"Mas Ardi mendapat uang banyak hari ini, apa aku minta saja sedikit untuk tambahan uang sekolah Dinda, ya?" gumam Arumi resah. Dia tak tega membiarkan wajah Dinda yang murung karena ditagih uang bulanan di sekolah. Arumi menghela nafas dalam-dalam, yang entah sudah ke berapa kali dia melakukannya. Tatapan matanya nanar menatap Dinda yang sudah tertidur lelap.Arumi lalu menyibak selimut dan bangkit dari tempat tidur dengan pelan, jangan sampai Dinda terbangun karenanya. Dia berjalan menuju ke pintu dan meraih tas kecilnya yang tergantung di sana.Ardi memberikan uang belanja mingguan untuk kebutuhan dapur, jumlahnya lumayan karena yang lain selalu meminta menu mewah setiap harinya. Arumi sedikit banyak bersyukur untuk itu, karena Ardi setidaknya mengerti jika istri keduanya dan juga keluarganya itu manja dan rewel dalam hal makanan. Sehingga dia memberikan jatah uang dapur cukup tebal."Tapi sama saja bohong karena yang dimasak setiap hari itu kayak menu restoran mewah," ujarnya seten
"Siapa malam-malam begini?" bisiknya takut. Suara ketukan pelan di pintu kamar membuat rasa kantuk Arumi seketika lenyap, matanya terjaga sepenuhnya menatap lurus ke arah pintu sana.Untuk beberapa saat lamanya Arumi hanya terdiam membeku melihat ke daun pintu, ketukan itu masih terdengar untuk beberapa menit sampai akhirnya benar-benar berhenti dan kembali sepi. Arumi yang sejak tadi seolah menahan nafas akhirnya bisa menarik nafas lega. "Siapa itu? Tengah malam begini bikin orang parno saja!" ujarnya setengah menggerutu.Merasa situasi sudah 'aman', Arumi akhirnya bangkit dari tempat tidur dan menuju pintu untuk memeriksa. Dan matanya melotot seketika saat tangannya dengan mudah menarik pegangan pintu.Rupanya dia lupa menguncinya."Astaghfirullah! Nggak kekunci?!" serunya tertahan. Langsung saja dia dengan panik segera menguncinya, tak lupa gerendel pintunya juga atas dan bawah.Arumi akhirnya menghela nafas lega, meski begitu jantungnya masih berdebar karena panik dan ketakutan.
Bu Hilda mengarahkan selang air itu pada Arumi, membuat menantu pertamanya itu kewalahan menahan air yang menerpa wajahnya. Cuaca masih sangat dingin sehingga Arumi pun menggigil kedinginan."Hentikan, Ma!" teriak Ardi seraya mematikan keran air, otomatis air yang menyiram Arumi pun terhenti.Bu Hilda mendelik protes pada anaknya itu, "Kamu kenapa malah membela dia? Kalau sampai Aurel tahu, dia bisa mengamuk nanti!" tegurnya kesal."Dia nggak bakal tahu jika bukan Mama atau Santi yang memberitahu dia!" sergah Ardi, saat ini Aurel masih tidur jadi dia tidak tahu kejadian ini."Dia harus dikasih pelajaran, Ardi! Jangan sampai nanti lama-lama tambah nggak tahu diri!" kata Bu Hilda bersikeras."Dia sudah menggigil! Kalau dia sakit siapa yang akan mengerjakan semua pekerjaan rumah dan memasak?" tunjuk Ardi.Arumi yang semula mengira Ardi membelanya, akhirnya kembali harus menelan saliva dan meratapi nasibnya. Mereka semua membiarkan dia dan Dinda ada di sini semata-mata karena membutuhkan
