Sejak semalam hingga pagi ini, ponselku terus berdering memunculkan nama ibu mertua. Aku yang beberapa hari ini telah mulai terbiasa hidup tanpa gangguan dari ibu mertua tiba-tiba dibuat meringding karena rentetan telepon dan pesan masuk yang datang.
[Angkat teleponnya. Anak durhaka!]Adalah salah satu bunyi pesan yang dikirim bertubi-tubi oleh ibu mertua."Mas, ibu ada nelepon kamu, nggak?" tanyaku ketika kami sedang menyantap sarapan."Ada!" jawab Mas Ruslan singkat."Lalu, kamu angkat?" tanyaku."Nggak!""Oh~""Kenapa?" tanya Mas Ruslan tatkala menemukan reaksiku yang tak biasa."Aku kepo ada apanya, tapi aku nggak mau angkat telepon, dan nggak mau keberisikan juga karena teror telepon dari beliau," jawabku dengan jujur."Kalau gitu, nonaktifkan saja teleponnya," ujar Mas Ruslan memberi saran."Ya nggak bisalah. Pelanggan 'kan nelepon ke nomor ini," timpalku."Mak"Ibu apa-apaan sih? Kok main pukul Mas Ruslan begini?" ucapku sewot karena serangan tiba-tiba ibu mertua pada suamiku. "Dasar anak durhaka. Kamu tahu orang tuamu sudah tua, tapi kenapa kamu malah membiarkan mereka masih bekerja keras untuk sesuap nasi? Diusia yang sekarang ini, sudah seharusnya kami menikmati bakti dari anak-anak!" seru ibu mertua. "Ini semua gara-gara wanita sial yang kamu nikahi ini, kamu jadi pembangkang!" Ibu mertua meraung dengan ganas sambil terus memukul dada Mas Ruslan. Aku rasanya ingin mengamuk mendengar ucapan ibu mertuaku ini. Kenapa masih saja ada orang tua yang tidak paham-paham juga mengenai tugas anak laki-laki mereka yang sudah menikah? "Bu, tolong jangan begini," ujar Mas Ruslan lirih sambil meraih pergelangan tangan ibu mertua. "Tolong pahami posisiku juga yang nggak mudah, Bu!" tukas Mas Ruslan menambahkan dengan nada memelas. Dia terlihat mulai lelah menghadapi wanita paruh baya di depannya. Bukannya melun
"Apa maksud dari semua ini, Mas?" tanya Dimas pada Mas Ruslan yang seperti biasa selalu tampak tenang dan santai. "Jangan tanya apa maksudnya padaku. Tanyakan saja pada istrimu. Dia yang tiba-tiba datang kepadaku, lalu mengucapkan kata-kata itu," jawab Mas Ruslan masih dengan ketenangannya. "Tiana?" tanya Dimas kepada istrinya yang mulai menundukkan kepalanya dalam-dalam. " ... "Akan tetapi, Tiana tidak menjawab. Kepalanya tertunduk semakin dalam hingga orang-orang hanya bisa melihat puncak kepalanya saja. "Tiana, kenapa kamu bisa mengatakan itu? Darimana kamu mendengar omong kosong macam ini?" tanya Mbak Dina dengan intonasi suaranya yang menahan geram. " ... "Tiana masih tampak enggan untuk menjawab. Hal ini membuat wajah ibu mertua memerah menahan amarah. Bibirnya bergetar dan matanya semakin melotot mengerikan hingga mata itu kelihatannya Akan jatuh menggelinding ke lantai. Danis yang ditempatkan dalam huru-h
"Kamu jangan ke-GR-an deh, Mas. Aku buntutin kamu bukan karena aku naksir kamu!" seru Tiana dengan pongah. "Aku nggak pernah bilang kamu naksir aku. Tapi lalu apa alasannya?" tanya Mas Ruslan dengan aktif. Dimas yang tampak masih syok karena informasi awal tadi hanya bisa menatap bolak-balik antara Mas Ruslan dan istrinya sendiri. Sementara aku, mataku terus menatap lekat pada Tiana. "Aku cuma penasaran, dengan melihat kamu bisa liburan ke Bali waktu itu, ditambah lagi kamu menyekolahkan anak kamu di sekolah yang mahal, kamu pasti punya banyak uang 'kan?" tukas Tiana. "Punya banyak uang atau tidak, aku rasa itu tidak ada urusannya sama kamu. Kalau aku punya banyak uang kenapa? Kalau aku nggak punya uang juga kenapa?" timpal Mas Ruslan dengan santai. "Kalau kamu punya banyak uang, seharusnya kamu tidak menyembunyikannya. Kenapa coba kamu harus main kucing-kucingan sama keluarga kamu sendiri?" pungkas Tiana. Aku yang mendenga
