Kebetulan ada dua tanggal merah di minggu ini dan Lita diijinkan bosnya cuti beberapa hari agar bisa seminggu di kota ini. Aku sengaja menyuruh Lita datang ke sini agar bisa bertemu dengan calon yang dipilihkan Akmal. Aku sudah merindukan gadis manis itu. Seminggu di sini, aku bisa membawanya keliling-keliling kota. Lita adalah keponakanku dengan pemikiran cukup modern. Kasihan kalau dia terkungkung dengan pemikiran primitif masyarakat kampung kami. Makanya aku ingin dia menikah dengan orang kota agar bisa mengembangkan diri. Bukan aku tak ingin menyuruh Akmal mencari pekerjaan buat Lita di kota ini. Aku ingin sekali. Bahkan Akmal pernah membicarakan hal ini karena aku sering video call dengan Lita. Tapi di mana dia akan tinggal tentu menjadi tanggung jawabku. Aku takut kalau melepaskannya ngekost sendirian dan tidak ada yang mengawasi. Dia belum terbiasa menghadapi kerasnya kota dan pergaulan yang kurang baik. Namun membawa Lita tinggal bersama keluarga kecil anak menantuku juga bu
"Iya, Bu. Ini semua berkat kesabaran Ibu. Mungkin kalau Ibu tidak membimbing istriku, Akmal tidak akan pernah merasakan damainya pernikahan," lirih Akmal, lantas memelukku. "Kamu berlebihan, Sayang. Allah yang memberi hidayah sedangkan kita cuma berusaha. Santi adalah manusia pilihan yang berhak mendapatkan nikmat hidayah. Makanya ibu harus selektif memilih jodoh untuk Lita. Tidak semua orang punya kesempatan seperti Santi. Ibu tahu kalau Lita tak punya teman lelaki selain kamu. Itu pun sebelum kamu kuliah," ungkapku."Tidak ada yang lebih baik selain pilihan Ibu. Coba tanya teman-teman Ibu saja kalau gitu," usul Akmal yang membuatku berbinar. Kenapa aku tidak kepikiran dengan hal itu? Setelah punya banyak waktu dengan Santi, aku membisukan notifikasi obrolan grup alumni STKIP Pargumbangan. "Betul juga usulmu, Mal," kekehku lantas mengambil ponsel dari saku gamis. [Ada yang punya anak lelaki yang mau nikah gak sih?] tulisku di grup. Kebetulan banyak yang online. Mungkin karena hari
"Sayang! Kamu hanya salah faham tentang ucapan Lita," tuturku saat menemukan Santi duduk di sisi ranjang kamar mereka. Kuusap dengan penuh kasih bahunya yang sedikit berguncang. "Aku bukan menantu yang soleha, Bu. Santibukan menantu impian Ibu. Lita punya segalanya yang Ibu inginkan. Apa dia berencana mau merebut suamiku?" cecar Santi, memutar badan menghadapku. Aku tersenyum tipis dan menyentuh jemari tangan menantuku.Saat di kampung ia tidak begitu terkejut dengan penuturan adikku Arman yang mengatakan kalau seharusnya Akmal menikahi Lita. Dia tak cemburu saat melihatku dekat dengan Lita yang hampir selalu tidur bersama. Kukira dia tidak memiliki kecemburuan kalau ada orang yang menginginkan suaminya. Aku ingin anak dan menantuku saling memiliki rasa cemburu. Jangan sampai mereka biasa-biasa saja saat salah satu dekat dengan lawan jenis "Itu tidak benar, Santi. Lita dan Akmal itu dulu sangat dekat karena sepupuan dan Lita tak punya teman lelaki selain Akmal bahkan sampai sekara
"Permisi, assalamualaikum!" seruku setelah melihat tulisan ayat kursi kecil terpajang di atas pintu. Berarti pemilik rumah ini beragama yang sama denganku. "Apa ada yang bisa dibantu?" seruku lagi. Karena tak ada jawaban, aku melongok dari kaca jendela yang sedikit terbuka dan mencoba menyingkap tirainya. Subhanalloh, seorang lelaki yang lebih tua dariku sedang terjatuh dari kursi rodanya. Sejak kapan ada orang tua di rumah ini? Yang kutahu cuma ada sepasang suami istri yang yang sibuk bekerja di luar. Pergi pagi-pagi sekali dan pulang setelah hari hampir gelap atu bahkan sering kali selepas isya. Aku melihatnya karena sering duduk di teras sambil menulis novel di aplikasi. "Ada kakek tua di sana, San! Kita bantu ya!" ujarku."Ih, gak usah, Bu. Mereka itu bukan urusan kita. Orang yang punya rumah ini saja sombong, tidak pernah kita saling menyapa. Pulang saja, Bu," ajak Santi menolak usulku. Ia terus saja melihat jalanan yang ramai, mungkin takut dikira orang maling. Sebagai orang
