"Ada apa di depan, Bi?!" tanyaku pada Abi. "Aku juga baru mau lihat kesana, Kak!" sahut Abi. Aku berjalan bersama Abi, kemudian kami saling menoleh, kami terkejut karena yang ribut di depan itu adalah Ibu mertuaku dengan tetanggaku. Entah apa yang membuat mereka bertengkar. "Ibu? Kenapa bertengkar di sini, Bu?" aku menegurnya karena malu. "Eh Naya! Syukurlah kamu sudah ada di sini! Ibu sudah lama cari kamu, kemana Bagaskara?" tanyanya. "Ya ampun, kok aku malah keluar, yah ketahuan deh!" batinku terdiam. "Ibu jawab dulu aku, kenapa Ibu bertengkar dengan tetangga Naya? Naya malu, Bu!" aku menegurnya lagi. "Ini semua salah tetangga kamu, Nay! Dia bilang Ibu mau maling, ngendap-ngendap masuk terus ngintip di jendela. Ibu bilang aja kalau Ibu mertua kamu! Dia tambah ngotot!" jelas Ibu. Aku bawa Ibu mertuaku masuk, lalu aku minta ia duduk dan menenangkan diri. Jujur, kejadian tadi sangat membuatku malu. Ibu selalu bertindak memakai kekerasan. Ibu menatapku fokus, ia masih tak menyang
"Dimana ini? Kayaknya ini bukan di kamar." Kataku membuka mata pelan."Kamu di rumah sakit, Nay! Tadi kamu pingsan, pintu kamar kamu diketuk terus sama Abi terus gak ada suara lumayan lama, Papa khawatir kamu kenapa-napa, Papa tengok dari jendela, bener aja! Kamu pingsan, untung aja jendela kamar kamu gak dikunci." Jelas Papa menoleh pada Abi.Aku terdiam, Papa dan Abi ikut diam. Suasana menjadi hening dan sepi. Aku memiringkan badanku membelakangi Papa dan Abi, tiba-tiba air mataku menetes. Aku teringat perbuatan Bang Bagas, aku tak tahan, bagaimana caranya melupakan semua yang terjadi dalam memoriku. Luka batin ini sudah terlalu dalam."Kamu orang yang selama ini kupercaya, kukagumi, sampai aku merasa aman bersamamu, Bang! Apa aku harus memaafkan kamu? Aku merasa jijik sama kamu sekarang, Bang!" batinku memgusap air mataku.Papa bertanya padaku, "Kamu kenapa, Nay? Papa jadi yakin sekarang, kalau kamu ada masalah sama Bagas. Buktinya kamu gak mau terima telepon dari dia, habis itu ka
Abi tak menjawab pertanyaanku. Hanya keributan yang kudengar, nampaknya seperti suara Bang Bagas dengan Abi."Untuk apa Kakak kesini?!" Ketus Abi."Sah aja 'kan? Aku masih suami Kanaya, Bi!" bentak Bagaskara."Tapi kami sudah tidak mau ada laki-laki yang enak-enakan selingkuh apalagi istrinya lagi hamil!" kesal Abi."Kamu tahu apa tentang aku?!" balas Bagaskara.Mendengar semua itu, segera saja aku membuka pintu. "Kalian! Ngapain ribut disitu? Gak tahu apa, kalau Papa lagi istirahat?!""Kamu juga, Bang! Untuk apa kemari? Sudah aku bilang aku gak mau ketemu kamu lagi!" kesalku.Abi meninggalkan kami berdua di ruang tamu, seolah ia mengerti, ada banyak hal yang harus kami selesaikan."Abang tahu, Yang! Abang sudah bertobat! Tolong percaya sama Abang!" sahut Bagaskara memegang kakiku untuk memohon.Aku masuk ke dalam kamar lalu dia mengikutiku, aku merasa ada yang berbeda ketika ia masuk bersamaku. Mengapa aku merasa kalau dia orang asing? Dan mengapa aku merasa berdosa ketika ia berada
