Uang tabungan yang ada di ATM, hanya tersisa 232 ribu lagi. Aku harus jualan apa lagi?"Fito, Fito mau tinggal di rumah Nenek gak?" tanyaku pada anak yang belum genap dua tahun itu.Ia hanya menatapku dengan wajah bingung, mungkin saja ia bingung mendengar kata "Nenek". Karena, dari ia lahir hingga saat ini, belum pernah bertemu dengan orang tuaku di kampung. Terlebih, Fito memanggil mertuaku dengan sebutan "Oma"."Nenek itu apa, Ma?" tanyanya."Nenek itu, sama seperti Oma, Sayang. Ibunya mama, kalau Oma itu ibunya Papa." Aku tidak tahu, apa Fito mengerti yang sedang aku jelaskan."Kita pindah ke sana aja, ya? Di sini udah gak ada Mbak Mitta dan Tante Erna lagi soalnya," terangku. Fito mengangguk pelan.Sebenarnya, ia belum mengerti ke mana perginya Erna dan Mitta. Yang ia tahu, bahwa di rumahnya sudah tidak ada orang. Fito beranggapan kalau Erna sudah pindah rumah."Iya. Mbak Mitta sama mamanya sudah pindah lumah, ya? Kita juga pindah lumah? Horeee!" teriaknya dengan girang.Aku haru
Setelah berjalan beberapa langkah, aku mencoba untuk menelpon akan Azam untuk yang terakhir kalinya. Karena setelahnya, aku akan menjual benda pipih ini.Sepertinya Azam sedang sibuk, tiga kali aku memanggil lewat sambungan telepon, tidak ada satu jawaban darinya. Ya, sudahlah, mungkin memang sudah jalannya aku berpisah dengan Azam. Aku menghela napas panjang, membuang semua beban perlahan. Kembali berjalan untuk mencapai gang yang ada di depan sana.Tidak punya kendaraan membuatku sulit bergerak, membawa barang-barang sebanyak ini, dan menggendong Fito. Sesekali dia berjalan, tetapi lebih banyak aku gendong. Sampai di pangkalan ojek, Bang Avan menyapa."Mau ke mana, Mbak?" sapanya.Bang Agus, Bang Amar, pun menatap heran. Pandangan mereka terhenti pada barang bawaanku."Loh, mau ke mana? Kok, bawa koper segala?" tanya Bang Amar. Aku tahu, pasti ia akan mengadu dan bercerita kepada istrinya. Orang-orang di kontrakan ini, selalu ingin tahu urusan orang lain. Tidak membedakan laki-laki
( POV Bo'eng / Arka Pratama )Aku menikahi perempuan kampung bernama July, itupun karena sangat terpaksa. Kalau bukan karena dia hamil, aku tidak mungkin mau menikahi dirinya. Dasar bodoh! Sudah seringkali aku katakan, gunakan alat kontrasepsi atau meminum pil KB sebelum melakukan hubungan intim.Hari itu, aku mencurigai keadaan tubuhnya yang terlihat berisi di bagian perut. Si pemilik tubuh bahkan tidak menyadari jika dirinya sedang hamil! Aku begitu membencinya sampai detik ini.Dua tahun lalu, aku tidak sengaja bertemu dia di dalam kamar kost Irma, seorang PSK langgananku. Ia juga bekerja di warung nasi milik seorang janda bernama Mpok Minah yang aduhai bahenolnya.Biasanya, kami yang makan di sana bukan sekedar makan siang semata, tetapi juga menikmati lekuk tubuh yang dipamerkan oleh perempuan berbadan sintal itu. Kadang, Mpok Minah tak segan-segan duduk di atas batang kemaluanku hingga mengeras, lalu ia dengan sengaja menggoyang-goyangkan pantat besarnya. Ah, jika membayangkanny
