[Mas, hari ini kamu beli makan siang di luar ya. Aku lagi males keluar rumah nih,]
Sebuah pesan aku kirim kepada Mas Ruslan siang ini. Akibat dari ucapan bapak dan ibu mertua membuatku kehilangan gairah untuk beraktivitas. Saat ini aku hanya ingin berbaring di atas ranjang empuk di kamarku.[Oke. Tapi kamu nggak lagi kenapa-napa 'kan?]Mas Ruslan mengirim pesan balasan yang spontan membuatku menghela nafas. Dengan sikapku yang seperti ini, tentu saja Mas Ruslan akan bisa langsung menebak bahwa pasti ada yang salah denganku. Sebab biasanya, aku akan selalu bersemangat setiap kali akan mengantar makan siang untuknya. Seperti ibarat kata, gunung akan kudaki dan lautan akan kuseberangi demi bisa bertemu dengannya.[Aku baik-baik aja, Mas]Aku membalas pesan dari Mas Ruslan dengan jawaban standar.Benar saja!Tidak lama berselang, nama Mas Ruslan langsung muncul pada layar ponselku. Akan tetapi, aku tidak langsung mengan"Astriku sayang, kamu tidak percaya sama, Mas?"Aku tanpa sadar meneguk ludah dengan susah payah karena pertanyaan yang diajukan oleh Mas Ruslan. Jika suamiku ini sudah menyebarkan hormon kelaki-lakiannya, aku senantiasa merasa tidak berkutik. "K-kamu nggak bisa nyalahin aku dong, Mas!" ucapku dengan nada terbata karena gugup. "Kenapa begitu?" tanya Mas Ruslan lembut. Tetapi di telingaku, nadanya terdengar mengintimidasi. "Ini bukan masalah percaya atau tidak, Mas. Lagian wajar aja dong kalau aku punya kekhawatiran. Ini karena selama kita menikah, aku tahunya kamu selalu menuruti apapun maunya bapak dan ibu!" jawabku sambil cemberut. "Terus kamu maunya Mas bagaimana? Membantah mereka?" tanya Mas Ruslan. Mataku mengerjap beberapa kali dan mulutku megap-megap tidak tahu harus membalas apa. Bagaimana harusnya pertanyaan ini dijawab? Aku bukannya ingin Mas Ruslan menjadi anak durhaka karena tidak menuruti orang tuanya, tapi...
"Sayang, coba kamu hubungi orang tuamu dan Wisnu. Tanyakan mereka mau ikut liburan ke Bali atau tidak. Mas mau pesan tiket pesawat nih," ujar Mas Ruslan padaku pagi-pagi sekali. "Oke!" balasku dengan antusias. Tanpa berbasa-basi, aku langsung sibuk dengan ponselku untuk menghubungi Wisnu yang masih menganggur. Hitung-hitung sebelum anak itu mulai memasuki dunia perkuliahan, ada baiknya aku mengajaknya jalan-jalan. Siapa tahu aku juga bisa menyuruhnya untuk membantu menjaga Danis sekalian. "Halo, Nu. assalamu'alaikum!" sapaku pada Wisnu begitu sambungan telepon terhubung. "Hm, waalaikumsalam!" jawab Wisnu terdengar menggeram dengan malas dari seberang. Sepertinya anak itu baru saja tidur lagi sehabis solat subuh. "Heh! Nggak boleh tidur habis subuh!" tegurku. Wisnu mendecakkan lidah pelan. "Ada apa sih, Mbak? Pagi-pagi udah ribut aja!" protesnya dengan suara serak khas baru bangun tidur. "Mbak mau ngajak kamu libur
"Astri, kamu itu kebiasaan banget sih. Kalau nggak disuruh, kalau nggak diancam-ancam dulu, kok susah banget inisiatif sendiri gitu loh!" Dari balik pintu kamar terdengar suara omelan ibu mertua disertai dengan gedoran pintu tiada henti. Aku dan Mas Ruslan spontan saling lirik penuh maksud sebelum kemudian sama-sama menghela nafas. "Ayo kita masak!" ajak Mas Ruslan sembari beranjak dari ranjang. "Ini masih pagi, Bu. Jangan marah-marah. Nggak baik buat kesehatan Ibu," tegur Mas Ruslan dengan nada lembut. "Ya makanya! Didik istri kamu dengan benar. Masa ibu setiap hari harus nyuruh dia ini itu dulu baru mau dikerjain. Sekali aja berinisiatif untuk kerja tanpa disuruh itu emang gak bisa?" omel ibu dengan berang. Aku yang kesabarannya setipis tisu menghampiri ambang pintu dengan raut wajah tak sedap. "Katanya semua orang di keluarga ini berkewajiban untuk menjaga kelestarian rumah ini. Tapi kok semua-semuanya harus banget aku
