" ucapnya lagi sambil mencubit lagi kaki bayinya.
Suara tangisan bayi Kanaya menambah emosi Hana naik. Dia pun terduduk dipojokan kamar dengan memeluk lututnya sampai menangis.
"Kenapa harus aku? Kenapa?!" Sesekali Hana menjambak rambutnya dan memukul kepalanya sendiri.
Sementara di kamar mandi, Ibu Laila sudah selesai dan langsung menuju ke kamar menantunya.
Sayup-sayup terdengar suara tangisan sang cucu yang begitu kerasnya. Takut terjadi apa-apa, Ibu Laila mempercepat langkahnya. Dan alangkah terkejutnya Ibu Laila ketika mendapati kondisi Hana.
"Astaghfirullah al'adzim, Hana?!" seru Ibu Laila.
Ibu Laila segera menggendong cucunya dan menghampiri Hana. Dua anak manusia yang punya ikatan batin itu kini menangis di pelukan Ibu Laila.
"Istighfar, Hana! Ibu ada di sini. Kamu gak perlu takut, Nak!" kata Ibu Laila.
"Semua ini salah bayi ini, Bu! Gara-gara dia, Hana jadi seperti ini, Bu! Bahkan Ayah sekarang tambah membenci Hana," ucap Hana sambil menangis kencang.
"Ya Allah, Hana! Kamu gak boleh bicara begitu, Nduk! Semua ini sudah takdir Allah untukmu. Ibu yakin kamu kuat. Kamu sedang diuji Allah. Kasihan bayimu," sahut Ibu Laila.
Beliau sebenarnya ingin menangis juga. Tapi, jika Ibu Laila menangis, itu akan membuat Hana semakin terpuruk.
Hal terberat saat menjadi ibu baru memang keluarga tidak mendukungnya. Peran keluarga sangatlah penting bagi ibu yang baru melahirkan. Perasaan yang masih sensitif membuat ibu baru mudah sekali tersinggung.
Faktor kelelahan karena harus begadang menjadi salah satu pemicunya. Apalagi jika ada salah satu anggota keluarga mengomentari hal-hal yang membuat ibu baru down.
Rasa sakit ketika melahirkan belum usai, Ibu bayi harus dihadapkan dengan rutinitas baru yang menguras tenaganya. Babyblues bisa berakibat fatal jika tidak ditangani secara serius. Dan Ibu Laila sangat paham akan hal semacam itu.
"Assalamu'alaikum!" Terdengar suara Adam dari teras rumah.
Karena suara tangisan Hana yang begitu kencang, membuat Adam panik. Dia pun segera berlari ke dalam kamar.
"Astaghfirullah al'adzim!" seru Adam saat melihat Hana tengah dipeluk sang Ibu yang menggendong anaknya yang juga ikut menangis.
"Ada apa dengan Hana, Bu?" tanya Adam.
"Ibu juga tidak tahu, Dam. Tadi Ibu tinggal sebentar ke kamar mandi, istrimu sudah seperti ini," balas Ibu Laila sambil menatap mata Adam.
"Kamu tenangkan istrimu dulu, ya, Le. Ibu mau buatkan susu dulu untuk anakmu. Kasihan dia, dia ikut merasakan yang dirasakan ibunya," sambung Ibu Laila.
"Iya, Bu."
Ibu Laila keluar kamar dengan membawa serta cucunya. Beliau mencari suaminya tapi tidak dapat ditemukan.
"Ayah ini kemana, sih? Selalu saja begini kalau dibutuhkan," gumam Ibu Laila.
"Sabar, ya, Cantik! Uti buatkan kamu susu dulu, ya! Ibu kamu lagi capek, kamu harus mengerti, ya, Sayang," ucap Ibu Laila kepada bayi yang belum genap satu bulan itu.
Alhamdulillah setelah diberikan susu oleh Ibu Laila, Bayi Kanaya anteng dan tidak menangis lagi. Bahkan dia tertidur pulas di gendongan neneknya.
