Sial, sial, sial..!!
Bukan aku mendadak terngiang-ngiang lagu populer yang dibawakan penyanyi cantik Mahalini. Bukan. Namun, ini karena aku baru menyadari perasaanku pada Bang Fino tak pernah usai bahkan hingga bertahun lamanya kami terpisah.
Terbelenggu pada perasaan yang sama selama bertahun-tahun ternyata sangat menyiksa dan semenyesakkan ini ya? Sekuat apapun aku mencoba menyangkal, kenapa semua rasa tetap tertuju pada satu nama itu. Ckk, lagi-lagi sial kan?! Padahal beberapa kali aku pernah menjalin kedekatan dengan pria berbeda sejak kenyataan pahit yang aku dapatkan dari kisah kami berdua. Aku dan Bang Pino maksudnya. Kalau dia, entah bagaimana kelanjutan hidupnya, yang aku tahu hanya ... Bang Pino mengingkari janjinya padaku sejak ia menikahi perempuan lain. Selebihnya, aku memilih tak tahu dari pada harus mengulang perihnya luka karena terbakar cemburu.
Dan ini semua karena obrolan dengan Kak Vin dan Mas Rega beberapa hari lalu. Pasangan itu sengaja menyebut nama Bang Fino di pertemuan kami. Salah satu hal yang menjadi pemicu aku akhirnya membuka folder tersembunyi di laptop yang berisi foto-foto lawas kami berdua. Semua masih tersimpan rapi di sana, mulai dari foto kami berdua pertama kali ketika singgah di Pantai Panjang hingga gambar-gambar lain yang menunjukkan betapa dekatnya kami saat itu.
Bukan hanya satu atau dua gambar, tapi ratusan pose yang ambil ambil di beberapa tempat yang berbeda. Saat itu memang kami sangat senang bepergian dari satu tempat ke tempat lain, terutama jika tempat tersebut masih berkaitan dengan pantai. Kami, aku, Bang Fino juga beberapa kawan yang lain selalu meluangkan waktu setidaknya sekali dalam dua minggu untuk berkumpul dan merencanakan perjalanan itu.
"Heh, ngelamun aja!" Tahu-tahu mama menepuk pundakku. Ternyata aku melamun terlalu lama. “Taksinya udah deket itu, ayo siap-siap. Mana aja tasmu?”
Mama memaksa ikut mengantarku ke Jakarta hari ini. Padahal ya, aku kan bukan anak kecil lagi. Aku perempuan dewasa yang bahkan pernah menikah (meskipun itu gagal), ya kali kemana-mana masih dikawal orang tuanya. Tapi ya, begitulah seorang ibu, sedewasa apapun anaknya akan tetap dianggap anak kecil yang harus mereka lindungi kapanpun.
“Iya, Ma, iya. Astaga … semangat banget sih, Mama. Ngalah-ngalahin aku yang mau pindah ke sana,” cibirku mengundang gelak kecil di sudut bibirnya.
“Ya harus semangat dong,” ujar Mama sambil mengangkat travel bag berukuran sedang berisi beberapa helai pakaiannya. “Mau nganter anaknya buka lembaran baru masa nggak semangat sih?”
Aku berdecak memiringkan senyum. Membuka lembaran baru ceunah!
“Mama ada-ada aja. Aku cuma mutasi kerja, Ma. Bukan menempuh hidup.”
“Ya kali aja nanti di Jakarta kamu ketemu sama jodohmu yang beneran. Nggak kaleng-kaleng kayak sebelumnya.” Mama enteng sekali membahas masalah jodoh seolah aku ini harus banget cepet-cepet ketemu pasangan baru dan menikah. Lagi. Padahal, belum ada satu tahun aku menyandang status janda setelah terlepas dari mantan biadab itu.
“Hadeeh, Mama, ih. Ujung-ujungnya nggak nyambung deh,” decakku manyun.
“Lho, Mama ini cuma doain yang baik-baik. Kok dibilang nggak nyambung.”
“Ya wes terserah Mama deh, itu taksinya udah dateng, Ma.” Aku mengendikkan dagu ke arah pagar, dimana mobil berwarna putih berhenti di halaman rumah kami yang tak seberapa luas.
