Bang Jo muncul lagi, wajahnya tampak kusut. Mungkin dia juga bingung memikirkan semua ini."Mas, gimana? Boleh, kan?" tanya Mbak Narsih."Tanya sama Nova," sahut Bang Jo. Mbak Narsih diam, sepertinya ia gengsi meminta izin padaku. Kita lihat saja, berani nggak ia meminta izin padaku."Nova, aku menginap disini. Boleh kan?" tanya Mbak Narsih."Maaf, Mbak. Nggak boleh," tegas kujawab permintaannya."Aku masih kangen sama anak-anak," lanjutnya lagi."Alasan saja.""Dek!" seru Bang Jo."Kenapa? Mau membelanya? Semua itu cuma alasannya saja. Kalau mau tidur disini, ajak Dewi dan Intan tidur disini juga. Kan kangen sama anak-anak!" kataku."Bu, Intan nggak mau tidur sama Ibu itu," tiba-tiba Intan muncul bersama Nayla. Aku kaget."Intan, nggak boleh ngomong sama ibumu seperti itu!" teriak Bang Jo."Tadi malam Intan sama Mbak Dewi tidur sama Ibu itu. Tapi Ibu itu hanya diam saja, nggak ngajak kami ngobrol, hanya sibuk dengan ponselnya saja. Mending tidur sama Makwo." Intan segera berlari pul
"Nova, kamu jadi istri kok keterlaluan sekali. Suami pulang nggak dibukakan pintu. Tengah malam gedor-gedor pintu rumah Emak," cerocos Emak yang datang tiba-tiba, ketika aku sedang di dapur bersama Bik Sarni.Emak ini memang kebiasaan suka tidak bisa lihat situasi dan kondisi. Apa salahnya kalau dia mau marah, pas nggak ada orang. Kalau kayak gini, kan nggak enak sama Bik Sarni. Untung Bik Sarni sudah paham wataknya Emak, jadi dia cuek saja seolah-olah tidak mendengar ucapan Emak. Bik Sarni tetap melanjutkan pekerjaannya tanpa melirik aku atau Emak."Emak, saya nggak tahu Abang pulang jam berapa. Soalnya nggak manggil-manggil atau gedor pintu. Abang pergi kemana, saya juga nggak tahu. Pergi nggak pamit," jawabku dengan suara selembut mungkin. Berharap Emak bisa memahami aku."Emak juga nggak tahu pergi kemana. Tahu-tahu tadi malam gedor pintu. Tuh, sekarang masih tidur," sahut Emak.Aku diam saja mendengar ocehan Emak, semakin ditanggapi akan semakin ramai. Aku sudah pusing masalah Ba
"Belum," jawabku singkat."Kenapa?""Biasanya kan Abang yang bayar ke bank. Aku nggak ada waktu untuk ke bank, sibuk di warung.""Apa salahnya ke bank sebentar. Di warung kan ada Minah dan Warti."Aku langsung menoleh ke arahnya."Kenapa bukan Abang yang pergi ke bank? Abang kan nggak sibuk.""Abang nggak ada uangnya.""Kenapa nggak ngomong sama aku? Abang terlalu sibuk ngurusin mantan, sampai-sampai istri sendiri diabaikan. Begitu berharganya sang mantan, selalu dibela di depan istri. Sikap Abang itu sangat melukai perasaanku.""Abang kan ngomong tentang hutang bank kok merepet sampai masalah Narsih.""Abang tuh punya otak apa enggak sih! Gara-gara mantan datang, semua berantakan. Sampai hutang bank lupa dibayar. Yang di pikiran hanya ada Narsih, Narsih dan Narsih. Aku nggak mau bayar hutang bank itu. Biarlah rumah ini disita, toh bukan rumahku. Aku disini kan hanya numpang," ketus aku menjawab ucapan Bang Jo. Aku sudah sangat kesal dengannya. Dia tidak merasa melakukan kesalahan. L
