"Ada apa, Bu?" Arumi berjalan tergopoh- gopoh menghampiri mertuanya. Begitu sampai di hadapan Hilda, wanita paruh baya itu menyeringai."Enak ya, udah numpang malah santai- santai!" ucap wanita itu dengan bola mata hampir keluar, "apa kamu ga lihat rumah berantakan seperti ini? Cepat bereskan!" "Iya, Bu. Nanti Arumi bereskan. Tapi izinkan Arumi tidur dulu sebentar. Arumi ngantuk banget," ucap Arumi yang sedari tadi terus menguap. Matanya terasa begitu berat. Semalam di rumah sakit, ia memang tidak tidur sama sekali. Dinda terus merintih kesakitan, dan Arumi harus menenangkannya."Jangan banyak alasan untuk menutupi kemalasnmu itu. Kamu bereskan dulu. Baru kamu boleh tidur!" tegas Bu Hilda."Ba–baik, Bu!" Arumi tak ingin banyak berdebat dengan Hilda, lebih baik ia mengalah. Ia segera mengambil sapu dan membersihkan lantai rumah yang kotor dan berdebu. Sebenarnya Arumi heran, di rumah Hilda tidak ada anak kecil, tapi lantai rumahnya sampai berdebu seperti itu. Apa orang di rumah ini ti
Arumi melangkah tertatih menuju ke dapur. perutnya masih terasa sedikit nyeri, tapi ia tetap memaksakan diri untuk memasak makan malam untuk keluarga Ardi. Melewati Santi yang tengah duduk santai di sofa ruang tengah sembari memainkan gawainya. Bisa- bisanya Bu Hilda menyuruhnya yang tengah kesakitan memasak makan malam untuk orang- orang sehat seperti mereka."Santi, bantuin Mbak masak yuk," ucap Arumi."Ih, yang disuruh masak kan Mbak Arumi, kenapa jadi ngajak- ajak aku. kukuku habis perawatan, kalau bantuin Mbak masak nanti rusak," ucap Santi sembari memperlihatkan kuku- kuku lentiknya yang baru saja di manicure. "Tapi perut Mbak masih sedikit sakit, mbak takut masakan Mbak nanti malah ga enak," ucap Arumi."Ya itu sih urusan, Mbak!" sungut Santi, "ga usah sok pasang wajah memelas seperti itu di hadapanku. Santi ga bakal kasihan sama Mbak. Tampang Mbak itu memang cocok seperti tampang pembantu, wajar kalau ibu terus menyuruhmu!" ucapnya sinis.Arumi terpaksa melanjutkan langkahnya
Bu Hilda menghentikan makannya ketika tiba- tiba perutnya terasa melilit. Ia meletakkan sendoknya dan memegangi perutnya dengan kedua tangannya."Ibu kenapa?" tanya Santi saat melihat ibunya berhenti makan.Tak menjawab pertanyaan Santi, Bu Hilda justru berdiri dari kursinya dengan wajah panik. "BROT!" Bau busuk menguar bersamaan dengan suara yang membuat semua orang di meja makan itu kehilangan nafsu makannya."Ibu jorok!" pekik Santi mendelik jijik ke arah ibunya. Aurel yang juga baru saja mau makan dibuat melotot dengan mertuanya itu. Begitupun Ardi, ia melontarkan tatapan tajam ke arah sang ibu.Bu Hilda tak peduli putrinya marah-marah seraya mengibas-ngibaskan tangannya, yang penting rasa sakit di perutnya berkurang dan itu membuatnya lega."Perut Ibu tiba-tiba sakit, mules banget!" ujar Bu Hilda kembali duduk dan hendak melanjutkan makannya.Santi hanya mendengus jengkel dengan tingkah ibunya yang menurutnya sangat tidak sopan itu. Dia dengan kesal menyendok nasi dan bersiap un