Kami masuk ke dalam mobil dan mulai membicarakan hal lain, aku yang sengaja mengalihkan topik pembicaraan. Salah satu ciri perempuan lah yaa, gampang banget belok dari satu topik ke topik lainnya. Pokoknya nggak lagi bahas mantan atau desakan untuk membuka hati pada orang baru, aku sih nyaman-nyaman saja.
Bukannya apa, mamaku ini tanpa sadar kadang gemar sekali membujukku agar segera memiliki pasangan baru. Bukan karena dikejar usia, usia dua puluh tujuh masih aman kok menurutku. Melainkan karena banyak sepupuku yang sepantaran denganku, atau bahkan usianya di bawaku, akan segera melepas masa lajang. Jadi di setiap acara keluarga, pastilah mama menjadi sasaran empuk yang selalu ditanya perihal menantu dariku.
"Kamu udah hubungi Anya?" tanya Mama ketika kami sudah masuk ke gerbong kereta api. Iya, kami berdua naik kereta api menuju Jakarta. Meskipun ada mobil peninggalan papa, kereta api masih menjadi alat transportasi favoritku dan mama sejak aku kecil.
“Udah dong, Ma. Semalam aku udah hubungi ulang kok. Nanti begitu nyampe Jakarta, dia maksa akan ngirim supir buat jemput."
"Heh, kok sampe repot-repot gitu?" Mama tampak terkejut karena spontan saja menepuk punggung tanganku.
"Aku nggak pernah minta, Ma. Udah aku tolak berkali-kali juga. Tapi Mama tau sendirilah gimana loyalnya Anya kalau udah sama temen sendiri." Aku mengeluarkan muffin yang tadi aku beli di food court. Kue kesukaanku ini selalu menjadi teman perjalanan terbaik selama aku bepergian.
"Ya pokoknya jangan banyak ngerepotin orang aja nanti di sana. Kemaren soal apartmen udah dibantuin Anya, sekarang masalah jemputan juga dibantu dia juga. Pokoknya jangan sampai kamu dianggap dompleng sama dia ya, tau dirilah pokoknya."
Ngomong-ngomong soal Anya, dia ini teman dekatku sejak masa SMA dan kuliah. Meski hubungan kami sempat renggang sejak semester enam, karena dia terlalu asyik bekerja di salah satu WO dan punya pekerjaan sambilan lainnya. Akan tetapi meskipun jarang bertemu secara langsung, kami tetap rutin bertukar kabar lewat pesan singkat atau telepon. Aku bahkan datang saat pesta resepsinya dengan Senopati Rajata tiga tahun silam. Gelaran pesta yang sukses bikin melongo juga sih, karena Anya yang terkenal dingin, ketus, tomboy dan ratunya cuek sejak lama, ternyata sekarang jadi menantu dari keluarga Dwisastro, konglomerat yang namanya udah bikin keder aja kalau mendengarnya.
"Mama ih, dompleng-dompleng apaan. Aku juga ngerti situasi kali, lagian aku sama Anya deket nggak setahun dua tahun aja, Ma. Kami udah kayak luar dalem kok," sanggahku setelah gelak tawaku reda. Mamaku ini memang overthinking-nya nggak ada lawan deh.
"Jadi, besok begitu kita nyampe stasiun pasar senen udah ada yang jemput gitu?"
"Ya begitulah, Nyonya, supir Anya bakalan standby nungguin kita. Setelah itu langsung ke apartmennya sekalian."
Sejak pertama tahu perihal kepindahanku ke Jakarta, Anya langsung antusias hingga tiba-tiba menawarkan apartmen miliknya yang sudah lama kosong karena penyewanya pindah ke luar negeri. Daripada terlalu lama tak berpenghuni, ibu muda itu menawarkan padaku agar bersedia tinggal di sana. Aku langsung menyetujui dengan syarat ia mau menerima uang sewa dariku, karena awalnya dia menolak tegas ide tersebut. Bisnis tetap bisnis kan, jadi ya ... aku memaksa tetap membayar sewa apartemen tersebut.
Keesokan harinya pukul setengah sembilan pagi, aku dan mama sudah sampai di Stasiun Pasar Senen Jakarta, dan benar saja, ketika kami keluar ternyata sudah ada seorang pria paruh baya yang memegang selembar kertas bertuliskan namaku. Beliau adalah supir yang dikirim Anya untuk menjemput kami berdua, yang belakangan aku ketahui bernama Pak Heri. Selain ramah, Pak Heri juga sangat tanggap membantuku dan mama memindahkan dua koper besar milikku dan travel bag milik mama.