"Lebih jelasnya, apa yang ingin bapak ketahui?" tanya Mas Ruslan pada bapak. Susunan kalimatnya begitu formal seolah dia tidak sedang berbicara dengan seseorang yang telah membuatnya hadir di dunia. "Bagaimana dengan apa yang dikatakan oleh Tiana?" tanya bapak mertua sambil menghembuskan asap rokok yang tidak bosan-bosannya beliau sesap sejak tadi. Baik aku maupun Mas Ruslan tahu dengan jelas apa yang sebenarnya ingin diketahui oleh bapak mertuaku ini. Dan karena hal ini, aku semakin kehilangan rasa segan pada beliau. Berbeda dengan saat di ruang keluarga tadi, kali ini aku menyerahkan segalanya pada Mas Ruslan. Terserah suamiku itu apakah dia ingin memberitahu bapak mertua mengenai usaha yang telah kami rintis diam-diam atau tidak. Aku lantas mengunci mulut rapat-rapat, dan membuka telinga lebar-lebar untuk mendengar obrolan bapak dan anak ini. "Tapi aku mau membahas soal ibu kandungku lebih dulu. Jika bapak berkenan, aku ingin tahu siapa ora
Dimas POV, Informasi yang aku terima malam ini benar-benar mengejutkan. Aku tidak pernah tahu bahwa Mas Ruslan ternyata bukan anak kandung ibu. Tetapi ketika aku memikirkannya dengan baik, alasan sikap ibu yang sering berat sebelah pada kami pun akhirnya bisa dijelaskan. "Maksud kamu apa sih Mas memojokkan aku seperti tadi?" tanya Tiana setelah kami kembali ke dalam kamar. "Aku nggak bermaksud untuk memojokkan kamu. Masalah ini benar-benar perlu untuk diluruskan agar tidak semakin menjadi-jadi," jawabku dengan tenang. "Halah, alasan kamu doang!" timpal Tiana tidak mau percayaAku pun menghela nafas dengan lelah. "Kalau saja kamu mau jujur dan terbuka sama aku dari awal. Aku nggak bakal sampai mengambil tindakan seperti tadi," ucapku tidak menrima disalahkan. Tiana yang juga tampak tidak terima pun membelalakkan matanya. "Aku udah jujur sama kamu mengenai tujuanku yang ingin mendekati Mas Ruslan kemarin malam loh, Mas!" seru
Dina POV, "Din, Ruslan tinggal di mana sih? Aku setiap hari lewat di depan rumah orang tua kamu, tapi aku nggak pernah ketemu sama dia. Papasan pun nggak pernah. Kamu bantuin tanya sama Ruslan dong, sekarang dia tinggal dimana. Aku udah coba menghubungi dia, tapi semua telepon dan SMS-ku nggak pernah dibalas," celoteh Arumi ketika kami sedang menghabiskan makan siang di sebuah restauran sederhana dekat kediaman orang tuaku. " ... ""Din, kamu bantuin aku dong!" " ... "Karena aku sedang asyik melamun, aku pun tidak menimpali ucapan Arumi. Kepalaku sendiri sudah terlalu penuh oleh masalah mengani ibu, dan keluarga kecilku sendiri. Bagaimana mungkin aku masih memiliki ruang di dalam kepala untuk memperhatikan masalah sepele Arumi ini. "Eh, Din... " Tegur Arumi seraya menggibaskan tangannya di depan wajahku. " ... "Akan tetapi, aku masih tidak menanggapi. Pikiranku tenggelam terlalu dalam akibat dari masalah