Tiana POV, "Arrgggghhh!""Astri sialan!" Aku memaki sambil melemparkan bantal dan guling yang ada di kasur ke atas lantai. Hatiku terasa membengkak marah karena kata-kata provokasi istri dari kakak iparku itu. Baru juga satu hari aku berhasil menindasnya, kenapa sekarang dia sudah berani melawan sih? Dan kenapa juga bapak mertua tidak mengomelinya seperti kemarin? Orang-orang di keluarga ini memang menyebalkan! "Sialan!" makiku sekali lagi. Karena aku bukan orang yang suka menahan emosi, segera kuambil ponsel yang ada di atas nakas samping tempat tidur. Aku lalu menghubungi sahabatku untuk mengeluarkan unek-unek yang bersemayam di dalam dada. "Kamu kenapa lagi? Hati-hati loh jangan keseringan marah-marah. Apalagi kalau sudah nikah!" ujar sahabatku yang bernama Wanda. "Emang kenapa?" tanyaku asal-asalan. "Nanti cepat tua!" jawabnya. "Sialan!" Aku memaki untuk yang kesekian kali.
"Ibu! Ibu kita mau pergi liburan?" tanya Danis antusias ketika kami tiba di rumah orang tuaku. "Iya!" jawabku sambil turut tersenyum bahagia. "Kita ke Bali?" tanya Danis lagi. "He-em," jawabku seraya mengelus rambut lembut putraku ini. Melihat wajahnya yang mekar oleh senyuman membuatku turut merasa gembira. "Naik pesawat ya, Bu?" tanya Danis lagi. "Iya!" jawabku dengan sabar untuk yang kesekian kalinya. "Asyik! Naik pesawat! Naik pesawat!" ujar Danis sambil berjingkrak-jingkrak dengan antusias. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah lucunya. Sambil membiarkan Danis dengan rasa suka citanya, aku pun mulai memasukkan pakaian ke dalam koper yang akan kami bawa besok. "Ibu! Ibu! Paman Wisnu juga ikut?" tanya Danis kembali menghampiriku."Iya! Danis senang nggak kalau paman Wisnu ikut?" tanyaku menimpali antusiasmenya yang belum surut. "Yey! Paman Wisnu ikut!" ujar Danis sambi
Keesokan harinya, aku menyambut mentari pagi dengan lebih antusias daripada hari biasanya. Danis juga tidak ketinggalan. Bahkan anakku itu terbangun tepat ketika adzan subuh mulai berkumandang. Hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. "Danis sudah bangun?" sapaku sambil mengelus kepalanya pelan. Bocah kecilku itu mengangguk cepat disela kegiatannya yang sedang menggosok mata dengan punggung tangan. "Hari ini kita mau naik pesawat beneran 'kan, Bu?" tanya Danis dengan suara serak khas bangun tidur. "Iya!" jawabku membalas dengan senyuman. "Ayo cepat siap-siap, Bu. Nanti kita telat naik pesawat!" ujar Danis sambil berusaha membuka baju tidurnya. Aku menggelengkan kepala pelan. Tidak pernah aku melihat Danis seantusias ini di pagi hari. "Ini masih subuh, sayang. Danis tidur sebentar lagi aja. Ibu mau pergi solat subuh ke masjid dulu. Nanti kalau ibu udah pulang, kita langsung siap-siap," bujukku. "Tapi nanti telat n
"Kamu ngobrolin apa sama ibu?" tanya Mas Ruslan penasaran ketika kami sedang dalam perjalanan untuk check in. "Ada deh. Rahasia!" timpalku mengikuti kata-kata ibu tadi. Mata Mas Ruslan kemudian spontan menyipit. "Udah berani main rahasia-rahasiaan ya!" serunya sambil mencubit ujung hidungku. "Ini tuh rahasia antar cewek. Cowok dilarang tahu!" jawabku dengan asal-asalan. Mas Ruslan menganggukkan kepalanya pelan. "Oke. Cukup tahu aja~" ucap Mas Ruslan dengan nada bercanda. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk menyerah, dan tidak terus mengejar topik ini. Setelah melakukan check in, kami pun berpindah menuju ruang tunggu bandara. Kami sengaja mengambil tempat duduk yang dekat dengan jendela agar Danis bisa melihat deretan pesawat di landasan pacu. "Ibu! Ada banyak pesawat!" seru Danis. Dia menunjuk pada beberapa pesawat yang berada di landasan pacu itu sambil melompat-lompat dengan girang. Sejak tadi, mata putraku ini
