Setelah sholat Ashar, aku dan Bang Jo ke rumah Deni. Untuk menjenguk Mella, sekalian membawakan oleh-oleh dari dusun. Aku berharap kedatanganku kali ini tidak akan terjadi keributan. Tujuanku baik, hanya kadangkala Mella tidak bisa berfikir positif. Selalu menganggap aku sebagai musuh bebuyutan.Memasuki halaman rumah Bapak dan Emak, terasa sangat berbeda. Biasanya rumah ini ramai karena Emak sering merepet. Rumah juga tampak seperti tidak diurus. Di halaman banyak daun kering yang berserakan. Kalau ada Bapak, daun-daunan kering ini dikumpulkan lalu dibakar. Jadi kelihatan bersih. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana ekspresi Emak nanti ketika pulang. Akan merepet panjang atau sudah jadi alim ya?"Assalamualaikum." Bang Jo mengucapkan salam."Waalaikumsalam." Suara perempuan menjawab salam, yang jelas bukan suara Mella. Berarti suara…."Eh ada tamu dari jauh. Ayo masuk," kata Bu Tari."Iya Bu. Apa kabar Bu?" tanyaku basa-basi."Ya, seperti yang kamu lihat. Masih sanggup mengurus Mel
"Dan Ingat Mella, kalau kita berpisah kamu tidak mendapatkan apa-apa. Nggak ada harta gono-gini. Karena memang kita nggak punya apa-apa. Semua ini karena siapa? Kamu kan sumber masalahnya. Dulu uang gaji selalu aku berikan padamu. Tapi apa? Semua malah untuk foya-foya, sampai-sampai jatah untuk Emak tidak pernah kamu berikan. Apa bukan kamu yang menantu durhaka? Tuh, panci-panci dan Tupperware koleksimu. Apa semua itu bisa dijual? Mending kamu koleksi emas, bisa untuk investasi. Yang kamu beli malah emas imitasi. Untuk apa? Untuk gaya-gayaan saja?" kata Deni panjang lebar.Bu Tari dan Mella masih terdiam mendengar ucapan Deni. Sebenarnya kasihan melihat Mella, tapi kelakuannya memang benar-benar membuat emosi. Terungkap fakta baru, ternyata emas-emas yang dipakai Mella selama ini hanya imitasi. Memalukan saja, aku tersenyum dalam hati. Takut mereka akan emosi jika aku tersenyum lebar. Apa aku jahat ya, bahagia diatas penderitaan Mella?"Ayo Bang, Mbak, keluar saja. Kalau disini terus
Adzan subuh berkumandang, aku segera membereskan pekerjaanku di dapur. Kulihat Bang Jo juga menghentikan aktivitasnya.Bang Jo pergi ke masjid untuk shalat subuh. Aku juga bersiap-siap untuk shalat, setelah tadi membersihkan diri dengan berwudhu. Pintu kamar Dewi juga terbuka, menandakan ia sudah bangun.Aku senang melihat kondisi keluargaku akhir-akhir ini. Bang Jo yang rajin berjamaah di masjid, anak-anak yang penurut, Ibu dan Septi yang sudah akur. Tak henti-hentinya aku bersyukur dan selalu berdoa untuk keluargaku. Semoga selalu dalam lindungan Allah.Aku melanjutkan aktivitasku lagi. Dewi dan Intan juga melakukan aktivitas pagi. Tak lama terdengar suara Bang Jo yang mengucapkan salam. Aku dan anak-anak menjawab salam. Ternyata Bang Jo tidak sendirian, tapi bersama dengan Deni. Aku heran melihat Deni tampak memakai sarung dan kopiah. Berarti ia juga berjamaah di masjid. Alhamdulillah.Segera aku membuatkan kopi untuk Bang Jo dan Deni. "Intan, tolong kopinya dikasihkan Ayah ya?" p
