"Iya, kenapa ibu tadi marah-marah? Ujung-ujungnya, minta juga kan bantuan sama Bagas, tadi sudah Bagas bilang, mau titip uang untuk tambahan, tolong ibu jangan komplen, kalau masih kurang, coba Ibu minta lagi bantuan sama Kak Hana!""Ah! Gak mau, dia suka marah-marah!""Berapa biaya operasi Lya? Bagas juga kan harus bayar biaya persalinan Kanaya!" "15 juta! Istrimu kan banyak uang, mintalah sama istrimu, yakin kalau dia pasti kasih!""Kenapa sih, Bu! Perasaan Kok Ibu suka ngegampangin sama Bagas dan Kanaya? Ibu mau bicara sama Bagas kalau lagi perlu aja!""Bukan begitu, Gas! Ibu,-""Sudah dulu ya, Bu! Kanaya membutuhkan sesuatu!" Tut ... tut ... tut,kali ini Bang Bagas yang menutup panggilan dari ibu lebih dulu. Aku bertanya padanya, "Kenapa kamu sedih, Bang?""Biasa lah, pusing aku, kayaknya mati enak, gak ada beban." Keluhnya berbicara ngawur."Hush! Kalau ngomong jangan suka ngawur, Bang!"Saat itu, bayi kami Ishana tertidur lelap lalu dibawa oleh perawat untuk ditidurkan di tem
Suamiku melanjutkan langkahnya tanpa memedulikan panggilanku. Aku heran dan tak mengerti apa yang terjadi padanya?"Bang Bagas kenapa sih? Kok tiba-tiba pergi aja? Apa dia marah sama aku?" tanya batinku penasaran.Tak lama kemudian Bang Bagas mengirim pesan melalui aplikasi berwarna hijau itu."Abang pergi, jangan nungguin, lain kali jagalah perasaan Abang. Jaga bayi kita baik-baik!"Mengapa dia memberiku kesan semacam itu? Apa yang salah dengan perkataanku?Ada banyak pertanyaan di benakku akibat pesan itu, aku semakin yakin kalau Bang Bagas pergi karena aku."Tuhan, apa kesalahanku?""Perkataan yang mana yang membuatnya tersinggung?""Atau sikapku yang mana yang membuatnya tak tahan ingin pergi?"Berbagai pertanyaan muncul dalam hatiku, perdebatan dalam benakku terus muncul. Aku telah melakukan kesalahan, akan tetapi aku tak tahu apa itu."Bang! Aku minta maaf, sudah buat Abang marah, bilang dong sama aku, apa salahku?" Bahkan pesanku ini, tidak dibalasnya.Aku mencoba menghubunginy
"Kamu sih, mintain bantuan buat Lya di depan Kak Lana, parahnya lagi Kak Lana malah minta bantuan suaminya di depan Abang. Jelas Abang tersinggung, merasa gak berguna, meskipun Abang yakin, maksud kalian baik dan tulus." Ungkapnya merenung menatap langit-langit kamar kami."Ya Allah, aku gak peka sama kamu, Bang! Maafin aku ya, aku bakal berusaha memperbaiki diri." Jawabku."Ya sudah semuanya sudah selesai kok, aku juga salah main pergi aja, padahal kamu baru aja pulang dari Rumah Sakit." Pengakuannya membuatku kagum."Iya, sampai segitunya kamu, Bang! Ngebelain harga diri, tuh!" kekehku menggodanya."Iya, maaf! Melahirkan itu capek ya pastinya." Celetuknya bangun dari berbaringnya lalu duduk."Ya iya lah, segala macem kerasa." Sahutku tersenyum merajuk."Gimana kalau popok dan pakaian kita bertiga biar Abang yang cuci, kamu istirahat saja, takut kenapa-napa dengan rahim kamu. Abang juga mau masakin kamu sesuatu, tunggu disini ya!" Katanya berdiri dari duduknya di atas ranjang lalu be