Entah kebaikan apa yang dilakukan orang tuaku hingga seorang Santi yang gaya hidupnya jauh dari kata soleha bisa dipersunting lelaki taat agama. Bukan kesalehan memang yang membuatku suka padanya, melainkan lelaki bernama Akmal itu memiliki posisi yang tinggi di perusahaan tempat ia bekerja. Terlebih perusahan itu cukup ternama. Gajinya tentu lebih dari cukup untuk memenuhi gaya hidupku yang hedon. Penampilanku dengan pakaian longgar dan lebar saat pertama tak sengaja bertemu dengannya membuatku mendapatkan kesempatan emas ini. Mungkin suamiku yang sekarang mengira kalau aku sesoleha pakaianku. Padahal aku hanya takut ada yang mengenalku di pesta pernikahan temannku sewaktu mondok dulu. Malu lah kalau sampai diolok gara-gara tidak menutup aurat secara tak sempurna. Impianku untuk menguasai harta suami, lantas meninggalkannya jika tak punya uang lagi tidak diridhoi Allah. Ibu mertua yang seorang janda mau diajak tinggal di kota. Kesan seorang mertua jahat langsung tertanam di pikiran
. "Bang! Aku pengen makan martel lah," rengekku, bergelayut manja di lengan suamiku. Setelah beberapa bulan malas melihat wajah bang Akmal yang kata bidan itu hal yang wajar, sekarang aku malah pengen terus bersamanya. Tiada hari tanpa berbalas pesan dan menelpon suamiku. "Martel? Tumben? Ya udah, abang pesan dulu ya," balas lelaki yang bertanggung jawab atas perutku yang membuncit ini. Ia mengutak-ngatik ponsel sambil mengacak rambutku. "Iya, yang banyak, Bang," balasku, tersenyum hangat. Mendadak aku pengen cemilan itu, padahal jatang sekali aku memakannya. Sebaliknya, semua makanan kegemaranku mendadak tak bisa kutelan. "Eeeh, apa-apaan kalian ini? Masa' cucu ibu dikasih makan martel," protes mertuaku. "Loh, memangnya kenapa, Bu? Santi tidak alergi telor kok," balasku dengan kening berlipat. Bang Akmal menggendikkan bahu ke arahku, kami sama-sama bingung. Tak biasanya ibu melarang-larangku makan sesuatu yang kuinginkan. Lagian aku juga tak meminta makanan yang aneh-aneh, cuma
"Kalau kamu sudah jadi istri yang baik, jangan khawatir suamimu berpaling. Banyak Dila lainnya di luar sana yang mungkin takjub pada Akmal. Tapi tak mungkin kan kalau kamu selalu di sampingnya. Akmal juga harus bekerja untuk kita. Jangan terlalu mudah cemburu, San! Curiga boleh, menuduh jangan ya, Sayang!" ujarku pada Santi. Aku jadi tempatnya mengadu jika hati menantuku sedang tidak tenang begini. "Ibu belain Bang Akmal?" cetusnya. Aku mengelus dada. Memiliki menantu tidak lah semudah dalam angan-angan. Aku harus berpikir matang-matang memberikan nasihat untuk keduanya. Salah-salah ucap bisa memancing kobaran api pertengkaran."Ibu gak belain suami kamu, San. Posisi kalian sama di hati ibu. Kalau ada yang salah, harus diluruskan. Bukan mentang-mentang Akmal anak ibu, dia gak pernah salah. Ini kan cuma kecurigaanmu saja. Lebih baik didoakan saja agar suami kamu setia lahir batin," balasku seraya tersenyum simpul.Santi masih mengerucutkan bibir dan terus memandangi isi kotak persegi
"Ibu hamil makin cantik aja ya? Makin glowing," puji Ningsih. Mereka beneran datang ke rumah ini sesuai cerita menantuku. "Namanya juga gak pernah panas-panasan lagi. Kulit terawat, hati pun bahagia karena ada babang Akmal yang mencintai. Eaak," timpal Laura, memancing tawa yang lainnya. "Iya, ya. Kayaknya enak nih menikah dengan lelaki dari kampung. Syukur-syukur kalau sebaik bang Akmal dan punya mertua secerdas Bu Khadijah. Ya nggak, Gaes?" seru Sindi."Udah deh. Jangan sok mau jadi orang kampung. Kalian enggak bakalan kuat. Saat aku ikut Ibu ke kampung, banyak yang masih tradisional loh. Pas malas masak, ya mogok makan. Gak ada gofood ataupun warung nasi yang buka setiap hari. Masih banyak juga yang pakai tungku kayu bakar untuk masak. Kalian sanggup?" seru menantuku. Ketiga gadis itu berpandangan, lalu menggeleng cepat. "Memang bener begitu, Bu?" tanya Laura penasaran. "Kampung-kampung di Negeri ini kan beda-beda. Ada yang masih tradisional, terbelakang, terpencil dan terlua