Dina POV, "Untuk apa sih mereka di sini?"Aku mendesis dengan geram saat melihat sosok Mas Arifin dan juga Astuti sedang berdiri di samping mobil mereka yang terparkir tepat di depan gerbang sekolah Aldi. Keberadaan mereka di sini telah menyalakan sinyal waspadaku. "Jangan mimpi kalian bisa mengambil Aldi dariku!" gumamku pada diri sendiri seraya keluar dari dalam mobilku sendiri. Aku kemudian berjalan dengan langkah-langkah panjang untuk menghampiri mereka. "Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyaku dengan kedua tangan menyilang di depan dada. "Tentu saja untuk menjemput Aldi," jawab Astuti. Nada suaranya dibuat terdengar lemah lembut. "Nggak perlu. Sudah ada aku yang jemput. Kalian bisa pulang aja!" usirku dengan dingin. "Aldi adalah anakku. Dan aku tidak setuju kamu membawa Aldi pergi. Aldi harus ikut pulang ke rumah bersamaku!" pungkas Mas Arifin. Aku tahu cepat atau lambat hal ini akan terj
"Aku harap setelah obrolan semalam, kita tidak diganggu secara berlebihan lagi oleh keluarga kamu ya, Mas!" celetukku pada Mas Ruslan saat kami sedang menyantap sarapan sebelum memulai aktivitas seperti biasa. Mas Ruslan lantas mengangguk setuju. "Semoga kali ini bapak dan ibu benar-benar bisa mengerti. Walau sedikit aja juga nggak apa-apa," balas Mas Ruslan seraya menghela nafas panjang. Dia tampaknya mulai lelah menghadapi drama rumah tangga yang diciptakan oleh orang tuanya. "Amiiin!" ucapku dengan serius. Setelah melalui drama panjang semalaman, aku masih harus menjalani hari ini seperti biasa. Aku sepenuh hati berharap bahwa semua perkataan panjang yang telah ditumpahkan oleh Mas Ruslan akan menjadi bahan renungan oleh bapak dan ibu mertua. Namun, tentu saja harapan itu menjadi pupus, dan firasat buruk itu datang ketika aku melihat nama Dimas mulai sering terpampang pada layar ponselku. "Halo," sapaku dengan nada ogah-ogahan.
Untuk yang kedua kali, aku dan keluarga mengunjungi Bali. Kali ini aku berhasil membujuk ayah dan ibu untuk ikut turut serta. Alasannya adalah biar ada yang menemani ibu mertuaku untuk hanya sekedar mengobrol dengan orang seusianya."Kamu yakin semuanya akan baik-baik saja?" tanya ibu ketika kami baru saja tiba di Bali."Kenapa harus nggak baik-baik aja?" tanyaku dengan santai."Ibu mertua kamu benar-benar setuju nggak kalau kami ikut?" tanya ibu masih tidak yakin."Setuju kok. Ibu tenang aja. Ibu mertuaku sekarang baik. Kalau ibu nggak percaya, nanti kita buktikan!" ujarku dengan percaya diri."Kamu yakin?" tanya ibu lagi."Halah ibu ini, kenapa malah jadi kamu yang paranoid?" sambar bapak.Beliau sepertinya risih dengan pertanyaan yang sudah berulang kali diajukan oleh ibu sejak kemarin."Ih, bapak. Ibu kan cuma nanya," protes ibu atas reaksi bapak."Ya habis ibu nanya itu terus. Telinga bapak panas d
Dina POV,Berbulan-bulan berlalu, wacanaku untuk menculik Aldi dari ayah kandungnya sendiri selama ini hanya berakhir sebagai wacana. Aku tidak bisa membawa Aldi pergi menjauh dari ayah kandungnya tanpa persetujuan dari anak itu sendiri. Walaupun menyakitkan, aku tetap berusaha untuk menghargai keinginan Aldi."Aku tidak mengharapkan Aldi akan diabaikan oleh ayahnya sih. Tapi aku pikir begitu anaknya si Astuti lahir, fokus si Arifin pasti akan lebih dominan pada istri dan anak barunya," tukas Sadewa yang masih setia tinggal di desa ini untuk menemaniku."So?""Mungkin saat itu kamu bisa kembali merayu Aldi untuk tinggal bersamamu," ujar Sadewa."Hm," gumamku sembari menganggukkan kepala pelan tanpa menoleh ke arah Sadewa yang sedang duduk di balik kemudi.Saat ini, aku dan dia sedang menunggu di depan sekolahnya Aldi. Aku sangat merindukan anak yang beberapa waktu ini menolak untuk menemuiku. Semua ini lantaran dia marah padaku k