Tak sampai satu jam kemudian aku dan mama sudah sampai di gedung apartment milik Anya. Apartment yang akan aku jadikan tempat tinggal selama menetap di Jakarta, namun aku langsung menyesali keputusan unutk menerima tawaran Anya saat aku tahu apartmen versiku dan apartmen versi Anya sangat jauh berbeda.
“Anya, lo gila, sumpah gila!!” pekikku saat Anya mengangkat panggilan telepon video dariku di seberang sana.
“Heh, kambing kampret!! pake ucap salam dulu kek, ini baru ngomong malah ngatain gue gila,” jawab Anya di ujung sana. Meskipun sudah berubah status menjadi seorang ibu dari seorang putri ternyata tak bisa begitu saja menghilangkan umpatan dan sumpah serapah yang sangat fasih keluar dari mulut seorang Revanya.
“Kemaren elo bilang apartmennya tipe biasa, tapi in—” aku kehilangan kata-kata saat kembali mengamati unit apartmen mewah—ralat, super duper mewah yang ia sewakan padaku. “Ini apartmen yang gila banget mewahnya, Anya. Harga yang gue bayar kemaren tuh nggak ada sepertiga sewanya kali,” lanjutku menggerutu saat berjalan ke arah jendela besar yang menampilkan pemandangan padatnya ibukota dari ketinggian lantai delapan belas.
Tak jauh berbeda dariku, sejak masuk unit, Mama langsung melongo. Dan sekarang beliau sedang mengitari seluruh ruangan mewah di unit ini. Dua kamar tidur berukuran besar, dua kamar mandi, dapur bersih, ruang makan, ruang tengah yang sangat elegan, bahkan ada kamar untuk asisten rumah tangga. Benar-benar unit apartmen yang diluar bayanganku semula.
“Oh, elo udah nyampe apartment? udah ketemu Hanif kan? yang nganterin elo ke unit.” Anya ternyata tak menanggapi kalimatku, malah menanyakan hal lain.
“Iya, iya … gue udah ketemu sama asisten pribadi laki lo tadi di lobby, udah diantar naik juga sampe unit yang kata lo, biasa banget ini. Astaga Anya … gue cancel aja deh ya nyewa di sini, harganya bikin rekening gue keder.”
Terdengar gelak tawa khas dari sahabatku itu. “Bisa aja lo kampret! nggak bisa pokoknya nggak bisa! Elo kan udah bayar, nggak bisa gitu aja refund dong!”
“Tapi, An, gue beneran nggak bisa tinggal di apartmen mewah kayak gini.”
“Heleeh, Meli, nggak usah lebay deh, pokoknya udah deal, elo tinggal di sana selama stay di Jakarta, atau … elo mau gue ngambek seumur hidup?” dari layar ponsel aku bisa membaca raut wajahnya yang berubah manyun saat mengibaskan telapak tangannya.
“Ckk, ratu drama,” keluhku karena rasanya akan sangat sulit memenangkan perdebatan dengan Anya.
“Hadeeh, berisik!! pokoknya gue nggak mau tau gimana caranya elo tetep tinggal di apartmen itu. Udah dulu ya, gue lagi riweh ini, lagi ikut Mas Seno ke pembukaan restoran punya temennya.”
Dari apa yang terlihat di layar video menampilkan suasana ramai di suatu tempat makan yang cukup luas. Pantas saja suara Anya terdengar tak begitu jelas karena banyak orang juga di sekitarnya.
“An, dicari Seno tuh di sebelah, Mika nangis katanya habis nyungsep. Dasar si Seno bapak kurang akhlak, anak cantik dibiarin nyungsep gitu aja!” suara pria yang tak begitu asing di telingaku terdengar. Sepertinya dari salah satu teman Anya, karena sosoknya hanya terlihat sebagian lantaran ada di samping Anya. Tapi suara itu benar-benar menggangguku, karena…
“Eh, Mika ya? thank you ya, Bang Hes.” Anya terdengar menimpali dan mengangguk cepat.
“Siapa An?”