"Kemana aja kamu! Udah lama banget aku nunggu kamu telepon, baru sekarang nyahut! Bapak jatuh dari kamar mandi, bawa Bapak sama Ibu ke rumahku! Biar ada yang rawat mereka, kalian mana inget sama orang tua!""Aku kan gak mungkin bawa Ibu sama Bapak, orang aku aja numpang sama mertua, Kakak kalau ngomong suka gak dipikirkan akibatnya!""Ya sudah cepetan! Gak usah basa-basi, kamu malah enak-enakan disana, manjain istri kamu, pake masak segala, bisa-bisa dia jadi pemalas kalau kamu manjain kayak gitu!""Ya Allah Kak, Naya kan baru aja melahirkan wajar dong kalau aku bantu dia, mau aku manjain juga itu hak aku, aku suaminya! Sudahlah Kak, aku gak mau debat sama Kakak!"Klik,Bang Bagas segera menekan tombol merah di ponselnya lalu menyimpan ponselnya di atas nakas."Kenapa lagi, Bang! Tiap terima telepon dari kekuarga kamu pasti aja wajah kamu cemberut kayak gitu, gak pernah pamitan salam juga." Kataku santai."Biasa lah, masalah terus!" ketus suamiku.Suamiku tiba-tiba saja merapikan diri
"Eh, maaf, Abang gak denger, Yang!" jawabnya terkejut."Ya Tuhan, padahal kamu di kamar dari tadi, Abang kenapa? Jangan terlalu banyak pikiran!""Iya, maafin Abang."Sebentar lagi masa cutiku habis, Bang! Tandanya aku mesti kerja lagi, Abang gak perlu banyak mikirin target gaji, gak usah khawatir." Ungkapku menggendong Ishana lalu memeriksanya."Eh, rupanya anak Ibu pipis ya, maafin Ibu ya, maafin Ayah juga gak denger Shana nangis katanya." Celotehku tersenyum mencandai bayiku."Abang gak mikirin kita, gak khawatir juga soal kita. Abang cuma pusing mikirin biaya operasi Bapak. Harus punya 25 juta, duh! Gimana ya?!" keluhnya memijati kepalanya."Ya ampun, Bang! Kamu kenapa harus pusing? Kalian patungan aja, kalau gak ada, pakai jaminan kesehatan, Bapak punya gak?" tanyaku ketus."Bapak gak punya jaminan kesehatan, dan saudara-saudaraku gak mau patungan. Katanya tolong talangin dulu saja sama Abang, nanti mereka bayar kalau sudah ada." Keluhnya lagi."Apa?! Mereka pikir kamu itu Bank a
"Semoga enggak, tenang aja, pasti bakal Abang tanyakan sama Lya, kamu juga gak usah pikirin soal cicilan ke kantor, itu urusan Abang! Kamu jangan ikut-ikutan pusing ya, Yang!" katanya mengusap pucuk kepalaku.Betapa mirisnya kehidupan rumah tangga kami, suamiku itu hanyalah manusia biasa, sama sepertiku. Kami bukan tumpukkan batu, yang selalu kuat menghadapi berbagai hantaman. Apa tidak sedikit saja mereka memberi kami ruang dan waktu untuk menghela nafas? Masalah demi masalah terus muncul dalam kehidupan kami, yang mana masalahnya bukan dari dalam diri kami, melainkan dari luar diri kami.Menyalahkan takdir hanyalah mendatangkan dosa, penyesalan pun tak ada gunanya. Biarlah kuterima cobaan ini, aku yakin Tuhan akan memberiku jalan yang terbaik. Bukankah Tuhan mengatakan pada umatnya untuk bersabar dan jangan bersedih? Karena ada Dia yang akan selalu menjamin kehidupan umatnya. Dia adalah sebaik-baik penolong. Dan sudah sepatutnya keyakinan itu tertanam dalam lubuk hatiku, agar aku ma
Tiba-tiba saja tamparan mendarat di pipi Bang Bagas."Kak! Apa salah Bang Bagas? Kenapa Kak Hana menamparnya?" marahku menatap wajah bengisnya."Suami kamu sudah bikin ribut disini! Gak sepantasnya dia menagih utang pada Lya disaat semuanya sedang berkumpul menunggu Bapak. Dia pasti bayar, Kok! Ngutangin segitu aja sombong!" bentaknya berbalik badan mendekati Ibu.Ibu tidak melerai, hanya diam saja melihat Kak Hana menampar suamiku. Mungkin benar, Bang Bagas tidak pantas menagih utang disaat semua tengah berkumpul menunggu operasi Bapak. Namun, apa tidak ada lagi kata-kata yang baik untuk dikatakan padaku? Suamiku hanya membela harga diriku yang sering diperlakukan tidak sopan oleh Lya.Bang Bagas sudah teramat kesal pada Lya, sehingga dia melawan dan tidak mau hanya berdiam diri saja mengalah seperti biasanya."Sudahlah, Bagas! Jangan ribut disini, ngalah sama adikmu, kakakmu benar! Gak sepantasnya kamu nagih utang di saat seperti ini!" ketus Ibu duduk di samping Kak Hana."Bu! Bagas
