Tok tok tok
"Astri! Pergi ke pasar sana!" Ibu mertuaku terdengar berteriak sambil menggedor pintu kamarku.Aku yang sedang mengajar Danis membaca dan menulis spontan menggulung mata ke atas. Ibu mertuaku ini seakan tidak ada kapoknya memberi perintah padaku. Dimana ujungnya aku pasti akan mengabaikan perintah beliau.Tok tok tok"Astri!"Dengan langkah ogah-ogahan, aku berjalan menghampiri pintu. Jika hal ini tidak aku lakukan, pintu kamarku ini bisa jebol karena terus-terusan digedor dengan keras."Apa sih, Bu?" tanyaku dengan raut wajah tak sedap."Pergi ke pasar sana!" perintah ibu mertua sambil menyodorkan satu lembar uang seratus ribuan kepadaku."Nggak ah. Males!" tolakku dengan acuh tak acuh. "Nanti aja belinya di Bang Maman!" pungkasku."Si Maman datangnya siang. Daging dan sayur yang dijual udah nggak fresh lagi," ujar ibu mertua."Nggak siang-siang banget kok, Bu. Jam sembilanMulutku ternganga lebar mendengar peringatan yang diucapkan oleh Mbak Dina dengan nada serius itu. Mataku juga mengerjap beberapa kali menatap punggungnya yang terus berjalan menjauh. Saat punggung Mbak Dina tidak lagi tampak, bibirku otomatis mendumel. "Hidup manusia memang paling berat jika sudah berhubungan dengan manusia lain. Serba salah!"Peringatan yang diberikan Mbak Dina sama dengan nasihat yang disampaikan oleh bapak padaku. Tapi kemudian aku berpikir. Apa setiap anak mesti tahu jalan berliku yang telah dilalui orang tua mereka? Lalu sebebas itukah orang tua menimpakan ketidakpuasan batinnya pada seorang anak yang tidak tahu apa-apa? Berharap anak akan mengerti kesulitan hidup yang telah dijalani orang tua tanpa membuat anak itu mengerti dengan cara yang baik. Aku percaya bahwa hidup ini adalah tentang hubungan timbal balik. Bagaimana orang tua bisa berharap seorang anak akan memperlakukan mereka dengan baik di masa tua, jika mereka tidak perna
Tok tok tok"Mbak Astri~"Ide yang sedang mengalir lancar di dalam kepalaku langsung hilang saat mendengar ketukan di pintu yang disertai dengan panggilan mendayu itu. Siapa lagi pemilik suara centil ini kalau bukan Tiana. Tok tok tok"Mbak Astri~" Tiana memanggil sekali lagi. Aku yang tidak bisa lagi fokus pada tulisanku spontan menggulung mata dengan jengah. Jarum jam baru saja menunjukkan pukul 8 pagi. Aku baru saja kembali ke dalam kamar setelah melepas Mas Ruslan berangkat kerja. Tapi kenapa istrinya Dimas ini sudah berulah saja! "Mbak Astri~"Aku mendecakkan lidah dengan kesal dan terpaksa beranjak dari kursi yang sedang aku duduki. Dengan sekali sentak, aku membuka pintu kamar. "Ada apa?" tanyaku dengan ketus. "Tolong cucikan bajuku dan Mas Dimas dong!" ujar Tiana sembari memaksakan keranjang cucian kotornya ke dalam dekapanku. Aku yang merasa jijik tentu saja langsung mendorong k
"Hiks!"Suara sengguk tangisku lolos tanpa permisi. Jika ibu mertua yang mengatakan untaian kalimat ini, aku mungkin masih bisa menanggapinya dengan cuek. Tapi karena bapak mertua yang mengucapkannya, aku tidak bisa merasa santai. Setiap kata ancaman itu terdengar sangat serius di telingaku. Bagaimana kalau bapak mertua benar-benar mendatangkan wanita lain ke dalam rumah tanggaku dan Mas Ruslan? Jika hal itu sampai terjadi, apakah Mas Ruslan bisa memilihku seutuhnya? Akankah Mas Ruslan mampu meninggalkan keluarganya sendiri demi aku dan Danis? "Ibu~"Panggilan sendu dari Danis yang berasal dari dalam kamar membuat air mataku jatuh lebih deras. Keranjang cucian kotor milik Tiana itupun segera aku hempas ke lantai. Aku lantas berbalik dan langsung duduk berjongkok di depan Danis yang turut menangis sedih. "Ibu dimarahi kakek lagi?" tanya Danis seraya menghapus air mata di pipiku. Aku tidak menjawab pertanyaan putraku ini, hanya