Setelah kepergian yang lain, dan juga Dinda yang berangkat sekolah, Arumi keluar untuk berbelanja bahan masakan ke supermarket. Sebenarnya Arumi lebih nyaman belanja di pasar tradisional. Namun itu tidak mungkin bisa dilakukannya, karena nanti ada inspeksi untuk bon harganya oleh Bu Hilda. Apalagi setelah kedatangan Aurel di rumah itu, semua bahan masakan harus dibeli dari supermarket dan organik. Mau tak mau Arumi harus mengikuti aturan mereka."Yang kayak begini kalau di pasar sana dapat sekilo," gerutu Arumi ketika mengambil satu pak tomat segar, memang dari tampilan saja berbeda, tapi kalau ada yang lebih murah kenapa tidak?Tapi toh ini memang harus dilakukan, atau 'nyonya rumah' yang baru itu akan mengomel dan merengek manja pada suaminya."Arumi?" Arumi menoleh dan melihat Andrean juga tengah mendorong troli belanjaan di belakangnya, sudah banyak barang di dalamnya yang didominasi oleh sayuran dan buah."Dokter belanja juga?" sapa Arumi tersenyum.Andrean mendorong trolinya me
"Dinda, Mama mau ke fotokopi dulu, mau ikut?" tanya Arumi, dia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 1 siang. Dinda yang baru saja selesai makan, mengangguk riang. Dinda menghambur ke arah sang mama seraya berseru penuh semangat, "Dinda minum dulu, Ma!" Gadis kecil itu meneguk minuman yang tinggal setengah gelas, kemudian segera bergegas membawa piring kotornya ke dapur. Beberapa saat kemudian, ia kembali menghampiri sang mama.Arumi tersenyum melihatnya. Dia lalu menghela nafas panjang. Dia harus buru-buru pergi sekarang sebelum orang rumah pulang. Dia berniat untuk membuat selebaran kertas kecil untuk promosi jasa cuci gosoknya, sekalian menjajaki kosan yang ada di ujung sana."Semoga ini bisa berhasil!" gumamnya. Arumi menaruh harapan besar pada calon pekerjaan barunya itu. Ia berharap biaya pendidikan Dinda tidak akan tersendat lagi setelah ia memiliki pekerjaan."Ayo, Ma!" seru Dinda membuyarkan lamunannya.Arumi mengangguk dan menggandeng tangan Dinda. Mereka berjalan ber
"Terimakasih, Dokter!" ucap Arumi mengangguk pada Andrean yang melambai padanya dari dalam mobil, lelaki itu pun tahu situasi dan mengerti dengan sikap Arumi yang terkesan tergesa-gesa.Arumi bergegas masuk mengajak Dinda, setelah mengucapkan terimakasih pada Andrean yang telah mengantarnya pulang. Bukannya dia tak ingin mengusir lelaki itu untuk pergi secepatnya, hanya saja dia taku jika Ardi pulang sebentar lagi."Ayo masuk!" ajak Arumi menggandeng Dinda memasuki gerbang rumah. Karena dia terlalu fokus ke depan, dia tak menyadari adanya mobil di garasi, terhalang pintu yang terbuka separuhnya. Arumi terus masuk ke dalam rumah melalui pintu samping yang tembus ke dapur."Kamu makan di kamar saja, ya, Mama mau beres-beres di dapur," kata Arumi seraya memberikan kantong berlogo minimarket ke tangan Dinda. Anak itu mengangguk dan pergi menuju kamar dengan langkah riang.Arumi menghela nafas panjang, dia merasa sedikit lega karena sudah kembali ke rumah dengan 'selamat' sebelum yang lai
"DASAR KURANG AJAR!"PLAK!Wajah Arumi terbanting ke samping, wanita muda itu meringis merasakan pipinya yang panas karena tamparan keras dari tangan Bu Hilda."Kamu makin berani sama kami! Dasar tidak tahu balas budi!" jerit Bu Hilda, matanya melotot dan nafasnya memburu saking marahnya pada Arumi.Arumi menoleh sembari memegangi pipinya, air matanya meleleh namun kali ini bukan lagi kesedihan yang memenuhi dadanya melainkan kemarahan dan muak dengan semua perlakuan mereka.Dia berniat untuk membalas, namun ketika itu Ardi datang dan berteriak dari arah tangga ke arah mereka."Ada apa ribut-ribut? Kepalaku sakit!" bentaknya gusar.Giliran Aurel yang bergegas menghampiri suaminya dan bergelayut manja pada lengan Ardi."Maaf mengganggu tidurmu, Sayang, itu Mama sama Santi lagi ngasih pelajaran sama Arumi!" katanya tersenyum sinis.Ardi menoleh pada Arumi dengan wajah gusar, keningnya berkerut karena memang kepalanya tengah sakit."Kamu kenapa selalu jadi biang keributan? Pergi ke kamar