"Anak sholehah ... anak baik, cucunya Uti. Masya Allah tabarakallah, tidur yang nyenyak, ya, Sayang!"
Dengan penuh hati-hati, Ibu Laila meletakan bayi Kanaya ke dalam box bayi yang sengaja dibelinya saat bayi Kanaya masih dalam kandungan.
"Syukurlah kalau Hana juga sudah tidak menangis lagi," kata Ibu Laila.
Beliau melihat jika Hana tertidur dalam pelukan anaknya. Adam pun juga ikut tertidur bersama istrinya. Terlihat wajah kelelahan dan kesedihan di muka keduanya.
"Maafkan ayahmu, Adam, Hana. Maafkan Ibu juga kalau tidak bisa banyak membantu kalian. Tapi Ibu janji tidak akan membiarkan ayahmu merusak rumah tangga kalian. Kalaupun Ibu harus menentang ayahmu, akan Ibu lakukan. Hana itu anak yang baik dan selama ini sudah jadi istri dan menantu yang baik pula. Tak pantas jika dia disia-siakan," gumam Ibu Laila sambil terus memandangi anak dan menantunya yang tertidur pulas.
Ibu Laila kembali ke ruang tamu untuk menjaga cucunya. Hingga datanglah Pak Guntur bersama seorang perempuan berjilbab dan juga dua orang laki-laki.
"Assalamu'alaikum! Mana Adam, Bu?" tanya Pak Guntur to the point.
"Waalaikumsalam. Lagi tidur, Yah. Ada apa, Yah? Mereka ini siapa?" tanya balik Ibu Laila.
"Ini calon istri kedua Adam. Hari ini dan detik ini juga Adam akan menikah dengannya."
"Apa?!"
"Yah ... kenapa, sih, Ayah nekat seperti ini? Apa mau, Ayah? Istighfar, Yah!" kata Ibu Laila mengingatkan."Tahu apa kamu, Bu? Sudah, kamu diam saja!" seru Pak Guntur."Tunggu di sini sebentar, Pak! Saya mau panggil anak saya terlebih dahulu," kata Pak Guntur kepada dua orang laki-laki itu. Tak lupa, Pak Guntur mempersilahkan ketiganya untuk duduk.Senyum kedua laki-laki itu terasa sangat aneh bagi Ibu Laila. Berbanding terbalik dengan kedua laki-laki itu, perempuan yang disebut akan dinikahkan dengan Adam itu hanya menunduk. Tak sedikitpun dia berani menatap ke depan.Sementara ketiganya menunggu, Ibu Laila mengekor dibelakang suaminya. Ternyata Adam dan Hana sudah bangun dan keduanya tengah berada di kamar Ibu Laila mengambil Kanaya."Ada apa, Yah?" tanya Adam yang melihat ayahnya menghampirinya dengan senyum tak biasa."Ayo ikut Ayah sebentar! Ada yang ingin Ayah kenalkan sama kamu," ucap Pak Guntur. "Ikut kemana, Yah?""Jangan, Dam! Kamu di sini saja gak usah ikut ayahmu," seru I
"Tunggu!" Suara menggelegar Pak Guntur terdengar dari arah dalam.Adam dan Hana menghentikan langkahnya dan membalikkan badan mereka. Terlihat Pak Guntur keluar dari dalam rumah dengan muka merah penuh amarah."Kalau kamu keluar dari rumah ini, Ayah tidak akan menganggap kamu anak Ayah lagi! Ingat itu, Adam!" ancam Pak Guntur.Bak disambar petir di siang bolong, Adam dan Ibu Laila terkejut. Mereka tak bisa mengatakan apapun selain istighfar. Tega sekali laki-laki yang seharusnya menjadi panutan Adam, malah berbuat seperti itu."Ingat itu! Dan Ibu, masuk ke dalam!" perintah Pak Guntur. Matanya tajam menatap Ibu Laila."Kalau Ayah mengusir Adam, Ibu akan ikut Adam! Ayah benar-benar tak punya perasaan!" Kali ini ada perlawanan dari Ibu Laila.Ibu mana yang tidak sakit hati jika sang anak diperlakukan tidak layaknya seorang anak. Hanya karena menantunya melahirkan cucu perempuan, Pak Guntur tega meminta anaknya menikah lagi dan sekarang bahkan mengusir Adam karena tidak mau menuruti perin