“Eh, Mel, gue tutup dulu ya? di cari Mika nih,”
“Yang barusan siapa?” kejarku tak mau dihantui rasa penasaran.
“Oh itu tadi Bang Hesta, temennya Mas Seno, dia yang punya restoran ini. Udah dulu ya, nanti gue telpon balik, Bye, muah-muah, salam buat Tante Nisa,” pungkas Anya tergesa-gesa hingga tak memberiku kesempatan balik bertanya karena mendadak saja layar ponselku sudah berubah lantaran panggilan sudah terputus.
Hesta… Hesta…
Suara itu … jangan sampai Hesta yang dimaksud Anya barusan adalah Hesta yang aku kenal bertahun-tahun silam.
Arfino Hesta.
***
Eaaa, emang nama Hesta pasaran banget ya Mel, bikin hati ketar-ketir aja? 😆😆
Badanku rasanya mau remuk, pun demikian dengan tulang-tulangku yang terasa lunglai. Aku baru selesai merapikan apartment sekitar pukul tujuh malam, yang artinya aku berjibaku dengan barang-barang dan kamar baruku sekitar empat jam lamanya. Mulai dari menata buku-buku di rak yang ada di dalam kamar, menyusun baju-baju ke dalam lemari, merapikan koper kosong, memasang sprei, memasang humidifier dengan aroma favoritku, aah … pokoknya banyak yang aku kerjakan. Jadi pantas saja kalau sekarang perutku meronta karena lapar, tampang kumal, satu-satunya yang kupikirkan saat ini hanya tempat tidur dan bantal-bantal empuk yang melambai-lambai. Mama sengaja tak kuijinkan ikut serta dalam kegiatan menata ulang tempat tinggal baruku ini. Beliau sudah pasti kelelahan selama perjalanan Surabaya Jakarta, jadi biarlah tugas ini itu aku saja yang melakukannya. Karena bosan hanya duduk diam, mama akhirnya memutuskan untuk belanja persediaan bahan makanan di supermarket yang ada di sebelah apartment. Mama
"Mel, kita-kita udah tahu kali kalau lo dapet promosi, gantiin Mbak Yuni, kan?" sambut Anin ketika aku berangkat kerja hari ini. "Hmm," aku menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal. "Kata Mbak Ajeng?" Aku balik bertanya. "Iyalah, Mbak Ajeng koar-koar kalau lo bakalan dipindah ke pusat. Gue sih udah curiga aja kalau elo bakalan gantiin posisi Mbak Yuni." Nathan ikut berkomentar. "Rumor says it, bener tebakan gue?" Anin kembali memicingkan mata menatapku. "Ya ... kan, rejeki nggak boleh ditolak bestie, pamali," akuku sembari mengulum senyum. "Tuuh kan bener," ujar Nathan spontan menepuk lengan Anin hingga gadis itu mendelik. "Berengsek! sakit Nath!" "Ehh, sorry, sorry kelepasan. Saking happy-nya ini gue, karena Mbak Yuni digantiin sama Meli," kelakar Nathan bertepuk tangan. "Setidaknya gue bisa bernapas lega karena bisa lepas dari keruwetan ibu yang satu itu." "Ya, kalau Mbak Yuni resign karena ikut suaminya, kan emang harus ada yang gantiin posisinya, Nath, Nin." Aku t
Aku berharap ini hanya mimpi. Mimpi buruk yang begitu ingin aku hindari selama lebih dari tujuh tahun ke belakang. Tapi … kenapa semesta seolah mengejek usahaku selama ini dengan mempertemukan kami berdua dalam suasana membingungkan seperti tadi siang. Sial kuadrat!! Sial yang pertama, tentu saja karena pertemuan dengan Bang Pino di saat hatiku belum siap. Lalu yang kedua, hatiku kembali remuk dihantam kenyataan karena faktanya Bang Pino adalah suami dari Bu Nadia, atasanku sendiri. Double kill banget kan rasanya menjadi seorang Meli di hari pertama dengan jabatan baru ini. “Mel, makan siang yuk,” seru Anin sudah membuka pintu ruanganku. “Duluan deh, gue kurang dikit banget kok ini,” balasku memaksakan senyum. Demi menutupi riuhnya debaran jantungku setelah bersitatap dengan pemilik tatapan tajam namun menenangkan seperti Bang Pino. Sadar Meli sadar!!! Dia udah jadi suami orang, yang tak lain adalah atasan lo sendiri. Makiku pada diri sendiri. “Gue tungguin di meja gue deh, ya? ma