"Si Arumi sibuk terus akhir-akhir ini di belakang, dia ngapain, sih?" gumamnya penasaran. Usaha cuci gosok yang dijalani Arumi lumayan bagus, dia mendapatkan banyak pelanggan karena hasil kerjanya juga rapi dan wangi. Semakin hari jasanya semakin maju, dan lama-lama tercium juga oleh Bu Hilda.Ketika dilihatnya Arumi keluar untuk belanja dan mengajak Dinda bersamanya, Bu Hilda pun bergegas ke ruangan belakang untuk memeriksa. Arumi melakukan pekerjaannya di gudang kosong yang semula hanya dipakai untuk barang rongsokan. Dia mengubahnya menjadi ruangan untuk menyetrika dan melipat pakaian yang sudah kering dan mengemasnya dengan plastik sesuai dengan nama pelanggannya."Hm, dia ngapain di sini?" gumam Bu Hilda seraya celingukan memeriksa sekitar. Rumah bagian belakang mereka itu memiliki dua ruangan lain, yang satu kamar pembantu yang dipakai oleh Arumi, dan yang satunya lagi gudang barang bekas dan tidak terpakai. Bu Hilda melihat-lihat sekitar itu, dia ingin memeriksa kamar Arumi n
Dokter Andrean buru- buru keluar dari rumah sakit begitu mendengar kabar Dinda diculik. Begitu pedulinya ia pada Dinda. Meskipun ia tak mmiliki hubungan apapun dengan Dinda, tapi anak itu berhasil mengisi salah satu bilik di hatinya. Keceriaan dan keberaniannya berhasil membuat dokter Andrean merasa tersentuh. Terlebih Dinda adalah anak Arumi, gadis yang pernah singgah di dalam hatinya, meski rasa itu hanya bertepuk sebelah tangan."Dokter, tolong saya. Dinda diculik dan penculiknya meminta uang tebusan seratus juta!" Kata- kata Arumi di seberang telepon tadi terus terngiang di kepalanya. Ia tak bisa membayangkan seperti apa perasaan Arumi sekarang. Sepertinya ia sedang panik dan kebingungan saat ini.Dokter Andrean sudah sampai di mobilnya. Tangannya hendak meraih pintu mobil, tapi tiba- tiba seseorang menghentikannya."Dokter Andrean!" Nyonya Tiara dan Tuan Hanggoro saling bergandengan berjalan ke arahnya.Dokter Andrean menajamkan penglihatannya menatap sepasang suami istri yang ta
Ardi menggamit lengan Arumi dan Dinda, memasuki sebuah restoran mewah di kota itu. Kehadiran mereka menarik perhatian beberapa pengunjung lain. Wajah cantik Arumi yang disorot oleh lampu temaram memiliki daya pikat tersendiri. Kecantikannya mampu menarik perhatian orang- orang yang tengah duduk, menikmati makan malamnya di restoran itu.Arumi memang selalu terlihat menarik di mata laki- laki. Mungkin karena hal itulah rasa cemburu Ardi begitu besar. Meskipun Arumi selalu bisa menjaga hati dan pandangannya tapi Ardi justru selalu mencurigainya. Bodohnya ia sampai termakan hasutan ibunya.Ardi semakin mengeratkan tangannya ke lengan Arumi. Sungguh ia merasa sangat beruntung memiliki istri secantik Arumi. Entah selama ini apa yang membuatnya buta sampai menyia- nyiakan istri seperti Arumi.Ardi terus melangkah sampai ketika pandangannya tertuju pada seorang lelaki yang melambaikan tangan ke arahnya.Ardi mempercepat langkahnya menuju ke meja lelaki yang tak lain adalah kliennya itu.Lela
