“Ashton!” panggilnya setengah berbisik agar tidak memancing perhatian yang lain. Dia melambaikan tangannya pada pria itu, sangat berharap Ashton melihat dirinya.
Radar pria itu memang peka. Ashton menghentikan langkahnya saat ingin membuka pintu ruangannya dan menoleh melihat dirinya.
“Hei, Merry!” bisiknya juga dari kejauhan, membalas lambaian tangan juniornya di kampus. “Baru masuk?” ucapnya tanpa mengeluarkan suara.
Merry mengangguk dengan bahagia karena pria itu menyadari keberadaannya. Ashton langsung memberi dua buah ibu jari dan menyemangati dirinya.
“Ehm, ibu Merry, sedang apa? Mari saya akan mengantar ke ruangan untuk junior sekretaris?” tegur staf SDM itu.
Merry tersadar dan segera membetulkan posisi tubuhnya, “I-iya, maaf, bu,” jawab Merry. Dia bergegas menyusul wanita itu.
Ternyata ruangan sekretaris ada di lantai lain, tepatnya tiga lantai di atas ruangan khusus keuangan dan manajer. Ashton merupakan manajer di perusahaan ini. Sayangnya mereka akan berbeda lantai.
Mungkin nanti setelah lama bekerja, dia bisa membujuk Ashton untuk menunjuknya sebagai sekretarisnya.
Mereka pun masuk ke dalam lift. Beberapa saat kemudian, lift terbuka dan mereka sudah tiba di lantai delapan. Lantai khusus direktur tentu saja sangat berbeda dengan lantai lainnya.
Di lantai ini, lantainya saja memakai marmer, begitupun dengan dindingnya. Desainnya minimalis, namun tetap berkesan elegan.
“Di sini khusus ruangan sekretaris. Ini Ibu Susan, senior Anda di sini. Beliau yang akan mengajari Anda tugas-tugas sekretaris di perusahaan ini.” Staf SDM itu memperkenalkan mereka berdua. “Ibu Susan, ini junior sekretaris yang akan membantu tugas ibu seperti permintaan ibu.”
Susan mengangguk. Setelah staf SDM pamit pergi, wanita berusia 40 tahunan itu mempersilakan Merry untuk duduk. Wajahnya tersenyum ramah, khas seorang sekretaris.
“Halo, Marianne Sifabella namanya kan?” ucapnya dengan suara yang keibuan.
“Iya, panggil saya Merry aja, Bu.” Merry sedikit membungkuk untuk memberi hormat.
“Jadi, berdasarkan CV ini, kamu baru berusia 25 tahun? Masih muda sekali. Sudah berpengalaman kerja apa aja?” tanya Susan.
Merry terheran-heran dengan pertanyaan itu. Bukankah sudah jelas kalau pengalaman kerjanya tertera di CV? Dan saat wawancara kerja pun dia sudah menjelaskannya pada sang pewawancara.
“Iya, bu, tapi walau usia saya baru 25 tahun, pengalaman kerja saya sudah banyak. Sejak SMA saya sudah mencari uang sendiri. Saat kuliah, saya juga pernah magang di beberapa perusahaan agensi iklan dan model.”
“Oh, lalu kenapa kamu melamar menjadi sekretaris? Pekerjaan sekretaris itu berat lho. Kamu harus siap 7x24 jam untuk melayani semua kebutuhan bos kamu.”
Merry terdiam. Ah, dia sama sekali lupa akan hal itu. Seharusnya dia mengambil pelajaran dari drama korea ‘What’s Wrong With Secretary Kim’, jangan pernah melamar pekerjaan sebagai sekretaris kalau masih mau menikmati hidup.
Ah, dia lupa. Gaji sekretaris ditawarkan paling besar di kantor ini. Dia mengambil begitu saja tanpa pemikiran lebih lanjut.
Tapi tunggu ... kalau harus siap 7x24 jam, itu sebenarnya pekerjaan sekretaris atau asisten pribadi?
Haruskah dia menanyakan untuk lebih jelas job desk-nya?