"Aku sudah mengakhiri semuanya, aku juga tidak memedulikan dia lagi, meskipun dia memaksaku, tapi aku tidak akan ragu dengan keputusanku. Aku tidak ingin bertemu dengannya lagi, jadi aku menutuskan untuk resign." Jelasnya."Mau kerja apa kamu kalau resign?" tanyaku ragu."Aku akan buka usaha, refil parfum seperti keinginan kamu, Nay!" jawabnya tersenyum."Begitu? Bagaimana kalau aku tidak mau menerima kamu lagi, apa kamu akan kembali sama Ami?" "Enggak.""Kenapa? Bukannya dia itu cantik? Dia juga wanita karir, bukan ibu rumah tangga seperti aku." ujarku membelakanginya.Perlahan Bang Bagas melangkah menjadi di depanku, dia mengangkat wakahku dan berusaha meyakinkan aku bahwa dia sungguh-sungguh."Aku akan buktikan sama kamu kalau aku sudah resign dan menjauhi Ami. Kalau kamu gak percaya, bisa kamu tanyakan sama Mas Albert." Katanya."Aku gak tahu jawaban apa yang mesti aku kasih sama kamu, Bang! Gini aja deh, sementara ini aku gak mau tidur sekamar sama kamu, kamu boleh tidur di kama
"Gak apa-apa, Tante! Cuma suka agak ribet aja. Ya terserah Tante aja deh, mau ngundang silakan gak jauh lebih baik." Sahut suamiku.Aku berharap Ibu dan saudara Bang Bagas lainnya gak diundang ke acaraku, karena aku tidak mau pikiranku terganggu gara-gara memikirkan sikap dan lisan mereka. Tante Maya tahu kalau Ibu mertuaku julid, tapi Tante Maya tidak tahu sampai sedetail itu tentang Ibu, apalagi Kak Hana."Gimana ini, Bang? Tante Maya pengin undang Ibu, kalau dipikir apa yang Tante May bilang itu benar juga, gak elok aja kalau mantunya mau diacarakan, mertuanya gak dikasih tahu sama sekali, kayak gak sopan. Tapi kamu dan aku tahu bagaimana Ibu, aku gak mau dipermalukan. Aku mesti gimana, Bang?!"Aku tiba-tiba khawatir, perasaan tidak enak muncul. Karena sikap Ibu yang selalu tak adil padaku dan Bang Bagas, maka aku cemas, khawatir kehadiran Ibu akan membuat suamiku malu atau sakit hati."Apa gak usah Abang sampaikan saja undangan dari Tante Maya? Gimana kalau Tante Maya minta nomor
"Kanaya gak kenapa-napa, Pak! Dia cuma menghindari Ibu saja, daripada sakit hati lebih baik menghindar, kasihan dia lagi hamil, Pak! Dokternya bilang gak boleh stress, soalnya kehamilan gang kedua ini sensitif, Pak!" jelas Bang Bagas. "Iya, maksud Bapak begitu, khawatir istri kamu jadi kepikiran terus jadi stress. Mending Bapak pulang saja, Gas! Ibu kamu itu suka gak bisa jaga lisannya." Jawab Bapak. "Ya sudah, Bagas antar ya." "Tunggu, Pak, Bu! Ini bawa pulang, titip untuk Kak Hama dan Lya." Panggilku menyerahkam jinjingan berisi nasi kotak dan kue." Aku menahan langkah Bapak dan Ibu. "Jadi istri jangan manja, jangan baperan, baru ngomong begitu langsung kepikiran. Ibu kan cuma ngomong aja, kenapa kamu harus tersinggung!" raut wajah Ibu mampak tak suka padaku, ia mengambil jinjingan itu dari tanganku dengan kasar. "Sudah, Bu! Kasihan Naya! Seharusnya kita dukung dia, jaga bayinya supaya sehat terus." Tegur Bapak. Akhirnya Ibu dan Bapak pulang, Tante Maya menghampiriku lalu men
"Sakit, Bang! Aku gak bisa berdiri." "Sini! Kamu tunggu dulu di sini, Abang pesan taksi dulu, kita harus ke rumah sakit. Kamu ada yang serempet barusan, takutnya kenapa-napa." Kata suamiku mengusap-usap perutku. Tak lama kemudian, taksi datang menghampiri kami. Tak menunggu lama, aku masuk dan duduk di taksi itu dengan bantuan suamiku. Kubaringkan tubuhku menyandar ke jok mobil. Suamiku nampak khawatir dengan keadaanku yang sudah menjelang melahirkan, tiba-tiba ditabrak seseorang hingga jatuh, takutnya beresiko pada calon bayiku. "Semoga gak kenapa-napa ya, sayang!" cemas suamiku. "Iya, makasih Abang udah peduli sama aku." "Itu kewajiban suami, Nay! Jangan khawatir dan gak boleh bilang begitu lagi!" ujar suamiku menyandarkan kepalaku ke pundaknya. Setibanya di rumah sakit, suamiku buru-buru membawaku ke dokter yang biasa memeriksakan kehamilanku. Kami panik dan tegang. Setelah menunggu cukup lama, dokter memberiku hasil observasi. "Beruntung calon bayinya aman, kalau ada apa-a