Dina POV, "Kamu kenapa deh, akhir-akhir ini aku lihat kayak nggak semangat banget? Kalau ada masalah, cerita-ceritalah,"Pagi menjelang siang ini, aku dan sahabatku Arumi sedang berjalan-jalan menyisiri tepi pantai seminyak, Bali. Sudah dua hari aku berada di tempat ini untuk menangani perluasan bisnis kosmetik yang aku dan Arumi jalani sejak lama. Dan sudah dua hari pula sejak aku terpisah dengan putraku Aldi. Kini, aku mulai merindukannya. "Aku nggak apa-apa kok. Cuma capek sedikit," jawabku menimpali pertanyaan Arumi. "Kamu yakin?" tanya Arumi sanksi. Aku yang semula terus berjalan lurus perlahan mengalihkan pandanganku pada Arumi yang sedang berjalan di sisiku. Kuberikan seulas senyum terpaksa padanya sambil menganggukkan kepala. Arumi lalu menghela nafas keras. "Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau cerita sekarang. Tapi nanti kalau kamu butuh pendengar, aku siap mendengarkan," ujar Arumi menawarkan diri. Aku han
Untuk yang kedua kali, aku dan keluarga mengunjungi Bali. Kali ini aku berhasil membujuk ayah dan ibu untuk ikut turut serta. Alasannya adalah biar ada yang menemani ibu mertuaku untuk hanya sekedar mengobrol dengan orang seusianya."Kamu yakin semuanya akan baik-baik saja?" tanya ibu ketika kami baru saja tiba di Bali."Kenapa harus nggak baik-baik aja?" tanyaku dengan santai."Ibu mertua kamu benar-benar setuju nggak kalau kami ikut?" tanya ibu masih tidak yakin."Setuju kok. Ibu tenang aja. Ibu mertuaku sekarang baik. Kalau ibu nggak percaya, nanti kita buktikan!" ujarku dengan percaya diri."Kamu yakin?" tanya ibu lagi."Halah ibu ini, kenapa malah jadi kamu yang paranoid?" sambar bapak.Beliau sepertinya risih dengan pertanyaan yang sudah berulang kali diajukan oleh ibu sejak kemarin."Ih, bapak. Ibu kan cuma nanya," protes ibu atas reaksi bapak."Ya habis ibu nanya itu terus. Telinga bapak panas d
Dina POV,Berbulan-bulan berlalu, wacanaku untuk menculik Aldi dari ayah kandungnya sendiri selama ini hanya berakhir sebagai wacana. Aku tidak bisa membawa Aldi pergi menjauh dari ayah kandungnya tanpa persetujuan dari anak itu sendiri. Walaupun menyakitkan, aku tetap berusaha untuk menghargai keinginan Aldi."Aku tidak mengharapkan Aldi akan diabaikan oleh ayahnya sih. Tapi aku pikir begitu anaknya si Astuti lahir, fokus si Arifin pasti akan lebih dominan pada istri dan anak barunya," tukas Sadewa yang masih setia tinggal di desa ini untuk menemaniku."So?""Mungkin saat itu kamu bisa kembali merayu Aldi untuk tinggal bersamamu," ujar Sadewa."Hm," gumamku sembari menganggukkan kepala pelan tanpa menoleh ke arah Sadewa yang sedang duduk di balik kemudi.Saat ini, aku dan dia sedang menunggu di depan sekolahnya Aldi. Aku sangat merindukan anak yang beberapa waktu ini menolak untuk menemuiku. Semua ini lantaran dia marah padaku k
