Share

Merindu Suamimu
Merindu Suamimu
Penulis: Rinai Hening

1. Bukan Jodoh

Penulis: Rinai Hening
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Arfino Hesta namanya, aku biasa memanggilnya Bang Pino, alih-alih Fino seperti yang lain memanggilnya. Iya sih aku baru mengenalnya hampir satu tahun belakangan. Belum terbilang lama. Entah kenapa, aku nyaman ketika berdekatan dengan pria jangkung ini. Senyumnya, tatapan hangatnya, suara ramahnya, tutur katanya, sopan santunnya. Semuanya.

Kalau kata Kak Rika aku sedang terserang sindrom cinta pertama. Maka dari itu semua hal yang ada pada Bang Pino selalu aku puja tanpa secuil cela. Entahlah, aku memang masih awam soal cinta, jadi aku iyakan saja pendapat dari Kak Rika.

Aku dan Bang Pino memang berjanji akan bertemu malam ini. Malam terakhir dimana aku bisa menemui pria itu sebelum esok siang aku harus terbang puluhan kilometer untuk kembali ke kota kelahiranku di Jawa Timur. Malam ini malam terakhir, di mana aku bisa menyimpan semua moment kebersamaan kami selama hampir satu tahun saling mengenal, merasa nyaman dan hampir terlena dengan sejuta angan akan masa depan.

"Hai, Lisa," sapa Bang Pino begitu melihatku melangkah mendekat.

"Haii, Bang," balasku dengan senyum lebar yang kupaksakan. Kenapa harus terpaksa? karena sebenarnya jauh di dalam hati, aku sangat ingin menangis tiap kali ingat bahwa ini adalah malam terakhir kami bisa bertemu.

"Happy banget kayaknya?" sambung pria itu ketika mengambil alih nampan persegi yang berisi beberapa potong pizza dan minuman bersoda yang sengaja kubawa.

Serius wajahku terlihat happy? Happy dari mana coba?

Oke baik, berarti aku berhasil mengelabuinya. Tak tahu saja dia bahwa di dalam hati, aku sudah ingin menjerit tak terima dengan perpisahan kami esok hari.

"Harus happy dong," sahutku lantas menghempaskan bokong duduk di sebelahnya. "Abang sendiri kan yang bilang, kalau kita harus selalu ngerasa happy apa pun yang terjadi."

Sebenarnya aku ini orangnya melankolis dan cengeng sekali. Merasakan telapak tangan Bang Pino yang mengusap rambutku saja sudah hampir membuatku menangis. Beruntung, dengan menggigit bibir bawah, aku bisa meredam keinginan untuk menumpahkan air mata saat ini juga.

"Udah packing?" tanya Bang Pino lagi setelah aku hanya diam menunduk selama beberapa menit.

"Udah, tinggal angkut aja," jawabku sembari menekuri kedua telapak tangan yang saling bertaut.

"Oleh-oleh buat orang rumah udah dipacking juga?"

Aku mengangguk lagi. "Udah, Bang."

Padahal aku ini terpaksa pulang ke Jawa Timur. Kenapa pula ya, aku yang repot belanja oleh-oleh untuk keluargaku di sana. Andai saja aku tak terikat janji sialan yang aku buat dengan Pak Hilman, bapakku sendiri yang sangat otoriter itu. Pasti aku akan menerima tawaran Pak Hendra untuk memperpanjang masa kontrak kerja di Starindo.

"Kalau boneka yang kemarin?"

"Hmm, sudah. Sengaja gak aku masukin koper. Biar bisa aku bawa terus selama di perjalanan," jawabku lirih.

Boneka yang dimaksud Bang Pino adalah boneka beruang putih dengan baju berwarna merah muda yang lucu sekali,  hadiah pemberiannya kemarin. Kata Bang Pino untuk kenang-kenangan agar aku selalu mengingat sosoknya. Padahal sebenarnya, tanpa boneka beruang itupun aku pasti selalu mengingat segala hal tentangnya.

"Udah siap banget ya?" Bang Pino menarik kedua sudut bibirnya tersenyum lagi.

"Raganya aja yang siap Bang, hatinya belum," jawabku sembari menarik senyum miring, kali ini mengamati kedua kakiku yang berayun pelan di bawah kursi yang kami duduki.

"Kenapa hatinya berat?" tanya Bang Pino seraya menatapku lekat-lekat. Aah, aku suka sekali saat mendengar suaranya yang memanggil namaku. Lisa... dengan penekanan pada huruf S-nya.

"Ya karena Abang." Akuku jujur saat menatap sekilas ke arah Bang Pino. Sekilas saja, karena aku tak yakin hatiku bisa kuat berlama-lama menatap netranya. Bisa-bisa keputusanku goyah dan batal pulang kalau terperangkap dalam tatapan tajamnya.

