Dimas POV,
"Hah!"Helaan nafas panjang lolos dari bibirku begitu sambungan telepon dengan Mbak Astri terputus. Seketika aku juga merasa kehilangan harapan pada istriku sendiri.Belum rampung masalah yang menimpa rumah tanggaku kemarin, sekarang tercipta lagi masalah baru yang lebih besar. Aku sudah mengatakan pada Tiana bahwa dia tidak perlu mendekati Mas Ruslan hanya demi alasan yang dia sebutkan itu. Tapi kenapa dia tetap bersikukuh melakukannya?Apakah hanya itu jalan yang terpikir olehnya untuk mengatasi masalah orang tuanya? Bagaimana kalau dugaannya mengenai Mas Ruslan yang memiliki banyak uang itu ternyata salah? Atau mungkinkah itu hanya alasan Tiana semata hanya agar aku memberinya celah untuk mendekati Mas Ruslan? Tetapi kenapa harus Mas Ruslan? Hal menarik apa yang dimiliki oleh kakakku yang tidak pernah dianggap dalam keluarga itu.Berbagai macam pertanyaan memenuhi kepalaku hingga rasanya ingin pecah. Apalagi di tengah iDimas POV, "Tidur?""Kamu dari pagi sampai jam segini masih tidur?" tanyaku dengan intonasi suara yang naik beberapa oktaf. "Aku kalau lagi stres emang lebih suka tidur," jawab Tiana dengan acuh tak acuh. Dia bahkan mengangkat bahunya masa bodoh melihat amarah yang sedang berusaha aku tekan. " ... "Untuk sementara, aku dibuat kehilangan kata-kata atas ucapan yang dilontarkan oleh Tiana. Mendengar istriku ini mengatakan secara tidak langsung bahwa dia sedang stres membuat setengah bagian hati kecilku bergetar goyah. Namun, sebagian hati kecilku yang lain meminta agar aku tetap waras. Permasalahan yang sedang melanda hubunganku dengan Tiana harus segera dibicarakan, dan tidak dibiarkan berlarut-larut. "Kemarin aku sudah melarang kamu untuk ikut campur dalam masalah rumah tangga Mas Ruslan. Tetapi kenapa kamu tetap melakukannya? Video di grup ibu-ibu kompleks itu kamu yang kirim?" tanyaku dalam satu tarikan nafas panj
Dina POV, "Aku hamil, Mas. Aku harus gimana?"Aku memijit kepalaku yang terus berdenging menyakitkan ketika mengingat sepenggal kalimat yang dikatakan Astuti tadi malam. Aku tidak sakit hati karena mengetahui wanita itu sedang mengandung anak dari suamiku, tetapi aku benci ketika melihat anakku sendiri menyambut baik kehamilan wanita itu. Anakku bahkan dengan girang berucap bahwa dia sangat bahagia karena sebentar lagi akan memiliki adik. "Setelah ini bagaimana?" Aku bertanya-tanya pada diri sendiri. Jika Mas Arifin memutuskan untuk menikahi Astuti, apa yang harus aku lakukan? Aku belum menemukan cara agar aku bisa memiliki putraku seutuhnya. Bagaimana aku harus menjelaskan pada Aldi bahwa situasi ini tidak baik untuknya. Bahwa kedua pasangan laknat itu bersikap baik padanya saat ini hanya karena mereka ingin mendapatkan restu dari Aldi untuk hubungan mereka. Dan aku yakin jika keinginan mereka tercapai, mereka pasti akan mengabaikan
Sejak semalam hingga pagi ini, ponselku terus berdering memunculkan nama ibu mertua. Aku yang beberapa hari ini telah mulai terbiasa hidup tanpa gangguan dari ibu mertua tiba-tiba dibuat meringding karena rentetan telepon dan pesan masuk yang datang. [Angkat teleponnya. Anak durhaka!]Adalah salah satu bunyi pesan yang dikirim bertubi-tubi oleh ibu mertua. "Mas, ibu ada nelepon kamu, nggak?" tanyaku ketika kami sedang menyantap sarapan. "Ada!" jawab Mas Ruslan singkat. "Lalu, kamu angkat?" tanyaku. "Nggak!" "Oh~""Kenapa?" tanya Mas Ruslan tatkala menemukan reaksiku yang tak biasa. "Aku kepo ada apanya, tapi aku nggak mau angkat telepon, dan nggak mau keberisikan juga karena teror telepon dari beliau," jawabku dengan jujur. "Kalau gitu, nonaktifkan saja teleponnya," ujar Mas Ruslan memberi saran. "Ya nggak bisalah. Pelanggan 'kan nelepon ke nomor ini," timpalku. "Mak