Aku memasak makan siang di bawah pengawasan ibu mertua. Awalnya terasa tidak nyaman, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai melupakan keberadaan beliau dan sepenuhnya fokus pada pekerjaan yang ada di tangan.Setelah sibuk berkutat di depan panci dan wajan, akhirnya masakan yang aku buat matang. Dengan telaten aku mulai menyendok nasi beserta lauk pauknya ke atas piring, lalu menyajikannya di depan ibu mertua."Coba aja kamu melakukan hal seperti ini dari dulu," celetuk ibu mertua.Aku spontan memutar mata. "Ini semua gara-gara ibu sih. Coba kalau ibu nggak keseringan sensi dan marah-marah," timpalku dengan santai."Cih," balas ibu mertua."Ayo makan siang. Setelah ini aku harus kembali kerja," ujarku seraya mengambil tempat duduk di kursi yang berada tepat di hadapan ibu mertua."Hubunganmu dengan Ruslan gimana?" tanya ibu mertua sembari mulai menyendok makanan ke dalam mulutnya."Sangat baik!" jawabku dengan
Hari demi hari masih berlalu dengan monoton seperti biasanya. Kata-kata bapak masih menghantuiku hingga saat ini, tetapi aku belum memiliki keberanian untuk pergi ke rumah ibu mertua untuk merayunya atau apalah itu.Selentingan kabar mereka diam-diam aku cari tahu melalui akun sosial media yang ada. Dan dari sana aku mengetahui bahwa Arumi dan ibu Sarinah telah kembali ke ibu kota. Ada juga kabar perceraian Dimas dan Tiana, serata kabar perceraian Mbak Dina dan suaminya.Rentetan kabar buruk yang datang satu demi satu menyambangi keluarga Hadinata membuat grup whats*app kompleks diibaratkan layaknya air yang dituangkan ke dalam minyak panas. [Keluarga Hadinata lagi dikasih banyak banget cobaan belakangan ini,][Ho-oh. Aku tidak menyangka umur pernikahan si Dimas bakal singkat banget. Padahal dia kelihatan cinta banget sama istrinya,][Isi dapur orang nggak ada yang tahu,][Memang sih,][Belum lagi si Dina juga bercerai.
Dina POV,"Din, hubungan kamu dengan Arifin bagaimana sih sebenarnya?" tanya bapak ketika kami sedang menyantap makan malam." ... "Karena makanan yang masih ada di dalam mulutku, aku tidak langsung memberi jawaban."Kamu juga, Dim. Tiana kemana? Kok dia nggak pulang-pulang?" tukas bapak pada Dimas yang duduk di sampingku."Aku dan Tiana berencana untuk bercerai," jawab Dimas dengan santai."Bercerai? Kenapa?" tanya ibu terdengar cukup terkejut.Dimas mengangkat bahunya pelan seraya berkata. "Sudah tidak ada kecocokan. Kalian masih ingat mengenai dia yang meminjam uang 100 juta untuk menutupi hutang keluarganya?" "Iya, terus kenapa?" tanya ibu dengan sedikit nada mendesak dalam suaranya."Aku tidak bisa membantunya untuk mencari jalan keluar terkait hutang itu. Alhasil dia mendekati banyak pria yang bersedia memberikannya uang secara cuma-cuma," jawab Dimas dengan enteng."What?!" seruku tida
"Kakek!""Nenek!"Danis berteriak dengan antusias tepat ketika kami baru tiba di rumah orang tuaku. Kebetulan saat ini kami bertemu dengan bapak dan ibu yang baru saja pulang dari sawah tepat di depan pintu gerbang rumah. "Danis, apa kabar? Nenek sama kakek udah lama nggak ketemu Danis," sambut ibuku dengan nada yang dibuat sedih ketika melihat cucunya.Memang beberapa minggu belakangan ini, kami terlalu sibuk mengurus toko yang baru dibuka, sehingga kami tidak bisa datang berkunjung ke rumah orang tuaku ini seperti biasanya."Iya nih. Bapak sama ibu sibuk-sibuk terus!" timpal Danis turut merajuk sambil bibirnya dimajukan beberapa sentimeter."Ayo, ngobrolnya di dalam aja," tukas bapak sembari membuka pintu gerbang untuk kami."Rumah kok sepi, Pak? Wisnu mana?" tanyaku."Di kosnya. Kamu lupa kalau adik kamu itu sudah masuk kuliah?" tukas bapak."Oh, aku lupa," timpalku seraya menepuk kepalaku pelan.
