Share

Raka Sakit

Author: Yani Artan
last update Last Updated: 2022-07-04 16:24:01

Tak mau membuang banyak waktu, aku bergegas ke pasar dengan naik ojek yang mangkal di depan gang.

Begitu sampai, kubayar ojek dengan uang pas. Tempat pertama yang kutuju adalah penjual bumbu.

Kupesan apa yang sudah terdaftar di catatan belanja yang tadi diberikan ibu mertua. Bawang merah, bawang putih, lombok, tomat, berbagai macam bumbu, sayuran seperti kentang, wortel,buncis dan lain-lain.

Alhamdulillah pasar sedikit sepi karena sudah agak siangan. Setelah dirasa semua bahan dan keperluan untuk masak besok sudah terbeli akupun pulang.

****

Kurang beberapa meter dari rumah aku mendengar suara bayi menangis kencang. Dan aku mengenali suara itu. Iya itu suara Raka, anakku.

"Gimana Raka bisa jatuh, Mbak?" Lihat ini kepalanya benjol," kata Bulek Ida.

Hatiku juga sempat bertanya, seingatku sebelum pergi sudah aku beri guling disisi kiri kanan juga bawah anakku. Apa karena dia sekarang sudah bertambah aktif. Ah ... entahlah.

Lekas aku berlari menghampiri Raka yang menangis kencang. Bulek Ida menggendongnya dengan sesekali mengusap kepalanya.

"Kamu udah nyampe, Nai? Cuci tangan dulu habis dari pasar," perintah Bulek Ida.

Aku yang panik hampir lupa mencuci tangan, rutinitas yang selalu aku lakuin setelah keluar rumah.

"Kenapa Raka bisa jatuh, Bu? Apa Ibu tidak menengoknya selama aku tinggal?" tanyaku sesaat setelah menggendong bayiku.

Aku takut jika terjadi apa-apa dengan Raka.

" Gak usah lebay deh, udah biasa bayi jatuh begitu," kata Ibu sewot. Tak ada rasa bersalah di wajahnya. Dia malah terlihat santai.

"Ibu menyuruhku pergi ke pasar tapi tak mau menjaga bayiku. Jelas saja aku marah jika terjadi apa-apa sama Raka," ucapku sambil menangis.

Mungkin karena kekecewaan yang menumpuk aku jadi seemosianal ini.

"Mbak, jangan kurang ajar sama ibu ya, ingat kamu disini itu cuma numpang," sela Irda yang dari tadi cuma diam aja.

"Bagaimana aku gak marah, kalau posisi kita dibalik bagaimana. Yang punya acara siapa yang repot siapa." ucapku tegas.

"Tapi menjaga bayiku saja kalian tidak mau, Raka juga bagian dari keluarga kalian!" Dan satu lagi aku disini karena keinginan suamiku," teriakku tak terkendali.

" Udah, Nduk ... tenangin diri kamu. Ini minum dulu, kamu pasti haus to." Bulek Ida mencoba menenangkanku.

Aku minum segelas air yang disodorkan Bulek sampe tandas. Rasa haus yang tadi kurasakan seketika hilang.

" Sabar ya, Nduk ... semoga aja Raka tidak apa-apa. Udah kamu mending tenangin Raka di kamar kasihan dia pingin minum asi sepertinnya," saran Bulek.

****

"Tumben Raka tidurnya nyenyak banget," batinku sesaat setelah kutinggal sebentar untuk mandi.

Biasanya aku mandi dengan kilat karena khawatir jika meninggalkan putraku terlalu lama sendirian. Jika kebetulan ada Bulek Ida, aku lebih suka menitipkan kepadanya daripada kepada ipar atau mertuaku.

"Sayang ... nyenyak banget sih," bisikku pelan di telinga bayiku sambil membelai pipi gembulnya.

Dan kenapa pipi Raka terasa panas. Sejenak kuraba kening dan seluruh tubuhnya. Iya memang badan Raka panas saat ini. Apa karena jatuh tadi ya, batinku.