"Ibu apa-apaan sih? Kok main pukul Mas Ruslan begini?" ucapku sewot karena serangan tiba-tiba ibu mertua pada suamiku. "Dasar anak durhaka. Kamu tahu orang tuamu sudah tua, tapi kenapa kamu malah membiarkan mereka masih bekerja keras untuk sesuap nasi? Diusia yang sekarang ini, sudah seharusnya kami menikmati bakti dari anak-anak!" seru ibu mertua. "Ini semua gara-gara wanita sial yang kamu nikahi ini, kamu jadi pembangkang!" Ibu mertua meraung dengan ganas sambil terus memukul dada Mas Ruslan. Aku rasanya ingin mengamuk mendengar ucapan ibu mertuaku ini. Kenapa masih saja ada orang tua yang tidak paham-paham juga mengenai tugas anak laki-laki mereka yang sudah menikah? "Bu, tolong jangan begini," ujar Mas Ruslan lirih sambil meraih pergelangan tangan ibu mertua. "Tolong pahami posisiku juga yang nggak mudah, Bu!" tukas Mas Ruslan menambahkan dengan nada memelas. Dia terlihat mulai lelah menghadapi wanita paruh baya di depannya. Bukannya melun
"Apa maksud dari semua ini, Mas?" tanya Dimas pada Mas Ruslan yang seperti biasa selalu tampak tenang dan santai. "Jangan tanya apa maksudnya padaku. Tanyakan saja pada istrimu. Dia yang tiba-tiba datang kepadaku, lalu mengucapkan kata-kata itu," jawab Mas Ruslan masih dengan ketenangannya. "Tiana?" tanya Dimas kepada istrinya yang mulai menundukkan kepalanya dalam-dalam. " ... "Akan tetapi, Tiana tidak menjawab. Kepalanya tertunduk semakin dalam hingga orang-orang hanya bisa melihat puncak kepalanya saja. "Tiana, kenapa kamu bisa mengatakan itu? Darimana kamu mendengar omong kosong macam ini?" tanya Mbak Dina dengan intonasi suaranya yang menahan geram. " ... "Tiana masih tampak enggan untuk menjawab. Hal ini membuat wajah ibu mertua memerah menahan amarah. Bibirnya bergetar dan matanya semakin melotot mengerikan hingga mata itu kelihatannya Akan jatuh menggelinding ke lantai. Danis yang ditempatkan dalam huru-h
"Kamu jangan ke-GR-an deh, Mas. Aku buntutin kamu bukan karena aku naksir kamu!" seru Tiana dengan pongah. "Aku nggak pernah bilang kamu naksir aku. Tapi lalu apa alasannya?" tanya Mas Ruslan dengan aktif. Dimas yang tampak masih syok karena informasi awal tadi hanya bisa menatap bolak-balik antara Mas Ruslan dan istrinya sendiri. Sementara aku, mataku terus menatap lekat pada Tiana. "Aku cuma penasaran, dengan melihat kamu bisa liburan ke Bali waktu itu, ditambah lagi kamu menyekolahkan anak kamu di sekolah yang mahal, kamu pasti punya banyak uang 'kan?" tukas Tiana. "Punya banyak uang atau tidak, aku rasa itu tidak ada urusannya sama kamu. Kalau aku punya banyak uang kenapa? Kalau aku nggak punya uang juga kenapa?" timpal Mas Ruslan dengan santai. "Kalau kamu punya banyak uang, seharusnya kamu tidak menyembunyikannya. Kenapa coba kamu harus main kucing-kucingan sama keluarga kamu sendiri?" pungkas Tiana. Aku yang mendenga