[Mas, hari ini kamu beli makan siang di luar ya. Aku lagi males keluar rumah nih,]Sebuah pesan aku kirim kepada Mas Ruslan siang ini. Akibat dari ucapan bapak dan ibu mertua membuatku kehilangan gairah untuk beraktivitas. Saat ini aku hanya ingin berbaring di atas ranjang empuk di kamarku. [Oke. Tapi kamu nggak lagi kenapa-napa 'kan?] Mas Ruslan mengirim pesan balasan yang spontan membuatku menghela nafas. Dengan sikapku yang seperti ini, tentu saja Mas Ruslan akan bisa langsung menebak bahwa pasti ada yang salah denganku. Sebab biasanya, aku akan selalu bersemangat setiap kali akan mengantar makan siang untuknya. Seperti ibarat kata, gunung akan kudaki dan lautan akan kuseberangi demi bisa bertemu dengannya. [Aku baik-baik aja, Mas]Aku membalas pesan dari Mas Ruslan dengan jawaban standar. Benar saja! Tidak lama berselang, nama Mas Ruslan langsung muncul pada layar ponselku. Akan tetapi, aku tidak langsung mengan
"Astriku sayang, kamu tidak percaya sama, Mas?"Aku tanpa sadar meneguk ludah dengan susah payah karena pertanyaan yang diajukan oleh Mas Ruslan. Jika suamiku ini sudah menyebarkan hormon kelaki-lakiannya, aku senantiasa merasa tidak berkutik. "K-kamu nggak bisa nyalahin aku dong, Mas!" ucapku dengan nada terbata karena gugup. "Kenapa begitu?" tanya Mas Ruslan lembut. Tetapi di telingaku, nadanya terdengar mengintimidasi. "Ini bukan masalah percaya atau tidak, Mas. Lagian wajar aja dong kalau aku punya kekhawatiran. Ini karena selama kita menikah, aku tahunya kamu selalu menuruti apapun maunya bapak dan ibu!" jawabku sambil cemberut. "Terus kamu maunya Mas bagaimana? Membantah mereka?" tanya Mas Ruslan. Mataku mengerjap beberapa kali dan mulutku megap-megap tidak tahu harus membalas apa. Bagaimana harusnya pertanyaan ini dijawab? Aku bukannya ingin Mas Ruslan menjadi anak durhaka karena tidak menuruti orang tuanya, tapi...
"Sayang, coba kamu hubungi orang tuamu dan Wisnu. Tanyakan mereka mau ikut liburan ke Bali atau tidak. Mas mau pesan tiket pesawat nih," ujar Mas Ruslan padaku pagi-pagi sekali. "Oke!" balasku dengan antusias. Tanpa berbasa-basi, aku langsung sibuk dengan ponselku untuk menghubungi Wisnu yang masih menganggur. Hitung-hitung sebelum anak itu mulai memasuki dunia perkuliahan, ada baiknya aku mengajaknya jalan-jalan. Siapa tahu aku juga bisa menyuruhnya untuk membantu menjaga Danis sekalian. "Halo, Nu. assalamu'alaikum!" sapaku pada Wisnu begitu sambungan telepon terhubung. "Hm, waalaikumsalam!" jawab Wisnu terdengar menggeram dengan malas dari seberang. Sepertinya anak itu baru saja tidur lagi sehabis solat subuh. "Heh! Nggak boleh tidur habis subuh!" tegurku. Wisnu mendecakkan lidah pelan. "Ada apa sih, Mbak? Pagi-pagi udah ribut aja!" protesnya dengan suara serak khas baru bangun tidur. "Mbak mau ngajak kamu libur
