Ardi mengerutkan kening melihat Aurel yang uring-uringan sendiri di meja makan."Eh, Mas! Udah selesai mandinya?" tanya Aurel tersenyum lebar menutupi rasa gugupnya. Dia hendak bangkit dari kursi namun Ardi menekan bahunya, membuatnya kembali duduk."Mau kemana? Katanya mau makan?" ujar Ardi, seraya dia sendiri beralih ke depan Aurel dan duduk di kursi yang satunya. Aurel ternganga melihatnya, dia menatap gelas minuman yang ada di depannya dengan horor. Ardi dengan santai meneguk air putih bagiannya dengan lega, dia tampak kehausan sehingga air itu habis dalam sekali minum."Ah, leganya!" desahnya sambil meletakkan kembali gelas di meja. Dia sejenak termangu melihat Aurel yang malah terdiam tanpa menyentuh makanannya sama sekali."Lho? Kok malah bengong?" tegurnya, Aurel tampak terperanjat kaget karenanya."Ah, nggak apa-apa, Mas!" sahutnya tampak gugup.Ardi mengerutkan keningnya heran sendiri, beberapa saat lalu Aurel yang bersemangat mengajaknya makan, tapi sekarang dia malah ter
"Sampai sini saja, Dok!" Arumi memberikan kode pada dokter Andrean untuk menghentikan mobilnya agak jauh dari rumah mertuanya. Ia takut keluarga mertuanya, melihatnya pulang bersama Andrean. Bisa saja mereka akan melontarkan fitnah yang lebih kejam dari sebelumnya. Sebab Arumi tiba di rumah hampir tengah malam, karena dia harus ke rumah sakit terlebih dahulu. Akhir- akhir ini sakit perutnya lebih sering kambuh, dan itu membuatnya sedikit khawatir.Arumi berjalan mengendap- ngendap menuju halaman rumahnya. Untung suasana rumah sudah sepi. Sepertinya penghuni rumah sudah lelap di kamar masing-masing. Tentu saja mereka lelah setelah resepsi pernikahan Ardi dan Aurel.Untungnya juga Arumi memegang kunci cadangan, kebetulan waktu itu Bu Hilda menitipkannya padanya. Arumi pun berjalan berjinjit menuju kamarnya, melewati ruang tengah yang menyatu dengan dapur dan ruang makan itu. Kamarnya ada di belakang rumah, menghadap ke halaman belakang tempat menjemur pakaian. "Sayang? Kamu sudah tid
"Cepetan, Arumi! Lelet banget, sih!" Aurel berkacak pinggang di atas tangga. Ia sama sekali tak mempedulikan Arumi yang susah payah menyeret koper itu.Arumi tak menjawab, dia hanya melirik Aurel dengan malas seraya terengah-engah mengatur nafasnya. Tangannya serasa mau copot karena mengangkat koper yang entah berisi apa, serta harus menaiki tangga sampai ke lantai dua."Sudah? Aku taruh di sini, ya!" kata Arumi sembari menegakkan koper itu di pinggir pagar kayu pembatas.Aurel malah mendelik padanya."Kalau kerja tuh yang beres, aku mau kamu bawakan koper itu ke kamar pengantin kami!" bentaknya seraya menunjuk ke arah kamar.Arumi mengikuti arah telunjuk Aurel, dia menelan saliva yang terasa bak pasir tandus di tenggorokannya. Itu awalnya kamar dirinya dan Ardi."Mama! Dinda nggak bisa pake dasinya, Ma!" Terdengar suara Dinda dari bawah, Arumi pun langsung tanggap dan melongokkan kepalanya dari pagar atas"Sebentar Mama turun!" sahutnya, tampak Dinda mendongak ke arahnya sambil meme
Arumi sontak membelalak ketika mendengar akan dilaporkan ke polisi, di sini siapa yang akan membelanya? Dinda masih di bawah umur dan bahkan terbilang anak-anak dan kesaksiannya belum bisa diandalkan."Tidak! Tolong jangan lakukan itu!" pinta Arumi dengan suara bergetar, air matanya berlinang membasahi wajahnya."Walaupun kalian tidak melihatnya, tapi kalian tahu aku tidak melakukannya!"Tiba-tiba sebuah vas bunga terlempar melewatinya dan kemudian pecah menghantam daun pintu. Mereka sama-sama menoleh ke arah Aurel yang tampak menatap tajam ke arah Arumi dengan nafas memburu menahan amarah."Kamu mau bilang kalau aku yang sengaja menjatuhkan diri, begitu? Kamu pikir aku gila, hah?!" pekik Aurel dengan penuh emosi.Arumi mengepalkan tangannya. Aurel memang pintar bersandiwara, tapi posisinya juga saat ini tidak untuk membela diri. Karena mau bagaimana pun dia akan tetap disalahkan.Santi mengerling sinis, "Sudah, jangan buang waktu lagi, aku nggak sudi serumah sama ipar jahat kayak dia!