Bang Pino tersenyum tipis paham dengan maksudku. Beberapa bulan dekat, sangat dekat malah. Dia pasti paham dengan apa yang sedang aku utarakan. Kalau aku, iya. Aku memang berat karena akan meninggalkan sosoknya yang sudah berhasil memerangkap hatiku. Entah lagi kalau buat pria itu yang bisa saja berkebalikan dengan perasaanku.

Dia pria dewasa, mungkin kedekatan dengan gadis belia seumuranku hanya dianggap angin lalu belaka. Bisa jadi perhatian Bang Pino selama ini hanya karena merasa iba karena aku merantau jauh dan terpisah jarak dengan keluarga kan? Atau bisa jadi karena sekedar ketertarikan sementara saja.

"Serius nih, berat ninggalin Abang?" ulang Bang Pino meminta kepastian.

Aku mengangguk tegas.

"Iya?" tanya Bang Pino lagi belum yakin.

"Iya," jawabku mantap.

"Kenapa berat?"

Aku menoleh dan memaku tatapan ke arah sepasang netranya. Apa binar sendu di mataku belum terbaca dengan jelas ya? Hingga pria ini tak bisa menebak perasanku padanya.

"Kamu sayang sama Abang?" tebaknya lagi setelah kami diselimuti hening beberapa menit.

"Hmm..." aku mengangguk lagi mengiyakan.

"Serius nih, sayang sama Abang?" ulangnya sampai ikut menunduk demi melihat raut wajahku yang sudah merah padam menahan tangis.

"Lisa?"

"Iya, aku sayang Abang." jawabku dengan air mata yang tiba-tiba saja sudah membanjiri wajah. Biarlah. Toh ini pertemuan terakhir kami. Di lain waktu, dia takkan melihat air mataku lagi.

Lagi-lagi kami saling diam. Terperangkap pikiran masing-masing. Aku dengan pikiran picikku yang ingin membatalkan kepulanganku esok hari. Entah lagi kalau pikiran Bang Pino, tentu saja aku tak bisa membacanya.

Hampir sepuluh menit berlalu, hanya terdengar tangisku yang semakin tergugu. Hingga aku merasakan telapak tangan Bang Pino yang mengusap lengan atasku dengan gerakan teramat pelan.

"Kalau sayang sama Abang jangan nangis-nangis gitu dong," pintanya dengan suara lirih.

Bukannya diam, aku malah semakin bergetar karena air mata. Memalukan memang. Entah bagaimana kacaunya wajahku saat itu, tapi aku setia menunduk. Enggan menengadahkan kepala membalas tatap teduh pria itu.

"Kalau nangis, berarti nggak sayang sama Abang." Kalimat Bang Pino yang satu ini sukses membuatku menghentikan tangis. Apalagi setelah jemari besar Bang Pino terangkat dan mengusap pelan wajahku yang basah karena jejak air mata.

Aku sayang padanya, jadi aku tak boleh menangis, cibir hatiku.

"Naaah gitu dong," ucapnya lagi. "Jelek kalau nangis kayak tadi." Pipiku mendadak hangat saat punggung tangan Bang Pino ikut mengusap di sana.

"Emang jelek," cicitku dengan suara serak.

"Kenapa jadi mellow sedih-sedih gini sih suasananya, padahal tadi udah happy loh." ucapnya tak mengalihkan pembicaraan.

“Ya gimana gak sedih, Bang," ucapku lirih masih tak berani mengangkat wajah. "Ini kan jadi pertemuan terakhir kita. Entah kapan lagi bisa ketemu sama Abang.”

Dari ekor mata, aku tahu Bang Pino melengkungkan senyum samar. Tatapan matanya yang teduh juga masih menaungiku dengan tenangnya.

“Kalau jodoh pasti ketemu."

Aahh iya, benar juga. Kalau jodoh memang tak akan kemana. Tapi kan kemungkinannya sangat kecil. Usia kami berbeda jauh, adat dan budaya kami bertolak belakang, belum lagi jarak puluhan kilo yang memisahkan kami. Teriak batinku tak terima.

"Tahun depan Abang ada dinas di Jawa. Kita bisa ketemu waktu itu."

Aku langsung melebarkan senyum. "Kita harus ketemu ya, tahun depan."

"Hmm..." Pria itu mengangguk sekali. "Harus ketemu, Abang akan membuktikan kalau kita berjodoh. Abang akan temui orang tua kamu."

Gurat bahagia pasti sudah tercetak jelas di wajahku saat itu. Pasti.

***

Namun hingga tahun depan yang dijanjikan, ternyata aku harus menelan pil pahit lantaran tak mendapat kepastian. Aku menunggu kedatangan pria itu dengan setia seperti yang aku ucap sebelumnya. Namun semakin hari Bang Pino semakin sulit untuk kuhubungi. Entah harapanku yang terlalu tinggi atau dia yang sengaja menjauhkan diri.

Tahun pertama aku lewati tanpa kepastian juga kabar dari pria yang hingga kini masih belum pergi dari benakku. Dari hatiku. Aku tetap setia menunggu sembari mencari kabar dari rekanku yang lain di kota tempatku merantau sebelumnya. Tak ada kabar pasti tentang keberadaan Bang Pino selain kabar bahwa ia dipindahtugaskan ke kota lain, kota kelahirannya sendiri.

"Beneran gak ada kabar, Kak?" tanyaku di suatu sore saat menghubungi Kak Rika.

"Nggak ada, Meli. Selama elo balik, dia udah jarang mampir. Sekarang malah gak pernah sama sekali."

Kak Rika sama seperti yang lain, memanggilku dengan sebutan Meli. Nama panggilanku sejak kecil. Hanya Bang Pino satu-satunya orang yang memanggilku dengan sebutan 'Lisa'. Aaaah, mengingat panggilan itu tentu saja membuatku mengingat sosok dengan senyum ramah itu. Sebenarnya, kemana perginya pria yang membawa hatiku itu.

"Udahlah, lupain aja. Namanya juga cowok, cepet dapet penggantinya."

Terdengar kekehan kecil di seberang sana. "Gue cuma mikir logis, Mel. Menurut kami yang udah dewasa malah menjelang tua ini, elo itu masih gadis kecil polos yang mudah diperdaya cinta sama sehingga mudah sekali jatuh hati. Sedangkan Bang Pinpin, dia udah dewasa kemana-mana euyy, bisa jadi elo cuma tempat persinggahan aja kan?"

Aku berdecak sebal dengan kalimat Kak Rika tadi. "Tapi Bang Pino beda Kak, dia udah janji." kilahku masih tak tergoyahkan.

"Dan elo percaya sama janji pria macem buaya kayak gitu?"

"Bang Pino bukan buaya!" belaku terpekik dengan nada kesal. Aku tak terima pujaanku itu disebut buaya.

"Tapi mereka sejenis. Cowok memang gitu, gampang janji, gampang mengingkari. Begitu ketemu cewek lain, janji lagi. Begitu terus siklusnya."

Tapi Bang Pino nggak gitu. Batinku masih membela.

Life must go on, Meli. Kamu masih muda, masa depan cerah, jangan sedih berlarut larut gitu hanya karena janji manis orang asing,” sambung kak Rika dengan nada yang lebih tenang.

Aku mengangguk pelan, sebelum akhirnya kak Rika menutup panggilan. Ada benarnya juga sih apa yang dikatakan kak Rika. Bang Pino bukan siapa-siapa yang harus aku gantungkan harapku terlalu tinggi, dia hanya pria asing yang kebetulan sempat hadir untuk mewarnai hidupku.

Aku memutuskan untuk melanjutkan keseharianku seperti semula. Menyibukkan diri dengan banyak kegiatan demi melupakan sosok dengan senyum ramah itu. Melanjutkan kuliah, ikut les masak memasak, ikut kursus menulis demi menyalurkan perasaan yang tak bisa kuutarakan pada siapa pun selain pada goresan sederhana.

Tahun kedua hampir tiba. Masa di mana aku merasa terguncang dengan satu kabar yang ingin kutepis. Kabar tentang Bang Pino akan melabuhkan biduk cintanya pada seorang wanita yang entah siapa. Lagi-lagi Kak Rika yang menjadi sumber berita. Aku ingin tak percaya, tapi Kak Rika punya selembar bukti kuat untuk menamparku. Aku ingin mengelak dan melanjutkan memupuk rindu, tapi segala kenyataan itu setiap hari makin mengganggu kinerja jantungku.

Ini tak bisa dibiarkan, bertahun-tahun aku menggantungkan harap dengan janji manis pria itu. Segenggam rindu yang sudah lama kusimpan tak bisa dibiarkan lesap dan sia-sia begitu saja. Jadi, aku memutuskan untuk kembali mencarinya. Pria dengan senyum ramah yang hampir setiap hari membuatku menangis menggila karena terombang-ambing dalam ketidakpastian rasa.

Seminggu sebelum akhir tahun, aku kembali ke kota penuh kenangan itu. Selain untuk mengantarkan rindu yang ingin berujung temu, aku ke sana juga untuk menyaksikan dengan kepala sendiri bahwa kabar dari kak Rika hanya desas-desus belaka.

Sayang seribu sayang, begitu aku sampai di kota kelahiran si pria pujaan, bukan sambutan hangat yang aku terima. Melainkan hunusan belati tak kasat mata yang menghujam jantungku dengan kejamnya. Seiring dengan senyum pria yang kupanggil abang itu pada perempuan di hadapannya. Perempuan cantik yang memakai mahkota cantik di kepalanya. Pertanda bahwa ia tengah menjadi ratu sehari, sedangkan pria pujaanku itulah yang menjadi rajanya.

Aku tidak tau bagaimana keadaanku sekarang. Namun yang pasti dadaku sesak, mataku berembun, sarat dengan luka dan kecewa. Seumur hidup belum pernah aku merasakan sakit seperih ini. Namun sekarang, semesta seolah sedang mengejek dengan kesakitan yang ditorehkan oleh manusia yang padanya kujatuhkan semua mimpi dan harapku.

"Bang," suaraku mengalun parau.

Pria yang senyumnya selalu menghiasi mimpiku itu menoleh. Sepasang netranya membeliak sempurna tatkala bersirobok dengan mataku yang tertutupi embun. Wajahnya pucat pasi tatkala aku melangkah mendekat dengan langkah yang lemah gontai.

Kemana senyum ramahnya?

Kemana tatapan teduhnya?

Kemana suara hangatnya?

Kenapa wajah tampannya memucat di pertemuan kami yang seharusnya penuh rindu ini?

"Melisa!" sahutnya serupa bisik.

"Maaf..." kata kedua yang terjaring sangat pelan di telingaku, sebelum semuanya menjadi ... gelap.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Keshwari
baru nemu nih ternyata
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Merindu Suamimu   2. Belum Move On

    7 tahun berselang,"Serius lo mau pindah ke Jakarta, Mel?" itu respon dari Kak Elvin saat pertama kali mendengar kabar tentang kepindahanku ke ibu kota.Aku sih hanya mengangguk sekilas tanpa menatap sepasang manik matanya yang mengerjap penasaran."Woo … ya jelas dong," jawabku sambil mengerling pada akhirnya."Alasannya?"Ternyata perempuan cantik yang baru tiga minggu melahirkan ini tetap saja mengejarku dengan pertanyaan senada. Elvin Eleanor, atau yang biasa aku panggil Kak Vin, adalah salah satu penulis novel ternama yang beberapa bukunya meledak di pasaran. Enam dari delapan novel cetak karyanya aku yang menjadi editornya saat itu. Lambat laun kami jadi sangat dekat, apalagi setelah tahu kalau Kak Vin ini seniorku di kampus yang sama."Nggak usah pura-pura nggak tau alasannya deh, Kak," gurauku meninju pelan lengan atasnya."Bayu?"Aku menaikkan kedua alisku bersamaan. Nama itu memang menjadi salah satu alasan kepindahanku ke Jakarta. Pria yang sempat aku sayangi sepenuh hati n

  • Merindu Suamimu   3. Suara Tak Asing

    Sial, sial, sial..!!Bukan aku mendadak terngiang-ngiang lagu populer yang dibawakan penyanyi cantik Mahalini. Bukan. Namun, ini karena aku baru menyadari perasaanku pada Bang Fino tak pernah usai bahkan hingga bertahun lamanya kami terpisah.Terbelenggu pada perasaan yang sama selama bertahun-tahun ternyata sangat menyiksa dan semenyesakkan ini ya? Sekuat apapun aku mencoba menyangkal, kenapa semua rasa tetap tertuju pada satu nama itu. Ckk, lagi-lagi sial kan?! Padahal beberapa kali aku pernah menjalin kedekatan dengan pria berbeda sejak kenyataan pahit yang aku dapatkan dari kisah kami berdua. Aku dan Bang Pino maksudnya. Kalau dia, entah bagaimana kelanjutan hidupnya, yang aku tahu hanya ... Bang Pino mengingkari janjinya padaku sejak ia menikahi perempuan lain. Selebihnya, aku memilih tak tahu dari pada harus mengulang perihnya luka karena terbakar cemburu.Dan ini semua karena obrolan dengan Kak Vin dan Mas Rega beberapa hari lalu. Pasangan itu sengaja menyebut nama Bang Fino di

  • Merindu Suamimu   4. Bukan Mama Biasa

    Badanku rasanya mau remuk, pun demikian dengan tulang-tulangku yang terasa lunglai. Aku baru selesai merapikan apartment sekitar pukul tujuh malam, yang artinya aku berjibaku dengan barang-barang dan kamar baruku sekitar empat jam lamanya. Mulai dari menata buku-buku di rak yang ada di dalam kamar, menyusun baju-baju ke dalam lemari, merapikan koper kosong, memasang sprei, memasang humidifier dengan aroma favoritku, aah … pokoknya banyak yang aku kerjakan. Jadi pantas saja kalau sekarang perutku meronta karena lapar, tampang kumal, satu-satunya yang kupikirkan saat ini hanya tempat tidur dan bantal-bantal empuk yang melambai-lambai. Mama sengaja tak kuijinkan ikut serta dalam kegiatan menata ulang tempat tinggal baruku ini. Beliau sudah pasti kelelahan selama perjalanan Surabaya Jakarta, jadi biarlah tugas ini itu aku saja yang melakukannya. Karena bosan hanya duduk diam, mama akhirnya memutuskan untuk belanja persediaan bahan makanan di supermarket yang ada di sebelah apartment. Mama

  • Merindu Suamimu   5. Surprise

    "Mel, kita-kita udah tahu kali kalau lo dapet promosi, gantiin Mbak Yuni, kan?" sambut Anin ketika aku berangkat kerja hari ini. "Hmm," aku menggaruk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal. "Kata Mbak Ajeng?" Aku balik bertanya. "Iyalah, Mbak Ajeng koar-koar kalau lo bakalan dipindah ke pusat. Gue sih udah curiga aja kalau elo bakalan gantiin posisi Mbak Yuni." Nathan ikut berkomentar. "Rumor says it, bener tebakan gue?" Anin kembali memicingkan mata menatapku. "Ya ... kan, rejeki nggak boleh ditolak bestie, pamali," akuku sembari mengulum senyum. "Tuuh kan bener," ujar Nathan spontan menepuk lengan Anin hingga gadis itu mendelik. "Berengsek! sakit Nath!" "Ehh, sorry, sorry kelepasan. Saking happy-nya ini gue, karena Mbak Yuni digantiin sama Meli," kelakar Nathan bertepuk tangan. "Setidaknya gue bisa bernapas lega karena bisa lepas dari keruwetan ibu yang satu itu." "Ya, kalau Mbak Yuni resign karena ikut suaminya, kan emang harus ada yang gantiin posisinya, Nath, Nin." Aku t

  • Merindu Suamimu   6. Pengacau Hati

    Aku berharap ini hanya mimpi. Mimpi buruk yang begitu ingin aku hindari selama lebih dari tujuh tahun ke belakang. Tapi … kenapa semesta seolah mengejek usahaku selama ini dengan mempertemukan kami berdua dalam suasana membingungkan seperti tadi siang. Sial kuadrat!! Sial yang pertama, tentu saja karena pertemuan dengan Bang Pino di saat hatiku belum siap. Lalu yang kedua, hatiku kembali remuk dihantam kenyataan karena faktanya Bang Pino adalah suami dari Bu Nadia, atasanku sendiri. Double kill banget kan rasanya menjadi seorang Meli di hari pertama dengan jabatan baru ini. “Mel, makan siang yuk,” seru Anin sudah membuka pintu ruanganku. “Duluan deh, gue kurang dikit banget kok ini,” balasku memaksakan senyum. Demi menutupi riuhnya debaran jantungku setelah bersitatap dengan pemilik tatapan tajam namun menenangkan seperti Bang Pino. Sadar Meli sadar!!! Dia udah jadi suami orang, yang tak lain adalah atasan lo sendiri. Makiku pada diri sendiri. “Gue tungguin di meja gue deh, ya? ma

  • Merindu Suamimu   7. Jangan Dipertanyakan

    Ini benar-benar mau gila. Padahal tadi siang hanya hitungan menit saja aku bertatap muka dengan pria itu. Tapi kenapa efeknya sampai segitunya sih? Sekarang sudah hampir tengah malam, dan mataku masih terbuka lebar, padahal hampir seluruh dunia tahu kalau aku paling anti begadang. Bahkan biasanya jam sembilan atau sepuluh malam aku sudah berkelana di alam mimpi.Namun nyatanya? malam ini rasa kantuk tak juga berhasil membawa anganku pergi. Kilasan demi kilasan ingatan pada kejadian tujuh tahun lalu kembali menghampiri. Bagaimana bisa aku tak mengenali Bu Nadia sebagai istri seorang Arfino Hesta, pria menawan yang membuat duniaku jungkir balik karena terlalu memujanya. Aah ... tapi bisa saja, karena memang waktu itu aku tak fokus pada wajah si mempelai wanita. Saat itu, tatapan sedihku hanya terpaku pada sosok si pria yang nampak terkejut dengan kehadiranku yang mendatangi pestanya. Apalagi hal tersebut hanya berlangsung beberapa saat, karena tak sampai tiga puluh menit mendadak saja

  • Merindu Suamimu   8. Gagal Paham

    "Kok Bu Nad, nyetir sendiri ya?" tanyaku begitu selesai memasang sabuk pengaman di depan tubuh.Aku bertanya hal demikian karena tak jauh dari mobil Anin aku melihat Bu Nadia masuk ke mobilnya dan langsung melaju begitu saja. Sore ini aku memang sengaja pulang menumpang mobil Anin karena katanya, gadis ini sedang butuh teman bicara melepas penat akibat pertengkarannya dengan sang kekasih. Ia tak bisa mencurahkan keluh kesahnya dengan leluasa jika bersama Nathan, karena itu Anin sedikit memaksaku untuk menjadi pendengarnya. Diih, korban bucin ternyata bisa berantem juga."Laah, emang biasanya gitu," jawab Anin santai. Gadis berambut cokelat terang itu mulai mengarahkan mobilnya mengantre untuk keluar area parkir.“Bukannya diantar jemput sama suaminya ya?"Sejak obrolan di acara makan siang tadi, aku jadi sedikit penasaran dengan kehidupan rumah tangga antara Bang Fino dan Bu Nadia. Memang dasar akunya yang bodoh luar dalam kan? menanyakan hal seperti ini memang berpotensi mengoyak hat

  • Merindu Suamimu   9. Terkuak

    "Selalu ada rasa yang tak tuntas jika itu tentang dia," gumamku lirih saat membaca sepenggal kalimat dalam naskah terjemahan yang pagi ini masuk ke emailku untuk final check. Kenapa kalimat itu seolah menyindirku ya, atau aku saja yang terlalu sensitif belakangan ini. Jujur saja, satu minggu pertama bekerja di kantor pusat membuat jantungku sedikit tak sehat. Bagaimna tidak, aku dan Bang Fino seolah berbagi peran menjadi Tom and Jerry yang hobby main petak umpet. Pokoknya apapun akan kulakukan demi tak bertemu dengan lelaki yang sampai detik ini masih membuat hatiku berdebar menyedihkan. Sepertinya pernyataan Anin yang menyebutkan bahwa suami boss kami itu jarang muncul di kantor tak berlaku lagi. Karena belum ada setengah jam yang lalu pria jangkung itu mondar mandir di depan ruang kerjaku. "Mel, makan!" pekik suara Nathan jelas terdengar saat ia membuka pintu kaca di ruang makan kerjaku. "Gue lagi ngejar deadline, Nath. Satu jam lagi gue kirim ke bagian printing," dustaku sambil

Bab terbaru

  • Merindu Suamimu   39. Timeless (END)

    Sebenarnya, kita butuh berapa lama sih untuk benar-benar mengenal sifat asli seseorang? 1 tahun? 2 tahun? 5 tahun? Nggak ada jawaban yang pasti kan? dan bisa saja setiap orang punya jawaban yang berbeda-beda. Seperti aku misalnya. Dulu sekali, kali pertama mengenal Bang Fino, kami dekat dan menjalin kasih hampir satu tahun lamanya. Lalu ketika bertemu lagi setelah terpisah kami hanya dekat hitungan bulan sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Dan sekarang, setelah satu tahun biduk rumah tangga kami berjalan, aku baru mengetahui kalau seorang Arfino Hesta punya sisi kekanakan yang menjengkelkan sekali. Sangat. "Ya pokoknya ke Bromo aja lah kita, Sayang," rengeknya entah untuk ke berapa puluh kalinya pagi ini. Beruntung telingaku ini buatan Tuhan, kalau buatan tangan manusia mungkin sudah berlubang karena tak kuat menerima kerewelan Bang Fino yang semakin menjadi. "Tapi kan kita udah sepakat mau ke Bali, Bang." Aku merengut kali ini sampai berkacak pinggang. "Bali udah sering, S

  • Merindu Suamimu   38. Whatta Surprise

    “Saya terima nikah dan kawinnya, Melisa Hanum Sukoco binti Bakri Sukoco. Dengan mas kawin seperangkat perhiasan dan uang tunai 230 juta rupiah, dibayar tunai!"Alhamdulillah...Akhirnya aku menyaksikan sendiri pria yang aku cintai berikrar tegas dihadapan Papa untuk menjadi pendamping hidupku. Hanya dengan satu tarikan napas Bang Fino berhasil mengucapkan ijab kabul yang 'katanya' sudah ia hapal sejak beberapa bulan lalu. Bahkan sebelum kami sepakat kembali merajut asmara.“Bagaimana para saksi?” suara Pak Penghulu terdengar lagi.“Sah!”“Sah!”“Alhamdulillah, saaah....” Dari layar plasma yang ada di kamar, aku melihat wajah Bang Fino yang semula tegang langsung terlihat lega setelahnya.Ya Tuhan, ini bukan mimpi. Apalagi, ilusi.Aku benar-benar menikah hari ini.Setelah ijab kabul selesai aku kembali menatap pantulanku di cermin yang jauh berbeda dari aku yang biasanya. Bukan pertama kali pula aku memakai kebaya pengantin yang sangat cantik dan menjuntai seperti ini. Bukan pertama ka