Sebaiknya aku membawa Raka ke dokter setelah Mas Ikhsan pulang nanti. Dengan gelisah aku menunggu kedatangannya hingga hampir maghrib belum ada tanda-tanda dia pulang.

Kucoba menghubungi ponsel Mas Ikhsan dan diangkta olehnya."Halo?" suara di seberang sana.

"Halo, Mas. Kenapa belum pulang? Raka badannya panas, tolong anterin aku ke dokter ya ...." pintaku.

"Naila, aku masih di luar gak tau balik jam berapa. Kamu minta anterin Bapak atau siapa dulu gitu," jawabnya.

Terdengar suara Mas Ikhsan di tengah keramaian. Sedang dimanakah dia? Ah ... nanti saja aku bertanya, sekarang urusan Raka lebih penting.

Sesaat sebelum menutup telepon, aku mendengar ada seorang wanita berbicara dengan suamiku," Mas, siapa yang telepon, istrimu ya? Baru terlambat bentar udah dicari ...." selorohnya dengan ketawa cekikikan.

Deg!

Suara siapakah itu? Sedang bersama siapa suamiku saat ini? Apakah ada hal yang lebih penting daripada anak kami? Seketika rasa curiga membuat hatiku panas.

Apa Mas Ikhsan sedang bersama Vanya? Bukankah ini sudah diluar jam kerja. Berbagai pikiran buruk mulai berkelebat di dalam pikiranku.

Oek ... Oek ... suara tangis Raka menyadarkanku dari lamunan. Saat ini yang terpenting adalah anakku. Masalah Mas Ikhsan aku akan menanyai dia nanti.

****

Tanpa banyak kata lagi, aku mencari ayah mertua untuk mengantarku ke klinik terdekat.

Setelah menunggu beberapa saat, tiba nomer antrianku. Aku masuk dan menjelaskan apa yang sebelumnya terjadi pada bayiku hingga dia deman.

"Bu, anak saya demam setelah tadi terjatuh dari tempat tidur," jelasku pada Bu Dokter yang sedang menangani Raka.

"Coba saya periksa dulu anaknya ya, Bu," kata dokter itu lembut.

"Bayinya tadi sempat muntah atau tidak, Bu?" lanjut Bu Dokter.

" Tidak, Bu. Cuma menangis aja mungkin karena kesakitan," jelasku

"Bayi Ibu tidak apa-apa. Gejala demam ini wajar sebagai respon rasa sakit yang dialami bayi saat terjatuh." Demikian penjelasan Dokter.

Akupun bisa bernafas dengan lega. Setidaknya tidak ada kondisi yang perlu dikhawatirkan.

"Ini saya kasih obat untuk panas dan pereda nyeri ya, Bu? " imbuhnya.

"Terima kasih, Dok. Saya permisi dulu," pamitku dan Dokter itu mempersilahkan dengan tersenyum ramah.

****

Raka tertidur pulas usai kuminumkan obat. Tak lama terdengar suara motor memasuki halaman rumah. Aku yakin itu itu motor suamiku.

Sesaat dia memasuki kamar dan menaruh tas kerjanya di atas nakas. Saat dia hendak mencium Raka, aku mencegahnya.

"Bersihkan dirimu dulu, Mas? Siapa tahu ada virus yang kau bawa dari luar rumah." Tatapan mataku tajam menatap bola matanya.

"Dek ... aku--"terbata Mas Ikhsan berkata.

Kusela ucapannya," Bersihkan dirimu dulu," pintaku.

Dengan menghela napas panjang dia berlalu ke kamar mandi. Tak berapa lama suamiku itu kembali dengan tubuh yang sudah segar.

"Dek, tadi aku--." Belum sempat dia menyelesaikan ucapannya lagi aku memotongnya. Sebenarnya aku sudah sangat geram hanya dengan melihat wajahnya. Tapi aku harus bisa mengendalikan diri.

"Kamu sudah makan, Mas?" tanyaku masih tetap dingin.

"Sudah tadi dengan Vanya." Mas Ikhsan berkata spontan dan lalu menutup mulutnya.

Sepertinya dia keceplosan. Dan aku hanya bisa menggelengkan kepala.