Tapi nanti dia malah ditandain sama bosnya sebagai karyawan yang bawel dan berhitungan.
'Huhuhu... baru mulai kerja sudah galau.' Batal sudah cita-citanya untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar tapi masih bisa santai-santai.
“Ya, semua pekerjaan ada resikonya kan, bu? Ada gaji ada rupa. Gajinya besar, maka pekerjaannya juga berat. Jadi, saya sudah siap berkerja keras.” Akhirnya Merry memberikan jawaban paling ideal yang terpikirkan olehnya.
Susan tertawa pelan mendengar jawaban retorik dari anak buahnya. “Baiklah, selanjutnya saya akan memperkenalkan kamu dengan bos yang akan kita layani selama bekerja di perusahaan ini.”
Merry menurut. Dia pun bangkit dari kursi dan mengekor ke mana Susan melangkah.
Wanita itu berjalan menuju ruangan terbesar di lantai ini. Mengetuk pintunya dua kali kemudian membukanya.
Merry melangkah ke dalam ruangan berukuran sebesar unit apartemennya. Sepasang sofa double berada di tengah ruangan, dan di salah satu sudut ruangannya di dekat jendela, terletak sebuah meja berukuran besar, dari kayu jati berwarna hitam pekat.
Pria yang sedang duduk di baliknya terlihat menunduk sibuk menuliskan sesuatu di dalam agenda miliknya.
Merry melambatkan langkahnya, alisnya berkerut, sepertinya dia mengenal sosok kepala yang tertunduk itu.
“Permisi, Bapak Liam, saya bermaksud memperkenalkan junior sekretaris yang baru masuk hari ini,” ucap Susan dengan sopan namun bernada tegas.
“Oh, ya, silakan, Bu Susan,” jawab Liam.
Pria itu meletakkan pulpen yang sedang dipakainya. Dan menengadahkan kepalanya, menatap mereka berdua.
Merry terpekik kaget, dia segera menutup mulutnya.
'Tidak mungkin! Itu … itu cowok satu malam kemarin!'
*
Merry bergerak dengan gelisah di bangkunya. Sementara Susan dan bos barunya sedang sibuk mendiskusikan jadwal hari ini.
Sejauh ini, Merry melihat kalau pria − yang merupakan bos sekaligus pria yang tidur bersamanya – tidak mengenali dirinya. Ekspresi wajahnya datar dan sulit dibaca.
Namun dia yakin kalau Liam Alexander Dharmendra, nama pria ini, sama sekali tidak mengingat dirinya. Harusnya dia merasa lega dong?
Tapi entah kenapa, tetap saja dia merasa gelisah. Masalahnya saat itu kan dia main kabur begitu saja, tanpa pamit atau sekedar say hallo, good morning.
Ah, gila! Kenapa juga dia harus memikirkan hal itu.
'Ya, gimana nggak dipikirin, kalau dilihat-lihat lagi, ternyata pria ini gantengnya bukan main.'
Tidak-tidak! Dia punya prinsip, no office romance. Karena bisa mengganggu profesionalitas.
“Oke, kalau begitu saya akan segera menghubungi Kementrian Perindustrian dan membuat janji temu di minggu ini dengan bapak. Lalu rapat untuk hari ini akan dimulai sekitar satu jam lagi. Kali ini hanya bagian keuangan dan marketing yang ikut rapat,” ulang Susan membacakan agenda untuk hari ini.
Liam mengangguk pelan masih dengan ekspresi datar yang tidak terbaca.
“Kalau begitu, permisi, Pak,” pamit Susan. “Merry.”
Merry segera tersadar saat namanya dipanggil. Dia menatap atasannya dan menyadari kalau dia harus ikut keluar ruangan. Dia pun segera bangkit dari sofa.
Namun, saat dia hendak berjalan, dia sempat bertatapan mata dengan Liam. Seketika itu juga jantung Merry bertingkah lagi. Tatapan mata pria itu begitu tajam dan misterius.
“Pe-permisi, Pak,” pamit Merry berusaha sopan sambil sedikit membungkukkan badannya.