"Kenapa kok Mama menyuruh Sheila?" tanyaku penasaran, tentu saja dengan sedikit kesal."Mama sedang berobat sama Nenek. Papa kerja, jadi Sheila nggak ada teman di rumah," kata Sheila.Dhuar. Aku seperti mendengar sesuatu yang menghantam hati dan pikiranku. Aku sudah suudzon dengan Mella. Ternyata aku salah. Ya Allah, maafkan hamba-Mu ini. Kenapa Deni atau Mella tidak memberitahu, kalau mau menitipkan Sheila disini?"Oh, Mama sakit lagi ya?" tanyaku."Iya, katanya kakinya masih sakit. Tahu nggak, Bude. Kalau kaki Mama yang sakit itu, baunya busuk sekali, sampai Sheila sakit perut kayak mau muntah.""O ya? Terus Sheila waktu tidur, gimana? Katanya Bau." Aku bertanya lagi."Sheila nggak tidur sama Mama, tapi sama Papa di kamar Makwo."Berarti benar kata Bang Jo, kalau bau busuk di kamar Mella itu, disebabkan karena luka pada kaki Mella. Kok Mella betah ya? Atau mungkin ia sudah terbiasa dengan bau itu."Bu, beli es krim ya?" pinta Nayla karena mendengar suara penjual es krim keliling."Y
"Hebat kamu, Dek. Berani berkata seperti itu pada Bu Tari," ucap Bang Jo, ketika masuk ke dalam rumah.Aku sedang duduk di ruang keluarga, sambil mengawasi anak-anak bermain."Habisnya aku kesal sekali, Bang. Orang kok nggak pernah bisa bersyukur. Bisanya hanya mengeluh dan meremehkan orang lain. Merasa dia paling hebat sendiri. Aku nggak ikhlas Deni disepelekan seperti itu. Deni sudah susah payah kerja demi anak istri, masih saja dianggap nggak becus ngurus anak istri. Memangnya Abang nggak kesal, adik sendiri disepelekan?" jawabku sambil nyerocos, menandakan kalau aku sedang kesal sekali. Apalagi jika ingat kejadian tadi."Abang juga nggak ikhlas, Dek. Tapi nggak etis lah kalau laki-laki berdebat dengan perempuan seperti itu. Takutnya nanti malah Abang semakin emosi. Tapi kekesalan Abang sudah terwakili Adek tadi," kata Bang Jo sambil tersenyum."Pantesan Mella orangnya seperti itu, keturunan dari ibunya. Kasihan Deni ya? Bebannya jadi bertambah karena Bu Tari ada disini.""Habis ma
Drtt...drtt ponselku berbunyi lagi. Aku menjauh dari Bang Jo, Deni dan Bu Tari."Assalamualaikum." Aku mengucapkan salam ketika menerima panggilan di ponsel."Waalaikumsalam, apa kabar, Mbak," jawab Aisyah."Alhamdulillah kabar baik, gimana keluarga disana?" ucapku lagi."Alhamdulillah, sehat semua, Mbak. Aku tadi menelpon Bang Jo, tapi nggak diangkat.""Oh, dia lagi asyik ngobrol sama Deni. Mungkin nggak kedengaran.""Oh, ada Deni ya disitu?""Iya, Bu Tari juga.""Apa? Bu Tari ada disitu?" Sepertinya Aisyah kaget mendengar ucapanku."Iya. Beliau kan merawat Mella.""Oh iya? Mbak, rencana besok, Bapak dan Emak akan pulang. Aku dan Mas Arman yang mengantarnya."Aku kaget mendengar ucapan Aisyah, wah bakal jadi keributan besar kalau Emak pulang dan disitu ada Bu Tari."Oh, gitu ya? Jam berapa mau berangkat?" tanyaku lagi."Agak siang, mungkin jam sepuluh.""Ya, nanti aku sampaikan sama Bang Jo dan Deni.""Oke, Mbak. Aku hanya mau mengabari itu saja. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam." A
"Apa kabar, Mella?" tanyaku basa-basi."Nggak usah basa-basi. Sudah tahu aku sedang sakit, pakai nanya segala," jawabnya dengan ketus."Ma, Mbak Nova kan nanya baik-baik. Kok jawabannya kayak gitu," kata Deni yang kebetulan masuk ke ruang keluarga."Papa selalu membelanya. Istri papa itu, Mama atau dia," ucap Mella sambil menunjuk ke arahku."Sudah, Den. Nggak usah diperdebatkan. Nggak selesai-selesai nanti kerjaan kita," kataku pada Deni.Sebenarnya aku ingin marah, tapi kasihan melihat Deni. Nanti pasti akan dimarahi oleh Mella. Aku keluar untuk menuangkan kopi ke gelas. Kemudian menaruh beberapa kue di piring. Kubawa lagi piring berisi kue itu ke dalam. Untuk dimakan Bu Tari dan Mella. Sengaja aku memilih kue yang tidak manis."Ini Bu, ada kue," kataku pada Bu Tari dan Mella yang ada di ruang keluarga."Taruh saja di meja," jawabnya.Segera aku meletakkan piring tersebut di atas meja. Terserah mau dimakan atau tidak. Aku langsung keluar lagi, kalau di dalam terus nanti malah emosi