"Lebih jelasnya, apa yang ingin bapak ketahui?" tanya Mas Ruslan pada bapak. Susunan kalimatnya begitu formal seolah dia tidak sedang berbicara dengan seseorang yang telah membuatnya hadir di dunia. "Bagaimana dengan apa yang dikatakan oleh Tiana?" tanya bapak mertua sambil menghembuskan asap rokok yang tidak bosan-bosannya beliau sesap sejak tadi. Baik aku maupun Mas Ruslan tahu dengan jelas apa yang sebenarnya ingin diketahui oleh bapak mertuaku ini. Dan karena hal ini, aku semakin kehilangan rasa segan pada beliau. Berbeda dengan saat di ruang keluarga tadi, kali ini aku menyerahkan segalanya pada Mas Ruslan. Terserah suamiku itu apakah dia ingin memberitahu bapak mertua mengenai usaha yang telah kami rintis diam-diam atau tidak. Aku lantas mengunci mulut rapat-rapat, dan membuka telinga lebar-lebar untuk mendengar obrolan bapak dan anak ini. "Tapi aku mau membahas soal ibu kandungku lebih dulu. Jika bapak berkenan, aku ingin tahu siapa ora
Dimas POV, Informasi yang aku terima malam ini benar-benar mengejutkan. Aku tidak pernah tahu bahwa Mas Ruslan ternyata bukan anak kandung ibu. Tetapi ketika aku memikirkannya dengan baik, alasan sikap ibu yang sering berat sebelah pada kami pun akhirnya bisa dijelaskan. "Maksud kamu apa sih Mas memojokkan aku seperti tadi?" tanya Tiana setelah kami kembali ke dalam kamar. "Aku nggak bermaksud untuk memojokkan kamu. Masalah ini benar-benar perlu untuk diluruskan agar tidak semakin menjadi-jadi," jawabku dengan tenang. "Halah, alasan kamu doang!" timpal Tiana tidak mau percayaAku pun menghela nafas dengan lelah. "Kalau saja kamu mau jujur dan terbuka sama aku dari awal. Aku nggak bakal sampai mengambil tindakan seperti tadi," ucapku tidak menrima disalahkan. Tiana yang juga tampak tidak terima pun membelalakkan matanya. "Aku udah jujur sama kamu mengenai tujuanku yang ingin mendekati Mas Ruslan kemarin malam loh, Mas!" seru
Untuk yang kedua kali, aku dan keluarga mengunjungi Bali. Kali ini aku berhasil membujuk ayah dan ibu untuk ikut turut serta. Alasannya adalah biar ada yang menemani ibu mertuaku untuk hanya sekedar mengobrol dengan orang seusianya."Kamu yakin semuanya akan baik-baik saja?" tanya ibu ketika kami baru saja tiba di Bali."Kenapa harus nggak baik-baik aja?" tanyaku dengan santai."Ibu mertua kamu benar-benar setuju nggak kalau kami ikut?" tanya ibu masih tidak yakin."Setuju kok. Ibu tenang aja. Ibu mertuaku sekarang baik. Kalau ibu nggak percaya, nanti kita buktikan!" ujarku dengan percaya diri."Kamu yakin?" tanya ibu lagi."Halah ibu ini, kenapa malah jadi kamu yang paranoid?" sambar bapak.Beliau sepertinya risih dengan pertanyaan yang sudah berulang kali diajukan oleh ibu sejak kemarin."Ih, bapak. Ibu kan cuma nanya," protes ibu atas reaksi bapak."Ya habis ibu nanya itu terus. Telinga bapak panas d
Dina POV,Berbulan-bulan berlalu, wacanaku untuk menculik Aldi dari ayah kandungnya sendiri selama ini hanya berakhir sebagai wacana. Aku tidak bisa membawa Aldi pergi menjauh dari ayah kandungnya tanpa persetujuan dari anak itu sendiri. Walaupun menyakitkan, aku tetap berusaha untuk menghargai keinginan Aldi."Aku tidak mengharapkan Aldi akan diabaikan oleh ayahnya sih. Tapi aku pikir begitu anaknya si Astuti lahir, fokus si Arifin pasti akan lebih dominan pada istri dan anak barunya," tukas Sadewa yang masih setia tinggal di desa ini untuk menemaniku."So?""Mungkin saat itu kamu bisa kembali merayu Aldi untuk tinggal bersamamu," ujar Sadewa."Hm," gumamku sembari menganggukkan kepala pelan tanpa menoleh ke arah Sadewa yang sedang duduk di balik kemudi.Saat ini, aku dan dia sedang menunggu di depan sekolahnya Aldi. Aku sangat merindukan anak yang beberapa waktu ini menolak untuk menemuiku. Semua ini lantaran dia marah padaku k