Aku berjalan tanpa tujuan, ke mana lagi akan ku singgahi? Uang hanya tersisa 108 ribu di tabungan, sementara di saku celana hanya 10 ribu saja. Uang sisa penjualan ponsel sudah habis untuk makan dan biaya perjalanan ke sini."Erna, Azam, aku seperti sebatang kara yang tidak punya tujuan," ucapku."Mama, aus," rintihnya."Iya, Nak. Sebentar lagi, ya. Kita minta minum dulu aja di sana." Aku menunjuk ke warung kecil di seberang sana.Namun, baru saja kami ingin menyeberang, dari kejauhan ada yang memanggil namaku."July! Jul!" teriaknya. Aku menoleh, ternyata itu adalah Ambar, teman kecilku."Ambar? Apa kabar?" tanyaku tidak percaya. Melihat penampilan Ambar yang benar-benar berubah, menjadi cantik dan langsing pastinya.Ambarwati, gadis berkulit hitam, berambut kribo, bermata belo, berbadan tambun. Tingginya hanya 150 CM saja, jauh dari kata cantik apalagi seksi. Namun, hari ini, dia berubah 180 derajat. Cantik dan seksi begitu tersemat di dirinya.Awalnya, memang aku tidak mengenali, t
Semalam aku tidak bisa tidur, mungkin saja karena suasana baru yang membuat tubuh belum bisa menyesuaikan dengan keadaan di sini. Hari ini, aku akan belajar banyak tentang cara bagaimana merayu seorang pria tentunya. Bagaimana berjalan dengan menggunakan sepatu berhak tinggi, dan caranya meminum minuman keras tanpa harus mabuk. Lalu, membeli beberapa baju untuk keperluan bekerja nanti. Karena baju-baju yang aku bawa dari rumah, tidak cocok untuk bekerja di klub malam. Tidak seksi kata Ambar."Kamu mau ngebabu, atau mau merayu laki-laki, Jul?" Ambar terkekeh saat membongkar isi koperku.Memang, pakaian itu adalah pakaian rumah sehari-hari. Bahkan, baju yang Azam belikan pun tertutup."Kalau mau kerja di klub itu, bajunya ya harus mini. Harus terbuka atas bawah, bukan seperti ini!" sambungnya kembali.Aku hanya diam saja tidak tahu mau bicara apa lagi. Ambar pun memperlihatkan baju tidur miliknya, lingerie. Baju yang tembus pandang seperti kurang bahan."Hah, ini baju apa pelapis tirai,
Langkah kami terhenti di depan sebuah pintu, Ambar mengetuk detik kemudian membukanya. Cahaya temaram membuatku sedikit sulit melihat ke dalam ruangan, tak berapa lama lampu menyala. Pria berbadan tambun itu berdiri dan menghampiri kami, menatapku sekilas lalu merangkul pinggang Ambar. Tawanya melebar ketika Ambar menempelkan bibir ke telinganya sekedar berbisik, lalu menatapku kembali dan mencium pipiku."Aldo." Laki-laki itu menyodorkan telapak tangannya padaku.Ruangan ini, jauh lebih sunyi dari pada di depan tadi. Hanya ada suara dari lagu yang diputar."Naya." Aku menjawab dengan berbohong. Ambar menyuruhku untuk tidak memakai nama asli, Naya adalah nama pemberian darinya."Cantik." Tangan kami masih saling menjabat. Ia menatapku lekat.Ya, sebelum ke sini, Ambar mengajakku ke salon terlebih dahulu. Mengubah gaya rambutku dan me-makeover wajah kampungan ini agar terlihat cantik."Terima kasih," jawabku."Kalian gak mau duduk? Aku capek, loh, berdiri terus." Ambar menyelonong dudu
Anak yang dibesarkan oleh Aldo Bastian Sanjaya, dan istrinya bernama Amara itu diberi nama Andrian Sanjaya. Pantas saja Andrian tidak pernah marah setiap kali Aldo menikmati perempuan malam, tetapi tidak untuk malam ini. Itu yang kudengar dari Ambar saat setelah kami pulang.Pemuda tampan itu, usianya kira-kira 25 tahunan. Wangi tubuhnya mengingatkan aku pada Azam, entah kenapa perasaanku menjadi tidak karuan saat melihatnya.Setelah pertengkaran tadi, kami tak langsung pulang. Kira-kira sekitar 40 menitan Aldo mengumpat Andrian, ia pun keluar ruangan meninggalkan kami. Kata Ambar, dia memang seperti itu jika sedang mabuk.Aku memijat kepalaku, "Gimana, Jul?" tanya Ambar.Kepalaku begitu berat, sepanjang perjalanan pulang tadi, aku memuntahkan seluruh isi di dalam perutku. Maklumlah, perdana minum wine."Gimana apanya?""Bisa, kan, kerja begitu? Tadi habis berapa gelas?""Iya. Oh, ya, tadi aku dikasih dua juta dan tiga ratus ribu. Minum tiga gelas udah mual," jawabku."Tapi mendingan,