Ini benar-benar mau gila. Padahal tadi siang hanya hitungan menit saja aku bertatap muka dengan pria itu. Tapi kenapa efeknya sampai segitunya sih? Sekarang sudah hampir tengah malam, dan mataku masih terbuka lebar, padahal hampir seluruh dunia tahu kalau aku paling anti begadang. Bahkan biasanya jam sembilan atau sepuluh malam aku sudah berkelana di alam mimpi.Namun nyatanya? malam ini rasa kantuk tak juga berhasil membawa anganku pergi. Kilasan demi kilasan ingatan pada kejadian tujuh tahun lalu kembali menghampiri. Bagaimana bisa aku tak mengenali Bu Nadia sebagai istri seorang Arfino Hesta, pria menawan yang membuat duniaku jungkir balik karena terlalu memujanya. Aah ... tapi bisa saja, karena memang waktu itu aku tak fokus pada wajah si mempelai wanita. Saat itu, tatapan sedihku hanya terpaku pada sosok si pria yang nampak terkejut dengan kehadiranku yang mendatangi pestanya. Apalagi hal tersebut hanya berlangsung beberapa saat, karena tak sampai tiga puluh menit mendadak saja
"Kok Bu Nad, nyetir sendiri ya?" tanyaku begitu selesai memasang sabuk pengaman di depan tubuh.Aku bertanya hal demikian karena tak jauh dari mobil Anin aku melihat Bu Nadia masuk ke mobilnya dan langsung melaju begitu saja. Sore ini aku memang sengaja pulang menumpang mobil Anin karena katanya, gadis ini sedang butuh teman bicara melepas penat akibat pertengkarannya dengan sang kekasih. Ia tak bisa mencurahkan keluh kesahnya dengan leluasa jika bersama Nathan, karena itu Anin sedikit memaksaku untuk menjadi pendengarnya. Diih, korban bucin ternyata bisa berantem juga."Laah, emang biasanya gitu," jawab Anin santai. Gadis berambut cokelat terang itu mulai mengarahkan mobilnya mengantre untuk keluar area parkir.“Bukannya diantar jemput sama suaminya ya?"Sejak obrolan di acara makan siang tadi, aku jadi sedikit penasaran dengan kehidupan rumah tangga antara Bang Fino dan Bu Nadia. Memang dasar akunya yang bodoh luar dalam kan? menanyakan hal seperti ini memang berpotensi mengoyak hat
"Selalu ada rasa yang tak tuntas jika itu tentang dia," gumamku lirih saat membaca sepenggal kalimat dalam naskah terjemahan yang pagi ini masuk ke emailku untuk final check. Kenapa kalimat itu seolah menyindirku ya, atau aku saja yang terlalu sensitif belakangan ini. Jujur saja, satu minggu pertama bekerja di kantor pusat membuat jantungku sedikit tak sehat. Bagaimna tidak, aku dan Bang Fino seolah berbagi peran menjadi Tom and Jerry yang hobby main petak umpet. Pokoknya apapun akan kulakukan demi tak bertemu dengan lelaki yang sampai detik ini masih membuat hatiku berdebar menyedihkan. Sepertinya pernyataan Anin yang menyebutkan bahwa suami boss kami itu jarang muncul di kantor tak berlaku lagi. Karena belum ada setengah jam yang lalu pria jangkung itu mondar mandir di depan ruang kerjaku. "Mel, makan!" pekik suara Nathan jelas terdengar saat ia membuka pintu kaca di ruang makan kerjaku. "Gue lagi ngejar deadline, Nath. Satu jam lagi gue kirim ke bagian printing," dustaku sambil