Setelah sampai di mejanya kembali, Susan pun langsung memberinya instruksi apa yang menjadi pekerjaannya hari ini.
“Merry, nanti kamu ikut meeting satu jam lagi. Tenang saja, saya juga akan ikut di meeting tersebut. Tugas kamu di sana nanti cukup memantau jalannya rapat, dan mencatat semua poin-poin penting. Okay?”
Merry mengangguk dengan bersemangat, “Siap, Bu!”
“Oh, ya, sementara menunggu, kamu bisa mempelajari hal-hal apa saja yang menjadi kebutuhan Bapak Liam. Pagi hari dia suka minum kopi pahit disertai camilan buah. Pukul sepuluh ada snack, biasanya cookies. Tenang saja, semuanya sudah disediakan oleh OB. Tapi tugas kita juga untuk memastikan kalau cookies dan buah untuk bos selalu tersedia.”
Merry mengangguk berkali-kali mendengar semua arahan dari Susan. 'Duh, banyak banget ya, permintaan si bos.'
“Dan ini … hasil-hasil rapat bulan ini,” Susan mengeluarkan sebuah binder setebal sepuluh sentimeter berisi banyak sekali berkas-berkas. “Kamu baca dan pelajari apa saja yang sudah deal, sedang berjalan dan sudah selesai.”
Merry kembali manggut-manggut. Ingin sekali dia berkata, “Bu, bisa nggak disampaikannya satu-satu aja. Banyak banget ini. Kapan saya sempat memprosesnya dalam otak?”
Tapi, tentu saja dia tidak akan pernah berani mengeluh di hari pertamanya bekerja. Bisa disangka tidak becus dalam bekerja.
Akhirnya setelah selama setengah jam fokus mendengarkan penjelasan Susan, Merry memiliki waktu untuk istirahat di mejanya, dan mungkin mengecek telepon genggamnya.
Baru dia membuka layarnya, dia sudah melihat notifikasi pesan dari Ashton.
[Hallo, Merry, gue dengar lo jadi sekretarisnya Liam, ya? Damn, beruntung banget dia bisa dapet sekretaris cantik kayak lo. Oh ya, nanti jam sepuluh lo ikut rapat?]
Merry tersenyum membaca pujian dari Ashton. Dia pun segera membalasnya. [Iya, gue disuruh ikut rapat sama bu Susan. Kakak ikut rapat?]
[Yup, gue kan manajer keuangan. Jadi jelas gue pasti ikut di rapat itu. Oke, See you soon, beb! ;)]
Hati Merry menghangat demi membaca kalimat terakhir pesan dari Ashton. 'See you soon, beb!' Dengan emoji mengedipkan mata.
Memang sih, tidak seharusnya dia terbawa perasaan hanya karena sebaris pesan itu. Dia tahu banget popularitas Ashton di kalangan cewek-cewek.
Ashton itu playboy, anti komitmen, banyak cewek patah hati karenanya. But please … Ashton itu manis dan baik banget.
Cowok itu pernah menolong dirinya saat dia kehilangan tugas kuliahnya. Atau dengan sukarela mengantar dirinya ke rumah sakit saat ibunya kecelakaan dan masuk rumah sakit.
Ashton juga sangat sopan ke semua wanita. Dan dia tidak pernah kasar pada wanita manapun. Bahkan saat wanita itu menampar dirinya, Ashton sama sekali tidak marah atau membalasnya.
'Yaa, itu kan salah dia juga, kenapa playboy banget coba? Gimana nggak kena tampar sama cewek-cewek!'
Ah, terserahlah. Pokoknya, Ashton itu merupakan cinta pertamanya. Dia sudah bertekad untuk lebih dekat dengan cowok itu selama bekerja di kantor ini.
'Eh, please deh. Katanya no office romance. Kenapa sama Ashton jadi nggak berlaku?'
Ashton pengecualian. Titik.
Karena merasa riang, tanpa sadar Merry bersenandung pelan.
“Wah, suaramu merdu juga. Lain kali kalau ada malam karaoke, kamu harus ikut ya!” puji Susan.