"Terlalu mudah buat kamu, kalau aku lepaskan. Anggap saja semua ini sebagai hukuman karena kamu sudah mengkhianati aku!" Ardi menyeret Arumi dan melemparnya ke dalam kamar, Dinda yang tengah duduk dan cemas dengan ibunya itu langsung menjerit kaget."Mama!" serunya seraya bergegas memburu ke arah Arumi.Arumi yang terjatuh di lantai pun memeluk putrinya itu dan menangis bersama-sama."Kalian akan menjalani hukuman, kamu dan anak kamu itu, Arumi!" tunjuk Ardi dengan wajah bengis penuh kebencian."Jangan harap kamu bisa lepas dari ikatan pernikahan kita dan pergi sama laki-laki lain!"Ardi kemudian menarik pintu dan menutupnya dengan keras, Dinda sampai terlonjak kaget dalam pelukan Arumi.Sepeninggal Ardi dan mereka hanya berdua di kamar itu, Arumi mengurai pelukan mereka dan membelai wajah Dinda yang juga berurai air mata."Maafkan Mama ya, Nak, kamu harus mengalami semua ini!" ucapnya perih, air matanya tak terbendung lagi dan tangisnya pecah karena merasa bersalah.Dinda menggeleng
"Mas Ardi mendapat uang banyak hari ini, apa aku minta saja sedikit untuk tambahan uang sekolah Dinda, ya?" gumam Arumi resah. Dia tak tega membiarkan wajah Dinda yang murung karena ditagih uang bulanan di sekolah. Arumi menghela nafas dalam-dalam, yang entah sudah ke berapa kali dia melakukannya. Tatapan matanya nanar menatap Dinda yang sudah tertidur lelap.Arumi lalu menyibak selimut dan bangkit dari tempat tidur dengan pelan, jangan sampai Dinda terbangun karenanya. Dia berjalan menuju ke pintu dan meraih tas kecilnya yang tergantung di sana.Ardi memberikan uang belanja mingguan untuk kebutuhan dapur, jumlahnya lumayan karena yang lain selalu meminta menu mewah setiap harinya. Arumi sedikit banyak bersyukur untuk itu, karena Ardi setidaknya mengerti jika istri keduanya dan juga keluarganya itu manja dan rewel dalam hal makanan. Sehingga dia memberikan jatah uang dapur cukup tebal."Tapi sama saja bohong karena yang dimasak setiap hari itu kayak menu restoran mewah," ujarnya seten
"Siapa malam-malam begini?" bisiknya takut. Suara ketukan pelan di pintu kamar membuat rasa kantuk Arumi seketika lenyap, matanya terjaga sepenuhnya menatap lurus ke arah pintu sana.Untuk beberapa saat lamanya Arumi hanya terdiam membeku melihat ke daun pintu, ketukan itu masih terdengar untuk beberapa menit sampai akhirnya benar-benar berhenti dan kembali sepi. Arumi yang sejak tadi seolah menahan nafas akhirnya bisa menarik nafas lega. "Siapa itu? Tengah malam begini bikin orang parno saja!" ujarnya setengah menggerutu.Merasa situasi sudah 'aman', Arumi akhirnya bangkit dari tempat tidur dan menuju pintu untuk memeriksa. Dan matanya melotot seketika saat tangannya dengan mudah menarik pegangan pintu.Rupanya dia lupa menguncinya."Astaghfirullah! Nggak kekunci?!" serunya tertahan. Langsung saja dia dengan panik segera menguncinya, tak lupa gerendel pintunya juga atas dan bawah.Arumi akhirnya menghela nafas lega, meski begitu jantungnya masih berdebar karena panik dan ketakutan.