"Elo kok jadi diem mulu dari tadi, Mel?" Nathan menoleh sesekali ke arahku ketika kami sedang dalam perjalanan pulang. Nathan yang menawarkan tumpangan karena Anin hari ini dijemput sang kekasih tercinta. Aku hanya berdeham singkat merespon pertanyaannya. "Gue ada salah ngomong ya?" "Pikir aja sendiri!" semburku menahan kesal. Jalanan di depan kami masih sangat padat merayap. Padahal aku sengaja mengambil lembur beberapa jam, dengan harapan jalanan bisa sedikit lengang. Namun ternyata prediksiku salah besar, ibu kota dan jalanan macetnya tak pernah lekang dimakan waktu. "Hah?" Nathan menautkan alisnya saat kembali menoleh ke arahku. "Makan malam dulu deh, sumpek gue liat macet. Tapi lebih sumpek lagi kalau ada temen gue ngambek!" Nathan dan kepekaannya memang juara. Apalagi dia masih mengingat kebiasaan ngambekku yang selalu bisa diredakan dengan makanan lezat. Buktinya sekarang, pria itu malah membelokkan arah mobilnya ke salah satu mall dan menarik lenganku menuju restoran Jepang
"Kopi atau rotinya nggak cocok sama selera kamu?" tanya Mas Hanif ketika kami berdua duduk bersebelahan di dalam mobilnya.Sore ini aku mengiyakan tawaran Mas Hanif yang berniat mengantarku pulang karena kedua sahabatku yang lain, Anin dan Nathan melanjutkan kencannya dengan pasangan masing-masing. Daripada aku menjadi nyamuk di antara mereka lebih baik aku pulang saja kan? Berteman dengan bantal dan kasur sepanjang malam minggu sepertinya bukan ide buruk untuk dicoba."Eh gimana maksudnya, Mas?"Tak langsung menjawab, Mas Hanif malah tersenyum tipis saat sekilas menoleh padaku. "Kamu jadi lebih pendiam sejak balik dari coffee shop. Saya kira karena rasanya kurang cocok sama selera kamu.""Oh..." aku paham maksudnya. "Bukan karena itu kok, rotinya super duper enak. Kopinya juga," imbuhku sambil mengangkat paper bag berisi roti dan beberapa kue lain yang dibawakan oleh Mas Hanif untukku. Tak hanya untukku sebenarnya, Anin dan Nathan juga mendapat bingkisan serupa. Kata Mas Hanif untuk
Sebenarnya, kita butuh berapa lama sih untuk benar-benar mengenal sifat asli seseorang? 1 tahun? 2 tahun? 5 tahun? Nggak ada jawaban yang pasti kan? dan bisa saja setiap orang punya jawaban yang berbeda-beda. Seperti aku misalnya. Dulu sekali, kali pertama mengenal Bang Fino, kami dekat dan menjalin kasih hampir satu tahun lamanya. Lalu ketika bertemu lagi setelah terpisah kami hanya dekat hitungan bulan sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Dan sekarang, setelah satu tahun biduk rumah tangga kami berjalan, aku baru mengetahui kalau seorang Arfino Hesta punya sisi kekanakan yang menjengkelkan sekali. Sangat. "Ya pokoknya ke Bromo aja lah kita, Sayang," rengeknya entah untuk ke berapa puluh kalinya pagi ini. Beruntung telingaku ini buatan Tuhan, kalau buatan tangan manusia mungkin sudah berlubang karena tak kuat menerima kerewelan Bang Fino yang semakin menjadi. "Tapi kan kita udah sepakat mau ke Bali, Bang." Aku merengut kali ini sampai berkacak pinggang. "Bali udah sering, S
“Saya terima nikah dan kawinnya, Melisa Hanum Sukoco binti Bakri Sukoco. Dengan mas kawin seperangkat perhiasan dan uang tunai 230 juta rupiah, dibayar tunai!"Alhamdulillah...Akhirnya aku menyaksikan sendiri pria yang aku cintai berikrar tegas dihadapan Papa untuk menjadi pendamping hidupku. Hanya dengan satu tarikan napas Bang Fino berhasil mengucapkan ijab kabul yang 'katanya' sudah ia hapal sejak beberapa bulan lalu. Bahkan sebelum kami sepakat kembali merajut asmara.“Bagaimana para saksi?” suara Pak Penghulu terdengar lagi.“Sah!”“Sah!”“Alhamdulillah, saaah....” Dari layar plasma yang ada di kamar, aku melihat wajah Bang Fino yang semula tegang langsung terlihat lega setelahnya.Ya Tuhan, ini bukan mimpi. Apalagi, ilusi.Aku benar-benar menikah hari ini.Setelah ijab kabul selesai aku kembali menatap pantulanku di cermin yang jauh berbeda dari aku yang biasanya. Bukan pertama kali pula aku memakai kebaya pengantin yang sangat cantik dan menjuntai seperti ini. Bukan pertama ka