“Iya, Bu, makasih,” balasnya riang.[]
Sepanjang rapat, Merry sama sekali tidak bisa fokus. Tentu saja disebabkan sosok Ashton yang tepat duduk di seberang dirinya. Sehingga setiap dia mengangkat matanya, wajah pertama yang terlihat adalah wajah pria itu. "Untuk proposal keuangan proyek sambal botolan, saya masih merasa kurang detail. Saya meminta tim satu yang bertanggung jawab pada proyek ini untuk mengajukan proposal budget sampai dengan siang nanti," ucap Ashton dengan ekspresi wajah serius. Merry mendesah demi melihat sisi lain Ashton yang baru kali ini disaksikan olehnya. Biasanya dia melihat Ashton sebagai mahasiswa yang santai dan murah senyum. Baru kali ini dia melihat Ashton berwajah serius, namun entah mengapa hal itu malah menjadi nilai tambah pesona dirinya. Dan sepertinya, bukan dirinya saja yang saat ini sedang terpesona pada pria yang satu itu. Beberapa karyawan perempuan lainnya bahkan secara terang-terangan menatap pria itu tanpa berkedip dengan tatapan nakal. Membuat Merry jijik melihatnya. Ah, ya amp
"Tugas dari Liam? Tugas apa?" tanya Ashton merasa tertarik mendengarnya. Sebenarnya, jabatan junior sekretaris yang saat ini dipegang oleh Merry tidak selamanya kosong. Sebelumnya, pernah ada beberapa sekretaris junior lainnya, hanya saja selama ini Liam tidak pernah memberikan tugas secara langsung pada sekretaris juniornya, dia pasti hanya akan berbicara pada Susan. "Gue harus membelikan makan siang untuk Pak Liam," jawab Merry apa adanya. Untuk beberapa saat, Ashton tidak menjawab ucapan Merry. Dia masih menunggu Merry selesai berbicara. Namun, setelah Merry terdiam cukup lama, Ashton baru menyadari kalau perempuan itu sudah selesai berbicara. "Makan siang? Oke, dia mau makan siang apa?" ucap Ashton kembali. Merry menggelengkan kepalanya putus asa, "Itu masalahnya. Pak Liam nggak memberi tahu sedang selera makan apa. Bu Susan juga nggak mengatakan apa-apa, hanya memberikan petunjuk yang sangat sedikit. Pak Liam nggak suka ikan dan makanan manis, di mana jenis menu seperti itu
Merry mengetuk kembali pintu ruangan bosnya. Tapi kali ini tanpa menunggu jawaban, dia sudah mendorong pintunya terbuka. "Anda ada perlu dengan saya lagi, Pak?" tanya Merry. Dilihatnya saat ini Liam sudah duduk di sofa tengah yang biasa dipakai untuk menerima tamu atau rapat kecil. "Duduklah!" perintah Liam. Merry tidak menolak. Bagaimana mungkin dia menolak perintah dari bosnya? Dia pun duduk tepat berhadapan dengan Liam. "Ada apa, Pak?" tanya Merry benar-benar polos. "Kamu tahu apa yang salah dengan kotak makan yang ada di atas meja?" tanya Liam. Merry menatap menu tersebut dengan terheran-heran. Rupanya Liam sudah mengeluarkan dua kotak itu dari kantongnya. Merry menatap kedua kotak makan tersebut dan sama sekali tidak tahu di mana letak kesalahannya. "Ada dua kotak makanan, Pak. Yang satu isinya lasagna, yang satu spageti," jawab Merry dengan suara pelan karena tidak yakin dengan jawabannya. "Lasagna dan spageti? Jadi ada dua menu?" Merry mengangguk masih kebingungan.