"Bisa ya kamu makan saat belum tahu bagaimana kondisi anakmu?" kataku.

"Aku berusaha menghubungimu agar lekas pulang karena Raka sakit. Tadi siang dia terjatuh dari tempat tidur waktu aku tinggal pergi ke pasar atas perintah ibumu," lanjutku berang.

"Bagaimana bisa dia jatuh, kamu ceroboh Naila." Mas Ikhsan malah balik menyalahkanku.

"Tanya pada ibumu bagaimana bisa putraku terjatuh."ucapku.

"Jangan selalu menyalahkan ibuku," balas Mas Ikhsan.

"Lalu kenapa dia menyuruhku tapi tidak mau menjaga Raka. Di sini aku selalu salah, Mas. Apapun yang aku lakukan salah. Mereka bilang aku gak boleh marah hanya karena aku numpang di sini. Kalian tahu bagaimana perasaanku saat ini?"Teriakku padanya tak tertahan.

"Dan iya ... kenapa kamu memilih tetap bersama temanmu Vanya saat aku bingung karena anakmu sakit?"

"Eh itu ... dia memintaku mengantarnya mencari makan. Sekalian jalan pulang kerja." jelasnya.

"Apa kamu gak bisa menolaknya, Mas? Apa dia lebih penting daripada anakmu? Setidaknya kau bisa memikirkan Raka jika sudah tidak ada aku di hatimu." Emosiku tak tertahan.

"Dek, aku hanya kasihan dengannya. Cuma itu dan kamu jangan mikir macam-macam," ucapnya.

Dia berusaha merengkuhku dalam pelukannya. Aku tak bisa menolaknya seketika aku manangis meluapkan emosiku dalam pelukannya.

"Kau selalu ada di hatiku, dek. Jangan pernah bicara seperti itu lagi." bisik suamiku.

Biasanya aku selalu luluh dengan rayuannya. Tapi kenapa sekarang sisi hatiku sulit untuk mempercayainya.

Ting!

Ting!

Ting!

Ponsel mas Ikhsan berdering tanda ada panggilan masuk. Saat dia mau mengangkatnya sepintas aku lihat tertera nama Vanya di layarnya.

"Bentar aku terima telepon dulu, dek," ucapnya seraya menjauh dariku.

"kenapa lagi dengan perempuan itu," batinku.

Related chapters

  • Mertuaku Selalu Pilih Kasih   Pengajian Ibu

    Mas Ikhsan berjalan keluar dan mengangkat ponselnya. "Halo ... iya ada apa, Van? "Maaf sepertinya aku gak bisa keluar lagi. Anakku sakit." ucap Mas ikhsan dengan lawan bicaranya. Setidaknya aku bisa bernafas lega. Mas Ikhsan tidak lagi menuruti permintaan temannya itu.**** Tok! Tok! Tok! Kami yang sedang rebahan di ranjang saling menoleh. Kira-kira siapa yang bertamu di jam 9 malam. Saat Mas Ikhsan hendak beranjak, ternyata Irda sudah membukakan pintu terlebih dahulu. Rupanya adik iparku itu masih menonton televisi bareng Ibu Mertua. Ibu Mertua mengupas bawang merah dan bawang putih, mungkin akan dibuat masak untuk pengajiannya besok. Aku sengaja tak membantu karena Raka lebih membutuhkanku. Suami Irda memang jarang di rumah di jam-jam segini. Dia lebih suka nongkrong bersama temannya diluar. Hampir tengah malam dia baru pulang. "Maaf ganggu malam-malam, Mas Ikhsannya ada?" "Ada, Mbak. Silakan

    Last Updated : 2022-07-04
  • Mertuaku Selalu Pilih Kasih   Perubahan Sikap Naila