"Aku merasa gak punya musuh, Bang! Kok ada orang yang tega pengin aku celaka? Aku gak mungkin nuduh kekuargaku, mereka baik banget sama aku, termasuk Tante Maya." Ungkapku. "Sementara ini, kita fokus sembuhin kamu dulu, abang mau cari tahu soal ini." "Sudahlah, Bang! Gak usah dipikirkan, kita lanjutin hidup kita seolah semua ini gak terjadi, mikirin masalah ini, cuma bikin kepalaku pusing." Kataku. "Oke," sahutnya. Hari pun berlalu, menunggu tiba waktunya untukku melahirkan jabang bayiku. Rasanya semakin tak karuan ketika semakin hari semakin dekat dengan tanggal yang ditentukan. Tidur tak enak, makan tak enak, apalagi hanya diam saja tanpa melakukan aktifitas apa pun. Menurut dokter, dua pekan lagi diperkirakan bayi ini akan lahir. Tentang drama seseorang yang ingin mencelakaiku waktu itu, belum mendapatkan titik terang. Namun dibalik keresahan itu, ada hal yang patut kusyukuri, yaitu semakin hari, usaha suamiku semakin tambah maju. "Sayang, gak perlu khawatir, karena Abang gak
"Aku yang harus mengakhiri semuanya, dan mulai saat ini aku berjanji akan menutup lembaran lama itu, dia sudah ikhlas kehilanganku begitu juga aku, maka tak ada alasan bagiku untuk terus berada dalam bayang masa lalu." Ungkap batinku. Saat malam tiba, suamiku-Bagaskara, pulang membawakan oleh-oleh untuk kami. Raut bahagia nampak jelas di wajahnya, sementara hatiku masih diselimuti perasaan bersalah padanya, aku masih merasa berdosa. "Bang! Bikin kaget aja! Aku kira siapa tadi!" aku terkejut saat suamiku membuka pintu kamar. "Loh! Kok kamu kaget? Kan emang udah biasa Abang pulang ucap salam sambil buka pintu, gak ada yang aneh! Kamu pasti lagi ngelamun, ya!" ujarnya tersenyum melihat raut wajahku. "E-enggak, kok!" dan aku pun menyahutnya dengan senyuman tanpa dosa. "Ini Abang bawakan kamu kalung perak, tadi Abang nukar uang ke toko perak lalu lihat ada kalung yang cakep banget, Abang rasa cocok buat kamu!" ujarnya gembira. Seketika aku merasa terkejut dan kikuk, tak tahu apa yang
"Kanaya!" panggil seorang lelaki bersuara berat mirip Rizky.Aku menoleh ke belakangku, dan rupanya ... kekhawatiranku nyata. Dia, yang menepuk pundakku adalah Rizky, seseorang yang selama ini kuhindari."Mau apa kamu kesini!" ketusku."Gak boleh aku kesini?" tanyanya membalas."Jelas gak boleh! Kita sudah bukan siapa-siapa lagi, dan kamu terus saja datang menggangguku!" aku melangkahkan kakiku menuju teras rumah sambil buru-buru menutup pintu ruang tamu."Tunggu!" Rizky menahan dorongan pintu yang kutekan semakin kuat.Rupanya lelaki itu bersikeras ingin menemuiku, apa hendak dikata, aku tak sanggup melawan bantahannya, hingga akhirnya aku menyerah dan memberinya ruang untuk berbincang denganku."Please Kanaya! Kasih aku waktu sebelum aku pergi!" Rizky berteriak sambil mendorong pintu."Ya sudah, masuk! Aku gak punya banyak waktu, to the point aja!" ketusku lagi."Oke," Akhirnya aku dan Rizky berbicara satu sama lain, saling menyalahkan. Ia menjelaskan bahwa saat ia meninggalkanku a
