"Aku harus menyingkirkannya secepatnya," Miya tak rela jika Alan dekat dengan Mira. Ia menginginkan Alan hanya untuk dirinya seorang. Alan adalah miliknya dulu, sekarang, maupun nanti.Miya mengklaim Alan sebagai miliknya, ia tak peduli dengan status Alan yang sebagai suami orang.Miya tak mau berbagi dengan siapa pun, baik Alan mau pun hartanya.Alan terus memeluk Mira, sudah cukup lama ia tak pernah memeluknya, "kamu ternyata kurusan, Mira.""Apa ini semua karenaku?" tanya Alan.Mira tak menjawab, tak juga merespon pelukan Alan. Ia hanya diam saja, membatu."Maafkan aku," lirih Alan sambil berbisik di telinga Mira."Apa yang harus aku maafkan, Mas. Stock maafku tak cukup banyak, karena kesalahanmu padaku sangat-sangat banyak," ucap Mira datar tanpa emosi. Ia sudah lelah dengan drama di rumah ini.Semenjak Alan membawa pulang Miya ke rumahnya, Mira sudah menganggap Alan tak ada. Hatinya begitu hancur hingga berkeping-keping.Rasa sakit yang Alan torehkan di hatinya tak akan mampu di
Miya terdiam ....Tiba-tiba ia mendorong pintu menjadi semakin lebar, dan ingin menerobos masuk. Tapi, Mira dengan gerak cepat langsung menghalangi Miya."Mau kemana kamu?" tanya Mira. Tangannya menghadang Miya agar tidak masuk ke dalam kamarnya.'gawat kalau sampai Miya masuk dan tahu kalau Alan ternyata tidur,' gumam Mira dalam hatinya.Miya terus merangseg masuk, tapi, Mira terus mendorong Miya hingga tubuhnya terdorong mundur ke belakang.Dengan cepat Mira menutup pintu dari luar, ia berjaga di depan pintu sambil memegangi gagang pintu."Kamu mau apa, ha? Mau ikut Nimbrung main bareng?" tantang Mira dengan nada mengejek."Siapa juga yang mau ikut main bareng kalian, jijik aku lihatnya juga," jawab Miya dengan mengedikkan bahunya, sambil bergidik."Terus kalau tidak mau ikut bareng, mau apa? Mau nonton?" tanya Mira dengan sarkasnya."Aku hanya ingin memastikan saja," jawab Miya."Memastikan apa? Apa semua bukti ini belum cukup ha!" sentak Mira dengan penuh emosi.Miya kembali terdi
Brak! Miya langsung masuk ke dalam kamar Mira tanpa permisi."Kamu yang ngacak-ngacak dapur?" tanya Miya dengan berkacak pinggang."Iya. Memang kenapa?" tantang Mira dengan berkacak pinggang juga."Berani-beraninya kamu. Tahu tidak, semua bahan makanan yang kamu masak mau aku pakai buat bikin sarapan Alan," ucap Miya dengan nada marah.Miya tersenyum tipis, "kamu pikir aku masak buat siapa?""Kamu lihat dia Mas? Aku enggak mau masak untuk kalian," ucap Mira dengan melipat tangan di depan dadanya. Mira berpura-pura marah, padahal dalam hatinya ia bersyukur Miya mengungkit bahan makanan itu. Jadi ia punya alasan untuk menolak memasak untuk mereka berdua. 'Bagus Miya, aku ada alasan untuk menolak masak untuk kalian. Lagian malas banget aku masakin kalian, emangnya aku jongos apa! Enak aja!"Alan beringsut turun dari atas tempat tidur, Dengan mengenakan selimut ia menghampiri Miya."Mira tadi masak sarapan untukku, apa kamu tak rela bahan makanan itu aku makan?" tanya Alan pada Miya."Buk
Miya memeluk laki-laki itu.Mereka terlihat begitu akrab, laki-laki itu memulai pembicaraan, "bagaimana? Apa semuanya lancar?""Sejauh ini lancar. Bahkan sekarang Mira sudah menggugat cerai Alan," senyum licik tercetak di bibir tipis Miya yang di poles warna peach."Bagus. Bagaimanapun caranya kamu harus menguasai Alan sekaligus hartanya. Kita keruk sebanyak-banyaknya harta Alan, lebih bagus lagi jika kamu bisa memindah tangankan nama perusahaannya menjadi milikmu," seringai jahat terbersit di sudut bibirnya. Sorot matanya memancarkan kelicikan."Aku usahakan. Lalu apa yang harus aku lakukan jika Alan terus mendesak ingin menemui anaknya? Selama ini aku selalu memakai anak itu untuk dijadikan sebagai alasan," ucap Miya."Kita pikirkan nanti, sekarang yang terpenting kita bisa bertahan hidup dulu saja," balas Laki-laki itu."Cepat pikirkan caranya, jika aku terus beralasan lama kelamaan Alan akan curiga. Aku tidak mau jika harus kehilangan tambang emas," ujar Miya. Ia mendesak laki-lak