    "Nak Vanya, cantik sekali ... gamisnya juga bagus," ucap Ibu Mertua. "Terima kasih, Bu ...," jawab perempuan itu malu-malu. Setelah itu Irda dan Mbak Ima bergabung bersama Vanya dan Ibu. Entah apa yang mereka obrolkan terlihat seru sekali hingga melupakan aku yang juga anggota keluarga ini. Bapak Mertua datang menyerahkan Raka padaku. Bocah itu tersenyum sumringah kala melihatku. Saat ini dialah pelipur laraku. "Naila, temani Vanya di sini saja ya karena sebentar lagi banyak tamu berdatangan di depan." ucap suamiku basa-basi. "Kau tidak perlu khawatir, Mas. Dia sudah mendapatkan banyak teman," jawabku sambil menatap ke arah Vanya dan kedua iparku. "Seharusnya kau bisa seperti dia agar bisa diterima keluargaku," imbuh Mas Ikhsan. Aku mengernyit menatap Mas Ikhsan. Apa maksud dari perkataannya itu. Aku harus cantik? Atau aku harus berpenghasilan supaya bisa diterima keluarganya? Begitukah. "Jika aku menjadi seperti dirinya,

    Last Updated : 2022-07-04
  • Mertuaku Selalu Pilih Kasih   Mencari Tahu

    Adzan subuh membangunkanku dari tidur nyenyakku. Kulirik bayi mungilku ternyata dia masih tertidur lelap. Lekas menuju ke kamar mandi mengguyur tubuh dengan air dingin dan mengambil wudhu. Dua raka'at aku tunaikan, setelah itu kumengangkat tangan di hadapan Penciptaku. Aku berdoa kepadanya agar diberikan petunjuk untuk keberlangsungan rumah tanggaku. Meminta kepadaNya agar dibukakan apa yang selama ini tertutup, dijelaskan apa yang selama ini masih samar. Aku yang lemah agar diberikan kekuatan dan keikhlasan. Puas telah mencurahkan isi hati kepada Yang Maha Pendengar, aku lanjutkan aktifitas pagiku.**** Entah energi darimana aku dapatkan, dengan semangat aku mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa merasa berat. Kumasak makanan kesukaan Ibu Mertua. Sayur lodeh, perkedel jagung, dan ikan goreng. Setelahnya kubersihkan bekas peralatan masak. Saluruh rumah kubersihkan dan lantai pun terlihat sudah berkilau. Anggap saja ini baktiku untuk

    Last Updated : 2022-07-05
  • Mertuaku Selalu Pilih Kasih   Ikhsan Berkhianat

    Ya Allah ... kuatkan aku. Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan suamiku bermesraan dengan perempuan lain. Kuhirup udara sebanyak mungkin, tak mau kelihatan lemah di hadapan mereka. Vanya duduk diatas pangkuan suamiku, saling berpelukan dan mereka berci*man. Kubuka pintu semakin lebar dan tanpa ragu aku masuk ke dalam. Tak kupedulikan baju yang basah karena air hujan. Kuambil high heels yang ada di lantai lalu melemparnya ke arah mereka. Aarghh!! Dengan serta merta pasangan laknat itu melepaskan diri. Vanya berteriak kesakitan karena wajahnya kuhantam dengan sepatunya sendiri. Mas Ikhsan tak percaya aku ada di depannya. Matanya melotot seperti melihat setan. Tanpa banyak kata aku maju ke depan dan menamparnya dengat sekuat tenagaku. Plak! "Itu untuk pengkhianatanmu, Mas!" ucapku. "Dek--," belum sempat dia melanjutkan kata-katanya, aku menambahinya reward sekali lagi. Plak! "Dan ini untuk harga diriku,"

    Last Updated : 2022-07-05
  • Mertuaku Selalu Pilih Kasih   Naila Keluar Dari Rumah Mertua