Adam baru teringat jika dia sama sekali belum mengabari ibu mertuanya soal Hana yang sudah melahirkan. Sembari menunggu makanan yang dibungkus, Adam mencoba menghubungi mertuanya di kampung. Tut ... tut ... tut ....Terdengar suara khas jika telepon tersambung. Tak lama kemudian, ibu mertuanya yang bernama Ibu Nur mengangkatnya."Assalamu'alaikum, Le. Apa kabar kamu?" sapa Ibu Nur terlebih dahulu.Sudah lama Beliau menanti telepon dari anaknya. Beliau di kampung bersama dengan adik Hana yang masih sekolah di sekolah menengah pertama. Ayah Hana sudah meninggal sejak lama. Dan kini, Ibu Nur mengandalkan hasil dari berkebun untuk hidup sehari-hari."Waalaikumsalam. Alhamdulillah baik, Bu. Maaf, ya, Bu, Adam baru telepon Ibu sekarang. Adam hanya mau mengabarkan kalau Hana sudah melahirkan, Bu. Anak kami perempuan dan sehat, Bu."Ada binar kebahagiaan yang terpancar dari wajah Ibu Nur. Cucu yang dia nantikan ternyata sudah lahir."Alhamdulillah, Ya Allah! Ibu bahagia dengarnya. Anak laki
"Ibu apa kabar? Sehat?" Hana mencium tangan ibunya setelah meminta Ibu Nur duduk."Alhamdulillah Ibu sehat. Kamu juga baik-baik saja, kan? Mana cucu Ibu?" tanya Ibu Nur sambil matanya mencari bayi mungil Kanaya."Ada di kamar lagi tidur, Bu. Ibu diberitahu Mas Adam?" Hana sendiri lupa untuk memberi kabar pada sang Ibu."Iya. Kok kalian bisa lupa sama Ibu, sih? Sengaja, ya?" sindir Ibu Nur."Bukan begitu, Bu. Setelah melahirkan, Hana sempat pendarahan, Bu. Mungkin Mas Adam panik dan gak mau buat Ibu kepikiran. Tapi sekarang Hana sudah gak apa-apa." Hana sedikit menjelaskan kronologi kejadian saat dia melahirkan. "Astaghfirullah al'adzim! Maaf, Nduk, Ibu gak tau. Tapi sekarang kamu beneran gak apa-apa, kan, Nduk?" tanya Ibu Nur memastikan. Hana mengangguk pelan."Alhamdulillah. Nduk, Ibu mungkin tidak bisa lama di sini, kasihan adikmu di kampung sendirian. Ibu cuma dua hari di sini gak apa-apa, ya?"Menjadi single parent memang tidaklah mudah bagi Ibu Nur. Tapi, selama ini Beliau kuat
Hana lupa jika perumahan tempatnya tinggal kini, rata-rata penghuninya adalah para pekerja, baik itu laki-laki ataupun yang perempuan. Teriakan demi teriakan seperti tidak ada artinya saat ini. "Ya Allah, aku harus apa? Mas Adam ... tolong Hana, Mas!" gumam Hana sambil memeluk Kanaya yang sudah mulai menangis. Riko tidak putus asa. Dia mencoba mencongkel pintu kamar mandi dengan peralatan yang ada. Dan setelah sepuluh menit berlalu, Riko berhasil membuka paksa pintu itu. "Kamu mau apa, Riko? Lepaskan!" Hana kembali berontak ketika Riko menarik tubuhnya keluar dari kamar mandi. "Diam! Ikuti perintahku atau anakmu akan m*ti ditanganku!" ancam Riko sambil mengambil Kanaya dari gendongan Hana."Jangan, Riko! Aku mohon jangan!" Hana semakin menangis karena melihat anaknya terlepas dari gendongan dan berpindah tangan ke Riko. Demi keselamatan Kanaya, Hana terpaksa mengikuti perintah Riko. Keselamatan Kanaya adalah yang utama saat ini. Kanaya masih saya terus menangis di gendongan Riko