"Nay! Abang pengin makan nasi Padang aja deh. oleh gak? Di restoran yang kamu pilih itu, hidangannya Korea semua, Abang mah yang Indonesia aja deh!" ujarnya menoleh rumah makan Padang di samping restoran yang kupilih."Boleh juga, Bang! Aku sih terserah Abang aja, aku kan cuma follower, jadi gimana leader aja deh!" jawabku tersenyum."Kalau gitu, cap cus kesana, yuk!" ajaknya berjalan menggandeng tanganku.Setibanya di rumah makan Padang itu, Bang Bagas asyik scroll aplikasi jual rumah online. Dia nampak sambil membuka aplikasi yang lain. Kubiarkan saja dirinya yang sedang mencoba menghibur diri. Dia senyum-senyum sendiri saat itu. Lalu dia memberiku pesan pribadi melalui ponselku."I love you so much Kanaya Rahman, I don't know what life would be without you, Darling! So, please don't ever leave me.""I love you too, Bagaskara Aditya."Pesan yang sungguh romantis, pesan yang selama ini tak pernah kuduga datang dari suamiku yang datar itu. Dia memang penyayang, tapi dia cuek. Tidak pe
"Aku yang harus mengakhiri semuanya, dan mulai saat ini aku berjanji akan menutup lembaran lama itu, dia sudah ikhlas kehilanganku begitu juga aku, maka tak ada alasan bagiku untuk terus berada dalam bayang masa lalu." Ungkap batinku. Saat malam tiba, suamiku-Bagaskara, pulang membawakan oleh-oleh untuk kami. Raut bahagia nampak jelas di wajahnya, sementara hatiku masih diselimuti perasaan bersalah padanya, aku masih merasa berdosa. "Bang! Bikin kaget aja! Aku kira siapa tadi!" aku terkejut saat suamiku membuka pintu kamar. "Loh! Kok kamu kaget? Kan emang udah biasa Abang pulang ucap salam sambil buka pintu, gak ada yang aneh! Kamu pasti lagi ngelamun, ya!" ujarnya tersenyum melihat raut wajahku. "E-enggak, kok!" dan aku pun menyahutnya dengan senyuman tanpa dosa. "Ini Abang bawakan kamu kalung perak, tadi Abang nukar uang ke toko perak lalu lihat ada kalung yang cakep banget, Abang rasa cocok buat kamu!" ujarnya gembira. Seketika aku merasa terkejut dan kikuk, tak tahu apa yang
"Kanaya!" panggil seorang lelaki bersuara berat mirip Rizky.Aku menoleh ke belakangku, dan rupanya ... kekhawatiranku nyata. Dia, yang menepuk pundakku adalah Rizky, seseorang yang selama ini kuhindari."Mau apa kamu kesini!" ketusku."Gak boleh aku kesini?" tanyanya membalas."Jelas gak boleh! Kita sudah bukan siapa-siapa lagi, dan kamu terus saja datang menggangguku!" aku melangkahkan kakiku menuju teras rumah sambil buru-buru menutup pintu ruang tamu."Tunggu!" Rizky menahan dorongan pintu yang kutekan semakin kuat.Rupanya lelaki itu bersikeras ingin menemuiku, apa hendak dikata, aku tak sanggup melawan bantahannya, hingga akhirnya aku menyerah dan memberinya ruang untuk berbincang denganku."Please Kanaya! Kasih aku waktu sebelum aku pergi!" Rizky berteriak sambil mendorong pintu."Ya sudah, masuk! Aku gak punya banyak waktu, to the point aja!" ketusku lagi."Oke," Akhirnya aku dan Rizky berbicara satu sama lain, saling menyalahkan. Ia menjelaskan bahwa saat ia meninggalkanku a