Bu Hilda mengarahkan selang air itu pada Arumi, membuat menantu pertamanya itu kewalahan menahan air yang menerpa wajahnya. Cuaca masih sangat dingin sehingga Arumi pun menggigil kedinginan."Hentikan, Ma!" teriak Ardi seraya mematikan keran air, otomatis air yang menyiram Arumi pun terhenti.Bu Hilda mendelik protes pada anaknya itu, "Kamu kenapa malah membela dia? Kalau sampai Aurel tahu, dia bisa mengamuk nanti!" tegurnya kesal."Dia nggak bakal tahu jika bukan Mama atau Santi yang memberitahu dia!" sergah Ardi, saat ini Aurel masih tidur jadi dia tidak tahu kejadian ini."Dia harus dikasih pelajaran, Ardi! Jangan sampai nanti lama-lama tambah nggak tahu diri!" kata Bu Hilda bersikeras."Dia sudah menggigil! Kalau dia sakit siapa yang akan mengerjakan semua pekerjaan rumah dan memasak?" tunjuk Ardi.Arumi yang semula mengira Ardi membelanya, akhirnya kembali harus menelan saliva dan meratapi nasibnya. Mereka semua membiarkan dia dan Dinda ada di sini semata-mata karena membutuhkan
Dokter Andrean buru- buru keluar dari rumah sakit begitu mendengar kabar Dinda diculik. Begitu pedulinya ia pada Dinda. Meskipun ia tak mmiliki hubungan apapun dengan Dinda, tapi anak itu berhasil mengisi salah satu bilik di hatinya. Keceriaan dan keberaniannya berhasil membuat dokter Andrean merasa tersentuh. Terlebih Dinda adalah anak Arumi, gadis yang pernah singgah di dalam hatinya, meski rasa itu hanya bertepuk sebelah tangan."Dokter, tolong saya. Dinda diculik dan penculiknya meminta uang tebusan seratus juta!" Kata- kata Arumi di seberang telepon tadi terus terngiang di kepalanya. Ia tak bisa membayangkan seperti apa perasaan Arumi sekarang. Sepertinya ia sedang panik dan kebingungan saat ini.Dokter Andrean sudah sampai di mobilnya. Tangannya hendak meraih pintu mobil, tapi tiba- tiba seseorang menghentikannya."Dokter Andrean!" Nyonya Tiara dan Tuan Hanggoro saling bergandengan berjalan ke arahnya.Dokter Andrean menajamkan penglihatannya menatap sepasang suami istri yang ta
Ardi menggamit lengan Arumi dan Dinda, memasuki sebuah restoran mewah di kota itu. Kehadiran mereka menarik perhatian beberapa pengunjung lain. Wajah cantik Arumi yang disorot oleh lampu temaram memiliki daya pikat tersendiri. Kecantikannya mampu menarik perhatian orang- orang yang tengah duduk, menikmati makan malamnya di restoran itu.Arumi memang selalu terlihat menarik di mata laki- laki. Mungkin karena hal itulah rasa cemburu Ardi begitu besar. Meskipun Arumi selalu bisa menjaga hati dan pandangannya tapi Ardi justru selalu mencurigainya. Bodohnya ia sampai termakan hasutan ibunya.Ardi semakin mengeratkan tangannya ke lengan Arumi. Sungguh ia merasa sangat beruntung memiliki istri secantik Arumi. Entah selama ini apa yang membuatnya buta sampai menyia- nyiakan istri seperti Arumi.Ardi terus melangkah sampai ketika pandangannya tertuju pada seorang lelaki yang melambaikan tangan ke arahnya.Ardi mempercepat langkahnya menuju ke meja lelaki yang tak lain adalah kliennya itu.Lela
