Semalam aku tidak bisa tidur, mungkin saja karena suasana baru yang membuat tubuh belum bisa menyesuaikan dengan keadaan di sini. Hari ini, aku akan belajar banyak tentang cara bagaimana merayu seorang pria tentunya. Bagaimana berjalan dengan menggunakan sepatu berhak tinggi, dan caranya meminum minuman keras tanpa harus mabuk. Lalu, membeli beberapa baju untuk keperluan bekerja nanti. Karena baju-baju yang aku bawa dari rumah, tidak cocok untuk bekerja di klub malam. Tidak seksi kata Ambar."Kamu mau ngebabu, atau mau merayu laki-laki, Jul?" Ambar terkekeh saat membongkar isi koperku.Memang, pakaian itu adalah pakaian rumah sehari-hari. Bahkan, baju yang Azam belikan pun tertutup."Kalau mau kerja di klub itu, bajunya ya harus mini. Harus terbuka atas bawah, bukan seperti ini!" sambungnya kembali.Aku hanya diam saja tidak tahu mau bicara apa lagi. Ambar pun memperlihatkan baju tidur miliknya, lingerie. Baju yang tembus pandang seperti kurang bahan."Hah, ini baju apa pelapis tirai,
Langkah kami terhenti di depan sebuah pintu, Ambar mengetuk detik kemudian membukanya. Cahaya temaram membuatku sedikit sulit melihat ke dalam ruangan, tak berapa lama lampu menyala. Pria berbadan tambun itu berdiri dan menghampiri kami, menatapku sekilas lalu merangkul pinggang Ambar. Tawanya melebar ketika Ambar menempelkan bibir ke telinganya sekedar berbisik, lalu menatapku kembali dan mencium pipiku."Aldo." Laki-laki itu menyodorkan telapak tangannya padaku.Ruangan ini, jauh lebih sunyi dari pada di depan tadi. Hanya ada suara dari lagu yang diputar."Naya." Aku menjawab dengan berbohong. Ambar menyuruhku untuk tidak memakai nama asli, Naya adalah nama pemberian darinya."Cantik." Tangan kami masih saling menjabat. Ia menatapku lekat.Ya, sebelum ke sini, Ambar mengajakku ke salon terlebih dahulu. Mengubah gaya rambutku dan me-makeover wajah kampungan ini agar terlihat cantik."Terima kasih," jawabku."Kalian gak mau duduk? Aku capek, loh, berdiri terus." Ambar menyelonong dudu
Anak yang dibesarkan oleh Aldo Bastian Sanjaya, dan istrinya bernama Amara itu diberi nama Andrian Sanjaya. Pantas saja Andrian tidak pernah marah setiap kali Aldo menikmati perempuan malam, tetapi tidak untuk malam ini. Itu yang kudengar dari Ambar saat setelah kami pulang.Pemuda tampan itu, usianya kira-kira 25 tahunan. Wangi tubuhnya mengingatkan aku pada Azam, entah kenapa perasaanku menjadi tidak karuan saat melihatnya.Setelah pertengkaran tadi, kami tak langsung pulang. Kira-kira sekitar 40 menitan Aldo mengumpat Andrian, ia pun keluar ruangan meninggalkan kami. Kata Ambar, dia memang seperti itu jika sedang mabuk.Aku memijat kepalaku, "Gimana, Jul?" tanya Ambar.Kepalaku begitu berat, sepanjang perjalanan pulang tadi, aku memuntahkan seluruh isi di dalam perutku. Maklumlah, perdana minum wine."Gimana apanya?""Bisa, kan, kerja begitu? Tadi habis berapa gelas?""Iya. Oh, ya, tadi aku dikasih dua juta dan tiga ratus ribu. Minum tiga gelas udah mual," jawabku."Tapi mendingan,
Aku tertegun menatap Ambar juga sekeliling ruangan kamar ini. Benar. Aku hanya mimpi. Perlahan, tanganku mengusap kasar air mata yang mulai mengering di wajahku."Ada apa?" tanyanya lagi. Ambar terlihat begitu khawatir."Aku mimpi Azam ...," lirihku."Hmm. Kirain kenapa." Ambar menghela napas dengan kasar."Tapi begitu nyata, sampai aku nangis gini.""Beban di pundakmu itu terlalu berat, July. Sudah, tenang aja. Besok kamu pun akan melupakan rasa sakit itu, meskipun secara perlahan.""Iya, carikan aku tamu yang royal, Mbar.""Tenang aja, Jul. Tanpa kamu minta pun, aku bakalan kasih yang kakap. Gak mungkin aku kasih yang brekele. Hahaha." Aku dan Ambar tertawa bersama.Aku jadi teringat kembali dengan almarhum Erna, tapi aku tak mungkin menangis di depan Ambar."Ya, sudah. Aku ke kamar lagi, deh.""Iya."Hanya Erna yang bisa membuatku tertawa lepas, aku menumpahkan rasa rindu pada Erna lewat air mata. Meminta kepada Tuhan, agar dirinya dimudahkan dan dijauhkan dari siksa kuburnya.Aku