Adam benar-benar tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Alya yang dulu pernah datang bersama dengan pamannya, sekarang menjadi babysitter. "Assalamu'alaikum!" ucap Adam saat baru sampai di rumah tepat pukul tujuh malam."Waalaikumsalam." Hana menghampiri Adam dan mencium punggung tangan suaminya serta membawa tas Adam untuk diletakkan di dalam kamar. "Hana siapkan air hangat dulu, ya, Mas," kata Hana lagi. Adam mengangguk pelan. Mandi dengan air hangat akan bisa sedikit mengobati rasa lelah hari ini. Adam sebenarnya tidak suka jadi pegawai negeri. Tapi saat itu, desakan Pak Gunawan sangatlah kuat. Adam tak kuasa menolak dan dia pun mencoba ikut tes. Hingga akhirnya keberuntungan berpihak padanya. Satu kali ikut tes, Adam dinyatakan lolos.Setelah Hana selesai menyiapkan air hangat, Adam mandi kemudian mereka makan bersama. Hana merasa jauh lebih tenang karena Riko tidak ke sana lagi setelah kejadian kemarin. Dia sudah mengantisipasi semuanya saat nanti jika sewaktu-waktu Riko data
"Nah ini rumah kami, Mbak Alya. Mari masuk, Mbak!" ucap Hana.Adam sejak tadi diam saja. Dia tidak berkomentar apapun kecuali ditanya oleh Hana. "Oh iya, Mas, kamu sudah bilang Pak RT soal kamar kos buat Mbak Alya belum?" Tatapan mata Hana beralih pada Adam. "Oh iya, kalau begitu ke sana aja sekalian, Sayang. Gimana?" usul Adam. Hana terlihat berpikir sejenak. Jujur saja dia sangat lelah karena semalaman begadang. Kanaya semalam maunya hanya digendong saja. Kalau bukan karena ajakan Adam, Hana sebenarnya memilih untuk tidur sejak pagi."Hana capek, Mas. Lagian Kanaya juga lagi tidur, Mas. Kalau Mas Adam sama Mbak Alya saja yang ke sana gimana? Gak apa-apa, kan?" tolak Hana."Panggil Alya saja, Bu. Saya lebih muda dari pada Ibu dan Bapak," sahut Alya. "Tapi, Sayang —""Gak apa-apa, Mas. Gak akan ada yang berpikiran aneh-aneh sama kalian. Itu, kan, yang Mas pikirkan?" terka Hana seperti tahu isi pikiran Adam. Karena memang wajah Hana terlihat lelah, Adam menuruti usulan Hana. Dia d
Belum sempat Hana menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba Riko muncul dan langsung masuk ke dalam rumah karena memang pintu rumah Hana belum ditutup. "Sayang a—" Riko terkejut karena ternyata Hana di dalam tidak sedang sendirian. Kedua perempuan itu langsung menoleh ke arah Riko. Hana langsung tampak ketakutan dan Alya sendiri bingung karena tidak tahu apa-apa."PERGI! PERGI KATAKU!" teriak Hana sambil memekikkan telinga. Karena teriakan Hana begitu keras, Kanaya sampai terbangun dan menangis. Alya langsung sigap menggendong Kanaya yang kebetulan di tempatkan di ruang tengah. Jiwa pengasuhnya sudah mulai merasuki hatinya. Tanpa disuruh pun, Alya masuk ke ruang tengah. Merasa tidak aman karena ada orang lain, Riko memilih pergi dari rumah Alya dengan perasaan marah. Misinya kali ini gagal total."S*al! Siapa perempuan yang bersama dengan Hana tadi? Gagal sudah rencanaku untuk memiliki Hana. B*doh! B*doh!" rutuk Riko pada dirinya sendiri dengan memukul kepalanya berulang kali. Hana mena