Aku memasak makan siang di bawah pengawasan ibu mertua. Awalnya terasa tidak nyaman, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai melupakan keberadaan beliau dan sepenuhnya fokus pada pekerjaan yang ada di tangan.Setelah sibuk berkutat di depan panci dan wajan, akhirnya masakan yang aku buat matang. Dengan telaten aku mulai menyendok nasi beserta lauk pauknya ke atas piring, lalu menyajikannya di depan ibu mertua."Coba aja kamu melakukan hal seperti ini dari dulu," celetuk ibu mertua.Aku spontan memutar mata. "Ini semua gara-gara ibu sih. Coba kalau ibu nggak keseringan sensi dan marah-marah," timpalku dengan santai."Cih," balas ibu mertua."Ayo makan siang. Setelah ini aku harus kembali kerja," ujarku seraya mengambil tempat duduk di kursi yang berada tepat di hadapan ibu mertua."Hubunganmu dengan Ruslan gimana?" tanya ibu mertua sembari mulai menyendok makanan ke dalam mulutnya."Sangat baik!" jawabku dengan
Hari demi hari masih berlalu dengan monoton seperti biasanya. Kata-kata bapak masih menghantuiku hingga saat ini, tetapi aku belum memiliki keberanian untuk pergi ke rumah ibu mertua untuk merayunya atau apalah itu.Selentingan kabar mereka diam-diam aku cari tahu melalui akun sosial media yang ada. Dan dari sana aku mengetahui bahwa Arumi dan ibu Sarinah telah kembali ke ibu kota. Ada juga kabar perceraian Dimas dan Tiana, serata kabar perceraian Mbak Dina dan suaminya.Rentetan kabar buruk yang datang satu demi satu menyambangi keluarga Hadinata membuat grup whats*app kompleks diibaratkan layaknya air yang dituangkan ke dalam minyak panas. [Keluarga Hadinata lagi dikasih banyak banget cobaan belakangan ini,][Ho-oh. Aku tidak menyangka umur pernikahan si Dimas bakal singkat banget. Padahal dia kelihatan cinta banget sama istrinya,][Isi dapur orang nggak ada yang tahu,][Memang sih,][Belum lagi si Dina juga bercerai.
Dina POV,"Din, hubungan kamu dengan Arifin bagaimana sih sebenarnya?" tanya bapak ketika kami sedang menyantap makan malam." ... "Karena makanan yang masih ada di dalam mulutku, aku tidak langsung memberi jawaban."Kamu juga, Dim. Tiana kemana? Kok dia nggak pulang-pulang?" tukas bapak pada Dimas yang duduk di sampingku."Aku dan Tiana berencana untuk bercerai," jawab Dimas dengan santai."Bercerai? Kenapa?" tanya ibu terdengar cukup terkejut.Dimas mengangkat bahunya pelan seraya berkata. "Sudah tidak ada kecocokan. Kalian masih ingat mengenai dia yang meminjam uang 100 juta untuk menutupi hutang keluarganya?" "Iya, terus kenapa?" tanya ibu dengan sedikit nada mendesak dalam suaranya."Aku tidak bisa membantunya untuk mencari jalan keluar terkait hutang itu. Alhasil dia mendekati banyak pria yang bersedia memberikannya uang secara cuma-cuma," jawab Dimas dengan enteng."What?!" seruku tida
"Kakek!""Nenek!"Danis berteriak dengan antusias tepat ketika kami baru tiba di rumah orang tuaku. Kebetulan saat ini kami bertemu dengan bapak dan ibu yang baru saja pulang dari sawah tepat di depan pintu gerbang rumah. "Danis, apa kabar? Nenek sama kakek udah lama nggak ketemu Danis," sambut ibuku dengan nada yang dibuat sedih ketika melihat cucunya.Memang beberapa minggu belakangan ini, kami terlalu sibuk mengurus toko yang baru dibuka, sehingga kami tidak bisa datang berkunjung ke rumah orang tuaku ini seperti biasanya."Iya nih. Bapak sama ibu sibuk-sibuk terus!" timpal Danis turut merajuk sambil bibirnya dimajukan beberapa sentimeter."Ayo, ngobrolnya di dalam aja," tukas bapak sembari membuka pintu gerbang untuk kami."Rumah kok sepi, Pak? Wisnu mana?" tanyaku."Di kosnya. Kamu lupa kalau adik kamu itu sudah masuk kuliah?" tukas bapak."Oh, aku lupa," timpalku seraya menepuk kepalaku pelan.