    Plak! Tanpa kuduga Ibu Mertua menamparku keras hingga ujung bibirku berdarah. Sakit sekali, namun lebih sakit lagi hati ini. Suamiku hanya diam tak berusaha melindungiku. Bapak mertua yang melihat tindakan istrinya, serta merta menjauhkannya dariku. Takut dia akan berbuat lebih. "Jangan main pukul anak orang, Bu," ucap Bapak. "Dasar mantu gak tahu diri! Beraninya kau memfitnah anakku, hah?!" teriak Ibu dengan pandangan nyalang. "Kenapa kau berani mengangkat tangan pada anak orang lain, Bu? Bahkan ibu kandungku sendiri tak pernah melakukan ini. Tanyakan pada anakmu yang bersih ini apa yang telah diperbuatnya," tanyaku dengan pandangan nanar. Percuma aku menjelaskan panjang lebar padanya. Hanya kebencian yang ada di mata Ibu Mertuaku. "Maaf Pak, sepertinya hanya Bapak yang menganggap aku manusia di rumah ini. Aku pamit membawa Raka bersamaku malam ini juga," jelasku. "Naila, aku mohon ... kita bisa bicara dulu," pinta

    Last Updated : 2022-07-05
  • Mertuaku Selalu Pilih Kasih   Pulang Ke Rumah Orangtua

    Pagi-pagi sekali aku sudah terbangun, setelah sholat subuh beranjak ke dapur untuk membantu Mbak Nisa menyiapkan sarapan. Ternyata Mbak Nisa sudah di sana dan sedang asyik menyeduh teh. "Udah bangun, Nis? Ini Mbak buatin teh hangat buat kamu dan Mas Azam. "Ngrepotin aja, Mbak. Ini pisangnya apa mau digoreng, aku bantu ya?" tanyaku. "Eh iya ... gak apa-apa kalau kamu mau bantu gorengin. Biar Mbak Nisa bikin nasi goreng buat sarapan aja ya," ucapnya. Kami pun asyik dengan pekerjaan masing-masing. Tak butuh waktu lama semua makanan sudah tersaji di meja makan. Mas Azam sudah duduk menunggu kami. Sambil minum secangkir teh hangat, dia memintaku bercerita tentang apa yang terjadi pada rumah tanggaku. Kuceritakan semuanya mulai dari awal hingga akhir. Bahkan perlakuan Ibu Mertua dan Saudarinya pun tak ketinggalan. Mereka mendengarkan dengan seksama. Sesekali kakakku menghela nafas panjang dengan ceritaku itu. "Apa menu

    Last Updated : 2022-07-05
  • Mertuaku Selalu Pilih Kasih   Merencanakan Usaha

    POV Vanya Akhir-akhir ini aku mengagumi teman kerjaku, Iksan. Di saat lelaki lain berlomba untuk mendekatiku, dia malah terlihat cuek terhadapku. Aku mulai sering mengajaknya bicara, meminta pertolongan darinya tapi tetap saja dia bersikap biasa saja denganku. Bahkan jika makan siang tiba, aku sering mengajaknya menemaniku untuk makan di luar. Awalnya dia selalu menolak, tapi aku terus memohon kepadanya hingga dia mengiyakan permintaanku. Meskipun begitu, tak ada tanda-tanda dia menaruh hati padaku. Benar-benar kesal aku dibuatnya. Hingga hari itu suamiku mengusirku dari rumah karena melihatku sedang bermain api dengan Rudi teman kerjaku. Jujur dengan Rudi aku hanya bermain-main karena aku perlu memuaskan diriku sendiri. Tak peduli dia suami orang. Dan Iksan pria yang membuatku penasaran. Akan aku lakukan apapun untuk bisa bersamanya. Dengan alasan yang tepat, aku mengutarakan padanya untuk membantuku mencari kos yang dekat dengan rumahnya. Tak perlu waktu lama aku mendapatka