Suamiku segera ambil sikap, memantau dan memgambil ponselku yang tergeletak di atas ranjang. Aku ingin merebutnya dari tangannya, tapi aku tidak mau ia mencurigaiku. Aku tidak ingin menjadi orang bersalah dimatanya, karena jujur saja ... bukan aku yang memulai. "Mamin?" Suamiku mengernyitkan dahi sambil bertanya heran memantau layar ponselku. "Yang! Telepon dari Mamin!" teriak suamiku. "Iya! Sebentar, Bang!" sahutku seolah tak tahu apa-apa. "Sudah kuduga, itu pasti dia! Untung saja aku menamai dia Mamin!" batinku. Ya, Mamin. Itu adalah sebuah nama panggilan akrabku untuk Rizky ketika kami pacaran, nama itu kusematkan tanpa sengaja, mengalir begitu saja, dan aku beruntung, suamiku tidak sampai mencurigaiku karena nama itu. Apa yang akan terjadi jika aku sematkan nama Rizky yang sesungguhnya? Tentu saja ia akan murka. "Nay! Sayang! Biasanya jam segini gak ada yang telepon kamu, kecuali darurat. Lah, yang tadi siapa, Yang? Temen kamu?" tanyanya menoleh ke arahku. "Iya, teman kuliah
"E-enggak kok, Bang! Kami tuh sahabatan bertiga, waktu kita nikah aku gak undang dia karena gak tahu harus hubungin dia kemana, soalnya kontak dia hilang, dianya juga ngilang, gak ada yang tahu dia kemana." Ungkapku menoleh pada suamiku. "Oh, gitu ya!" jawabnya ragu. Suamiku nampak tak bahagia. Raut wajah yang biasanya ramah dan selalu tersenyum, tiba-tiba tanpa ekspresi, seolah ia memikirkan sesuatu, tentang aku dan Rizky. Mungkin sudah saatnya aku jujur padanya, tapi aku ragu apakah aku sanggup? "Yang! Rizky sekampus sama kamu gak?" tanyanya lagi. "Enggak, Sayang! Dia itu beda kampus, aku sama dia kenal karena sempat magang di kantor yang sama." Jawabku. "Kenapa soh, Bang! Tanya-tanya dia terus?" "Abang masih penasaran pengin tahu banyak tentang dia. Waktu dia natap wajah kamu, kok kayaknya ada yang beda, cara dia bicara dan memperlakukan kamu Abang rasa seperti bukan hanya teman." Katanya lagi. "Abang bakal sakit sendiri kalau mikirin dia terus, dan aku gak akan tanggung ja
"Abang gak tahu, Nay!" sahut suamiku. "Siapa malem-malem begini datang bertamu? Gak tahu apa? Kalo aku lagi capek banget pengin ngaso!" aku bergumam sambil berjalan menuju pintu utama. "Ri-rizky?" aku terkejut sambil menutup mulutku yang terbuka dengan telapak tangan kananku. "Hai, kamu masih inget aku, kan?" tanya dia. Aku mengangguk sambil berpikir, benarkah yang kulihat itu? Benarkah dia? Mantan kekasihku yang tiba-tiba pergi dan menghilang kala itu? Antara terkejut dan takut. Takut karena mengkhawatirkan perasaan suamiku dan takut berdosa pada Sang Khalik. "Hei, georgeous! Kamu kok bengong terus sih?" ia bertanya sambil menatap fokus mataku dan melambai-lambaikan tangannya memeriksa sepasang mataku yang tak fokus. "I-iya, silakan duduk! Maaf kita gak bisa ngobrol di dalam ya," aku menjawabnya pelan sambil menengok ke dalam, memastikan suamiku ada di sana atau tidak? "Ka-kamu hamil? This is realy you?" tanyanya. "Iya, aku lagi hamil anak kedua, dan aku bakalan panggil suami
"Maksud Bagas jangan terlalu sering kemari, Bu! Bagas gak enak, kan di sini Bagas jualan, bukan lagi pameran, Bu!" keluh suamiku lagi."Kamu berani bilang begitu sama Ibu? Gak boleh Ibu datang lihat usaha kamu, Gas? Ibu cuma gak mau kamu lupa diri, sudah sukses istrimu makin sombong!" sindir Ibu mertuaku."Bagas belum sesukses itu, Bu! Ini Bagas masih ngerintis, alhamdulillah ramai terus pelanggan, itu juga berkat doa Ibu, tapi Bagas juga kecewa sama Ibu, karena Ibu gak pernah ngertiin Bagas. Dan Bagas mohon sama Ibu, jangan pernah mengatakan Kanaya sombong, karena dia tidak seburuk yang Ibu pikirkan, Ibu sudah kena hasut Si Hana! Maaf kalau Bagas bicara begini sama Ibu." Ungkap suamiku.Sejak saat ibu mertuaku menyinggung namaku dalam perdebatan mereka, aku memilih pergi perlahan membawa Ishana dan Malik ke luar toko, mencari udara segar, daripada mendengar mereka, seakan aku ikut campur. Meski terkadang aku merasa wajib membela diri."Mungkin kamu yang kena hasut istri kamu, Gas! Ib