"Bu, lihatlah si Babu ini sudah berpakaian rapi, mau kemana dia?" Aurel berteriak ketika melihat Arumi dan Dinda berpakaian rapi. Arumi mengenakan gaun berwarna hitam yang dibelikan oleh Ardi beberapa hari yang lalu. Tubuhnya yang kurus nampak cantik berbalut gaun hitam yang nampak mewah dan elegan itu. Polesan make up tipis di wajahnya, tampak membuatnya semakin cantik. Tentu saja hal.itu membuat Aurel yang selalu iri dengan Arumi naik pitam.Arumi dekil dan penyakitan saja, Aurel iri karena Ardi tetap selalu mencintainya. Apalagi sekarang, Aurel tampak cantik dengan gaun yang dibelikan oleh Ardi. Ardi memang pintar memilih gaun. Gaun hitam itu pas sekali di tubuh Arumi. Aurel sempat melontarkan protes, karena suaminya tak pernah memilihkannya gaun seperti itu. Namun Ardi selalu berkilah. Selera fashion Aurel sangat tinggi, ia takut jika pilihannya tidak cocok untuk Aurel. Namun tentu saja semua itu hanyalah alasan Ardi. Ia memang tidak pernah mencintai Aurel. Perhatian dan kasih say
"Ardi…!" Bu Hilda berlari tergopoh- gopoh ke kamar Arumi. Arumi dan Ardi yang tengah bercengkrama, sontak mengalihkan perhatiannya pada Bu Hilda."Ada apa, Bu?" ucap Ardi seraya menaikkan alisnya."Aurel… Aurel pingsan!" ucap Bu Hilda sambil menunjukan wajah paniknya.Ardi mengernyitkan alisnya mendengar perkataan Bu Hilda. Tadi Aurel nampak baik- baik saja, kenapa tiba- tiba pingsan.Melihat putranya tak bergeming, Bu Hilda langsung menarik tangannya."Ayo, kita harus segera membawa Aurel ke rumah sakit!" "Tapi —" Ardi enggan meninggalkan Arumi. Saat - saat seperti ini adalah saat yang paling dirindukannya. Namun suasana syahdu itu harus rusak karena teriakan Bu Hilda."Ayo, Ardi! Aurel istrimu juga. Kalau sampai terjadi apa- apa padanya, kau juga harus bertanggung jawab!" Bu Hilda meninggikan suaranya, agar anak lelakinya itu mau mengikutinya. Sejenak Ardi menatap Arumi, seolah ingin meminta izin pada wanita itu. Arumi tersenyum sembari menganggukkan kepala, membuat seluruh keragua
Deru suara mobil berhenti di pekarangan rumah Bu Hilda. Beberapa saat kemudian Ardi terlihat turun dari mobil dengan menenteng beberapa kantong plastik dan tas belanja.Bu Hilda, Santi, dan Aurel tersenyum melihat tentengan di tangan Ardi. Sepertinya lelaki itu habis dapat bonus dari kantor sampai belanja sebanyak itu."Wah, kamu habis belanja, Mas?" Aurel mencium takzim telapak tangan suaminya, kemudian bergelayut manja di lengannya."Ya, aku tadi abis dari supermarket, aku juga mampir ke restorant biasa, untuk membeli makanan," sahut Ardi seraya mengangkat kantong plastik yang ditentengnya.Senyum Aurel semakin lebar, melihat logo restorant favoritnya di kantong plastik yang ditunjukkan suaminya itu."Wah, Mas Ardi memang suami idaman. Padahal aku ga minta dibeliin makanan, tapi Mas Ardi sudah pengertian." Aurel hendak meraih kantong plastik dan tas belanja di tangan suaminya itu, tapi belum sempat tangannya menyentuh kantong plastik dan tas belanja itu, Ardi sudah menjauhkannya dar
"Mama!" Dinda melepas genggaman tangan Ardi dan berhambur ke arah ranjang Arumi. Baru beberapa hari saja, ia tidak bertemu dengan sang mama, rasa rindunya sudah membuncah. Arumi yang masih lemah, dengan selang- selang infus masih terpasang di tubuhnya mencoba bangun untuk menyambut putrinya itu. Tak bisa dipungkiri, ia juga sangat merindukan Dinda."Sayang, Mama kangen banget sama kamu!" Air matanya meleleh saat tangannya berhasil merengkuh bocah perempuan yang masih memakai seragam SD tersebut."Bagaimana keadaan Mama? Apa perut Mama masih sakit? Biar Dinda obati!" ucap bocah polos itu. Selama ini, yang selalu ia lakukan saat sang mama berguling kesakitan menahan rasa nyeri di perutnya, adalah mengelus- elusnya. Kali ini Dinda pun melakukan hal yang sama, membuat Arumi tersenyum geli."Mama udah ga sakit kok, Sayang," ucap Arumi sembari membelai rambut gadis kecil yang dikuncir dua itu. Semua rasa sakitnya seolah musnah begitu melihat putri kesayangannya itu."Kalau begitu, kapan Mam