"Bener, aku nggak apa-apa," Ardi yang masih duduk tenang di kursinya, dia menatap para wanita itu di hadapannya."Kamu yakin, Ardi? Siapa tahu masih belum naik obatnya!" ujar Bu Hilda tidak percaya, dia melempar delikan tajam ke arah Arumi.Ardi menghela nafas gusar dan meletakkan alat makannya, dia sudah cukup pusing dengan persiapan resepsi pernikahannya dengan Aurel, apalagi wanita itu punya banyak sekali daftar keinginan yang harus dipenuhi agar pestanya lebih mewah. Dan tentu saja itu bukan nominal yang murah."Kalian maunya apa? Aku sakit perut juga gitu?" tukasnya senada dengan ucapan Aurel sebelumnya.Bu Hilda tidak menjawab, dia lalu mendelik ke arah Arumi untuk dijadikan sasaran kemarahannya."Kamu sengaja kasih racun sama kami, 'kan? Hayo ngaku!" bentaknya murka.Arumi menggeleng keras, "Nggak, Bu! Kalau makanannya aku kasih racun, masa Mas Ardi nggak kenapa-napa? Lagipula aku sama Dinda juga makan makanan yang sama, kami ngambil sisa kuahnya tadi," sergah Arumi dengan suar
"Kamu bakal tahu akibatnya!" Aurel beranjak sembari melempar tatapan tajam pada Arumi. Pipinya merah bekas tangan Arumi yang beberapa detik lalu mendarat dengan keras di sana.Arumi hanya memandanginya lalu menghela nafas dalam-dalam, dia menyesal karena sudah lepas kendali dan menampar Aurel, itu pasti akan menjadi masalah karena wanita itu akan mengadu pada Ardi atau Bu Hilda.Tapi itu semua karena dia tidak bisa mendengar Dinda turut direndahkan seperti tadi."Maafkan ibumu ini, Nak, setidaknya kamu harus bisa hidup tenang dan damai tanpa terusik oleh mereka," ucapnya lirih.Arumi menghembuskan nafas panjang, demi menenangkan diri dan mengembalikan suasana hatinya. Ditariknya kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman, namun rasanya menyakitkan ketika melakukannya sementara hatinya masih terasa sakit dan ingin menangis."Ayo, kamu harus kuat untuk Dinda, Arumi!" gumamnya berbisik pelan. Sementara di dalam rumah, Aurel menemui Bu Hilda dan Santi yang tengah bersantai di ruang d
"Kamu pelayan rendahan! Lihat yang sudah kamu lakukan!" pekik seorang gadis yang murka karena baju mahalnya kini tampak kacau dengan tumpahan minuman.Suasana pesta yang semula meriah dan ceria mendadak sunyi karena teriakan gadis itu. Tatapan seluruh tamu undangan langsung tertuju pada gadis itu. Dia Malena, putri pemilik perusahaan tempat Ardi bekerja. Gadis itu membelalak melotot marah ke pada Arumi yang terduduk di lantai karena dia dorong tadi."Sayang, kamu tenang dulu, dia nggak sengaja!" Nyonya Tiara, ibunya berusaha menenangkannya, lagipula dengan situasi ini membuat mereka menjadi pusat perhatian."Tapi, Mama, bajuku bagaimana?" rengek Malena, raut wajah marahnya berubah manja dan hampir menangis."Astaga! Pelayan ini memang ceroboh! Tolong maafkan dia, Nona Malena!" ucap Bu Hilda memasang wajah penuh penyesalan, dia segera menghampiri Malena dan menyampirkan selendang sutranya menutupi bahu gadis itu.Malena hanya mendengus gusar menjawabnya, sikapnya angkuh dan menatap Ar
Malena memegang gelang berlian itu dan menunjukkannya pada Nyonya Tiara, wanita yang masih cantik di usianya yang sudah memasuki kepala 4 itu tampak terkejut karenanya. Lalu beralih menatap Arumi dengan sorot mata tak percaya."Lihat! Mama lihat!" seru Malena geram, "pelayan ini dengan cekatan mengambil gelang dari tanganku, dia itu pencuri handal!" kecamnya menatap Arumi dengan penuh benci.Arumi menggeleng keras."Tidak! Aku tidak melakukannya, sungguh! Aku bersumpah demi Tuhan!" sergahnya."Kamu nggak bisa mengelak lagi, gelang ini jelas aku temukan di dalam pakaian kamu!" tunjuk Malena."Aku nggak tahu kenapa gelang itu ada di dalam saku bajuku!" tepis Arumi, dia lalu beralih menatap Nyonya Tiara, karena wanita itu tampak tidak mempercayai tuduhan putrinya terhadap Arumi."Nyonya, tolong! Aku tidak tahu soal gelang itu! Percaya sama saya, Nyonya!" pinta Arumi dengan suara tercekat menahan tangis. Belum habis rasa sakitnya karena kejadian beberapa saat lalu, dia masih harus didera