"Sudah sehat, Bu?" tanya Bik Sarni ketika aku masuk ke warung."Alhamdulillah, Bik. Sudah nggak pusing lagi," sahutku. Aku segera duduk di kursi kasir."Nayla kemana, Bik?" tanyaku pada Bik Sarni, karena aku tidak melihat Nayla."Pergi sama ayahnya, Bu," jawab Warti."Oh, ya sudah.""Ini Bu, nasi empat," kata Wati menyerahkan selembar uang merah. Aku segera menyerahkan uang kembaliannya. Warti memberikan uang kembalian kepada pembeli. Tiba-tiba Warti mendekatiku lagi dan berbisik."Bu, ada tamu istimewa.""Mana?" tanyaku dengan celingukan mencari sosok yang disebut Warti tadi."Tuh, baru mau masuk warung."Deg! Dadaku langsung berdebar-debar melihat siapa yang datang. Ternyata si ulat bulu yang selalu menebarkan rasa gatal. Siapa lagi kalau bukan Narsih. Aku kok malas memanggil dia dengan sebutan mbak. Keributan apa lagi yang akan dia ciptakan hari ini.Si ulat bulu berjalan mendekati Warti."Kalau jadi pelayan tuh, jangan cemberut. Nanti pelanggannya kabur semua. Pelayan juga harus b
Kami semua menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Bang Jo datang bersama dengan Nayla dan Intan."Mas, mereka semua menuduhku maling," keluh Narsih dengan suara memelas dan manja. Seolah-olah dialah sosok yang teraniaya. Ia pun mendekati Bang Jo. Nayla dan Intan yang datang, menampakkan wajah bingung."Dasar ratu drama!" kataku dalam hati."Tuh kan, dibilang nggak percaya kalau Bang Jo sedang keluar. Dasar…." Belum sempat aku melanjutkan ucapanku, Narsih langsung bersuara lagi."Dasar apa? Hah!" bentaknya padaku. Hatiku langsung panas, enak saja dia membentakku di depan orang-orang. Yang salah kan dia, bukan aku. Apa karena ada Bang Jo, ia merasa ada yang bakal membela. Karena selama beberapa hari disini, Bang Jo memang sering membelanya."Nay, dari kemarin, kalau ada ibu itu selalu saja bertengkar, ya? Berarti ibu itu pembuat masalah," celetuk Intan sambil menunjuk ibunya. Narsih langsung merah mukanya. Rasain kamu Narsih, anakmu sendiri sudah nggak suka sama kamu."Iya ya, Mbak. Ib
"Kamu sibuk dengan dirimu sendiri tanpa peduli dengan anak-anakmu. Dan perempuan itu yang sekarang selalu kamu bela. Apa kamu nggak punya malu? Emak saja malu dengan kelakuanmu. Kamu dengar kan, apa kata Intan tadi. Anakmu saja bisa menilai kelakuan ibunya. Kok kamu malah buta mata hatinya," cerocos Emak panjang lebar.Bang Jo hanya tertunduk, entah apa yang ada dipikirannya. Jangan-jangan yang dikatakan Bapak dan Emak tadi, hanya numpang lewat di telinga saja. Masuk telinga kiri keluar telinga kanan. "Sekarang Johan, apa yang akan kamu katakan?" tanya Bapak. Yang ditanya malah diam seribu bahasa."Nova, apa yang ingin kamu sampaikan?" tanya Bapak padaku. Ini kesempatanku untuk menyampaikan semua isi hati dan kepalaku."Pak, Emak, semenjak ibunya Dewi datang, hubungan saya dengan Bang Jo kurang baik. Waktu Bang Jo berkata kalau Narsih mau menginap disini, saya merasa keberatan. Tapi saya sadar, kalau saya disini hanya menumpang di rumah Bang Jo. Tidak punya hak untuk berpendapat. Itu
"Makanya kalau punya uang, ya dibayar dong hutangnya. Jangan banyak gaya tapi hutang dimana-mana.""Urusanku dong Mbak, hutang-hutangku. Mau dibayar atau tidak, itu urusanku. Jadi Mbak nggak perlu ikut campur." Mella malah meninggikan intonasi suaranya."Ya jelas aku ikut campur dong! Kamu kan pinjam uang sama aku. Giliran ditagih jawabnya besok-besok. Mudah-mudahan usia masih bisa sampai besok. Ingat Mella, hutang satu sen pun itu nanti akan ditagih di akhirat. Kecuali yang mengurangi itu mengikhlaskan. Tapi aku belum bisa mengikhlaskan, karena kamu masih mampu membayarnya.""Mbak mendoakan aku mati ya? Nggak usah sok suci Mbak!" seru Mella."Yang sok suci itu kamu. Ayo bayarlah hutangnya, kalau belum mampu melunasinya, nyicil juga boleh. Kalau memang nggak mampu sama sekali, minta surat keterangan miskin di kantor desa. Besok aku buatkan surat keterangan miskin," ledekku."Aku nggak mau bayar!" teriak Mella."Ya sudah, besok aku bikinkan surat keterangan miskin di kantor desa.""Aku