Dina POV,"Bu, apa rencana ibu selanjutnya?" tanyaku pada ibu setelah kami kembali ke rumah. Saat ini hanya ada aku, dan ibu saja yang ada di rumah. Bapak memilih untuk pergi ke peternakan dan menghabiskan waktu di sana. Sementara itu, Dimas sudah berangkat ke kantor."Entahlah. Ibu juga tidak tahu," jawab ibu dengan nada gamang. Aku pun menghela nafas lelah."Ibu tidak mau bercerai saja dengan bapak. Lalu memulai kehidupan baru?" tanyaku dengan hati-hati. Aku takut membuat ibu terlalu emosional." ... "Hening,Ibu tidak langsung menimpali ucapanku. Mata beliau terlihat menerawang jauh. Dan aku pun tidak mendesak ibu untuk segera menjawab. Hal-hal terkait hati memang tidak bisa diputuskan dengan mudah."Baik bibi Sarinah dan juga Ruslan telah memutuskan jalan hidup mereka sendiri. Dan tampaknya mereka juga bahagia-bahagia saja dengan pilihan hidup mereka saat ini. Hanya tinggal ibu saja yang masih terjerat dal
Dimas POV,Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi ketika semua drama mengenai orang tua kandung itu selesai. Setidaknya itu yang mereka katakan. Sementara menurutku, penyelesaian seperti ini agak terdengar tidak benar. Akan tetapi, jika ditanya hasil seperti apa yang aku inginkan atas masalah ini, tentu saja aku tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Karena orang-orang yang terlibat dalam masalah ini telah memutuskan untuk terus melangkah. Hanya ibu yang tampaknya masih terus terjerat dalam masa lalu. Namun, bahkan jika aku mengatakan apapun hingga berbusa, kalau ibu telah membuat keputusan keras kepala sendiri, lantas apa yang bisa aku lakukan?Rambutku yang sudah disisir dengan rapi, aku acak hingga berantakan. Masalah keluarga ini sungguh tidak ada habisnya!"Tau ah. Terserah mereka!" dumelku seraya mulai menyibukkan diri dengan pekerjaan yang ada di hadapanku kini.Dikarenakan masalah keluarga tadi, aku sampai harus minta i
"Jadi, masalah ini sudah selesai sampai di sini 'kan?" tanya Mas Ruslan dengan intonasi datarnya yang seperti biasa."Iya!" timpal ibu Sarinah."Kalau begitu, kami bisa pulang duluan 'kan? Aku masih punya banyak pekerjaan," tukas Mas Ruslan."Baiklah, ayo bubar!" pungkas Mbak Dina mengikuti.Karena posisi berdiri kami yang sudah ada di ambang pintu rumah kontrakan ini, Mas Ruslan dapat langsung membuka pintu, dan mengambil langkah keluar."Kamu pamit. Assalamualaikum, semuanya!" ujar Mas Ruslan yang segera aku ikuti dari belakang."Waalaikumsalam!" jawab Mbak Dina seorang.Tanpa menoleh ke arah belakang. Kami terus berjalan menuju sepeda motor yang diparkir Mas Ruslan tidak jauh."Ruslan, ada apa? Kok keluarga kamu rame-rame berkumpul di kontrakan Arumi?""Iya nih, Lan. Tadi kita semua lihat ibu kamu menjambak ibunya si Arumi itu. Mereka ada masalah apa sih sebenarnya?"Warga kampung yang meman