Adam menggerutu karena tidak menemukan keberadaan Alya. Bahkan, Kanaya juga tidak sedang tidur bersama dengan Hana. "Kemana, sih, anak ini? Heran, deh!" gerutu Adam sambil terus mencari keberadaan babysitter barunya itu. Seluruh rumah sudah ditelusuri. Namun Adam tak kunjung menemukan keberadaan Alya. Hingga sampai dia merasa lelah dan istirahat di ruang tamu. "Assalamu'alaikum!" Suara Alya terdengar tak lama setelah itu. "Waalaikumsalam. Habis darimana kamu, Al? Keluyuran?" tanya Adam setengah emosi."Ma—af, Pak. Bukan, Pak. Tadi Alya keluar sebentar buat beli popoknya Kanaya karena habis. Sekali lagi maaf, Pak," jawab Alya seraya menunduk. "Ya sudah lah. Saya mau bicara sama kamu. Duduk!" ucap Adam masih dengan hati yang emosi. Alya menuruti ucapan Adam dan hatinya berdebar kencang karena takut majikannya itu marah dan memecatnya. Bahkan Alya tidak berani menegakkan kepalanya. Sementara itu, Adam tengah meredam emosinya. Karena masalah Hana dan Riko, Adam jadi gampang emosi.
Mobil Adam melaju tak tentu arah. Dia bingung mencari jawaban. Hingga akhirnya mobilnya menepi di sebuah tempat yang dia baru pertama kali melintas.Tempat yang sepi dan enak untuk menyendiri. Tempat tersembunyi yang terdapat cafenya. Adam masuk ke dalam cafe dan memesan segelas kopi. "Apa benar Riko melakukan itu? Tapi mana mungkin?" tanya Adam dalam hati.Jika diingat masa lalu, Riko ini anak dari adik ayah Adam. Sejak kecil, Riko sudah ditinggal ayahnya ke surga. Ibunya terpaksa bekerja di luar negeri untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selama ini, Riko tinggal bersama dengan nenek mereka. Tak heran jika Riko dan Adam dekat seperti kakak dan adik kandung. Satu jam sudah Adam berada di sana. Setelah membayar minumannya, Adam bergegas melajukan motornya untuk meminta kejelasan dari Riko."Ya, aku harus mendengarkan juga dari sisi Riko." Begitu kata Adam pada dirinya sendiri. Adam meraih ponselnya dan langsung memencet nomor Riko. Tak butuh waktu lama untuk Riko mengangkatnya. Sebelum
Hati Hana sudah tenang dan dia juga bersyukur ada Alya di rumahnya kini. Paling tidak selama Adam bekerja, dia tidak takut lagi jika sewaktu-waktu Riko datang kembali. Dua hari berlalu setelah kedatangan Riko kemarin. Hana belum juga menceritakan hal itu kepada Adam walaupun Alya sudah mendesaknya untuk bercerita. "Pak, boleh Alya bicara?" kata Alya dengan suara pelan ketika tak sengaja berpapasan dengan Adam di dapur. Hana saat itu tengah memberi ASI pada bayi Kanaya. "Ada apa, Al? Semua baik-baik saja, kan?" Hari itu kebetulan hari Adam libur dan ingin menghabiskan waktu bersama Hana dan juga Kanaya. "Ini soal Ibu, Pak. Sepertinya Ibu tidak berani cerita sama Bapak," kata Alya sangat pelan. "Memangnya ada apa, Al? Istri saya baik-baik saja, kan, selama saya kerja? Dia gak aneh-aneh?" "Tidak, Pak, tapi ..." Alya tak melanjutkan ucapannya. Dia melihat terlebih dahulu ke arah kamar Hana guna memastikan majikan perempuannya itu tidak keluar. "Ada apa, sih, Al?" tanya Adam gemas.