Arumi menahan diri untuk tidak berontak dan melawan tuduhan mertua dan adik iparnya itu, dia tak ingin membuat mereka merasa menang jika melihat dirinya terpuruk."Sayang, aku ingin ganti baju, bisa tolong antar ke kamar hotel yang kita sewa di sini?" rengek Aurel dengan nada manja, matanya mengerling sinis ke arah Arumi.Ardi sejenak meneguk minumannya dan mengangguk."Ayo, aku juga lelah dan ingin istirahat!" sahutnya meletakkan gelas ke atas meja. Bu Hilda tanggap dengan sikap Aurel yang sengaja mengumbar kemesraan di depan Arumi, maka dia menyikut Santi dan memberi isyarat untuk mengompori mereka.Santi pun tersenyum lebar."Ah ya, Raja dan Ratu sehari kita pasti kelelahan, di kamar pun aku yakin kalian nggak akan segera tidur!" timpalnya mengerling nakal, disambut tawa yang lainnya dan turut menggoda pasangan pengantin itu. Tanpa menyadari jika pelayan yang sedang berdiri itu adalah sosok istri pertama yang tersakiti dengan adanya pesta ini. "Memangnya apa yang mereka akan lak
Dokter Andrean buru- buru keluar dari rumah sakit begitu mendengar kabar Dinda diculik. Begitu pedulinya ia pada Dinda. Meskipun ia tak mmiliki hubungan apapun dengan Dinda, tapi anak itu berhasil mengisi salah satu bilik di hatinya. Keceriaan dan keberaniannya berhasil membuat dokter Andrean merasa tersentuh. Terlebih Dinda adalah anak Arumi, gadis yang pernah singgah di dalam hatinya, meski rasa itu hanya bertepuk sebelah tangan."Dokter, tolong saya. Dinda diculik dan penculiknya meminta uang tebusan seratus juta!" Kata- kata Arumi di seberang telepon tadi terus terngiang di kepalanya. Ia tak bisa membayangkan seperti apa perasaan Arumi sekarang. Sepertinya ia sedang panik dan kebingungan saat ini.Dokter Andrean sudah sampai di mobilnya. Tangannya hendak meraih pintu mobil, tapi tiba- tiba seseorang menghentikannya."Dokter Andrean!" Nyonya Tiara dan Tuan Hanggoro saling bergandengan berjalan ke arahnya.Dokter Andrean menajamkan penglihatannya menatap sepasang suami istri yang ta
Ardi menggamit lengan Arumi dan Dinda, memasuki sebuah restoran mewah di kota itu. Kehadiran mereka menarik perhatian beberapa pengunjung lain. Wajah cantik Arumi yang disorot oleh lampu temaram memiliki daya pikat tersendiri. Kecantikannya mampu menarik perhatian orang- orang yang tengah duduk, menikmati makan malamnya di restoran itu.Arumi memang selalu terlihat menarik di mata laki- laki. Mungkin karena hal itulah rasa cemburu Ardi begitu besar. Meskipun Arumi selalu bisa menjaga hati dan pandangannya tapi Ardi justru selalu mencurigainya. Bodohnya ia sampai termakan hasutan ibunya.Ardi semakin mengeratkan tangannya ke lengan Arumi. Sungguh ia merasa sangat beruntung memiliki istri secantik Arumi. Entah selama ini apa yang membuatnya buta sampai menyia- nyiakan istri seperti Arumi.Ardi terus melangkah sampai ketika pandangannya tertuju pada seorang lelaki yang melambaikan tangan ke arahnya.Ardi mempercepat langkahnya menuju ke meja lelaki yang tak lain adalah kliennya itu.Lela