"Astri, kamu itu kebiasaan banget sih. Kalau nggak disuruh, kalau nggak diancam-ancam dulu, kok susah banget inisiatif sendiri gitu loh!" Dari balik pintu kamar terdengar suara omelan ibu mertua disertai dengan gedoran pintu tiada henti. Aku dan Mas Ruslan spontan saling lirik penuh maksud sebelum kemudian sama-sama menghela nafas. "Ayo kita masak!" ajak Mas Ruslan sembari beranjak dari ranjang. "Ini masih pagi, Bu. Jangan marah-marah. Nggak baik buat kesehatan Ibu," tegur Mas Ruslan dengan nada lembut. "Ya makanya! Didik istri kamu dengan benar. Masa ibu setiap hari harus nyuruh dia ini itu dulu baru mau dikerjain. Sekali aja berinisiatif untuk kerja tanpa disuruh itu emang gak bisa?" omel ibu dengan berang. Aku yang kesabarannya setipis tisu menghampiri ambang pintu dengan raut wajah tak sedap. "Katanya semua orang di keluarga ini berkewajiban untuk menjaga kelestarian rumah ini. Tapi kok semua-semuanya harus banget aku
Tiana POV, "Arrgggghhh!""Astri sialan!" Aku memaki sambil melemparkan bantal dan guling yang ada di kasur ke atas lantai. Hatiku terasa membengkak marah karena kata-kata provokasi istri dari kakak iparku itu. Baru juga satu hari aku berhasil menindasnya, kenapa sekarang dia sudah berani melawan sih? Dan kenapa juga bapak mertua tidak mengomelinya seperti kemarin? Orang-orang di keluarga ini memang menyebalkan! "Sialan!" makiku sekali lagi. Karena aku bukan orang yang suka menahan emosi, segera kuambil ponsel yang ada di atas nakas samping tempat tidur. Aku lalu menghubungi sahabatku untuk mengeluarkan unek-unek yang bersemayam di dalam dada. "Kamu kenapa lagi? Hati-hati loh jangan keseringan marah-marah. Apalagi kalau sudah nikah!" ujar sahabatku yang bernama Wanda. "Emang kenapa?" tanyaku asal-asalan. "Nanti cepat tua!" jawabnya. "Sialan!" Aku memaki untuk yang kesekian kali.
Untuk yang kedua kali, aku dan keluarga mengunjungi Bali. Kali ini aku berhasil membujuk ayah dan ibu untuk ikut turut serta. Alasannya adalah biar ada yang menemani ibu mertuaku untuk hanya sekedar mengobrol dengan orang seusianya."Kamu yakin semuanya akan baik-baik saja?" tanya ibu ketika kami baru saja tiba di Bali."Kenapa harus nggak baik-baik aja?" tanyaku dengan santai."Ibu mertua kamu benar-benar setuju nggak kalau kami ikut?" tanya ibu masih tidak yakin."Setuju kok. Ibu tenang aja. Ibu mertuaku sekarang baik. Kalau ibu nggak percaya, nanti kita buktikan!" ujarku dengan percaya diri."Kamu yakin?" tanya ibu lagi."Halah ibu ini, kenapa malah jadi kamu yang paranoid?" sambar bapak.Beliau sepertinya risih dengan pertanyaan yang sudah berulang kali diajukan oleh ibu sejak kemarin."Ih, bapak. Ibu kan cuma nanya," protes ibu atas reaksi bapak."Ya habis ibu nanya itu terus. Telinga bapak panas d
Dina POV,Berbulan-bulan berlalu, wacanaku untuk menculik Aldi dari ayah kandungnya sendiri selama ini hanya berakhir sebagai wacana. Aku tidak bisa membawa Aldi pergi menjauh dari ayah kandungnya tanpa persetujuan dari anak itu sendiri. Walaupun menyakitkan, aku tetap berusaha untuk menghargai keinginan Aldi."Aku tidak mengharapkan Aldi akan diabaikan oleh ayahnya sih. Tapi aku pikir begitu anaknya si Astuti lahir, fokus si Arifin pasti akan lebih dominan pada istri dan anak barunya," tukas Sadewa yang masih setia tinggal di desa ini untuk menemaniku."So?""Mungkin saat itu kamu bisa kembali merayu Aldi untuk tinggal bersamamu," ujar Sadewa."Hm," gumamku sembari menganggukkan kepala pelan tanpa menoleh ke arah Sadewa yang sedang duduk di balik kemudi.Saat ini, aku dan dia sedang menunggu di depan sekolahnya Aldi. Aku sangat merindukan anak yang beberapa waktu ini menolak untuk menemuiku. Semua ini lantaran dia marah padaku k