"Hei, tuan rumah disini siapa? Kok situ yang marah-marah," kata Emak. Wah, sudah mulai keluar watak asli Emak. Aku dan Aisyah hanya saling memandang."Ayo, Mak. Kita ke depan saja. Atau kita ke rumah Mbak Nova?" ajak Aisyah sambil menggandeng tangan Emak. Akhirnya Emak mengikuti langkah Aisyah keluar dari dapur. Aku juga berjalan menuju ke depan. Tampak Mella berjalan tertatih-tatih menuju ke kamar. Ketika berpapasan denganku ia menatap sinis padaku. Aku diam saja.Diruang tamu sudah ada Bang Jo, Arman, Bapak dan Deni. Bapak sedang memberi nasihat pada Deni."Terus maumu sekarang bagaimana?" tanya Bapak pada Deni."Deni mau, Mella itu nurut dengan anjuran dokter. Kalau ia mau sehat. Tapi Mella susah sekali dikasih tahu. Masih saja makan mie pakai nasi dan minum teh manis. Terus apa yang bisa Deni lakukan, Pak?" keluh Deni."Ya sudah, Den. Biarkan Mella sesuka hatinya. Nanti kalau jarinya diamputasi kan baru tahu rasa," celetuk Aisyah."Hush, Mama kalau ngomong kok kayak gitu," kata
“Abang takut kehilanganmu. Abang banyak merenung dan berpikir selama Adek masih di klinik. Masalah anak kita, apa yang yang Abang ucapkan itu hanya emosi sesaat. Karena Abang masih kalut dengan usaha Abang yang merugi, ditambah kedatangan perempuan itu. Abang benar-benar minta maaf. Abang akan melakukan apa saja asal kamu tidak pergi. Abang berjanji tidak akan melakukan kesalahan seperti ini lagi.”Aku hanya diam, tidak tahu harus melakukan apa. Apakah aku senang dengan apa yang dilakukan Bang Jo sekarang? “Dek, Abang minta maaf kalau tidak bisa menjadi suami yang seperti kamu inginkan. Tapi Abang berjanji, Abang akan selalu melindungi dan menjagamu. Abang akan menjadi suami siaga untukmu dan bayi kita. Nak, maafkan Ayah,” kata Bang Jo sambil mengelus perutku. Kemudian ia berusaha berdiri dan menunduk untuk mencium perutku.“Maafkan Ayah, Nak. Ayah akan menjagamu sampai kamu lahir dan sampai kamu besar nanti. Ayah akan bercerita tentang ibumu, betapa hebatnya ibumu selama mendamping
Aku sedang mengemasi pakaianku di kamar. Aku baru saja pulang dari klinik dan langsung pulang ke rumah untuk mengemas pakaianku dan Nayla. Diruang tamu ada Bapak dan Bang Jo, entah apa yang mereka bicarakan.“Jadi Ibu benar-benar mau pergi?” tanya Dewi dengan meneteskan air mata. Aku tidak tahu kapan Dewi masuk ke kamarku. Aku menghentikan sejenak kegiatanku dan kemudian duduk di sebelah Dewi.“Maafkan Ibu, Dewi. Semua ini tergantung ayahmu. Kalau memang ayahmu masih menghendaki Ibu ada disini, Ibu akan tetap disini. Tapi percayalah, Ibu akan tetap menyayangimu, apapun yang terjadi.” aku berkata dengan mata yang berkaca-kaca.“Mana janji Ibu yang akan mendampingi Dewi sampai Dewi mandiri? Ibu bohong!” Dewi berteriak sambil menangis. Aku segera memeluknya dan ikut menangis. Sebenarnya berat bagiku meninggalkan anak-anak. Tapi daripada disini tapi diabaikan oleh Bang Jo, lebih baik aku pergi, demi kesehatan mentalku. Apalagi aku sedang mengandung.Aku mendengar diluar sedang terjadi pe