Belum sempat Hana menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba Riko muncul dan langsung masuk ke dalam rumah karena memang pintu rumah Hana belum ditutup. "Sayang a—" Riko terkejut karena ternyata Hana di dalam tidak sedang sendirian. Kedua perempuan itu langsung menoleh ke arah Riko. Hana langsung tampak ketakutan dan Alya sendiri bingung karena tidak tahu apa-apa."PERGI! PERGI KATAKU!" teriak Hana sambil memekikkan telinga. Karena teriakan Hana begitu keras, Kanaya sampai terbangun dan menangis. Alya langsung sigap menggendong Kanaya yang kebetulan di tempatkan di ruang tengah. Jiwa pengasuhnya sudah mulai merasuki hatinya. Tanpa disuruh pun, Alya masuk ke ruang tengah. Merasa tidak aman karena ada orang lain, Riko memilih pergi dari rumah Alya dengan perasaan marah. Misinya kali ini gagal total."S*al! Siapa perempuan yang bersama dengan Hana tadi? Gagal sudah rencanaku untuk memiliki Hana. B*doh! B*doh!" rutuk Riko pada dirinya sendiri dengan memukul kepalanya berulang kali. Hana mena
"Nah ini rumah kami, Mbak Alya. Mari masuk, Mbak!" ucap Hana.Adam sejak tadi diam saja. Dia tidak berkomentar apapun kecuali ditanya oleh Hana. "Oh iya, Mas, kamu sudah bilang Pak RT soal kamar kos buat Mbak Alya belum?" Tatapan mata Hana beralih pada Adam. "Oh iya, kalau begitu ke sana aja sekalian, Sayang. Gimana?" usul Adam. Hana terlihat berpikir sejenak. Jujur saja dia sangat lelah karena semalaman begadang. Kanaya semalam maunya hanya digendong saja. Kalau bukan karena ajakan Adam, Hana sebenarnya memilih untuk tidur sejak pagi."Hana capek, Mas. Lagian Kanaya juga lagi tidur, Mas. Kalau Mas Adam sama Mbak Alya saja yang ke sana gimana? Gak apa-apa, kan?" tolak Hana."Panggil Alya saja, Bu. Saya lebih muda dari pada Ibu dan Bapak," sahut Alya. "Tapi, Sayang —""Gak apa-apa, Mas. Gak akan ada yang berpikiran aneh-aneh sama kalian. Itu, kan, yang Mas pikirkan?" terka Hana seperti tahu isi pikiran Adam. Karena memang wajah Hana terlihat lelah, Adam menuruti usulan Hana. Dia d
Adam benar-benar tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Alya yang dulu pernah datang bersama dengan pamannya, sekarang menjadi babysitter. "Assalamu'alaikum!" ucap Adam saat baru sampai di rumah tepat pukul tujuh malam."Waalaikumsalam." Hana menghampiri Adam dan mencium punggung tangan suaminya serta membawa tas Adam untuk diletakkan di dalam kamar. "Hana siapkan air hangat dulu, ya, Mas," kata Hana lagi. Adam mengangguk pelan. Mandi dengan air hangat akan bisa sedikit mengobati rasa lelah hari ini. Adam sebenarnya tidak suka jadi pegawai negeri. Tapi saat itu, desakan Pak Gunawan sangatlah kuat. Adam tak kuasa menolak dan dia pun mencoba ikut tes. Hingga akhirnya keberuntungan berpihak padanya. Satu kali ikut tes, Adam dinyatakan lolos.Setelah Hana selesai menyiapkan air hangat, Adam mandi kemudian mereka makan bersama. Hana merasa jauh lebih tenang karena Riko tidak ke sana lagi setelah kejadian kemarin. Dia sudah mengantisipasi semuanya saat nanti jika sewaktu-waktu Riko data