"Iya." Aku lemas mendengar ucapan Bang Jo. Aku langsung merebut uang di tangan Bang Jo. Bang Jo berusaha menariknya, tapi langsung kutendang alat vitalnya. Bang Jo mengaduh kesakitan."Keterlaluan kamu, Dek. Istri durhaka!" teriak Bang Jo sambil kesakitan."Abang yang durhaka, punya hutang nggak mau bayar. Malah uangnya dipakai untuk bayar hutangnya mantan. Berapa Abang bayar hutang Narsih.""Lima ratus ribu.""Bohong! Jawab dengan jujur, kalau enggak, aku tendang lagi. Biar burungnya mati!" bentakku."Dua juta, Dek!" jawab Bang Jo sambil menahan kesakitan."Memang Abang sudah tidak punya hati. Mantan terus yang dipikirkan. Melihat istrinya dihina hanya diam saja. Lihat saja Bang, akan aku buat kamu menyesal memperlakukanku seperti ini.""Sudah Nova, jangan emosi." Bapak membujukku."Tidak Pak, saya sangat tersakiti dengan kelakuan Bang Jo. Nggak punya hati dan perasaan, lihat saja nanti Bang. Bayar hutang bank bulan ini, aku nggak mau ngasih uangnya. Cari sendiri.""Nova, kalau kamu
“Abang takut kehilanganmu. Abang banyak merenung dan berpikir selama Adek masih di klinik. Masalah anak kita, apa yang yang Abang ucapkan itu hanya emosi sesaat. Karena Abang masih kalut dengan usaha Abang yang merugi, ditambah kedatangan perempuan itu. Abang benar-benar minta maaf. Abang akan melakukan apa saja asal kamu tidak pergi. Abang berjanji tidak akan melakukan kesalahan seperti ini lagi.”Aku hanya diam, tidak tahu harus melakukan apa. Apakah aku senang dengan apa yang dilakukan Bang Jo sekarang? “Dek, Abang minta maaf kalau tidak bisa menjadi suami yang seperti kamu inginkan. Tapi Abang berjanji, Abang akan selalu melindungi dan menjagamu. Abang akan menjadi suami siaga untukmu dan bayi kita. Nak, maafkan Ayah,” kata Bang Jo sambil mengelus perutku. Kemudian ia berusaha berdiri dan menunduk untuk mencium perutku.“Maafkan Ayah, Nak. Ayah akan menjagamu sampai kamu lahir dan sampai kamu besar nanti. Ayah akan bercerita tentang ibumu, betapa hebatnya ibumu selama mendamping
Aku sedang mengemasi pakaianku di kamar. Aku baru saja pulang dari klinik dan langsung pulang ke rumah untuk mengemas pakaianku dan Nayla. Diruang tamu ada Bapak dan Bang Jo, entah apa yang mereka bicarakan.“Jadi Ibu benar-benar mau pergi?” tanya Dewi dengan meneteskan air mata. Aku tidak tahu kapan Dewi masuk ke kamarku. Aku menghentikan sejenak kegiatanku dan kemudian duduk di sebelah Dewi.“Maafkan Ibu, Dewi. Semua ini tergantung ayahmu. Kalau memang ayahmu masih menghendaki Ibu ada disini, Ibu akan tetap disini. Tapi percayalah, Ibu akan tetap menyayangimu, apapun yang terjadi.” aku berkata dengan mata yang berkaca-kaca.“Mana janji Ibu yang akan mendampingi Dewi sampai Dewi mandiri? Ibu bohong!” Dewi berteriak sambil menangis. Aku segera memeluknya dan ikut menangis. Sebenarnya berat bagiku meninggalkan anak-anak. Tapi daripada disini tapi diabaikan oleh Bang Jo, lebih baik aku pergi, demi kesehatan mentalku. Apalagi aku sedang mengandung.Aku mendengar diluar sedang terjadi pe