Ardi memasuki ruang rawat Arumi, tampak wanita itu tengah berbaring dengan mata terpejam. Mendadak Ardi merasa udara di ruangan itu terasa menipis dan itu membuat dadanya sesak, apalagi ketika melihat wajah pucat Arumi yang sangat kentara. "Arumi ..." panggilnya pelan, jika Arumi sedang tidur maka dia tidak mau mengganggu.Namun kemudian mata Arumi perlahan membuka, binar matanya terpancar ketika melihat Ardi ada di sampingnya. "Mas ..." ucapnya lemah, suaranya hampir tak terdengar.Ardi meraih tangannya, terasa dingin."Arumi, maafkan aku," ucap Ardi dengan terbata-bata, dia sedih melihat kondisi istri pertamanya itu."Aku sungguh tidak tahu semua ini, kenapa kamu nggak ngomong kalau kamu sakit? Aku bisa membantu pengobatannya dan kamu nggak harus bekerja keras sendirian," ucap Ardi sedikit menyesalkan akan diamnya Arumi selama ini.Arumi hanya tersenyum tipis menjawabnya, dia menggeleng dan balas menggengam tangan Ardi meski terasa lemah. "Aku menyesal menuduhmu selama ini!" tut
"Bedebah! Berani sekali kamu bicara seperti itu!" geramnya, dia bergerak maju dan gantian mencengkeram kerah kemeja Andrean. Ardi naik pitam, dia tersinggung dan tak terima dengan ucapan Andrean yang secara terang-terangan meminta Arumi darinya.Andrean tampak tenang dan malah tersenyum."Aku ingin tahu sejauh mana kamu masih mencintai Arumi, bahkan jika mendengar fakta sebenarnya antara aku dan dia," ucapnya tersenyum miring.Ardi salah mengira, dia berpikir jika Andrean memang benar-benar akan mengatakan kebenaran mengenai perselingkuhan yang dilakukannya dengan Arumi."Dia masih istriku, jadi aku masih berhak atas hidupnya, kamu tidak bisa mengambil dia begitu saja dari tanganku!" gertak Ardi mengguncang Andrean dengan marah.Andrean menarik sudut bibirnya berlawanan, sekarang jelas dia bisa melihat perasaan Ardi sebenarnya terhadap Arumi."Dia mengidap penyakit mematikan, aku dan dia tak lebih hanya sebagai dokter dan pasien, Arumi tak ingin memberitahukan semuanya sama kamu karen
"Bos kenal dia?" tanya Bonar heran. Andrean yang menyadari jika perempuan yang pingsan itu adalah Arumi, pasiennya sendiri, segera mendekat dan memeriksanya."Dia pasien saya," jawab Andrean singkat. Alis Bonar terangkat mendengarnya.Tangannya memeriksa denyut nadi Arumi dan keningnya berkerut dalam. Raut wajahnya berubah cemas. Tanpa banyak bicara, lelaki itu menunduk lalu dengan sigap mengangkat tubuh Arumi.Bonar tanggap, dia bergegas menuju mobil Andrean dan membantu membukakan pintu mobil."Tolong kamu urus gerobaknya dulu!" kata Andrean pada Bonar."Siap, Bos!" sahut Bonar.Andrean mendudukkan Arumi di kursi depan dan memasangkang sabuk pengaman, dia sedikit merendahkan kursi agar Arumi bisa berbaring. Setelah memastikan Arumi aman, dia sendiri segera masuk dan menyalakan mobil. Langsung tancap gas menuju Rumah Sakit."Kamu kok maksain diri, Arumi! Sudah tahu badan kamu itu lemah dan nggak boleh terlalu kelelahan!" gumam Andrean sejenak melirik ke arah Arumi yang terpejam di k