"Apakah kamu sedang merayu saya?" Liam mengulang pertanyaannya kembali. Sesuai dugaan Liam, perempuan di depannya saat ini duduk dengan salah tingkah. Mudah sekali untuk menggoda perempuan itu. Entah kenapa Liam merasa penasaran untuk terus menggodanya. Dan sebenarnya, yang merasakan hal itu tidak hanya Merry. Sejak pagi saat Merry pertama kali muncul di ruangannya, Liam sudah merasa tidak asing dengan wajah perempuan itu. Tentu saja Liam teringat kejadian Sabtu malam sebelumnya, di mana dia sudah melewatkan malam yang panas dan penuh gairah, yang berhasil mengantarkannya pada kepuasan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Namun pagi harinya, dia hanya mendapati kesendirian di dalam ruangan itu. Liam merasa sangat marah dan terhina. Bisa diduga sepanjang sisa akhir pekan dilaluinya dengan suasana hati yang sangat buruk dan ingin terus mengamuk. Siapa yang menyangka kalau wajah itu akan muncul kembali di hadapannya, tepat di dalam ruangan kantornya sebagai sekretarisnya. Ah, tak
Hari kedua bekerja, Merry sudah tiba di kantor pukul setengah delapan pagi. Malam sebelumnya, dia dan kedua sahabatnya menyudahi makan malam ketika waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Merry sudah terbiasa tidur larut malam namun pagi harinya sudah harus berangkat bekerja. Untungnya dia tidak pernah kesulitan untuk bangun pagi walau malam sebelumnya pulang larut. Merry menutup mulutnya saat menguap, dia berjalan menuju lift dan melihat ada banyak orang yang sudah menunggu. Untung saja dia tidak sedang terburu-buru jadi dia tidak perlu memaksakan diri untuk masuk ke dalam lift yang penuh. Dia membiarkan dua lift lewat karena malas berdesakan. "Kalau lo nunggu sampai lift kosong, lo mungkin bakalan telat sampao di ruangan lo," tegur seorang pria yang suaranya sudah sangat dihapalnya. Merry terkejut saat Ashton muncul di sebelahnya. "Oh, Kakak." "Atau lo lagi nunggu seseorang?" tanya Ashton. Merry menggelengkan kepalanya, "Nggak, kok! Gue pikir yang lain lebih sedang terb
Saat Susan masuk ke dalam ruangan, Liam masih sibuk memeriksa laptopnya. Bahkan kelihatannya pria itu sama sekali tidak menyadari cangkir kopi dan kukis di atas pisin. Susan sama sekali tidak merasa heran. Sebenarnya dia sangat mengetahui kalau kesalahan Merry bukan hal yang fatal. Namun Susan sengaja tidak memberitahukannya pada Merry. Susan berdiri di sebelah meja Liam dan menunggu sampai pria itu selesai memeriksa email. Tak lama, Liam sudah mengangkat wajahnya. "Batalkan janji dengan Pak Robert. Sebagai gantinya, buat janji dengan Pak Marco," ucap Liam menyebutkan dua nama calon partner bisnis. "Baik, Pak," jawab Susan dengan sigap. Setelah itu, Susan menjelaskan beberapa dokumen yang harus ditanda-tangani oleh Liam. "Berapa besar kontrak yang berhasil kita dapatkan?" tanya Liam. "Lima milyar, Pak." "Hmm, saya pikir lima belas milyar. Ternyata saya salah sebut ya. Jauh sekali dari target," gumam Liam mengerutkan alisnya, berpikir dalam mempertimbangkan surat kontrak tersebut