Pagi menjelang siang, aku dikejutkan dengan kedatangan bapakku. Ya Pak Hardi, bapakku datang ke klinik. “Kamu dengan siapa disini? Sendirian? Johan benar-benar keterlaluan! Nanti kamu pulang ke rumah Bapak saja. Bapak masih sanggup mengurusmu!” Bapak tampak geram.“Bapak sama siapa kesini?” tanyaku basa-basi.“Sama Manto!”“Dari kemarin Bapak merasa tidak enak, kepikiran kamu terus. Apalagi waktu mendengar kalau Tina pergi kesini. Bapak sudah menebak apa yang terjadi.”“Bapak tahu dari mana kalau Tina kesini?” tanyaku dengan heran.“Kemarin Bapak mencari beras, anak buahnya bilang sedang pergi kesini. Ya Bapak langsung berpikir tentang kamu. Makanya pagi-pagi Bapak sudah berangkat. Sampai rumahmu hanya ada Nayla, terus Mella bilang kalau kamu disini. Tadi malam kamu sama siapa disini?” Bapak menjelaskan.Aku diam tidak menjawabnya.“Sendirian? Tega sekali Johan ya?” Bapak mulai emosi.“Sebenarnya Dewi, Mella mau menemaniku. Tapi aku nggak mau. Aku sudah meminta Dewi untuk menjaga adi
Sepertinya Bang Jo terpengaruh dengan kata-kata Tina. Tadi malam ia memilih tidur dengan Angga. Pagi ini pun ia tidak banyak bicara. Tidak menyapaku seperti biasanya.Aku membereskan meja makan setelah semuanya sarapan. Anak-anak sudah berangkat sekolah, hanya ada Nayla yang sudah asyik di depan televisi. Dari tadi Bang Jo menghindari bertatapan mata denganku. Aku merasa kalau ia sengaja tidak mau menyapaku.“Hari ini Abang mau kemana?” tanyaku sambil mendekatinya. Ia malah berjalan menghindar.“Bang!” teriakku. Ia tetap tidak menghiraukanku.Aku berlari mengejarnya sampai ke warung.“Mbak Nova, jangan lari, Mbak sedang hamil,” teriak Mella. Aku tersadar kalau aku memang sedang hamil. Bang Jo tetap tidak peduli, ia berjalan keluar. Aku tetap berlari mengejarnya, akhirnya aku bisa meraih tangannya.“Ada apa?” Bang Jo berkata dengan datar.“Seharusnya aku yang bertanya, ada apa Bang? Dari tadi malam Abang menghindariku.”“Bisa kamu pikirkan sendiri!” Bang Jo menjawab dengan ketus.“Jadi
“Bu, ada yang nyariin,” kata Warti. Aku sedang tiduran di depan televisi, kehamilanku ini membuatku tak berdaya. Tapi aku tetap bersemangat dan tidak mau menunjukkan kepada Bang Jo dan anak-anak. Mereka tahunya aku kuat.“Siapa?” “Nggak tahu, Bu.”Aku pun beranjak dari tidurku dan berjalan perlahan menuju ke warung. Tampak seorang perempuan yang isinya diatasku. Aku sepertinya pernah melihatnya, tapi dimana ya? Aku mencoba mengingat-ingat.“Maaf, apakah Ibu mencari saya?” Kau bertanya dengan sopan pada perempuan itu.“Oh, anda yang bernama Nova?” Perempuan itu menatapku dari ujung rambut ke ujung kaki. “Iya. Maaf, anda siapa ya?”“Kenalkan saya Tina, istrinya Romi.” Perempuan bernama Tina itu mengulurkan tangannya. Aku pun menerima uluran tangan itu.“Oh, ada apa ya?”“Kamu kenal Romi kan?” tanya Tina.“Iya, kenal. Teman waktu SMA.”“Teman? Hanya teman? Bukannya pacaran?” Suaranya agak meninggi. Beberapa orang melihat ke arahku.“Cinta monyet, Bu. Waktu kami SMA. Sesudah itu tidak
"Ayo kita semua makan, hidangan sudah siap. Nova panggil mertuamu untuk bergabung kesini." Ibu mengajak kami makan siang bersama.Aku segera memanggil Bapak dan Emak, juga Mella. Bang Jo dan Deni ternyata sudah siap duduk di dekat meja makan."Ayo anak-anak kita makan," panggilku pada anak-anak yang asyik bermain. Dewi dan Angga ternyata dari tadi nungguin adik-adiknya bermain. Dewi memang sudah bisa diandalkan, begitu juga dengan Angga.Kami pun makan siang bersama, menyantap hidangan yang memang sudah disediakan. Mulai dari tempoyak, ada juga bekasam.Bekasam adalah ikan yang difermentasi, tidak hanya dengan garam, tapi ikan juga dicampur dengan sedikit nasi. Lalu simpan di tempat kedap udara setelah 10 hari hingga Bekasam bisa dinikmati.Bekasam bisa menjadi lauk makan. Rasanya asam dan sedikit bau. Bau disini itu karena unsur fermentasinya, baunya itu ciri khas Bekasam. Tapi aku tidak menyukai bekasam, karena baunya ini sudah membuat perutku merasa mual.Penyajiannya bisa ditumis