Aku tertegun menatap Ambar juga sekeliling ruangan kamar ini. Benar. Aku hanya mimpi. Perlahan, tanganku mengusap kasar air mata yang mulai mengering di wajahku."Ada apa?" tanyanya lagi. Ambar terlihat begitu khawatir."Aku mimpi Azam ...," lirihku."Hmm. Kirain kenapa." Ambar menghela napas dengan kasar."Tapi begitu nyata, sampai aku nangis gini.""Beban di pundakmu itu terlalu berat, July. Sudah, tenang aja. Besok kamu pun akan melupakan rasa sakit itu, meskipun secara perlahan.""Iya, carikan aku tamu yang royal, Mbar.""Tenang aja, Jul. Tanpa kamu minta pun, aku bakalan kasih yang kakap. Gak mungkin aku kasih yang brekele. Hahaha." Aku dan Ambar tertawa bersama.Aku jadi teringat kembali dengan almarhum Erna, tapi aku tak mungkin menangis di depan Ambar."Ya, sudah. Aku ke kamar lagi, deh.""Iya."Hanya Erna yang bisa membuatku tertawa lepas, aku menumpahkan rasa rindu pada Erna lewat air mata. Meminta kepada Tuhan, agar dirinya dimudahkan dan dijauhkan dari siksa kuburnya.Aku
( SAKIT HATI )*****"Besok, dateng sama siapa si mami Mas?" aku berbasa-basi sedikit, membuka obrolan. Padahal sebenarnya, aku males bertanya. Dan berdoa dalam hati, agar besok mertuaku tidak jadi datang."Sama Bianca, yank". Jawabnya tanpa menoleh, karena mata terfokus di cacingnya. Aku pun mendapatkan sebuah ide."Aaagggghhhhh, tuh kan MATI!!!" Teriaknya penuh kekesalan menoleh kearahku dan menatap tajam, seakan-akan aku adalah mangsanya.Aku terkekeh, bagaimana dia tidak kesal? aku menutup layar ponselnya dengan tanganku."Makanya, kalau lagi diajak ngomong itu lihat kearahku dong!" aku pun membalas dengan suara tinggi dan melotot tajam kearahnya."Cacingku sudah sembilan juta beratnya, ahhh kamu ini!" persis seperti anak bocah umuran lima tahun, yang ketika mainan nya dirampas. Merengek tidak jelas."Lagian laki-laki kok mainnya game cacing. Ga gentle banget." Ledekku."Main game itu yang seperti ini, daripada main game yang nguras emosi." Timpalnya lagi."Pantes saja gak dewasa!
( KENANGAN MASA LALU )****Suster jaga datang untuk melihat air infusan, memberikan obat, lalu bertanya padaku. "Maaf, Bu. Apa keluarga pasien?" tanyanya dengan ramah.Aku mengangguk, "Iya, Sus. Saya anaknya.""Bisa ke ruang administrasi? Sejak kemarin kami menunggu, nanti malam tolong ditemani, ya. Jangan biarkan seperti semalam, tidak ada yang menjaga!" titahnya."Baik." Aku menjawab dengan menahan malu yang besar. "Bu, July ke ruang administrasi dulu, ya.""Iya, Nak. Terima kasih, ya."Aku segera menuju ruang yang diperintahkan, mengurus semua berkas-berkas ibuku. Aku masih tidak habis pikir, kenapa kakakku tidak mengurusnya terlebih dahulu!Setelah semuanya beres, aku mencari Azam untuk memberitahu padanya. Salahku tidak meminta nomer ponselnya.Perutku tiba-tiba berbunyi, baiklah aku melangkahkan kaki menuju kantin. Memesan nasi goreng seafood, teh manis hangat, dan kerupuk. Tak lupa, memesan makanan untuk Azam dan Fito nanti.Pesanan datang 10 menit kemudian. Perut semakin meli