"Bu, lihatlah si Babu ini sudah berpakaian rapi, mau kemana dia?" Aurel berteriak ketika melihat Arumi dan Dinda berpakaian rapi. Arumi mengenakan gaun berwarna hitam yang dibelikan oleh Ardi beberapa hari yang lalu. Tubuhnya yang kurus nampak cantik berbalut gaun hitam yang nampak mewah dan elegan itu. Polesan make up tipis di wajahnya, tampak membuatnya semakin cantik. Tentu saja hal.itu membuat Aurel yang selalu iri dengan Arumi naik pitam.Arumi dekil dan penyakitan saja, Aurel iri karena Ardi tetap selalu mencintainya. Apalagi sekarang, Aurel tampak cantik dengan gaun yang dibelikan oleh Ardi. Ardi memang pintar memilih gaun. Gaun hitam itu pas sekali di tubuh Arumi. Aurel sempat melontarkan protes, karena suaminya tak pernah memilihkannya gaun seperti itu. Namun Ardi selalu berkilah. Selera fashion Aurel sangat tinggi, ia takut jika pilihannya tidak cocok untuk Aurel. Namun tentu saja semua itu hanyalah alasan Ardi. Ia memang tidak pernah mencintai Aurel. Perhatian dan kasih say
"Ardi…!" Bu Hilda berlari tergopoh- gopoh ke kamar Arumi. Arumi dan Ardi yang tengah bercengkrama, sontak mengalihkan perhatiannya pada Bu Hilda."Ada apa, Bu?" ucap Ardi seraya menaikkan alisnya."Aurel… Aurel pingsan!" ucap Bu Hilda sambil menunjukan wajah paniknya.Ardi mengernyitkan alisnya mendengar perkataan Bu Hilda. Tadi Aurel nampak baik- baik saja, kenapa tiba- tiba pingsan.Melihat putranya tak bergeming, Bu Hilda langsung menarik tangannya."Ayo, kita harus segera membawa Aurel ke rumah sakit!" "Tapi —" Ardi enggan meninggalkan Arumi. Saat - saat seperti ini adalah saat yang paling dirindukannya. Namun suasana syahdu itu harus rusak karena teriakan Bu Hilda."Ayo, Ardi! Aurel istrimu juga. Kalau sampai terjadi apa- apa padanya, kau juga harus bertanggung jawab!" Bu Hilda meninggikan suaranya, agar anak lelakinya itu mau mengikutinya. Sejenak Ardi menatap Arumi, seolah ingin meminta izin pada wanita itu. Arumi tersenyum sembari menganggukkan kepala, membuat seluruh keragua
Deru suara mobil berhenti di pekarangan rumah Bu Hilda. Beberapa saat kemudian Ardi terlihat turun dari mobil dengan menenteng beberapa kantong plastik dan tas belanja.Bu Hilda, Santi, dan Aurel tersenyum melihat tentengan di tangan Ardi. Sepertinya lelaki itu habis dapat bonus dari kantor sampai belanja sebanyak itu."Wah, kamu habis belanja, Mas?" Aurel mencium takzim telapak tangan suaminya, kemudian bergelayut manja di lengannya."Ya, aku tadi abis dari supermarket, aku juga mampir ke restorant biasa, untuk membeli makanan," sahut Ardi seraya mengangkat kantong plastik yang ditentengnya.Senyum Aurel semakin lebar, melihat logo restorant favoritnya di kantong plastik yang ditunjukkan suaminya itu."Wah, Mas Ardi memang suami idaman. Padahal aku ga minta dibeliin makanan, tapi Mas Ardi sudah pengertian." Aurel hendak meraih kantong plastik dan tas belanja di tangan suaminya itu, tapi belum sempat tangannya menyentuh kantong plastik dan tas belanja itu, Ardi sudah menjauhkannya dar
"Mama!" Dinda melepas genggaman tangan Ardi dan berhambur ke arah ranjang Arumi. Baru beberapa hari saja, ia tidak bertemu dengan sang mama, rasa rindunya sudah membuncah. Arumi yang masih lemah, dengan selang- selang infus masih terpasang di tubuhnya mencoba bangun untuk menyambut putrinya itu. Tak bisa dipungkiri, ia juga sangat merindukan Dinda."Sayang, Mama kangen banget sama kamu!" Air matanya meleleh saat tangannya berhasil merengkuh bocah perempuan yang masih memakai seragam SD tersebut."Bagaimana keadaan Mama? Apa perut Mama masih sakit? Biar Dinda obati!" ucap bocah polos itu. Selama ini, yang selalu ia lakukan saat sang mama berguling kesakitan menahan rasa nyeri di perutnya, adalah mengelus- elusnya. Kali ini Dinda pun melakukan hal yang sama, membuat Arumi tersenyum geli."Mama udah ga sakit kok, Sayang," ucap Arumi sembari membelai rambut gadis kecil yang dikuncir dua itu. Semua rasa sakitnya seolah musnah begitu melihat putri kesayangannya itu."Kalau begitu, kapan Mam