"Bu, lihatlah si Babu ini sudah berpakaian rapi, mau kemana dia?" Aurel berteriak ketika melihat Arumi dan Dinda berpakaian rapi. Arumi mengenakan gaun berwarna hitam yang dibelikan oleh Ardi beberapa hari yang lalu. Tubuhnya yang kurus nampak cantik berbalut gaun hitam yang nampak mewah dan elegan itu. Polesan make up tipis di wajahnya, tampak membuatnya semakin cantik. Tentu saja hal.itu membuat Aurel yang selalu iri dengan Arumi naik pitam.Arumi dekil dan penyakitan saja, Aurel iri karena Ardi tetap selalu mencintainya. Apalagi sekarang, Aurel tampak cantik dengan gaun yang dibelikan oleh Ardi. Ardi memang pintar memilih gaun. Gaun hitam itu pas sekali di tubuh Arumi. Aurel sempat melontarkan protes, karena suaminya tak pernah memilihkannya gaun seperti itu. Namun Ardi selalu berkilah. Selera fashion Aurel sangat tinggi, ia takut jika pilihannya tidak cocok untuk Aurel. Namun tentu saja semua itu hanyalah alasan Ardi. Ia memang tidak pernah mencintai Aurel. Perhatian dan kasih say
"Ardi…!" Bu Hilda berlari tergopoh- gopoh ke kamar Arumi. Arumi dan Ardi yang tengah bercengkrama, sontak mengalihkan perhatiannya pada Bu Hilda."Ada apa, Bu?" ucap Ardi seraya menaikkan alisnya."Aurel… Aurel pingsan!" ucap Bu Hilda sambil menunjukan wajah paniknya.Ardi mengernyitkan alisnya mendengar perkataan Bu Hilda. Tadi Aurel nampak baik- baik saja, kenapa tiba- tiba pingsan.Melihat putranya tak bergeming, Bu Hilda langsung menarik tangannya."Ayo, kita harus segera membawa Aurel ke rumah sakit!" "Tapi —" Ardi enggan meninggalkan Arumi. Saat - saat seperti ini adalah saat yang paling dirindukannya. Namun suasana syahdu itu harus rusak karena teriakan Bu Hilda."Ayo, Ardi! Aurel istrimu juga. Kalau sampai terjadi apa- apa padanya, kau juga harus bertanggung jawab!" Bu Hilda meninggikan suaranya, agar anak lelakinya itu mau mengikutinya. Sejenak Ardi menatap Arumi, seolah ingin meminta izin pada wanita itu. Arumi tersenyum sembari menganggukkan kepala, membuat seluruh keragua
Deru suara mobil berhenti di pekarangan rumah Bu Hilda. Beberapa saat kemudian Ardi terlihat turun dari mobil dengan menenteng beberapa kantong plastik dan tas belanja.Bu Hilda, Santi, dan Aurel tersenyum melihat tentengan di tangan Ardi. Sepertinya lelaki itu habis dapat bonus dari kantor sampai belanja sebanyak itu."Wah, kamu habis belanja, Mas?" Aurel mencium takzim telapak tangan suaminya, kemudian bergelayut manja di lengannya."Ya, aku tadi abis dari supermarket, aku juga mampir ke restorant biasa, untuk membeli makanan," sahut Ardi seraya mengangkat kantong plastik yang ditentengnya.Senyum Aurel semakin lebar, melihat logo restorant favoritnya di kantong plastik yang ditunjukkan suaminya itu."Wah, Mas Ardi memang suami idaman. Padahal aku ga minta dibeliin makanan, tapi Mas Ardi sudah pengertian." Aurel hendak meraih kantong plastik dan tas belanja di tangan suaminya itu, tapi belum sempat tangannya menyentuh kantong plastik dan tas belanja itu, Ardi sudah menjauhkannya dar
"Mama!" Dinda melepas genggaman tangan Ardi dan berhambur ke arah ranjang Arumi. Baru beberapa hari saja, ia tidak bertemu dengan sang mama, rasa rindunya sudah membuncah. Arumi yang masih lemah, dengan selang- selang infus masih terpasang di tubuhnya mencoba bangun untuk menyambut putrinya itu. Tak bisa dipungkiri, ia juga sangat merindukan Dinda."Sayang, Mama kangen banget sama kamu!" Air matanya meleleh saat tangannya berhasil merengkuh bocah perempuan yang masih memakai seragam SD tersebut."Bagaimana keadaan Mama? Apa perut Mama masih sakit? Biar Dinda obati!" ucap bocah polos itu. Selama ini, yang selalu ia lakukan saat sang mama berguling kesakitan menahan rasa nyeri di perutnya, adalah mengelus- elusnya. Kali ini Dinda pun melakukan hal yang sama, membuat Arumi tersenyum geli."Mama udah ga sakit kok, Sayang," ucap Arumi sembari membelai rambut gadis kecil yang dikuncir dua itu. Semua rasa sakitnya seolah musnah begitu melihat putri kesayangannya itu."Kalau begitu, kapan Mam