Seperti yang sudah kita ketahui, sejak masih sekolah, Merry sudah bisa mencari duit sendiri dengan menjadi seorang model. Wajahnya yang manis, tubuh yang tinggi, membuatnya cukup laris menjadi model catwalk, iklan, maupun katalog. Setelah lulus SMA, Merry berkuliah di jurusan ekonomi manajemen. Bahkan saat masih berkuliah, dia tetap bekerja sebagai model, dan akhirnya magang di sebuah agensi periklanan. Dua tahun setelah lulus kuliah, dia masih bekerja di agensi periklanan. Masa-masa itu merupakan saat-saat terberat karena beban pekerjaan yang besar dan tidak kenal waktu. Seringkali dia bekerja lembur dan kurang tidur. Namun tentu saja, gaji yang seimbang dengan beban pekerjaannya. Namun, bukan itu yang diinginkan oleh Merry. Merry dibesarkan oleh orang tua tunggal. Ayahnya meninggal saat dia duduk di bangku SMP. Dia memiliki seorang adik laki-laki yang berbeda usia tujuh tahun. Sejak ayahnya meninggal, ibunya yang tadinya hanya seorang ibu rumah tangga mulai bekerja membanting tul
Saat Merry tiba di rumah, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Didapatinya lampu di dalam apartemennya menyala semuanya. "Benny," panggilnya merasa kesal karena adiknya menghamburkan listrik. Namun tidak ada jawaban. Sebagai gantinya, dia mendengar suara air pancuran di dalam kamar mandi. Merry meletakkan kunci mobil di dalam mangkuk di atas meja pantry. Kemudian dia melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal rumah. "Benny, apa lo baru mandi?" panggilnya lagi sambil meletakkan tas di atas meja kerjanya. Namun lagi-lagi tidak ada jawaban. Akhirnya Merry memutuskan untuk mengetuk pintu kamar mandi, "Benny, lo merokok di dalam kamar mandi?" teriaknya kesal. "Kakak kan tahu kalau gue nggak merokok!" jawab Benny berteriak balik. "Sudah berapa lama lo di dalam? Lekas keluar! Gue juga mau mandi dan gue udah capek banget!" Hanya beberapa detik, pintu kamar mandi sudah terbuka. Terlihat wajah dan rambut adiknya yang basah, namun rupanya dia tidak habis mandi. "Lo ngapai
Seringkali apa yang kita rencanakan tidak berjalan seperti seharusnya. Seringkali kita kecewa dengan hasil yang kita dapatkan. Padahal mungkin, Tuhan bukannya tidak mengabulkan harapan kita. Melainkan Tuhan tahu apa yang kita butuhkan. Seumur hidupnya, Merry tidak pernah menginginkan hal yang terlalu muluk. Dia tidak menginginkan pacaran dengan anak orang kaya, kemudian mereka menikah dan tinggal di sebuah rumah yang mirip dengan istana. Hidup nyaman dengan bergelimang harta memang sangat menggiurkan, namun bukan hal yang mutlak untuk dimiliki. Melihat pernikahan kedua orang tuanya, Merry selalu berharap kalau dia akan bertemu dengan seorang pria yang baik, bertanggung jawab dan menghargai semua pendapatnya. Namun yang paling penting, pria itu akan terus bersamanya sampai dengan masa tua mereka. Sehingga dia tidak akan merasa kesepian seperti ibunya. Almarhum ayahnya merupakan pria yang baik, malah teramat baik. Namun sepertinya memang benar pepatah yang mengatakan orang baik umurny
Para orang tua selalu mengatakan, perjalanan menjadi dewasa melalui sebuah rangkaian proses yang panjang. Manusia melakukan kesalahan, tapi kemudian mereka akan memperbaikinya. Itulah yang membuat seseorang berkembang dan menjadi lebih dewasa dan bijaksana. Terdengar mudah, namun pada saat menjalaninya, Merry tidak tahu kalau kesalahan yang akan dilakukannya akan begitu menguras seluruh emosi dan fisiknya. Kalau saja mesin waktu ada, Merry akan memilih untuk kembali di saat dia kehilangan peran utama pertama kali yang berhasil didapatnya. Dia akan mengatakan pada versi dirinya yang lebih muda agar menerima keputusan saat peran tersebut dicabut darinya. Bukan berarti dia akan membiarkan versi dirinya yang lebih muda menjadi kurang ambisius, dia hanya akan melarang dirinya yang dulu agar tidak memasuki pintu ruangan tersebut. "Mer, kita sudah boleh pulang," tegur Cathy saat dia melihat Merry yang hanya duduk terdiam di atas ranjang IGD. “Benny,” begitu tersadar Merry lekas meraih ta