“Ternyata Ibu kepo juga ya? Haha.” Dewi tertawa kecil. Dewi pun duduk di sebelahku.“Dewi berkata seperti itu berdasarkan cerita Malvin. Sebenarnya Malvin itu hidupnya tertekan karena banyak tuntutan dari mamanya,” lanjut Dewi.“Terus papanya diam saja?” “Papanya itu juga sangat nurut dengan mamanya. Malvin dan Dewi hanya berteman kok, Bu. Memangnya Ibu mau punya besan kayak mamanya Malvin?” Gantian Dewi yang menggodaku.“Kalau itu sudah kemauan anak, mau nggak mau ya harus mau.” Aku tertawa.“Itulah yang Dewi senangi dari Ibu. Ibu selalu membebaskan Dewi untuk melakukan apa saja, yang penting tidak aneh-aneh.”“Ibu nggak mau jadi orang tua yang suka memaksakan kehendak. Dewi kan sudah besar, pasti tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik.”“Apakah Malvin pernah mengatakan kalau menyukai Dewi?” tanyaku penasaran.“Secara terang-terangan sih enggak pernah, Bu. Bukannya Dewi ge er, tapi memang sepertinya Malvin itu menyukai Dewi. Lagipula perempuan yang menyukai Malvin itu banyak,
"Mbak!" Suara itu mengagetkanku. Aku menoleh, karena ada yang memanggilku. Ternyata Mella."Eh, Mella. Ada apa?" tanyaku.Mella mendekatiku dan duduk di sebelahku."Ada yang ingin aku bicarakan. Mbak Nova ada waktu?" tanya Mella."Oh, iya. Ada apa ya?""Sekedar berbagi cerita, Mbak. Masalah rumah tanggaku.""Oh, aku akan mendengarkan."Mella pun mulai bercerita."Mbak, aku belajar untuk ikhlas menjalani hidupku. Aku selalu memasrahkan diri pada Allah. Ternyata ketika kita sudah ikhlas, jalannya dipermudah. Aku dan Kak Deni banyak bercerita dan saling bertukar pikiran. Kak Deni sudah meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya. Kami sepakat untuk memulai lagi dari awal. Aku sudah meminta Kak Deni untuk periksa ke dokter, takutnya ada penyakit kelamin menular. Sekarang kami berdua sedang berobat, untuk sekedar meyakinkan kalau kita benar-benar sehat."Mella menarik nafas panjang, kemudian melanjutkan lagi."Untuk saat ini kami memang belum melakukan hubungan badan. Menunggu sampa
Dengan deg-degan aku membuka pesan itu.[Nova, kok kamu lama nggak online. Kemana saja? Aku merindukanmu.][Nova, kamu nggak apa-apa, kan?][Aku sangat merindukanmu. Ingin mengulang lagi kisah kita. Walaupun banyak yang menganggap cinta monyet, tapi aku menganggapmu cinta sejatiku.]Jantungku berdetak semakin kencang.[Boleh aku main ke rumahmu? Sekedar melihat wajahmu yang selalu aku rindukan.][Atau kita bertemu di hotel saja, melepas rindu.][Kita bernasib sama, memiliki pasangan hidup yang usianya jauh berbeda. Jujur saja, kalau aku tidak pernah merasa puas dengan istriku. Aku yakin kalau denganmu aku bisa sangat puas. Aku selalu membayangkan melakukannya denganmu.][Aku rela menceraikan istriku demi mendapatkanmu. Aku yakin kita bisa bahagia bersama.]Deg! Pikiranku jadi kacau membaca pesan dari Romi.Kok Romi semakin nekat saja. Aku menjadi ilfil dengan kata-katanya. Ujung-ujungnya hubungan badan itulah. Memang benar jika laki-laki beristri dan perempuan bersuami berhubungan, pa