Aku memasak makan siang di bawah pengawasan ibu mertua. Awalnya terasa tidak nyaman, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai melupakan keberadaan beliau dan sepenuhnya fokus pada pekerjaan yang ada di tangan.Setelah sibuk berkutat di depan panci dan wajan, akhirnya masakan yang aku buat matang. Dengan telaten aku mulai menyendok nasi beserta lauk pauknya ke atas piring, lalu menyajikannya di depan ibu mertua."Coba aja kamu melakukan hal seperti ini dari dulu," celetuk ibu mertua.Aku spontan memutar mata. "Ini semua gara-gara ibu sih. Coba kalau ibu nggak keseringan sensi dan marah-marah," timpalku dengan santai."Cih," balas ibu mertua."Ayo makan siang. Setelah ini aku harus kembali kerja," ujarku seraya mengambil tempat duduk di kursi yang berada tepat di hadapan ibu mertua."Hubunganmu dengan Ruslan gimana?" tanya ibu mertua sembari mulai menyendok makanan ke dalam mulutnya."Sangat baik!" jawabku dengan
Hari demi hari masih berlalu dengan monoton seperti biasanya. Kata-kata bapak masih menghantuiku hingga saat ini, tetapi aku belum memiliki keberanian untuk pergi ke rumah ibu mertua untuk merayunya atau apalah itu.Selentingan kabar mereka diam-diam aku cari tahu melalui akun sosial media yang ada. Dan dari sana aku mengetahui bahwa Arumi dan ibu Sarinah telah kembali ke ibu kota. Ada juga kabar perceraian Dimas dan Tiana, serata kabar perceraian Mbak Dina dan suaminya.Rentetan kabar buruk yang datang satu demi satu menyambangi keluarga Hadinata membuat grup whats*app kompleks diibaratkan layaknya air yang dituangkan ke dalam minyak panas. [Keluarga Hadinata lagi dikasih banyak banget cobaan belakangan ini,][Ho-oh. Aku tidak menyangka umur pernikahan si Dimas bakal singkat banget. Padahal dia kelihatan cinta banget sama istrinya,][Isi dapur orang nggak ada yang tahu,][Memang sih,][Belum lagi si Dina juga bercerai.
Dina POV,"Din, hubungan kamu dengan Arifin bagaimana sih sebenarnya?" tanya bapak ketika kami sedang menyantap makan malam." ... "Karena makanan yang masih ada di dalam mulutku, aku tidak langsung memberi jawaban."Kamu juga, Dim. Tiana kemana? Kok dia nggak pulang-pulang?" tukas bapak pada Dimas yang duduk di sampingku."Aku dan Tiana berencana untuk bercerai," jawab Dimas dengan santai."Bercerai? Kenapa?" tanya ibu terdengar cukup terkejut.Dimas mengangkat bahunya pelan seraya berkata. "Sudah tidak ada kecocokan. Kalian masih ingat mengenai dia yang meminjam uang 100 juta untuk menutupi hutang keluarganya?" "Iya, terus kenapa?" tanya ibu dengan sedikit nada mendesak dalam suaranya."Aku tidak bisa membantunya untuk mencari jalan keluar terkait hutang itu. Alhasil dia mendekati banyak pria yang bersedia memberikannya uang secara cuma-cuma," jawab Dimas dengan enteng."What?!" seruku tida
"Kakek!""Nenek!"Danis berteriak dengan antusias tepat ketika kami baru tiba di rumah orang tuaku. Kebetulan saat ini kami bertemu dengan bapak dan ibu yang baru saja pulang dari sawah tepat di depan pintu gerbang rumah. "Danis, apa kabar? Nenek sama kakek udah lama nggak ketemu Danis," sambut ibuku dengan nada yang dibuat sedih ketika melihat cucunya.Memang beberapa minggu belakangan ini, kami terlalu sibuk mengurus toko yang baru dibuka, sehingga kami tidak bisa datang berkunjung ke rumah orang tuaku ini seperti biasanya."Iya nih. Bapak sama ibu sibuk-sibuk terus!" timpal Danis turut merajuk sambil bibirnya dimajukan beberapa sentimeter."Ayo, ngobrolnya di dalam aja," tukas bapak sembari membuka pintu gerbang untuk kami."Rumah kok sepi, Pak? Wisnu mana?" tanyaku."Di kosnya. Kamu lupa kalau adik kamu itu sudah masuk kuliah?" tukas bapak."Oh, aku lupa," timpalku seraya menepuk kepalaku pelan.