Ardi memasuki ruang rawat Arumi, tampak wanita itu tengah berbaring dengan mata terpejam. Mendadak Ardi merasa udara di ruangan itu terasa menipis dan itu membuat dadanya sesak, apalagi ketika melihat wajah pucat Arumi yang sangat kentara. "Arumi ..." panggilnya pelan, jika Arumi sedang tidur maka dia tidak mau mengganggu.Namun kemudian mata Arumi perlahan membuka, binar matanya terpancar ketika melihat Ardi ada di sampingnya. "Mas ..." ucapnya lemah, suaranya hampir tak terdengar.Ardi meraih tangannya, terasa dingin."Arumi, maafkan aku," ucap Ardi dengan terbata-bata, dia sedih melihat kondisi istri pertamanya itu."Aku sungguh tidak tahu semua ini, kenapa kamu nggak ngomong kalau kamu sakit? Aku bisa membantu pengobatannya dan kamu nggak harus bekerja keras sendirian," ucap Ardi sedikit menyesalkan akan diamnya Arumi selama ini.Arumi hanya tersenyum tipis menjawabnya, dia menggeleng dan balas menggengam tangan Ardi meski terasa lemah. "Aku menyesal menuduhmu selama ini!" tut
"Bedebah! Berani sekali kamu bicara seperti itu!" geramnya, dia bergerak maju dan gantian mencengkeram kerah kemeja Andrean. Ardi naik pitam, dia tersinggung dan tak terima dengan ucapan Andrean yang secara terang-terangan meminta Arumi darinya.Andrean tampak tenang dan malah tersenyum."Aku ingin tahu sejauh mana kamu masih mencintai Arumi, bahkan jika mendengar fakta sebenarnya antara aku dan dia," ucapnya tersenyum miring.Ardi salah mengira, dia berpikir jika Andrean memang benar-benar akan mengatakan kebenaran mengenai perselingkuhan yang dilakukannya dengan Arumi."Dia masih istriku, jadi aku masih berhak atas hidupnya, kamu tidak bisa mengambil dia begitu saja dari tanganku!" gertak Ardi mengguncang Andrean dengan marah.Andrean menarik sudut bibirnya berlawanan, sekarang jelas dia bisa melihat perasaan Ardi sebenarnya terhadap Arumi."Dia mengidap penyakit mematikan, aku dan dia tak lebih hanya sebagai dokter dan pasien, Arumi tak ingin memberitahukan semuanya sama kamu karen
"Bos kenal dia?" tanya Bonar heran. Andrean yang menyadari jika perempuan yang pingsan itu adalah Arumi, pasiennya sendiri, segera mendekat dan memeriksanya."Dia pasien saya," jawab Andrean singkat. Alis Bonar terangkat mendengarnya.Tangannya memeriksa denyut nadi Arumi dan keningnya berkerut dalam. Raut wajahnya berubah cemas. Tanpa banyak bicara, lelaki itu menunduk lalu dengan sigap mengangkat tubuh Arumi.Bonar tanggap, dia bergegas menuju mobil Andrean dan membantu membukakan pintu mobil."Tolong kamu urus gerobaknya dulu!" kata Andrean pada Bonar."Siap, Bos!" sahut Bonar.Andrean mendudukkan Arumi di kursi depan dan memasangkang sabuk pengaman, dia sedikit merendahkan kursi agar Arumi bisa berbaring. Setelah memastikan Arumi aman, dia sendiri segera masuk dan menyalakan mobil. Langsung tancap gas menuju Rumah Sakit."Kamu kok maksain diri, Arumi! Sudah tahu badan kamu itu lemah dan nggak boleh terlalu kelelahan!" gumam Andrean sejenak melirik ke arah Arumi yang terpejam di k