    Last Updated : 2022-07-05
  • Mertuaku Selalu Pilih Kasih   Usaha Baru Naila

    Hari ini aku mengajak Rani- saudara sepupuku yang masih gadis-berbelanja bahan crafter ke pasar induk. Selain harganya lebih murah, bahan yang tersedia juga lebih lengkap. Aku memilih semua bahan yang diperlukan. Mulai dari pita satin, pita organsa, bahan stoking, dan masih banyak perlengkapan lain yang diperlukan. Puas berbelanja banyak bahan yang diperlukan, aku mengajak Rani untuk mengisi perut di rumah makan dekat pasar. "Banyak banget belanjanya ini, mbak?" ucap Rani. "Sebenarnya ini masih kurang banyak, Ran. Tapi gak apa-apa sebagian nanti pesan lewat online aja,"jawabku. "Nanti begitu tiba di rumah, Mbak mau langsung bongkar dan rapikan. Besok bisa langsung eksekusi," ucapku. "Besok ke rumah pagi ya, biar Mbak bisa ajarin kamu," lanjutku. "Siap, bosku," jawab Rani sambil tertawa.**** "Raka rewel gak, bu? tanyaku pada Ibu yang menjaga Raka. "Alhamdulillah anakmu anteng, paling nangis kalo buang air atau min

    Last Updated : 2022-07-07

Latest chapter

  • Mertuaku Selalu Pilih Kasih   Pernikahan Naila dan Arya

    Amanda diusir dari tempat kost di mana ia tinggal bersama Anton. Ia kedapatan bermain serong dengan suami pemilik kost itu. Bukan hanya diusir, tapi juga dipermalukan di tempat umum karena mereka kepergok bermesraan di dalam kamar. Sedangkan Anton memilih tak peduli lagi dengan nasib perempuan itu. Karena sebenarnya dia juga hanya main-main dengannya, apalagi perempuan itu ternyata mudah sekali menjual harga dirinya. Anton berusaha menemui Irda untuk minta maaf, tapi Irda tak mau menerima suaminya itu kembali. Irda berpikir lebih baik bercerai dari pada menghabiskan seumur hidupnya untuk lelaki pengkhianat. Akhirnya Anton memilih pulang kampung ke tempat asal orangtuanya. Meskipun di sana dia sudah tidak ada orangtua setidaknya dia masih punya saudara yang mau menampungnya. Irda untuk saat ini hanya memikirkan mencari nafkah untuk anak semata wayangnya. Ia ingin menghidupi anak dan Ibunya dengan jerih payahnya sendiri. Takdir kehidupan membua

  • Mertuaku Selalu Pilih Kasih   Rencana yang Gagal

    Renata melihat kedua bocah itu bermain sendirian."Bim, ini waktu yang tepat. Cepat bawa paksa anak Naila sekarang juga!" Bimo, lelaki sewaan Renata menuruti perintah Bosnya. Dia berjalan santai ke arah dua bocah itu bermain. Sementara Naila merasa perasaannya tak tenang. Dia keluar mencoba melihat keadaan putranya. "Kamu mau kemana, Nai? tanya Arya yang sedang mencoba baju pengantinnya ketika melihat Naila keluar. "Bentar, Mas. Aku lihat anak-anak dulu." sahut Naila. Sekar masih asyik bermain dengan ponselnya. Dia tak menyadari bahaya mengintai buah hatinya. Bimo, lelaki sewaan Renata telah berada di hadapan Hazel dan Raka. Karena panik melihat Naila berjalan keluar, dia lantas menarik paksa salah satu bocah itu. Raka menangis dan Hazel berteriak meminta tolong, Naila yang mendengar teriakan minta tolong dan suara tangisan anaknya segera berlari. Dia melihat seorang lelaki menarik paksa Hazelia dan menggendongnya. Naila me

  • Mertuaku Selalu Pilih Kasih   Rencana Pernikahan

    Pak Andre dan Bu Hera berbicara kepada Arya soal rencana pernikahannya yang akan dipercepat. "Gimana, Arya? Kamu setuju kan jika pernikahanmu segera dilaksanakan?" tanya Bu Hera kepada putranya. "Iya, Ma. Aku sih setuju saja. Tinggal nanti minta tanggapan Naila dan keluarganya bagaimana." jawab Arya. "Rencananya jika kalian sudah menikah nanti, maka butik akan Mama serahkan kepadamu dan Naila. Sekar sudah sibuk dengan pekerjaannya jadi dia menolak mengelolah butik itu." Bu Hera menjelaskan. "Apakah Mama akan ikut Papa ke luar negeri?" tanya Arya. "Iya, Sayang. Lagian kamu juga sudah ada Naila, 'kan? Biar Mama dan Papa bisa bulan madu lagi di sana," sahut Pak Andre sambil melirik istrinya. Arya tersenyum mendengar perkataan Sang Papa. Dia berharap kelak bisa mengikuti jejak kedua orangtuanya. Tetap mesra meskipun usia sudah menua.**** Sekar telah mengetahui rencana pernikahan adiknya akan dipercepat. Mamanya sendiri yang telah me