Dina POV,"Bu, apa rencana ibu selanjutnya?" tanyaku pada ibu setelah kami kembali ke rumah. Saat ini hanya ada aku, dan ibu saja yang ada di rumah. Bapak memilih untuk pergi ke peternakan dan menghabiskan waktu di sana. Sementara itu, Dimas sudah berangkat ke kantor."Entahlah. Ibu juga tidak tahu," jawab ibu dengan nada gamang. Aku pun menghela nafas lelah."Ibu tidak mau bercerai saja dengan bapak. Lalu memulai kehidupan baru?" tanyaku dengan hati-hati. Aku takut membuat ibu terlalu emosional." ... "Hening,Ibu tidak langsung menimpali ucapanku. Mata beliau terlihat menerawang jauh. Dan aku pun tidak mendesak ibu untuk segera menjawab. Hal-hal terkait hati memang tidak bisa diputuskan dengan mudah."Baik bibi Sarinah dan juga Ruslan telah memutuskan jalan hidup mereka sendiri. Dan tampaknya mereka juga bahagia-bahagia saja dengan pilihan hidup mereka saat ini. Hanya tinggal ibu saja yang masih terjerat dal
Dimas POV,Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi ketika semua drama mengenai orang tua kandung itu selesai. Setidaknya itu yang mereka katakan. Sementara menurutku, penyelesaian seperti ini agak terdengar tidak benar. Akan tetapi, jika ditanya hasil seperti apa yang aku inginkan atas masalah ini, tentu saja aku tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Karena orang-orang yang terlibat dalam masalah ini telah memutuskan untuk terus melangkah. Hanya ibu yang tampaknya masih terus terjerat dalam masa lalu. Namun, bahkan jika aku mengatakan apapun hingga berbusa, kalau ibu telah membuat keputusan keras kepala sendiri, lantas apa yang bisa aku lakukan?Rambutku yang sudah disisir dengan rapi, aku acak hingga berantakan. Masalah keluarga ini sungguh tidak ada habisnya!"Tau ah. Terserah mereka!" dumelku seraya mulai menyibukkan diri dengan pekerjaan yang ada di hadapanku kini.Dikarenakan masalah keluarga tadi, aku sampai harus minta i
"Jadi, masalah ini sudah selesai sampai di sini 'kan?" tanya Mas Ruslan dengan intonasi datarnya yang seperti biasa."Iya!" timpal ibu Sarinah."Kalau begitu, kami bisa pulang duluan 'kan? Aku masih punya banyak pekerjaan," tukas Mas Ruslan."Baiklah, ayo bubar!" pungkas Mbak Dina mengikuti.Karena posisi berdiri kami yang sudah ada di ambang pintu rumah kontrakan ini, Mas Ruslan dapat langsung membuka pintu, dan mengambil langkah keluar."Kamu pamit. Assalamualaikum, semuanya!" ujar Mas Ruslan yang segera aku ikuti dari belakang."Waalaikumsalam!" jawab Mbak Dina seorang.Tanpa menoleh ke arah belakang. Kami terus berjalan menuju sepeda motor yang diparkir Mas Ruslan tidak jauh."Ruslan, ada apa? Kok keluarga kamu rame-rame berkumpul di kontrakan Arumi?""Iya nih, Lan. Tadi kita semua lihat ibu kamu menjambak ibunya si Arumi itu. Mereka ada masalah apa sih sebenarnya?"Warga kampung yang meman