"Aku masih nggak habis pikir, kenapa Bang Fino nggak cerita sama sekali kalau tadi itu Papa yang minta Abang dateng," omelku begitu membuka pintu apartment lebih lebar untuk mempersilakannya masuk. Kami sudah sampai di ibukota, karena tinggal di gedung yang sama, Bang Fino hanya ke unitnya untuk meletakkan koper lalu menyusulku ke lantai atas. Ke tempatku."Masih ngambek aja sih?" Bang Fino tergelak kecil saat membawaku dalam rangkulannya. Bahkan dengan jemarinya ia usil sekali mencubiti pipiku yang sedikit tembam karena asupan makanan sehat masakan mama selama berada di rumah Surabaya sebulan ke belakang.Kami berjalan bersisian ke sofa di ruang, persis seperti remaja kasmaran yang sedang hangat-hangatnya mengenal cinta. Sebelumnya, aku selalu geli saat membayangkan bagaimana canggungnya kami saat terlibat sentuhan fisik seperti ini. Seperti dulu. Namun nyatanya, tubuhku menyukainya. Aku suka semua perhatian dan sentuhannya yang sangat terasa tulus dan penuh kasih sayang."Bukannya n
Akhirnya aku memutuskan kembali ke ibukota setelah tinggal di Surabaya lebih dari dua bulan. Kemarin siang aku menerima kabar baik dari Nathan tentang interview langsung dengan petinggi Mediakarya, penerbit besar yang menjadi 'musuh' bebuyutan Gayatri. Bukan berniat membelot dari Gayatri lantas berakhir ke pesaing mereka, bukan. Aku hanya ingin mengasah kemampuanku di tempat yang lebih menantang lagi.Perkembangan kesehatan mama dan papa sudah sangat baik, karena itu pula aku memberanikan diri untuk mengutarakan niatku kembali bekerja pada mereka berdua. Tidak ada drama, karena mama dan papa langsung memberiku ijin kembali ke Jakarta. Bahkan mama yang paling antusias dengan keberangkatanku siang ini ke ibukota. Beliau sampai repot membuatkan sambal cumi beberapa toples untukku dan Bang Fino. Mama dengan mudahnya termakan omongan Bang Fino yang mengaku sangat menyukai sambal cumi buatannya. Padahal aku tahu benar kalau perut pria itu tak terlalu bersahabat dengan rasa pedas yang berleb
"Abang pake pelet ya?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku."Hah? gimana maksudnya?"Bang Fino yang sedang menyesap es jeruk peras langsung meletakkan gelasnya lagi demi menatapku. Kami berdua sedang menikmati rujak cingur tersohor di Surabaya. Bang Fino tadi bilang ingin merasakan kuliner khas daerah sini, jadilah pria itu kuajak ke tempat yang menjadi langgananku sejak lama."Abang nemuin Papa lagi kan dua minggu lalu?" cecarku tak bisa berbasa-basi."Ohh itu," jawab Bang Fino kemudian mengangguk pelan dengan senyum tipis tergantung di sudut bibirnya. Harus kuakui wajahnya memang tampan dan memanjakan mata, apalagi setelah kami tak bertemu selama dua pekan ke belakang. Kadar ketampanannya berlipat ganda."Iya kan?"Bang Fino mengangguk lagi. "Iya, papa kamu pasti sudah cerita semuanya ya?"Gantian aku yang mengangguk mengiyakan. "Ya pastilah! papa sudah cerita a sampai z tentang kedatangan Abang waktu itu."Sepasang netra Bang Fino langsung terbeliak cerah. "Jadi giman