"Lalu?" tanya Valentino tidak sabar."Lalu hutangku padamu kau anggap lunas. Bagaimana adil, bukan?" ucap Mira"Adil katamu? Tidak bagiku!" jawab Valentino.Seketika hati Mira menjadi kecewa, ia sudah betpikir terlalu tinggi. Mira pikir Valentino akan setuju menukar makanan dengan melunasi hutangnya. Ternyata Valentino keras kepala."Hutang? Hutang apa?" tanya Carolina penasaran pada Mira dan Valentino."Hutang bekas nabrak motor gede sama mobilnya. Anak ibu sungguh keras kepala, mau aku lunasi berapa nominal yang harus aku bayar, menolak. Sekarang dibayar dengan makanan lezat juga menolak. Maunya apa sih Bu anaknya?" adu Mira pada Carolina."Awas aja kalau sampai dia minta macam-macam!" ancam Mira pada Valentino di depan Carolina."Kamu pikir aku takut dengan ancamanmu, ha?! Tidak sama sekali," jawab Valentino dengan senyum menyeringai."Ya sudah kalau tidak mau. Kamu masak saja sendiri. Aku tidak mau berbagi denganmu," ucap Mira."Baik. Lagi pula siapa juga yang mau makan masakanmu?
Alan tersenyum, "melepaskanmu? Jangan harap?"Mira menatap Alan jengkel bercampur kesal dan geram, niatnya datang ke rumah sakit hanya ingin menjenguk ibu mertuanya bukan merawatnya."Seandainya saja aku satu-satunya menantu di rumah itu, aku tak keberatan merawat Ibu. Tapi, di sana tidak hanya ada aku, tapi, ada Miya juga. Lalu apa yang Miya lakukan? Apa fungsinya di sana? Hanya sebagai pemuas nafsumu saja?" tanya Mira sarkas. Ia sudah muak dengan drama yang mereka lakukan.Nafas Alan memburu, ia mencengkeram tangan Mira lebih kuat hingga kulit lengannya memerah.Mira menatap tajam ke dalam retina Alan dengan sorot mata yang penuh dengan kemarahan. Alan yang di tatap seperti itu nyalinya sempat menciut.Ia baru melihat kemarahan Mira yang seperti itu."Lepaskan atau ...," ucap Mira dengan nada suara penuh penekanan.Alan mencoba untuk menantang Mira dengan balik menatap ke dalam matanya, namun, Alan kalah. Tatapan Mira jauh lebih tajam dan dingin seolah itu bukan Mira."Aku katakan s
Mira mencoba untuk menahan lajunya air mata, rasa sesak di dada membuat nafasnya terasa tercekat. Mira mencoba mengurai rasa sesak itu dengan menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan."Jadi semua karena kamu berbelas kasih?" tanya Mira pada Alan dengan wajah yang sendu dan kepala menunduk.Alan tak menjawab pertanyaan Mira, sepertinya ia menyadari kekeliruannya.Mira pun diam, suasana seketika hening. Mira pergi meninggalkan Alan setelah tak ada satu orang pun yang memulai percakapan. Mira memilih pergi meninggalkan Alan tanpa sepatah kata pun.Mira berjalan menyusuri lorong koridor kamar rumah sakit yang ada di lantai dua, langkahnya bak tak menapak bumi, terseok-seok. Mira meremas dadanya yang nyeri bagai tertusuk ribuan jarum. Setengah berlari Mira berjalan menuju ke toilet rumah sakit.Mira masuk ke dalam toilet dan menguncinya dari dalam, ia menumpahkan rasa sesak di dadanya yang sedari tadi ia tahan. Air matanya berlinang membasahi pipi, Mira terisak pilu d
Mira dan Dara pergi ke apartemen miliknya Mira, mereka berdua bersiap untuk pergi ke Dubai.Mereka berencana akan berjalan-jalan di sana sekaligus memantau restauran mereka yang ada di sana.Mira mengemas barang yang akan di gunakan di sana."Kamu sudah memindahkan semua aset-asetmu di sana?" tanya Dara. "Sudah," jawab Mira singkat sambil memasukan pakaiannya ke dalam koper."Aku hanya menyimpan beberapa tas yang harganya murah saja. