Entah kebaikan apa yang dilakukan orang tuaku hingga seorang Santi yang gaya hidupnya jauh dari kata soleha bisa dipersunting lelaki taat agama. Bukan kesalehan memang yang membuatku suka padanya, melainkan lelaki bernama Akmal itu memiliki posisi yang tinggi di perusahaan tempat ia bekerja. Terlebih perusahan itu cukup ternama. Gajinya tentu lebih dari cukup untuk memenuhi gaya hidupku yang hedon. Penampilanku dengan pakaian longgar dan lebar saat pertama tak sengaja bertemu dengannya membuatku mendapatkan kesempatan emas ini. Mungkin suamiku yang sekarang mengira kalau aku sesoleha pakaianku. Padahal aku hanya takut ada yang mengenalku di pesta pernikahan temannku sewaktu mondok dulu. Malu lah kalau sampai diolok gara-gara tidak menutup aurat secara tak sempurna. Impianku untuk menguasai harta suami, lantas meninggalkannya jika tak punya uang lagi tidak diridhoi Allah. Ibu mertua yang seorang janda mau diajak tinggal di kota. Kesan seorang mertua jahat langsung tertanam di pikiran
. "Bang! Aku pengen makan martel lah," rengekku, bergelayut manja di lengan suamiku. Setelah beberapa bulan malas melihat wajah bang Akmal yang kata bidan itu hal yang wajar, sekarang aku malah pengen terus bersamanya. Tiada hari tanpa berbalas pesan dan menelpon suamiku. "Martel? Tumben? Ya udah, abang pesan dulu ya," balas lelaki yang bertanggung jawab atas perutku yang membuncit ini. Ia mengutak-ngatik ponsel sambil mengacak rambutku. "Iya, yang banyak, Bang," balasku, tersenyum hangat. Mendadak aku pengen cemilan itu, padahal jatang sekali aku memakannya. Sebaliknya, semua makanan kegemaranku mendadak tak bisa kutelan. "Eeeh, apa-apaan kalian ini? Masa' cucu ibu dikasih makan martel," protes mertuaku. "Loh, memangnya kenapa, Bu? Santi tidak alergi telor kok," balasku dengan kening berlipat. Bang Akmal menggendikkan bahu ke arahku, kami sama-sama bingung. Tak biasanya ibu melarang-larangku makan sesuatu yang kuinginkan. Lagian aku juga tak meminta makanan yang aneh-aneh, cuma
"Kalau kamu sudah jadi istri yang baik, jangan khawatir suamimu berpaling. Banyak Dila lainnya di luar sana yang mungkin takjub pada Akmal. Tapi tak mungkin kan kalau kamu selalu di sampingnya. Akmal juga harus bekerja untuk kita. Jangan terlalu mudah cemburu, San! Curiga boleh, menuduh jangan ya, Sayang!" ujarku pada Santi. Aku jadi tempatnya mengadu jika hati menantuku sedang tidak tenang begini. "Ibu belain Bang Akmal?" cetusnya. Aku mengelus dada. Memiliki menantu tidak lah semudah dalam angan-angan. Aku harus berpikir matang-matang memberikan nasihat untuk keduanya. Salah-salah ucap bisa memancing kobaran api pertengkaran."Ibu gak belain suami kamu, San. Posisi kalian sama di hati ibu. Kalau ada yang salah, harus diluruskan. Bukan mentang-mentang Akmal anak ibu, dia gak pernah salah. Ini kan cuma kecurigaanmu saja. Lebih baik didoakan saja agar suami kamu setia lahir batin," balasku seraya tersenyum simpul.Santi masih mengerucutkan bibir dan terus memandangi isi kotak persegi
"Ibu hamil makin cantik aja ya? Makin glowing," puji Ningsih. Mereka beneran datang ke rumah ini sesuai cerita menantuku. "Namanya juga gak pernah panas-panasan lagi. Kulit terawat, hati pun bahagia karena ada babang Akmal yang mencintai. Eaak," timpal Laura, memancing tawa yang lainnya. "Iya, ya. Kayaknya enak nih menikah dengan lelaki dari kampung. Syukur-syukur kalau sebaik bang Akmal dan punya mertua secerdas Bu Khadijah. Ya nggak, Gaes?" seru Sindi."Udah deh. Jangan sok mau jadi orang kampung. Kalian enggak bakalan kuat. Saat aku ikut Ibu ke kampung, banyak yang masih tradisional loh. Pas malas masak, ya mogok makan. Gak ada gofood ataupun warung nasi yang buka setiap hari. Masih banyak juga yang pakai tungku kayu bakar untuk masak. Kalian sanggup?" seru menantuku. Ketiga gadis itu berpandangan, lalu menggeleng cepat. "Memang bener begitu, Bu?" tanya Laura penasaran. "Kampung-kampung di Negeri ini kan beda-beda. Ada yang masih tradisional, terbelakang, terpencil dan terlua
"Ibu juga jangan terlalu suka mengonsumsi yang manis-manis ya! Kalau Ibu sakit, bukan hanya ibu yang kesakitan, tapi juga Akmal dan Santi. Bukan karena keberatan mengurus Ibu, melainkan rasa tak tega bila Ibu merasakan sakit. Ibu gak mau kan merasakan sakit kayak Pak Sapri? Akmal gak tega melihatnya, Bu. Jadi, tetaplah sehat selamanya, Bu" tutur Akmal, lantas menyuapkan kolak ubi itu ke mulutku dan Santi bergantian. Kolak yang rasanya sekedar ada rasa manis."Ibu! Makanan yang terlalu asin juga tidak baik untuk kesehatan. Jagan ditambahin garam lagi dong," celetuk Santi yang membuatku bingung."Emangnya ibu lagi nyemil garam?" protesku. Aku tidak menambahkan apa pun, bahkan yang kukunyah ini suapan dari anakku, Akmal."Lah ini apa? Ini air garam kenapa meleleh ikut masuk ke mulut? Nantinya jadi keasinan, Bu," kekeh menantuku sambil mengusap pipi yang basah. Air mata keluar begitu saja saat Akmal menunjukkan perhatiannya. Aku memang sangat mudah terbawa perasaan.Aku tersenyum simpul d
"Aku ambilkan minum dulu ya, Ma," ujar Santi."Kamu duduk saja. Kamu juga kan tamu sekarang. Mama aja yang ambil," titah besanku. Bu Lilis bergegas ke dapur dan membawakan gelas juga ceret."Ma! Kok cuma air putih? Dingin pula. Ibu suka mual kalau minum air dingin," celetuk Santi. Besanku mendelik."Gak apa-apa, San," timpalku. Aku segan merepotkan empunya rumah. Sedangkan memanaskan sendiri air ke dapur besanku, aku juga merasa sungkan."Apa yang ada saja, San. Tuh mertuamu saja tidak protes. Jadi orang tua itu tidak boleh manja. Kalau kalian mau datang, kenapa gak bawa makanan, gula atau sirup untuk disajikan?" bisik besanku. Entah sudah pelit sejak dulu atau karena efek jualan jadi perhitungan."Makanan ada sih, Ma. Itu semua yang di atas meja. Tapi masa gula pun harus kami bawa dari rumah. Mama kan jualan," balas menantuku. Karena posisi kami yang berdekatan, suara mereka masih bisa kudengar samar."Ih, nanti kalau mama tak punya uang, kamu malu. Datang-datang masih aja nyusahin.
"Maaf ya, Pa, Akmal cuma bisa ngasih motor yang bekas," tutur Akmal, merasa bersalah. Padahal kalau melihat sikap mama mertuanya Akmal, memberikan motor itu harusnya ditunda dulu. Tapi itulah Akmalku, kami jadi pelengkap. Saat dia marah, aku berusaha meredam emosinya. Ketika aku jengkel tadi, Akmal menyentuh hati mertuanya dengan membeli motor itu sekarang. Kami belum merencanakan hal ini sebelum berangkat. Ah, Akmalku sayang, kamu memang sudah semakin dewasa. Kamu pantas jadi kepala keluarga dan akan segera bergelar ayah."Begini aja sudah alhamdulillah, Nak Akmal. Sebenarnya papa malu menerima pemberianmu ini. Kami masih mampu bekerja dan berusaha menabung agar membeli sendiri. Ini sih masih bagus luar dalam. Kami benar-benar mengucapkan terima kasih banyak buat Nak Akmal sama Bu Khadijah," ungkap Pak Wiro. Wajahnya ceria sekali sebagai ungkapan bahagia mendapat motor itu. Dia benar-benar berubah menjadi prubadi yang lebih baik.Motornya memang bekas, tapi masih layak dibawa jalan-
"Ibu ingat sama mendiang ayah mertua lagi, Bu?" cecar Santi saat menyadari aku menyusut bulir bening di pipi. Aku tersenyum dan mengangguk. Aku lebih suka menangis haru daripada karena kesedihan sehingga ingatanku melambung ke almarhum suami karena ingin membagi bahagia, bukan duka lara."Ibu memang pecinta sejati. Sudah berbeda alam saja terus di kenang. Santi sering melihat pasangan yang suka membicarakan keburukan almarhum suaminya. Sedangkan Ibu sering menangis karena terkenang akan kebaikan ayah mertua. Bahkan aku belum pernah dengar dari Ibu ataupun Bang Akmal tentang kekurangan mendiang ayah mertua," ujar Santi, mengusap bahuku sembari mengambil ponselku yang tergeletak di atas meja. Foto wisuda Akmal yang didampingi olehku dan suami selalu jadi pengobat rindu.Selain karena ada pendapat ulama yang melarang, aku memang tidak suka memajang foto siapa pun di dinding. Kalaupun banyak momen bahagia yang diabadikan dan dicetak dalam bentuk foto, aku menyimpannya dalam album. Itu se