Mama akhirnya diijinkan pulang ke rumah dan melakukan rawat jalan setelah menginap di rumah sakit selama satu minggu. Berbeda dengan dengan papa yang masih belum diijinkan pulang oleh dokter karena kondisinha memang lebih mengkhawatirkan. Kata dokter, mungkin papa baru bisa pulang minggu depan setelah menjalani operasi pemasangan pen di kakinya.Karena sekarang yang terlihat lebih 'pengangguran' daripada Mbak Merry yang punya segudang aktifitas juga mengurus dua buah hati. Maka akulah yang saat ini lebih sering menjaga papa di rumah sakit bergiliran dengan Mas Eko, dan juga Yusuf, sepupuku dari pihak papa yang kampusnya tak jauh daro sini.Sedangkan Mbak Merry bertugas memantau pemulihan mama di rumah. It's okay, pekerjaanku bisa dikerjakan di mana saja asal ada jaringan internet. Jadi aku sama sekali tak protes dengan jadwal baru sebagai anak berbakti yang mendadak cosplay menjadi perawat."Kata Merry kamu udah nggak di Gayatri lagi ya, Dek?" tanya Papa begitu aku selesai menyuapinya
Mataku masih basah ketika aku berjalan cepat menyusuri bandara Juanda. Aku tak peduli tatapan penuh tanya dari orang-orang yang kulewati, pikiranku hanya satu, bertemu mama dan papa secepatnya. Sebenarnya aku sudah merencanakan akan pulang ke Surabaya dua minggu lagi saat ulang tahun Bestari, anak bungsu Mbak Merry. Tapi ternyata Tuhan punya kejutan lain yang mengharuskanku pulang saat ini juga. Bahkan tanpa mengganti pakaian atau pulang dulu ke apartmen, aku memaksa Bang Fino untuk putar haluan dan segera mengantarku ke bandara sore tadi.Mbak Merry sempat menelpon lagi saat aku masih di bandara. Katanya papa baru saja masuk ruang operasi sedangkan mama baru dipindakan ke ruang perawatan dan kesadarannya sudah kembali. Berita yang sedikit melegakan, tapi tetap saja aku belum tenang karena belum melihat secara langsung kondisi kedua bidadariku itu.Aku berlari cepat ketika baru sampai di rumah sakit. Mengamati dengan seksama deretan kamar yang berjajar untuk mencari kamar inap mama ya
Anin akhirnya melepas masa lajang. Akad nikahnya berlangsung khidmat, pesta resepsinya juga bisa dibilang meriah dan sangat mewah. Aku dan Nathan pergi ke PIK sejak siang tadi menjelang prosesi ijab, tak hanya berdua, tapi juga mengajak serta Windi. Mantan kekasih Nathan yang sedang memainkan peran jinak-jinak merpati untuk kembali berbaikan dengan sahabatku itu. Awalnya aku enggan ikut dengan pasangan putus nyambung itu, tapi Windi berkeras mengajakku karena khawatir diculik di tengah jalan oleh Nathan. Alasan konyol, tapi ya sudahlah, daripada aku harus melenggang seorang diri kan? kesannya lebih mengenaskan lagi."Mbak Anin cantik banget ya," bisik Windi saat duduk di sebelahku usai menyaksikan wajah lega Anin setelah ijab kabul."Kalau kata orang jawa, wajahnya tuh manglingi, Win. Cantiknya beda, aura pengantinnya kuat dan terpancar sempurna. Cewek tuh akan terlihat cantik berkali-kali lipat kalau hatinya sedang bahagia," jelasku singkat."Nanti kalau kamu sama Nathan menikah, jan
Hujan deras tengah mengguyur ibukota menjelang malam hari. Sejuknya sampai bisa membuaiku yang tengah asik menatap layar laptop dari balik jendela besar di dalam apartmen. Udara dinginnya sedari tadi menemaniku memeriksa naskah terakhir yang rencananya naik cetak bulan depan. Naskah novel yang sarat kisah romansa tersebut bahkan sudah aku kirim ke penulisnya beberapa saat lalu. Namun aku masih betah berlama-lama menatap monitor, sambil melamun kisahku sendiri. Romansa rumit yang mengikatku dengan seseorang dari masa lalu."Seumur hidup, tante baru dengar kali ini Fino membicarakan orang lain dengan begitu antusiasnya, tapi di sisi lain ... tante juga menangkap gurat sedih dan penyesalan di wajah anak tante itu."Pikiranku mendadak tertarik pada percakapan dengan Tante Ririn empat hari yang lalu. Iya, ibu-ibu paruh baya yang sangat ramah menyambutku itu ternyata memang ibu kandung Bang Fino. Pantas saja wajahnya tak begitu asing.Dulu, dulu sekali, Bang Fino pernah menunjukkan protret