Tok! Tok! Tok!Ketukan pintu dari luar kamar, membuat aku dan Fito segera keluar. Mbak Ina dan Ambar sudah siap, kami bergegas ke garasi lalu masuk ke dalam mobil. Tentu saja, tugas membuka dan menutup pintu adalah tugas satpam di rumahnya."Nanti sekalian kami beli baju," ucap Ambar ketika mobil sudah melaju."Iya, untung aja semalem dapet dari Aldo, ya.""Itu simpen aja dulu, pakai uangku dulu aja.""Belum apa-apa, hutangku sudah menumpuk nanti," keluhku."Idih, ini bukan utang. Tenang aja, aku yang beliin."Aku dan Ambar duduk di bangku depan, sedangkan Fito dan Mbak Ina duduk di bagian tengah. Mobil Ambar terdapat TV kecil di setiap jok bangku—sisi belakangnya—jadi Fito anteng menonton.***"Yeee, sudah sampai kita. Ayo, turun!" seru Ambar.Dulu, mall ini banyak menyimpan kenangan bersama ibu dan kakakku. Ah, kenyataan membuatku sulit bernapas jika mengingat semua itu. Langkahku terhenti ketika melihat bapak-bapak tua memegang mangkuk tepat di pintu masuk, tanganku mencari sesuatu
"Seberat apapun beban masalah yang kamu hadapi saat ini, percayalah bahwa semua itu tidak pernah melebihi batas kemampuanmu."***Dengan rasa percaya diri, aku melangkah masuk ke klub "The Angel" itu, para perempuan malam banyak yang lebih muda dariku. Alasan mereka memilih jalan ini pun, tak jauh berbeda denganku. Ada juga anak dari orang kaya, yang rusak karena salah bergaul, karena tidak mendapat perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya.Aku tahu, banyak yang iri dan tidak suka dengan kehadiranku. Tapi, karena mereka tahu aku adalah temannya Ambar—pemilik klub malam tempatnya bekerja—perempuan-perempuan itu memilih menghindar dariku."Hey, Naya!" jerit Mona, salah satu senior di klub ini. Badannya masih terjaga meski usianya sudah berkepala empat. Wajah cantik bukan hal utama di klub ini, goyangan dan makeup tebal adalah prioritas utama kami."Iya." Aku membalas lambaian tangannya dan menuju tempatnya duduk."Mana si Mami?" tanyanya ketika aku sudah berada tepat di sampingnya.
Aku pulang membawa senyum merekah sepanjang waktu, kebetulan besok adalah tujuh harian Erna. Aku menjadi sedih kembali, dalam hati berjanji padanya akan datang berziarah ke makamnya setelah urusanku selesai di sini."Mamaaa!" teriak Fito yang lagi bermain di taman depan bersama Mbak Ina."Halo, sayangnya mama." Kedua tangannya direntangkan, tanda meminta gendong."Ambar sudah pulang, Mbak?" tanyaku pada Mbak Ina."Sudah, barusan juga.""Oke, titip Fito bentar, ya.""Iya, Mbak."Aku setengah berlari masuk ke dalam rumah dan segera memasuki kamar Ambar.Tok! Tok! Tok!"Ambar, boleh masuk gak?" ucapku."Masuk aja," jawabnya dari dalam.Pintu terbuka, hawa dingin dari AC pun menguar menusuk persendian."Cieee, cerah amat mukanya?" goda Ambar. Aku hanya tersenyum simpul."Makasih banget, Mbar. Semua berkat kamu, tadi Aldo kasih aku duit. TIGA PULUH JUTA!" jeritku dengan histeris."Hahaha. Uang segitu gak ada arti apa-apa bagi Aldo, Naya!""Tapi, uang segitu amat besar untuk siapa pun, kan?
Sayup-sayup suara rintihan terdengar begitu menyayat hati, berganti menjadi suara yang menyeramkan. Lengkingan tawa memekakkan telinga, di mana aku? Gelap menyelimuti.Apakah aku sudah mati? Kenapa begitu gelap? Di mana aku? Panik? Tentu saja aku panik dan hampir menangis, mengingat dosa yang belum terkikis. Fito! Di mana Fito? Kenapa begitu hening?"Ambaaar! Fito! Mbak Ina!" jeritku berulang kali. Tetap tak ada jawaban. Aku menelisik ke sekeliling, hanya pekat tanpa pendar cahaya sedikitpun."Juliii ...," lirih kecil terdengar samar."S-ssi-siapa?" tanyaku dengan mata awas. Aku meraba dengan langkah gemetar, menggeser tapak kaki sepelan mungkin. Takut, jika ada lubang atau semacamnya."Tolong aku, July ...." Suara itu terdengar sangat dekat, seperti suara Erna."Erna? Apakah itu kamu?" tanyaku dengan menahan tangis. Sebab, tenggorokanku sudah terasa sakit. Untuk menelan air liur pun seakan tak mampu."Tolong aku, Bang Wendra sudah membuatku seperti ini. Dia harus membayar dosanya! To