  • Merindu Suamimu   37. Get Closer

    "Aku masih nggak habis pikir, kenapa Bang Fino nggak cerita sama sekali kalau tadi itu Papa yang minta Abang dateng," omelku begitu membuka pintu apartment lebih lebar untuk mempersilakannya masuk. Kami sudah sampai di ibukota, karena tinggal di gedung yang sama, Bang Fino hanya ke unitnya untuk meletakkan koper lalu menyusulku ke lantai atas. Ke tempatku."Masih ngambek aja sih?" Bang Fino tergelak kecil saat membawaku dalam rangkulannya. Bahkan dengan jemarinya ia usil sekali mencubiti pipiku yang sedikit tembam karena asupan makanan sehat masakan mama selama berada di rumah Surabaya sebulan ke belakang.Kami berjalan bersisian ke sofa di ruang, persis seperti remaja kasmaran yang sedang hangat-hangatnya mengenal cinta. Sebelumnya, aku selalu geli saat membayangkan bagaimana canggungnya kami saat terlibat sentuhan fisik seperti ini. Seperti dulu. Namun nyatanya, tubuhku menyukainya. Aku suka semua perhatian dan sentuhannya yang sangat terasa tulus dan penuh kasih sayang."Bukannya n

  • Merindu Suamimu   36. Keputusan

    Akhirnya aku memutuskan kembali ke ibukota setelah tinggal di Surabaya lebih dari dua bulan. Kemarin siang aku menerima kabar baik dari Nathan tentang interview langsung dengan petinggi Mediakarya, penerbit besar yang menjadi 'musuh' bebuyutan Gayatri. Bukan berniat membelot dari Gayatri lantas berakhir ke pesaing mereka, bukan. Aku hanya ingin mengasah kemampuanku di tempat yang lebih menantang lagi.Perkembangan kesehatan mama dan papa sudah sangat baik, karena itu pula aku memberanikan diri untuk mengutarakan niatku kembali bekerja pada mereka berdua. Tidak ada drama, karena mama dan papa langsung memberiku ijin kembali ke Jakarta. Bahkan mama yang paling antusias dengan keberangkatanku siang ini ke ibukota. Beliau sampai repot membuatkan sambal cumi beberapa toples untukku dan Bang Fino. Mama dengan mudahnya termakan omongan Bang Fino yang mengaku sangat menyukai sambal cumi buatannya. Padahal aku tahu benar kalau perut pria itu tak terlalu bersahabat dengan rasa pedas yang berleb

  • Merindu Suamimu   35. Deja Vu

    "Abang pake pelet ya?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku."Hah? gimana maksudnya?"Bang Fino yang sedang menyesap es jeruk peras langsung meletakkan gelasnya lagi demi menatapku. Kami berdua sedang menikmati rujak cingur tersohor di Surabaya. Bang Fino tadi bilang ingin merasakan kuliner khas daerah sini, jadilah pria itu kuajak ke tempat yang menjadi langgananku sejak lama."Abang nemuin Papa lagi kan dua minggu lalu?" cecarku tak bisa berbasa-basi."Ohh itu," jawab Bang Fino kemudian mengangguk pelan dengan senyum tipis tergantung di sudut bibirnya. Harus kuakui wajahnya memang tampan dan memanjakan mata, apalagi setelah kami tak bertemu selama dua pekan ke belakang. Kadar ketampanannya berlipat ganda."Iya kan?"Bang Fino mengangguk lagi. "Iya, papa kamu pasti sudah cerita semuanya ya?"Gantian aku yang mengangguk mengiyakan. "Ya pastilah! papa sudah cerita a sampai z tentang kedatangan Abang waktu itu."Sepasang netra Bang Fino langsung terbeliak cerah. "Jadi giman