  • Mertuaku Selalu Pilih Kasih   Perubahan Bu Sukma

    Sekar diam tak berani membantah lagi. Renata menatap Arya dengan wajah pias. Berharap sekali saja pria itu akan membelanya. Sedangkan Arya melengos ketika pandangan matanya tak sengaja bertabrakan dengannya. "Om, beri aku kesempatan sekali saja. Aku benar-benar tak bisa melupan Arya. Dia lelaki terbaik yang pernah hadir di hidupku." Renata memohon memasang wajah sedihnya. Pak Andre tidak lagi mengindahkan Renata. Dia teringat tujuan utamanya untuk makan malam kali ini. Dia lalu memandang Naila yang duduk di samping Arya. "Arya, diakah yang bernama Naila?" tanya Pak Andre. "Iya, Pa. Dia Naila, wanita yang aku cintai saat ini." ucap Arya dengan jantung berdebar. Pak Andre mengamati Naila lama. Tatapan matanya tajam memindai wanita itu. Naila mengangkat wajahnya ke arah pria yang memandangnya sedemikian rupa. Seketika timbul senyum di bibir manisnya. "Pak, Bapak yang di restoran waktu itu, 'kan? Terima kasih sudah membayar pesanan saya waktu itu," ucap Naila dengan senyum ramahnya.

  • Mertuaku Selalu Pilih Kasih   Makan Malam di Rumah Arya

    "Gak apa-apa dong, Mas. Nanti kita temui ayah kamu. Trus kenapa itu muka jadi kusut begitu?" tanya Naila mengajak Arya becanda. "Aku takut, Nai. Ayahku orang yang perfeksionis. Dia tak mudah menerima orang lain dalam keluarga kami. Aku takut kamu mundur jika dia mengatakan sesuatu yang tidak kita harapkan." Arya menjelaskan. Naila memandang mata kekasihnya. Digenggamnya tangan lelaki yang ada dihapannya saat ini. Dia mencoba meyakinkan pria itu akan kesungguhan hatinya. "Mas, selama kamu bersamaku dan memperjuangkan cinta kita, maka aku akan berjuang bersamamu." ucap Naila yakin. Arya tersenyum lega mendengar penuturan kekasihnya itu. Setidaknya Naila akan selalu bersamanya dalam situasi sulit sekali pun. "Oh iya, Nai. Ini ada titipan gamis dari Mama. Gunakan nanti saat makan malam ya," ucap Arya. Naila menerima gamis pemberian Bu Hera dengan senang hati."Iya, Mas. Terima kasih."**** Malam itu Naila sudah berpamitan kepada kedua

  • Mertuaku Selalu Pilih Kasih   Kekhawatiran Arya

    Rani tersenyum memandangi cincin pemberian Rendi yang terpasang di jari manisnya. Gadis itu masih tak percaya bisa sampai di tahap ini. "Eh, senyum-senyum sendiri. Ada kabar bahagia nih kayaknya," goda Naila pada sepupunya. "Mbak, liat ini cincin pemberian Mas Rendi." Rani menjawab seraya menunjukkan jari manisnya. "Cantik banget! Jadi dia sudah melamarmu?" tanya Naila turut bahagia. "Iya, Mbak. Mas Rendi gak mau lama-lama pacaran. Rencananya, minggu-minggu ini dia akan datang ke rumah bersama keluarganya untuk lamaran secara resmi," ujar Rani dengan mata berbinar. "Selamat ya, Ran. Semoga bisa sampai ke pelaminan," sahut Naila mendoakan. "Aamiin ... Semoga Mbak Naila bisa segera menyusul juga," sahut Rani balik mendoakan Naila. Kedua perempuan yang masih saudara sepupu itu saling berpelukan. Saling memberikan doa dan semangat untuk mencapai kebahagiaan.**** Rendi dan keluarganya datang ke rumah Rani untuk melamar secara