Acara pensi berlangsung dengan sukses. Acara sekolah mereka diliput oleh salah satu kanal televisi nasional. Merry, Cathy dan Dawn berjoget bersama di depan panggung untuk merayakan keberhasilan acara, sementara band tamu sedang tampil di atas panggung. Beberapa panitia yang lain pun ikut terjun merayakan. “Acara kita berhasil, Mer!” pekik Cathy memeluk Merry dengan erat. Tentu saja dia satu tim dengan Merry dan mereka berhasil mendapatkan banyak sponsor. “Dawn, bilang makasih sama bokap lo ya, karena udah mau jadi sponsor utama!” ucap Merry setengah berteriak dan merangkul bahu Dawn. Akhirnya mereka bertiga saling berangkulan sambil berjoget.“No problem! Win win, kok! Kata bokap, bagus juga buat promosi produk perusahaan!” balas Dawn.“Gue seneng banget! I love you, guys! Mulai saat ini, kita sahabatan sampai maut memisahkan, ya!” teriak Cathy.Cathy dan Dawn memang sudah sahabatan sejak SMP, namun Merry baru empat bulan ini bergabung bersama mereka. “Okay!” balas Merry dan Dawn
Sebelum menggeluti dunia akting, Merry terjun ke dunia modeling terlebih dahulu. Dia keluar sebagai juara satu pemilihan model di sebuah majalah remaja saat masih SMP. Setelah itu, dia mendapatkan banyak tawaran sebagai bintang iklan. Merry tidak mengambil pekerjaan selain modeling untuk membagi waktunya dengan jadwal sekolah. Karena iklan yang menggunakan wajahnya cukup banyak, Merry pun mendapatkan popularitas di kalangan remaja. Saat dia masuk SMA, Merry mulai mendapatkan tawaran sebagai pemeran pendukung di sebuah film. Hanya peran kecil, namun dari sana bakat akting Merry mulai dikenal. "Itu Sifabella Hadiprana yang jadi Dona, kan? Aktingnya keren banget pas adegan berantem. Badannya bagus sih, tinggi atletis." Begitu obrolan para siswa yang melihat dirinya di sekolah. Merry memang memakai nama belakang dan nama almarhum ayahnya untuk karir keartisan. "Wah, dia masuk ke sekolah kita? Berarti dia pintar juga anaknya, ya?" "Atau mungkin dia masuk dari jalur prestasi." "Prestasi
Wajah Merry masih terasa panas saat akhirnya dia sudah tiba di IGD rumah sakit terdekat. Kompleks apartemennya memang cukup dekat dengan rumah sakit, hanya perlu menyebrang, dan dia sudah sampai di halaman rumah sakit. Dan sepanjang jalan itu, sang Budi terus membopongnya. Benar-benar otot pria itu bukan kaleng-kaleng. "Apa yang sakit, mbak?" tanya perawat yang bertugas memeriksanya. "Ka-kaki saya, sus," jawab Merry. Sesekali matanya melirik ke tubuh sang Budi yang sedang berbicara dengan petugas administrasi di ruangan sebelah. Kebetulan lokasi tempat tidurnya bisa melihat ke ruangan itu. "Yang ini?" perawat itu memencet pergelengan kaki kanan Merry. "AAW!" Merry berteriak kaget karena dia sedang fokus mengintip. "Pelan-pelan, sus," ucap Merry meringis kesakitan. "Maaf, Mbak, lalu mana lagi yang sakit?" Mau tidak mau, Merry terpaksa berhenti mengintip dan fokus memberitahu perawat mana saja dirasa sakit olehnya. "Ada apa lagi lo ke sini, Bud?" Tiba-tiba Merry mendengar suara
Mereka bertiga berjalan bersama ke mall setelah mandi dan berganti pakaian. Mereka memutuskan untuk makan di foodcourt sehingga mereka bergantian membeli makanan. Saat Merry sedang berkeliling membeli makanan, Cathy dan Dawn duduk berdua saja sambil sesekali sibuk memeriksa ponsel mereka.Cathy tertawa membaca pesan dari Jason, cowok yang baru dikenalnya beberapa saat yang lalu. Tentu saja Jason mengajaknya untuk jalan hanya berdua di lain waktu, dan Cathy membalasnya dengan senang hati. Lumayan buat mengisi rasa bosan.Namun kemudian dia menyadari kalau Dawn diam saja sejak mereka berada di kolam renang. Padahal Dawn biasanya tidak berbeda jauh darinya kalau sedang berkenalan dengan cowok, agak centil dan banyak melempar candaan. "Oke, ada apa, Dawn?" tanya Cathy meletakkan ponsel di atas meja.Dawn terkejut karena Cathy tiba-tiba bertanya padanya, padahal perempuan itu sedetik sebelumnya terlihat asyik menatap layar ponselnya."Hah, oh ... gue ... nggak apa-apa, kok!" jawab Dawn se