Suamiku segera ambil sikap, memantau dan memgambil ponselku yang tergeletak di atas ranjang. Aku ingin merebutnya dari tangannya, tapi aku tidak mau ia mencurigaiku. Aku tidak ingin menjadi orang bersalah dimatanya, karena jujur saja ... bukan aku yang memulai. "Mamin?" Suamiku mengernyitkan dahi sambil bertanya heran memantau layar ponselku. "Yang! Telepon dari Mamin!" teriak suamiku. "Iya! Sebentar, Bang!" sahutku seolah tak tahu apa-apa. "Sudah kuduga, itu pasti dia! Untung saja aku menamai dia Mamin!" batinku. Ya, Mamin. Itu adalah sebuah nama panggilan akrabku untuk Rizky ketika kami pacaran, nama itu kusematkan tanpa sengaja, mengalir begitu saja, dan aku beruntung, suamiku tidak sampai mencurigaiku karena nama itu. Apa yang akan terjadi jika aku sematkan nama Rizky yang sesungguhnya? Tentu saja ia akan murka. "Nay! Sayang! Biasanya jam segini gak ada yang telepon kamu, kecuali darurat. Lah, yang tadi siapa, Yang? Temen kamu?" tanyanya menoleh ke arahku. "Iya, teman kuliah
"E-enggak kok, Bang! Kami tuh sahabatan bertiga, waktu kita nikah aku gak undang dia karena gak tahu harus hubungin dia kemana, soalnya kontak dia hilang, dianya juga ngilang, gak ada yang tahu dia kemana." Ungkapku menoleh pada suamiku. "Oh, gitu ya!" jawabnya ragu. Suamiku nampak tak bahagia. Raut wajah yang biasanya ramah dan selalu tersenyum, tiba-tiba tanpa ekspresi, seolah ia memikirkan sesuatu, tentang aku dan Rizky. Mungkin sudah saatnya aku jujur padanya, tapi aku ragu apakah aku sanggup? "Yang! Rizky sekampus sama kamu gak?" tanyanya lagi. "Enggak, Sayang! Dia itu beda kampus, aku sama dia kenal karena sempat magang di kantor yang sama." Jawabku. "Kenapa soh, Bang! Tanya-tanya dia terus?" "Abang masih penasaran pengin tahu banyak tentang dia. Waktu dia natap wajah kamu, kok kayaknya ada yang beda, cara dia bicara dan memperlakukan kamu Abang rasa seperti bukan hanya teman." Katanya lagi. "Abang bakal sakit sendiri kalau mikirin dia terus, dan aku gak akan tanggung ja
"Abang gak tahu, Nay!" sahut suamiku. "Siapa malem-malem begini datang bertamu? Gak tahu apa? Kalo aku lagi capek banget pengin ngaso!" aku bergumam sambil berjalan menuju pintu utama. "Ri-rizky?" aku terkejut sambil menutup mulutku yang terbuka dengan telapak tangan kananku. "Hai, kamu masih inget aku, kan?" tanya dia. Aku mengangguk sambil berpikir, benarkah yang kulihat itu? Benarkah dia? Mantan kekasihku yang tiba-tiba pergi dan menghilang kala itu? Antara terkejut dan takut. Takut karena mengkhawatirkan perasaan suamiku dan takut berdosa pada Sang Khalik. "Hei, georgeous! Kamu kok bengong terus sih?" ia bertanya sambil menatap fokus mataku dan melambai-lambaikan tangannya memeriksa sepasang mataku yang tak fokus. "I-iya, silakan duduk! Maaf kita gak bisa ngobrol di dalam ya," aku menjawabnya pelan sambil menengok ke dalam, memastikan suamiku ada di sana atau tidak? "Ka-kamu hamil? This is realy you?" tanyanya. "Iya, aku lagi hamil anak kedua, dan aku bakalan panggil suami
"Maksud Bagas jangan terlalu sering kemari, Bu! Bagas gak enak, kan di sini Bagas jualan, bukan lagi pameran, Bu!" keluh suamiku lagi."Kamu berani bilang begitu sama Ibu? Gak boleh Ibu datang lihat usaha kamu, Gas? Ibu cuma gak mau kamu lupa diri, sudah sukses istrimu makin sombong!" sindir Ibu mertuaku."Bagas belum sesukses itu, Bu! Ini Bagas masih ngerintis, alhamdulillah ramai terus pelanggan, itu juga berkat doa Ibu, tapi Bagas juga kecewa sama Ibu, karena Ibu gak pernah ngertiin Bagas. Dan Bagas mohon sama Ibu, jangan pernah mengatakan Kanaya sombong, karena dia tidak seburuk yang Ibu pikirkan, Ibu sudah kena hasut Si Hana! Maaf kalau Bagas bicara begini sama Ibu." Ungkap suamiku.Sejak saat ibu mertuaku menyinggung namaku dalam perdebatan mereka, aku memilih pergi perlahan membawa Ishana dan Malik ke luar toko, mencari udara segar, daripada mendengar mereka, seakan aku ikut campur. Meski terkadang aku merasa wajib membela diri."Mungkin kamu yang kena hasut istri kamu, Gas! Ib