  • Mertuaku Selalu Pilih Kasih   Bertemu Pria Asing

    Rendi mengajak Rani dinner di sebuah restoran. Malam itu Rendi ingin membicarakan tentang sesuatu hal kepada kekasihnya. "Tempatnya asyik ya, Mas." ucap Rani. "Iya aku sengaja memesan tempat ini untuk berbicara hal penting sama kamu, Ran." jawab Rendi memasang wajah dingin di hadapan Rani. "Emang ada hal penting apa, Mas?" tanya Rani yang melihat ada perubahan di mimik wajah kekasihnya. "Ran, maafkan aku." Rendi berkata dengan menunduk menghindari tatapan dari perempuan di hadapannya. Rani merasa ada hal buruk yang akan disampaikan oleh pria di depannya itu."Ada apa, Mas?" "Aku-aku gak bisa lagi berpacaran denganmu, Ran ...." lirih Rendi sedih. Mata Rani mulai berembun,"kenapa, Mas? Apa ada orang lain di hati kamu?" "Aku gak bisa lagi menjadikanmu pacar karena aku ingin menjadikanmu istriku, Ran," ucap Rendi dengan senyum manisnya. Rani menangis mendengar ucapan Rendi. Air mata meluncur dari mata sendunya. Rendi gel

  • Mertuaku Selalu Pilih Kasih   Meminta Maaf

    Arya berjalan bolak-balik di depan teras rumah. Tangannya memegang ponsel untuk menelpon Naila berkali-kali namun tak tersambung. Dia telah bertanya pada tetangga sebelah rumah Naila. Katanya Naila bersama kedua orangtuanya pergi ke rumah Ikhsan, mantan suami Naila. Hal itu tentu saja membuat Arya khawatir. Dia takut pikiran Naila berubah dan akan kembali lagi ke suaminya. Tak lama mobil Naila memasuki halaman rumah. Arya tersenyum ramah pada Bu Rima dan Pak Ahmad. Dia juga menyempatkan diri menyapa Raka. Kedua orangtua Naila langsung masuk ke dalam membawa Raka cucunya. Mereka ingin membersihkan diri dulu. "Mas Arya, udah lama di sini?" tanya Naila. Arya dengan wajah dinginnya menyahut pertanyaan Naila," Iya sampai kering aku di sini," Naila menatap kekasihnya itu. Dia merasa sikap Arya tak seperti biasanya. "Masuk dulu, Mas. Kamu mau minum apa?" tanya Naila. "Air es aja biar dingin hatiku," sahut Arya cuek tanpa m

  • Mertuaku Selalu Pilih Kasih   Berita Duka

    Pak Jaka terlihat semakin pucat. Tangannya tak lepas memegang dadanya yang terasa sakit. Dia mencoba berbicara namun tak bisa. Tangannya mengisyaratkan minta tolong pada istrinya yang menangis sedih dengan kelakuan menantunya. "Bu ... Bu, to-" BUGH!! Pak Jaka jatuh terjerembab. Bu Sukma terlonjak kaget. Wanita itu menjerit histeris mendapati suaminya tak sadarkan diri. "Irda, tolongin Bapakmu, Nak!" seru Bu Sukma. Irda dan Anton menghambur ke arah Bu Sukma. Mereka menggoncang tubuh Pak Jaka. Namun, tak ada reaksi darinya. Ikhsan keluar karena suara ribut-ribut di depan kamarnya. Disusul Amanda di belakangnya. "Akhirnya keluar juga kamu, Mas," seru Irda dengan berurai air mata. "Ada apa ini, Bu? Irda? Kenapa sama Bapak?" tanya Ikhsan. "Ini semua karena ulah mereka, Mas," Irda menatap nyalang pada Amanda dan Anton. Anton menunduk takut di depan Ikhsan, sedangkan Amanda masih bingung dengan apa yang terjadi.

DMCA.com Protection Status