"Abang jamin semua itu, tolong jangan ragukan Abang lagi, Yang!" jelas suamiku."Aku cuma takut, Bang!" ketusku."Abang gak akan banyak bicara, pokoknya mau Abang buktikan aja sama kamu." Jawabnya.Suamiku terus memohon padaku untuk memercayainya. Ia tidak ingin aku meragukannya sedikit pun, tapi seharusnya ia memahami perasaanku, betapa aku trauma. Ada hal yang patut aku syukuri, yaitu dalang pelaku tabrak lari itu sudah diketahui, meski aku tak menyangka siapa dibalik layar drama kecelakaanku saat itu, aku tetap menyimpan sedikit curiga padanya, karena pernah satu ketika, Amy menerorku dengan panggilan selulernya yang tak kukenal, yang kukenal hanya suaranya. Aku sempat menepis semua dugaanku, tapi kali ini aku yakin bahwa penelepon gelap itu adalah Amy."Kanaya! Kamu dari tadi ngelamun terus, gak usah overthinking masalah Amy. Abang benar-benar sudah bertobat." Suamiku memelukku dengan mata yang berkaca-kaca seolah mengisyaratkan pengampunanku.Aku hanya mengangguk tanpa mengatak
Terima kasih, Pak! Saya ingin membuat sebuah pengakuan, saya yakin Bapak dan Ibu tahu siapa saya 'kan?" lelaki itu bertanya sambil menundukkan kepalanya seolah ia enggan mengangkat wajahnya. "Iya, saya masih ingat, anda yang melarikan diri saat saya kejar anda di rumah sakit sat itu!" jawab suamiku. "Uhm, Sa-saya ingin menyampaikan pada Ibu dan Bapak bahwa yang memberi perintah pada saya untuk menabrak Ibu Kanaya adalah Bu Amy." Ungkapnya. "Amy?" gumamku terkejut. "Lalu yang mengirim pesan pribadi pada saya siapa? Yang memberitahu pada saya bahwa anda mendapat perintah untuk mencelakakan istri saya?" suamiku bertanya sambil menajamkan sorot matanya yang memerah menahan amarah. "Yang memberi pesan itu saya, Pak! Saya mohon maaf." Ujar Lelaki itu. "Sebenarnya saya ingin sekali melaporkan anda pada pihak yang berwajib, tapi saya belum punya cukup bukti." Jelas suamiku. "Tolong jangan laporkan saya, Pak! Saya punya anak yang masih bayi, saat itu saya bersedia menerima perintah Bu Am
"Mungkin mereka hanya mengira-ngira aja kalau itu mobil Bagas, Kak Hana bilang sama Ibu gak mungkin kalau itu mobil Kak Lana, soalnya di dalam mobilnya banyak barang Bagas dan Naya juga Ishana." "Jadi gitu? Mereka iri sama kamu, Gas! Bapak lihat sekarang kamu maju, jujur sama Bapak kamu kerja dimana sekarang?" tanya Bapak mertuaku. "Bagas buka refil parfum, Pak! Lumayan, sekarang penghasilannya melebihi gaji Bagas kemarin." Jawab suamiku. "Kenapa kamu rahasiakan kerjaan kamu, Gas?" tanya Bapak lagi. "Bagas gak mau, Ibu kak Hana, dan saudara Bagas yang lain, deket sama Bagas kalau ada keperluannya aja, Pak!" suamiku menundukkan kepalanya dengan raut merasa bersalahnya khawatir menyakiti perasaan Bapak. "Bapak tahu, kok! Bapak juga sering nasihatin Ibu sama saudara kamu, tapi mana mereka dengar, mereka malah balik memusuhi Bapak." Ungkap Bapak. "Iya, Pak! Gak apa-apa Bagas juga ngerti posisi Bapak." Jawab Bagaskara. Singkat cerita, acara aqiqah putra kami-Malik sudah dilaksanakan,