Aku memasak makan siang di bawah pengawasan ibu mertua. Awalnya terasa tidak nyaman, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai melupakan keberadaan beliau dan sepenuhnya fokus pada pekerjaan yang ada di tangan.Setelah sibuk berkutat di depan panci dan wajan, akhirnya masakan yang aku buat matang. Dengan telaten aku mulai menyendok nasi beserta lauk pauknya ke atas piring, lalu menyajikannya di depan ibu mertua."Coba aja kamu melakukan hal seperti ini dari dulu," celetuk ibu mertua.Aku spontan memutar mata. "Ini semua gara-gara ibu sih. Coba kalau ibu nggak keseringan sensi dan marah-marah," timpalku dengan santai."Cih," balas ibu mertua."Ayo makan siang. Setelah ini aku harus kembali kerja," ujarku seraya mengambil tempat duduk di kursi yang berada tepat di hadapan ibu mertua."Hubunganmu dengan Ruslan gimana?" tanya ibu mertua sembari mulai menyendok makanan ke dalam mulutnya."Sangat baik!" jawabku dengan
Hari demi hari masih berlalu dengan monoton seperti biasanya. Kata-kata bapak masih menghantuiku hingga saat ini, tetapi aku belum memiliki keberanian untuk pergi ke rumah ibu mertua untuk merayunya atau apalah itu.Selentingan kabar mereka diam-diam aku cari tahu melalui akun sosial media yang ada. Dan dari sana aku mengetahui bahwa Arumi dan ibu Sarinah telah kembali ke ibu kota. Ada juga kabar perceraian Dimas dan Tiana, serata kabar perceraian Mbak Dina dan suaminya.Rentetan kabar buruk yang datang satu demi satu menyambangi keluarga Hadinata membuat grup whats*app kompleks diibaratkan layaknya air yang dituangkan ke dalam minyak panas. [Keluarga Hadinata lagi dikasih banyak banget cobaan belakangan ini,][Ho-oh. Aku tidak menyangka umur pernikahan si Dimas bakal singkat banget. Padahal dia kelihatan cinta banget sama istrinya,][Isi dapur orang nggak ada yang tahu,][Memang sih,][Belum lagi si Dina juga bercerai.
Dina POV,"Din, hubungan kamu dengan Arifin bagaimana sih sebenarnya?" tanya bapak ketika kami sedang menyantap makan malam." ... "Karena makanan yang masih ada di dalam mulutku, aku tidak langsung memberi jawaban."Kamu juga, Dim. Tiana kemana? Kok dia nggak pulang-pulang?" tukas bapak pada Dimas yang duduk di sampingku."Aku dan Tiana berencana untuk bercerai," jawab Dimas dengan santai."Bercerai? Kenapa?" tanya ibu terdengar cukup terkejut.Dimas mengangkat bahunya pelan seraya berkata. "Sudah tidak ada kecocokan. Kalian masih ingat mengenai dia yang meminjam uang 100 juta untuk menutupi hutang keluarganya?" "Iya, terus kenapa?" tanya ibu dengan sedikit nada mendesak dalam suaranya."Aku tidak bisa membantunya untuk mencari jalan keluar terkait hutang itu. Alhasil dia mendekati banyak pria yang bersedia memberikannya uang secara cuma-cuma," jawab Dimas dengan enteng."What?!" seruku tida
"Kakek!""Nenek!"Danis berteriak dengan antusias tepat ketika kami baru tiba di rumah orang tuaku. Kebetulan saat ini kami bertemu dengan bapak dan ibu yang baru saja pulang dari sawah tepat di depan pintu gerbang rumah. "Danis, apa kabar? Nenek sama kakek udah lama nggak ketemu Danis," sambut ibuku dengan nada yang dibuat sedih ketika melihat cucunya.Memang beberapa minggu belakangan ini, kami terlalu sibuk mengurus toko yang baru dibuka, sehingga kami tidak bisa datang berkunjung ke rumah orang tuaku ini seperti biasanya."Iya nih. Bapak sama ibu sibuk-sibuk terus!" timpal Danis turut merajuk sambil bibirnya dimajukan beberapa sentimeter."Ayo, ngobrolnya di dalam aja," tukas bapak sembari membuka pintu gerbang untuk kami."Rumah kok sepi, Pak? Wisnu mana?" tanyaku."Di kosnya. Kamu lupa kalau adik kamu itu sudah masuk kuliah?" tukas bapak."Oh, aku lupa," timpalku seraya menepuk kepalaku pelan.