Sesuai dengan janji pada Nyonya Sophie, hari ini Ashton akan memberikan Brittany kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka. Minggu ini mereka janjian untuk makan siang bersama di sebuah restoran.Ashton masih mengendarai mobilnya saat dia mendapatkan telepon dari Liam.“Yes, Bro?” jawab Ashton.“Lo di rumah?”“Nope, gue udah di jalan. Hari ini Brittany ngajak gue ketemuan.”“Oh, jadi sudah dimulai?”“Yep! Nyonya Sophie memang tidak pernah menunda waktu.”“Nyonya Sophie bukan nyokap lo, tapi lo nurut?”Ashton tertawa mendengar ucapan Liam yang penuh dengan nada sindiran.“Njirr, Nyonya Sophie juga bos gue keleus. Gue kerja di perusahaannya.”“Nyonya Sophie bukan satu-satunya pemilik. Masih ada gue dan bokap.”Ashton mendesah, memang sangat menyebalkan kalau dia harus selalu diingatkan masalah pada siapa dia sedang bekerja saat ini. Sebenarnya setelah menikahi Brittany, hal pertama yang akan dia lakukan adalah membuka perusahaan sendiri. Tentu saja dengan meminjam uang mertua. Tapi ka
"Ah, maafkan saya tidak sengaja menyenggol piring dan mengganggu perbincangan kalian," ucap Liam dingin walau masih terdengar sopan. Nyonya Sophie tersenyum, "Tidak masalah, Nak. Parmi, tolong bereskan piring yang pecah dan ganti yang baru," perintah beliau. Tanpa perlu diperintah dua kali, seorang pelayan sudah sigap membersihkan pecahan piring itu. Kemudian satu orang pelayan lainnya sudah membawakan piring yang baru di hadapan Liam. "Terima kasih karena sudah memakluminya, Nyonya Sophie," ucap Liam dengan sengaja mengubah panggilan ke ibunya dengan menggunakan nama. Nyonya Sophie menyadari perubahan intonasi suara dan panggilan yang diberikan Liam padanya. Beliau tidak terlalu terkejut, Liam pasti akan merasa keberatan, namun Nyonya Sophie sudah mempersiapkan rencananya dengan matang. "Tidak masalah, Liam. Piring yang pecah masih bisa digantikan. Namun, hati seorang ibu yang pecah dan terluka akan sulit untuk diobati. Bukan begitu?" balas Nyonya Sophie dengan nada bercanda na
Merry duduk dengan gelisah di kursi sambil sarapan. Berkali-kali matanya menatap ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sebelas siang. Benny tidak pulang dari malam, anak lelaki itu bahkan tidak menjawab pesan dan telepon darinya.“Berani-beraninya dia tidak acuh saat aku telepon,” Merry menggeram kesal. Namun, kekesalannya cepat berubah menjadi rasa khawatir. Merry tentu saja khawatir di mana adiknya tidur tadi malam, dan makan apa dia pagi ini. Merry meraih ponsel dan mengusap layar untuk membuka kunci. Ada banyak telepon tidak terjawab dan pesan yang belum dibacanya, salah satunya dari kekasihnya, Liam. Dia sedang tidak bersemangat mengecek pesan dari siapa pun. Namun, untuk mengalihkan pikirannya, dia mulai membuka semua pesan-pesan yang masuk. [Merry, kenapa kamu belum membaca pesan dariku? Kamu nggak apa-apa?] Begitu isi pesan dari Liam. Merry terus menelusuri pesan yang masuk dari Liam. Dan akhirnya dia sampai pada bagian saat Liam membicarakan Benny. [Benny tidur d