Pagi menjelang siang, aku dikejutkan dengan kedatangan bapakku. Ya Pak Hardi, bapakku datang ke klinik. “Kamu dengan siapa disini? Sendirian? Johan benar-benar keterlaluan! Nanti kamu pulang ke rumah Bapak saja. Bapak masih sanggup mengurusmu!” Bapak tampak geram.“Bapak sama siapa kesini?” tanyaku basa-basi.“Sama Manto!”“Dari kemarin Bapak merasa tidak enak, kepikiran kamu terus. Apalagi waktu mendengar kalau Tina pergi kesini. Bapak sudah menebak apa yang terjadi.”“Bapak tahu dari mana kalau Tina kesini?” tanyaku dengan heran.“Kemarin Bapak mencari beras, anak buahnya bilang sedang pergi kesini. Ya Bapak langsung berpikir tentang kamu. Makanya pagi-pagi Bapak sudah berangkat. Sampai rumahmu hanya ada Nayla, terus Mella bilang kalau kamu disini. Tadi malam kamu sama siapa disini?” Bapak menjelaskan.Aku diam tidak menjawabnya.“Sendirian? Tega sekali Johan ya?” Bapak mulai emosi.“Sebenarnya Dewi, Mella mau menemaniku. Tapi aku nggak mau. Aku sudah meminta Dewi untuk menjaga adi
Sepertinya Bang Jo terpengaruh dengan kata-kata Tina. Tadi malam ia memilih tidur dengan Angga. Pagi ini pun ia tidak banyak bicara. Tidak menyapaku seperti biasanya.Aku membereskan meja makan setelah semuanya sarapan. Anak-anak sudah berangkat sekolah, hanya ada Nayla yang sudah asyik di depan televisi. Dari tadi Bang Jo menghindari bertatapan mata denganku. Aku merasa kalau ia sengaja tidak mau menyapaku.“Hari ini Abang mau kemana?” tanyaku sambil mendekatinya. Ia malah berjalan menghindar.“Bang!” teriakku. Ia tetap tidak menghiraukanku.Aku berlari mengejarnya sampai ke warung.“Mbak Nova, jangan lari, Mbak sedang hamil,” teriak Mella. Aku tersadar kalau aku memang sedang hamil. Bang Jo tetap tidak peduli, ia berjalan keluar. Aku tetap berlari mengejarnya, akhirnya aku bisa meraih tangannya.“Ada apa?” Bang Jo berkata dengan datar.“Seharusnya aku yang bertanya, ada apa Bang? Dari tadi malam Abang menghindariku.”“Bisa kamu pikirkan sendiri!” Bang Jo menjawab dengan ketus.“Jadi
“Bu, ada yang nyariin,” kata Warti. Aku sedang tiduran di depan televisi, kehamilanku ini membuatku tak berdaya. Tapi aku tetap bersemangat dan tidak mau menunjukkan kepada Bang Jo dan anak-anak. Mereka tahunya aku kuat.“Siapa?” “Nggak tahu, Bu.”Aku pun beranjak dari tidurku dan berjalan perlahan menuju ke warung. Tampak seorang perempuan yang isinya diatasku. Aku sepertinya pernah melihatnya, tapi dimana ya? Aku mencoba mengingat-ingat.“Maaf, apakah Ibu mencari saya?” Kau bertanya dengan sopan pada perempuan itu.“Oh, anda yang bernama Nova?” Perempuan itu menatapku dari ujung rambut ke ujung kaki. “Iya. Maaf, anda siapa ya?”“Kenalkan saya Tina, istrinya Romi.” Perempuan bernama Tina itu mengulurkan tangannya. Aku pun menerima uluran tangan itu.“Oh, ada apa ya?”“Kamu kenal Romi kan?” tanya Tina.“Iya, kenal. Teman waktu SMA.”“Teman? Hanya teman? Bukannya pacaran?” Suaranya agak meninggi. Beberapa orang melihat ke arahku.“Cinta monyet, Bu. Waktu kami SMA. Sesudah itu tidak
"Ayo kita semua makan, hidangan sudah siap. Nova panggil mertuamu untuk bergabung kesini." Ibu mengajak kami makan siang bersama.Aku segera memanggil Bapak dan Emak, juga Mella. Bang Jo dan Deni ternyata sudah siap duduk di dekat meja makan."Ayo anak-anak kita makan," panggilku pada anak-anak yang asyik bermain. Dewi dan Angga ternyata dari tadi nungguin adik-adiknya bermain. Dewi memang sudah bisa diandalkan, begitu juga dengan Angga.Kami pun makan siang bersama, menyantap hidangan yang memang sudah disediakan. Mulai dari tempoyak, ada juga bekasam.Bekasam adalah ikan yang difermentasi, tidak hanya dengan garam, tapi ikan juga dicampur dengan sedikit nasi. Lalu simpan di tempat kedap udara setelah 10 hari hingga Bekasam bisa dinikmati.Bekasam bisa menjadi lauk makan. Rasanya asam dan sedikit bau. Bau disini itu karena unsur fermentasinya, baunya itu ciri khas Bekasam. Tapi aku tidak menyukai bekasam, karena baunya ini sudah membuat perutku merasa mual.Penyajiannya bisa ditumis