  • Merindu Suamimu   34. Petuah Papa

    Mama akhirnya diijinkan pulang ke rumah dan melakukan rawat jalan setelah menginap di rumah sakit selama satu minggu. Berbeda dengan dengan papa yang masih belum diijinkan pulang oleh dokter karena kondisinha memang lebih mengkhawatirkan. Kata dokter, mungkin papa baru bisa pulang minggu depan setelah menjalani operasi pemasangan pen di kakinya.Karena sekarang yang terlihat lebih 'pengangguran' daripada Mbak Merry yang punya segudang aktifitas juga mengurus dua buah hati. Maka akulah yang saat ini lebih sering menjaga papa di rumah sakit bergiliran dengan Mas Eko, dan juga Yusuf, sepupuku dari pihak papa yang kampusnya tak jauh daro sini.Sedangkan Mbak Merry bertugas memantau pemulihan mama di rumah. It's okay, pekerjaanku bisa dikerjakan di mana saja asal ada jaringan internet. Jadi aku sama sekali tak protes dengan jadwal baru sebagai anak berbakti yang mendadak cosplay menjadi perawat."Kata Merry kamu udah nggak di Gayatri lagi ya, Dek?" tanya Papa begitu aku selesai menyuapinya

  • Merindu Suamimu   33. Mereka Kenapa?

    Mataku masih basah ketika aku berjalan cepat menyusuri bandara Juanda. Aku tak peduli tatapan penuh tanya dari orang-orang yang kulewati, pikiranku hanya satu, bertemu mama dan papa secepatnya. Sebenarnya aku sudah merencanakan akan pulang ke Surabaya dua minggu lagi saat ulang tahun Bestari, anak bungsu Mbak Merry. Tapi ternyata Tuhan punya kejutan lain yang mengharuskanku pulang saat ini juga. Bahkan tanpa mengganti pakaian atau pulang dulu ke apartmen, aku memaksa Bang Fino untuk putar haluan dan segera mengantarku ke bandara sore tadi.Mbak Merry sempat menelpon lagi saat aku masih di bandara. Katanya papa baru saja masuk ruang operasi sedangkan mama baru dipindakan ke ruang perawatan dan kesadarannya sudah kembali. Berita yang sedikit melegakan, tapi tetap saja aku belum tenang karena belum melihat secara langsung kondisi kedua bidadariku itu.Aku berlari cepat ketika baru sampai di rumah sakit. Mengamati dengan seksama deretan kamar yang berjajar untuk mencari kamar inap mama ya

  • Merindu Suamimu   32. Harus Pulang

    Anin akhirnya melepas masa lajang. Akad nikahnya berlangsung khidmat, pesta resepsinya juga bisa dibilang meriah dan sangat mewah. Aku dan Nathan pergi ke PIK sejak siang tadi menjelang prosesi ijab, tak hanya berdua, tapi juga mengajak serta Windi. Mantan kekasih Nathan yang sedang memainkan peran jinak-jinak merpati untuk kembali berbaikan dengan sahabatku itu. Awalnya aku enggan ikut dengan pasangan putus nyambung itu, tapi Windi berkeras mengajakku karena khawatir diculik di tengah jalan oleh Nathan. Alasan konyol, tapi ya sudahlah, daripada aku harus melenggang seorang diri kan? kesannya lebih mengenaskan lagi."Mbak Anin cantik banget ya," bisik Windi saat duduk di sebelahku usai menyaksikan wajah lega Anin setelah ijab kabul."Kalau kata orang jawa, wajahnya tuh manglingi, Win. Cantiknya beda, aura pengantinnya kuat dan terpancar sempurna. Cewek tuh akan terlihat cantik berkali-kali lipat kalau hatinya sedang bahagia," jelasku singkat."Nanti kalau kamu sama Nathan menikah, jan

  • Merindu Suamimu   31. Terjebak Situasi

    Hujan deras tengah mengguyur ibukota menjelang malam hari. Sejuknya sampai bisa membuaiku yang tengah asik menatap layar laptop dari balik jendela besar di dalam apartmen. Udara dinginnya sedari tadi menemaniku memeriksa naskah terakhir yang rencananya naik cetak bulan depan. Naskah novel yang sarat kisah romansa tersebut bahkan sudah aku kirim ke penulisnya beberapa saat lalu. Namun aku masih betah berlama-lama menatap monitor, sambil melamun kisahku sendiri. Romansa rumit yang mengikatku dengan seseorang dari masa lalu."Seumur hidup, tante baru dengar kali ini Fino membicarakan orang lain dengan begitu antusiasnya, tapi di sisi lain ... tante juga menangkap gurat sedih dan penyesalan di wajah anak tante itu."Pikiranku mendadak tertarik pada percakapan dengan Tante Ririn empat hari yang lalu. Iya, ibu-ibu paruh baya yang sangat ramah menyambutku itu ternyata memang ibu kandung Bang Fino. Pantas saja wajahnya tak begitu asing.Dulu, dulu sekali, Bang Fino pernah menunjukkan protret

DMCA.com Protection Status