( Ibu masuk rumah sakit )******Azam menitipkan kendaraan roda empat miliknya di sebuah bengkel ternama, gak jauh dari kafe Andrian. Setelah mempersiapkan semuanya, aku dan Fito membeli cemilan dan minuman terlebih dahulu untuk diperjalanan nanti. Meskipun sebenarnya, Azam bisa berhenti jika aku meminta, alangkah baiknya bersiap saja.Aku pun pamit kepada Andrian, lelaki itu memberikan sebuah amplop kecil padaku. Aku menolaknya karena tahu itu pasti uang. Akan tetapi, Andrian bersikeras menyuruhku untuk menerima. Katanya, untuk keperluan selama di kampung nanti.Azam mengecek kondisi mobil milik Ambar, mengisi angin pada ban kendaraan itu, lalu bersiap untuk menempuh perjalanan."Kalian lapar gak?" tanya Azam setelah memakai sabuk pengaman."Nggak. Kamu uda sarapan?" tanyaku balik."Belum.""Lisa gak nyiapin?" selidikku."Fito, kalau capek bilang, ya." Azam mengalihkan pembicaraan."Iya, Om. Fito seneng bisa jalan-jalan sama Om laagiiii.""Hehehe, Om juga." Azam menjawab sambil menge
( Bertemu dengan Azam kembali )****Aku meluapkan emosi pada Fito. Sudah sekian lama menyimpan kekesalan terhadap Mas Bo'eng dan ibunya. Tanpa berpikir ulang, aku telah memutuskan untuk membawanya Fito ke kampung halaman."Fito, nanti kamu tinggal di rumah Nenek, ya." Aku bersiap pulang ke kampung halaman bersama dengan Fito. Kali ini, aku tidak akan membawanya kembali lagi ke Jakarta."Gak mau, Fito mau sama mama aja." Fito menepis tanganku. Spontan saja membuat emosiku meluap."Tau diri sedikit kamu itu! Gara-gara kamu lahir, hidupku jadi hancur! Masa depan jadi suram!" teriakku.Sengaja aku berkata seperti itu, agar mereka mendengar apa yang aku rasakan selama ini. Bahkan, menjelang hari lahir Fito pun Mas Bo'eng acuh. Mengingat hari lahir anaknya pun, kurasa tidak ingat."Heh! Bisa kecilin suara lu gak, sih?!!" bentak mertuaku."Makanya, Fito! Jangan lahir dari rahim perempuan itu!" sergahnya lagi.Mas Bo'eng masih terlelap meskipun berisik. Dari ruang tamu, nyonya besar itu mele
( DEPRESI )*****Luka lama kembali mengangaBeribu perih tersimpan indahBersemayam tanpa paksaanMenikmati setiap kesakitan yang terciptaMerawat dendam merangkai benci*****Sudah satu bulan berlalu, Azam belum juga menghubungiku. Nomor WA milikku pun masih diblokir. Aku mencoba untuk menata hatiku, agar tidak terlalu memikirkannya.Hari ini, rencananya aku akan menjemput ibuku. Ponselku berganti kembali, ini adalah ketiga kalinya dihadiahkan oleh seseorang. Kali ini adalah pemberian dari Andrian."Mau ke mana lagi?" tanya Mas Bo'eng.Laki-laki itu sedang menikmati rokoknya. Luka lebam di tubuhnya masih terlihat membiru. Kadang kasihan, tetapi jika mengingat kembali kelakuannya, membuatku benci setengah mati!"Mau menjemput ibuku.""Ngapain?? Mau tidur di mana nanti??!" bentak Mas Bo'eng."Aku mau kerja, Fito biar dipantau sama Ibu nanti.""Gak bisa! Lagian, lu mau kerja di mana? Hahaha. Tamatan SMP mana ada yang mau terima kerja!" cibirnya merendahkan diriku."Tenang aja, Mas. Aku
(Pulang)" Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dikecewakan oleh seseorang, yang kau pikir tak akan pernah menyakitimu."~ ANONIM ~****Kami memasuki kawasan elit, perumahan yang terdiri hanya beberapa rumah megah saja. Pintu pagar terbuka lebar saat mobil Andrian membunyikan klakson mobil."Kita mau ke tempat siapa?" tanyaku takjub dengan apa yang kulihat.Bangunan-bangunan megah berjejer begitu indah. Ada yang rumah bergaya Eropa, Mediterania, ada juga yang bergaya seperti istana pada film kartun. Pilar-pilar kokoh itu, berdiri menambah kesan elegan pada rumah-rumah mewah di depan mataku.Ah, andaikan aku memiliki satu rumah seperti itu, gimana ya rasanya? Aku terkekeh dalam hati."Ayo, kita sudah sampai." Andrian membukakan pintu mobil, aku dan Fito turun.Andrian menggenggam tanganku, lalu kami berjalan bersama masuk ke dalam rumah mewah itu. Tak lama, pintu terbuka setelah Andrian mengetuknya."Ayo," ucapnya.Aku hanya tersenyum kepada wanita itu."Permisi," ucapku kepada a