“Ternyata Ibu kepo juga ya? Haha.” Dewi tertawa kecil. Dewi pun duduk di sebelahku.“Dewi berkata seperti itu berdasarkan cerita Malvin. Sebenarnya Malvin itu hidupnya tertekan karena banyak tuntutan dari mamanya,” lanjut Dewi.“Terus papanya diam saja?” “Papanya itu juga sangat nurut dengan mamanya. Malvin dan Dewi hanya berteman kok, Bu. Memangnya Ibu mau punya besan kayak mamanya Malvin?” Gantian Dewi yang menggodaku.“Kalau itu sudah kemauan anak, mau nggak mau ya harus mau.” Aku tertawa.“Itulah yang Dewi senangi dari Ibu. Ibu selalu membebaskan Dewi untuk melakukan apa saja, yang penting tidak aneh-aneh.”“Ibu nggak mau jadi orang tua yang suka memaksakan kehendak. Dewi kan sudah besar, pasti tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik.”“Apakah Malvin pernah mengatakan kalau menyukai Dewi?” tanyaku penasaran.“Secara terang-terangan sih enggak pernah, Bu. Bukannya Dewi ge er, tapi memang sepertinya Malvin itu menyukai Dewi. Lagipula perempuan yang menyukai Malvin itu banyak,
"Mbak!" Suara itu mengagetkanku. Aku menoleh, karena ada yang memanggilku. Ternyata Mella."Eh, Mella. Ada apa?" tanyaku.Mella mendekatiku dan duduk di sebelahku."Ada yang ingin aku bicarakan. Mbak Nova ada waktu?" tanya Mella."Oh, iya. Ada apa ya?""Sekedar berbagi cerita, Mbak. Masalah rumah tanggaku.""Oh, aku akan mendengarkan."Mella pun mulai bercerita."Mbak, aku belajar untuk ikhlas menjalani hidupku. Aku selalu memasrahkan diri pada Allah. Ternyata ketika kita sudah ikhlas, jalannya dipermudah. Aku dan Kak Deni banyak bercerita dan saling bertukar pikiran. Kak Deni sudah meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya. Kami sepakat untuk memulai lagi dari awal. Aku sudah meminta Kak Deni untuk periksa ke dokter, takutnya ada penyakit kelamin menular. Sekarang kami berdua sedang berobat, untuk sekedar meyakinkan kalau kita benar-benar sehat."Mella menarik nafas panjang, kemudian melanjutkan lagi."Untuk saat ini kami memang belum melakukan hubungan badan. Menunggu sampa
Dengan deg-degan aku membuka pesan itu.[Nova, kok kamu lama nggak online. Kemana saja? Aku merindukanmu.][Nova, kamu nggak apa-apa, kan?][Aku sangat merindukanmu. Ingin mengulang lagi kisah kita. Walaupun banyak yang menganggap cinta monyet, tapi aku menganggapmu cinta sejatiku.]Jantungku berdetak semakin kencang.[Boleh aku main ke rumahmu? Sekedar melihat wajahmu yang selalu aku rindukan.][Atau kita bertemu di hotel saja, melepas rindu.][Kita bernasib sama, memiliki pasangan hidup yang usianya jauh berbeda. Jujur saja, kalau aku tidak pernah merasa puas dengan istriku. Aku yakin kalau denganmu aku bisa sangat puas. Aku selalu membayangkan melakukannya denganmu.][Aku rela menceraikan istriku demi mendapatkanmu. Aku yakin kita bisa bahagia bersama.]Deg! Pikiranku jadi kacau membaca pesan dari Romi.Kok Romi semakin nekat saja. Aku menjadi ilfil dengan kata-katanya. Ujung-ujungnya hubungan badan itulah. Memang benar jika laki-laki beristri dan perempuan bersuami berhubungan, pa