Ardi memasuki ruang rawat Arumi, tampak wanita itu tengah berbaring dengan mata terpejam. Mendadak Ardi merasa udara di ruangan itu terasa menipis dan itu membuat dadanya sesak, apalagi ketika melihat wajah pucat Arumi yang sangat kentara. "Arumi ..." panggilnya pelan, jika Arumi sedang tidur maka dia tidak mau mengganggu.Namun kemudian mata Arumi perlahan membuka, binar matanya terpancar ketika melihat Ardi ada di sampingnya. "Mas ..." ucapnya lemah, suaranya hampir tak terdengar.Ardi meraih tangannya, terasa dingin."Arumi, maafkan aku," ucap Ardi dengan terbata-bata, dia sedih melihat kondisi istri pertamanya itu."Aku sungguh tidak tahu semua ini, kenapa kamu nggak ngomong kalau kamu sakit? Aku bisa membantu pengobatannya dan kamu nggak harus bekerja keras sendirian," ucap Ardi sedikit menyesalkan akan diamnya Arumi selama ini.Arumi hanya tersenyum tipis menjawabnya, dia menggeleng dan balas menggengam tangan Ardi meski terasa lemah. "Aku menyesal menuduhmu selama ini!" tut
"Bedebah! Berani sekali kamu bicara seperti itu!" geramnya, dia bergerak maju dan gantian mencengkeram kerah kemeja Andrean. Ardi naik pitam, dia tersinggung dan tak terima dengan ucapan Andrean yang secara terang-terangan meminta Arumi darinya.Andrean tampak tenang dan malah tersenyum."Aku ingin tahu sejauh mana kamu masih mencintai Arumi, bahkan jika mendengar fakta sebenarnya antara aku dan dia," ucapnya tersenyum miring.Ardi salah mengira, dia berpikir jika Andrean memang benar-benar akan mengatakan kebenaran mengenai perselingkuhan yang dilakukannya dengan Arumi."Dia masih istriku, jadi aku masih berhak atas hidupnya, kamu tidak bisa mengambil dia begitu saja dari tanganku!" gertak Ardi mengguncang Andrean dengan marah.Andrean menarik sudut bibirnya berlawanan, sekarang jelas dia bisa melihat perasaan Ardi sebenarnya terhadap Arumi."Dia mengidap penyakit mematikan, aku dan dia tak lebih hanya sebagai dokter dan pasien, Arumi tak ingin memberitahukan semuanya sama kamu karen
"Bos kenal dia?" tanya Bonar heran. Andrean yang menyadari jika perempuan yang pingsan itu adalah Arumi, pasiennya sendiri, segera mendekat dan memeriksanya."Dia pasien saya," jawab Andrean singkat. Alis Bonar terangkat mendengarnya.Tangannya memeriksa denyut nadi Arumi dan keningnya berkerut dalam. Raut wajahnya berubah cemas. Tanpa banyak bicara, lelaki itu menunduk lalu dengan sigap mengangkat tubuh Arumi.Bonar tanggap, dia bergegas menuju mobil Andrean dan membantu membukakan pintu mobil."Tolong kamu urus gerobaknya dulu!" kata Andrean pada Bonar."Siap, Bos!" sahut Bonar.Andrean mendudukkan Arumi di kursi depan dan memasangkang sabuk pengaman, dia sedikit merendahkan kursi agar Arumi bisa berbaring. Setelah memastikan Arumi aman, dia sendiri segera masuk dan menyalakan mobil. Langsung tancap gas menuju Rumah Sakit."Kamu kok maksain diri, Arumi! Sudah tahu badan kamu itu lemah dan nggak boleh terlalu kelelahan!" gumam Andrean sejenak melirik ke arah Arumi yang terpejam di k