Hana lupa jika perumahan tempatnya tinggal kini, rata-rata penghuninya adalah para pekerja, baik itu laki-laki ataupun yang perempuan. Teriakan demi teriakan seperti tidak ada artinya saat ini. "Ya Allah, aku harus apa? Mas Adam ... tolong Hana, Mas!" gumam Hana sambil memeluk Kanaya yang sudah mulai menangis. Riko tidak putus asa. Dia mencoba mencongkel pintu kamar mandi dengan peralatan yang ada. Dan setelah sepuluh menit berlalu, Riko berhasil membuka paksa pintu itu. "Kamu mau apa, Riko? Lepaskan!" Hana kembali berontak ketika Riko menarik tubuhnya keluar dari kamar mandi. "Diam! Ikuti perintahku atau anakmu akan m*ti ditanganku!" ancam Riko sambil mengambil Kanaya dari gendongan Hana."Jangan, Riko! Aku mohon jangan!" Hana semakin menangis karena melihat anaknya terlepas dari gendongan dan berpindah tangan ke Riko. Demi keselamatan Kanaya, Hana terpaksa mengikuti perintah Riko. Keselamatan Kanaya adalah yang utama saat ini. Kanaya masih saya terus menangis di gendongan Riko
"Ibu apa kabar? Sehat?" Hana mencium tangan ibunya setelah meminta Ibu Nur duduk."Alhamdulillah Ibu sehat. Kamu juga baik-baik saja, kan? Mana cucu Ibu?" tanya Ibu Nur sambil matanya mencari bayi mungil Kanaya."Ada di kamar lagi tidur, Bu. Ibu diberitahu Mas Adam?" Hana sendiri lupa untuk memberi kabar pada sang Ibu."Iya. Kok kalian bisa lupa sama Ibu, sih? Sengaja, ya?" sindir Ibu Nur."Bukan begitu, Bu. Setelah melahirkan, Hana sempat pendarahan, Bu. Mungkin Mas Adam panik dan gak mau buat Ibu kepikiran. Tapi sekarang Hana sudah gak apa-apa." Hana sedikit menjelaskan kronologi kejadian saat dia melahirkan. "Astaghfirullah al'adzim! Maaf, Nduk, Ibu gak tau. Tapi sekarang kamu beneran gak apa-apa, kan, Nduk?" tanya Ibu Nur memastikan. Hana mengangguk pelan."Alhamdulillah. Nduk, Ibu mungkin tidak bisa lama di sini, kasihan adikmu di kampung sendirian. Ibu cuma dua hari di sini gak apa-apa, ya?"Menjadi single parent memang tidaklah mudah bagi Ibu Nur. Tapi, selama ini Beliau kuat
Adam baru teringat jika dia sama sekali belum mengabari ibu mertuanya soal Hana yang sudah melahirkan. Sembari menunggu makanan yang dibungkus, Adam mencoba menghubungi mertuanya di kampung. Tut ... tut ... tut ....Terdengar suara khas jika telepon tersambung. Tak lama kemudian, ibu mertuanya yang bernama Ibu Nur mengangkatnya."Assalamu'alaikum, Le. Apa kabar kamu?" sapa Ibu Nur terlebih dahulu.Sudah lama Beliau menanti telepon dari anaknya. Beliau di kampung bersama dengan adik Hana yang masih sekolah di sekolah menengah pertama. Ayah Hana sudah meninggal sejak lama. Dan kini, Ibu Nur mengandalkan hasil dari berkebun untuk hidup sehari-hari."Waalaikumsalam. Alhamdulillah baik, Bu. Maaf, ya, Bu, Adam baru telepon Ibu sekarang. Adam hanya mau mengabarkan kalau Hana sudah melahirkan, Bu. Anak kami perempuan dan sehat, Bu."Ada binar kebahagiaan yang terpancar dari wajah Ibu Nur. Cucu yang dia nantikan ternyata sudah lahir."Alhamdulillah, Ya Allah! Ibu bahagia dengarnya. Anak laki