Dina POV,"Bu, apa rencana ibu selanjutnya?" tanyaku pada ibu setelah kami kembali ke rumah. Saat ini hanya ada aku, dan ibu saja yang ada di rumah. Bapak memilih untuk pergi ke peternakan dan menghabiskan waktu di sana. Sementara itu, Dimas sudah berangkat ke kantor."Entahlah. Ibu juga tidak tahu," jawab ibu dengan nada gamang. Aku pun menghela nafas lelah."Ibu tidak mau bercerai saja dengan bapak. Lalu memulai kehidupan baru?" tanyaku dengan hati-hati. Aku takut membuat ibu terlalu emosional." ... "Hening,Ibu tidak langsung menimpali ucapanku. Mata beliau terlihat menerawang jauh. Dan aku pun tidak mendesak ibu untuk segera menjawab. Hal-hal terkait hati memang tidak bisa diputuskan dengan mudah."Baik bibi Sarinah dan juga Ruslan telah memutuskan jalan hidup mereka sendiri. Dan tampaknya mereka juga bahagia-bahagia saja dengan pilihan hidup mereka saat ini. Hanya tinggal ibu saja yang masih terjerat dal
Dimas POV,Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi ketika semua drama mengenai orang tua kandung itu selesai. Setidaknya itu yang mereka katakan. Sementara menurutku, penyelesaian seperti ini agak terdengar tidak benar. Akan tetapi, jika ditanya hasil seperti apa yang aku inginkan atas masalah ini, tentu saja aku tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Karena orang-orang yang terlibat dalam masalah ini telah memutuskan untuk terus melangkah. Hanya ibu yang tampaknya masih terus terjerat dalam masa lalu. Namun, bahkan jika aku mengatakan apapun hingga berbusa, kalau ibu telah membuat keputusan keras kepala sendiri, lantas apa yang bisa aku lakukan?Rambutku yang sudah disisir dengan rapi, aku acak hingga berantakan. Masalah keluarga ini sungguh tidak ada habisnya!"Tau ah. Terserah mereka!" dumelku seraya mulai menyibukkan diri dengan pekerjaan yang ada di hadapanku kini.Dikarenakan masalah keluarga tadi, aku sampai harus minta i
"Jadi, masalah ini sudah selesai sampai di sini 'kan?" tanya Mas Ruslan dengan intonasi datarnya yang seperti biasa."Iya!" timpal ibu Sarinah."Kalau begitu, kami bisa pulang duluan 'kan? Aku masih punya banyak pekerjaan," tukas Mas Ruslan."Baiklah, ayo bubar!" pungkas Mbak Dina mengikuti.Karena posisi berdiri kami yang sudah ada di ambang pintu rumah kontrakan ini, Mas Ruslan dapat langsung membuka pintu, dan mengambil langkah keluar."Kamu pamit. Assalamualaikum, semuanya!" ujar Mas Ruslan yang segera aku ikuti dari belakang."Waalaikumsalam!" jawab Mbak Dina seorang.Tanpa menoleh ke arah belakang. Kami terus berjalan menuju sepeda motor yang diparkir Mas Ruslan tidak jauh."Ruslan, ada apa? Kok keluarga kamu rame-rame berkumpul di kontrakan Arumi?""Iya nih, Lan. Tadi kita semua lihat ibu kamu menjambak ibunya si Arumi itu. Mereka ada masalah apa sih sebenarnya?"Warga kampung yang meman