"Abang jamin semua itu, tolong jangan ragukan Abang lagi, Yang!" jelas suamiku."Aku cuma takut, Bang!" ketusku."Abang gak akan banyak bicara, pokoknya mau Abang buktikan aja sama kamu." Jawabnya.Suamiku terus memohon padaku untuk memercayainya. Ia tidak ingin aku meragukannya sedikit pun, tapi seharusnya ia memahami perasaanku, betapa aku trauma. Ada hal yang patut aku syukuri, yaitu dalang pelaku tabrak lari itu sudah diketahui, meski aku tak menyangka siapa dibalik layar drama kecelakaanku saat itu, aku tetap menyimpan sedikit curiga padanya, karena pernah satu ketika, Amy menerorku dengan panggilan selulernya yang tak kukenal, yang kukenal hanya suaranya. Aku sempat menepis semua dugaanku, tapi kali ini aku yakin bahwa penelepon gelap itu adalah Amy."Kanaya! Kamu dari tadi ngelamun terus, gak usah overthinking masalah Amy. Abang benar-benar sudah bertobat." Suamiku memelukku dengan mata yang berkaca-kaca seolah mengisyaratkan pengampunanku.Aku hanya mengangguk tanpa mengatak
Terima kasih, Pak! Saya ingin membuat sebuah pengakuan, saya yakin Bapak dan Ibu tahu siapa saya 'kan?" lelaki itu bertanya sambil menundukkan kepalanya seolah ia enggan mengangkat wajahnya. "Iya, saya masih ingat, anda yang melarikan diri saat saya kejar anda di rumah sakit sat itu!" jawab suamiku. "Uhm, Sa-saya ingin menyampaikan pada Ibu dan Bapak bahwa yang memberi perintah pada saya untuk menabrak Ibu Kanaya adalah Bu Amy." Ungkapnya. "Amy?" gumamku terkejut. "Lalu yang mengirim pesan pribadi pada saya siapa? Yang memberitahu pada saya bahwa anda mendapat perintah untuk mencelakakan istri saya?" suamiku bertanya sambil menajamkan sorot matanya yang memerah menahan amarah. "Yang memberi pesan itu saya, Pak! Saya mohon maaf." Ujar Lelaki itu. "Sebenarnya saya ingin sekali melaporkan anda pada pihak yang berwajib, tapi saya belum punya cukup bukti." Jelas suamiku. "Tolong jangan laporkan saya, Pak! Saya punya anak yang masih bayi, saat itu saya bersedia menerima perintah Bu Am
"Mungkin mereka hanya mengira-ngira aja kalau itu mobil Bagas, Kak Hana bilang sama Ibu gak mungkin kalau itu mobil Kak Lana, soalnya di dalam mobilnya banyak barang Bagas dan Naya juga Ishana." "Jadi gitu? Mereka iri sama kamu, Gas! Bapak lihat sekarang kamu maju, jujur sama Bapak kamu kerja dimana sekarang?" tanya Bapak mertuaku. "Bagas buka refil parfum, Pak! Lumayan, sekarang penghasilannya melebihi gaji Bagas kemarin." Jawab suamiku. "Kenapa kamu rahasiakan kerjaan kamu, Gas?" tanya Bapak lagi. "Bagas gak mau, Ibu kak Hana, dan saudara Bagas yang lain, deket sama Bagas kalau ada keperluannya aja, Pak!" suamiku menundukkan kepalanya dengan raut merasa bersalahnya khawatir menyakiti perasaan Bapak. "Bapak tahu, kok! Bapak juga sering nasihatin Ibu sama saudara kamu, tapi mana mereka dengar, mereka malah balik memusuhi Bapak." Ungkap Bapak. "Iya, Pak! Gak apa-apa Bagas juga ngerti posisi Bapak." Jawab Bagaskara. Singkat cerita, acara aqiqah putra kami-Malik sudah dilaksanakan,