( Kasus Bunuh Diri )" LUKA ... ada, BUKAN untuk dipendam. Namun, untuk disembuhkan. "*****Perempuan itu melompat! Siapa? Siapa dia? Kenapa bisa masuk ke kamar ini? Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada Andrian ataupun Fito! Di mana aku? Ke mana perginya mereka?Aku menyibak selimut dan melemparkannya ke sembarang arah, beranjak menuju jendela, dan ...."Nay! Nayaaa! Tungguuu! Jangaaann!" Suara seseorang yang aku kenal.Tangan Andrian mencengkeram erat pundakku, lalu ia pun mendorong tubuhku ke atas kasur. Aku masih belum mampu menguasai diri.Tubuhku terasa kaku, aku hanya menatap Andrian yang meracau. Aneh. Kenapa aku tidak bisa mendengar suaranya? Aku hanya melihat raut kepanikan dari wajah tampan itu, sambil memperhatikan gerak bibirnya.Tangan Andrian menampar pelan pipiku, tetap saja aku hanya mampu menatapnya. Beberapa menit kemudian, Andrian memercikkan air ke wajahku."Akh!" pekikku. Aku langsung mencari perempuan itu. Mendorong tubuh Andrian, lalu beranjak ke jendela
( Perempuan Berbaju Putih )____Alat-alat berwarna hijau menghinggapi tubuh-tubuh kaku itu. Perlahan, ulat-ulat belatung menjalar dan berjatuhan. Andrian kecil hanya menatapnya tanpa rasa jijik.Braaaakk!Pintu dibuka paksa oleh Aldo. Ia menendang dengan kasar, membuat pintu yang terbuat dari kayu itu roboh seketika. Pandangan orang-orang yang datang bersama Aldo dan istrinya itu, seketika menjerit menyebut nama Sang pemberi hidup.Secara bersamaan, mereka menutup hidung dengan kedua tangan. Ada yang memuntahkan seluruh isi perut mereka, karena tidak kuat mencium aroma busuknya.Aldo menelepon pihak berwajib, sedangkan Pak RT membubarkan para warga. Agar tidak mengganggu proses evakuasi nanti. Sementara itu, Andrian kecil hanya memperhatikan gerak-gerik orang dewasa sambil memegangi piring nasi yang telah berdebu."Hey! Cepat minggir, bodoh!" hardik Aldo kepada Andrian."Pa, sudah. Kasian anak itu," ucap Hanum, istrinya."Gimana ini, Ma? Si Danu sudah mati, siapa yang akan membayar h
(Ingatan Masa Lalu Andrian )~~~Cinta datang tanpa kita sadariPerlahan tumbuh begitu sajaHati saling mengikat meski tanpa ucapRasa saling memiliki lekat begitu nyataApakah semua itu hanya sebuah ilusi bagiku?Mencintaimu melebihi apa punRasaku begitu membuncah kala teringat akan dirimuSenyummu, suaramu, napasmu, semua tentangmu~ Amoy Shanghai ~****Ah, aku amat merindukan Azam. Berdekatan dengan Andrian, membuatku semakin terluka menahan rinduku pada Azam. Perlakuan, perhatian, dan senyum mereka nyaris serupa.Aku mengikuti saran Andrian, menginap di salah satu kamar apartemen di tower C. Memang, bangunan ini dikhususkan untuk para pelancong atau siapa pun yang hendak menginap harian melepas penat bersama orang terkasih.Lantai 53, adalah kamar aku dan Fito. Sementara Andrian, menginap di lantai 50. Sebenarnya, aku masih trauma dengan ruangan hotel, takut jika melihat penampakan lagi seperti waktu itu. Akan tetapi, aku juga tidak mungkin berada di dalam satu kamar yang sama d