Dina POV,"Bu, apa rencana ibu selanjutnya?" tanyaku pada ibu setelah kami kembali ke rumah. Saat ini hanya ada aku, dan ibu saja yang ada di rumah. Bapak memilih untuk pergi ke peternakan dan menghabiskan waktu di sana. Sementara itu, Dimas sudah berangkat ke kantor."Entahlah. Ibu juga tidak tahu," jawab ibu dengan nada gamang. Aku pun menghela nafas lelah."Ibu tidak mau bercerai saja dengan bapak. Lalu memulai kehidupan baru?" tanyaku dengan hati-hati. Aku takut membuat ibu terlalu emosional." ... "Hening,Ibu tidak langsung menimpali ucapanku. Mata beliau terlihat menerawang jauh. Dan aku pun tidak mendesak ibu untuk segera menjawab. Hal-hal terkait hati memang tidak bisa diputuskan dengan mudah."Baik bibi Sarinah dan juga Ruslan telah memutuskan jalan hidup mereka sendiri. Dan tampaknya mereka juga bahagia-bahagia saja dengan pilihan hidup mereka saat ini. Hanya tinggal ibu saja yang masih terjerat dal
Dimas POV,Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi ketika semua drama mengenai orang tua kandung itu selesai. Setidaknya itu yang mereka katakan. Sementara menurutku, penyelesaian seperti ini agak terdengar tidak benar. Akan tetapi, jika ditanya hasil seperti apa yang aku inginkan atas masalah ini, tentu saja aku tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Karena orang-orang yang terlibat dalam masalah ini telah memutuskan untuk terus melangkah. Hanya ibu yang tampaknya masih terus terjerat dalam masa lalu. Namun, bahkan jika aku mengatakan apapun hingga berbusa, kalau ibu telah membuat keputusan keras kepala sendiri, lantas apa yang bisa aku lakukan?Rambutku yang sudah disisir dengan rapi, aku acak hingga berantakan. Masalah keluarga ini sungguh tidak ada habisnya!"Tau ah. Terserah mereka!" dumelku seraya mulai menyibukkan diri dengan pekerjaan yang ada di hadapanku kini.Dikarenakan masalah keluarga tadi, aku sampai harus minta i
"Jadi, masalah ini sudah selesai sampai di sini 'kan?" tanya Mas Ruslan dengan intonasi datarnya yang seperti biasa."Iya!" timpal ibu Sarinah."Kalau begitu, kami bisa pulang duluan 'kan? Aku masih punya banyak pekerjaan," tukas Mas Ruslan."Baiklah, ayo bubar!" pungkas Mbak Dina mengikuti.Karena posisi berdiri kami yang sudah ada di ambang pintu rumah kontrakan ini, Mas Ruslan dapat langsung membuka pintu, dan mengambil langkah keluar."Kamu pamit. Assalamualaikum, semuanya!" ujar Mas Ruslan yang segera aku ikuti dari belakang."Waalaikumsalam!" jawab Mbak Dina seorang.Tanpa menoleh ke arah belakang. Kami terus berjalan menuju sepeda motor yang diparkir Mas Ruslan tidak jauh."Ruslan, ada apa? Kok keluarga kamu rame-rame berkumpul di kontrakan Arumi?""Iya nih, Lan. Tadi kita semua lihat ibu kamu menjambak ibunya si Arumi itu. Mereka ada masalah apa sih sebenarnya?"Warga kampung yang meman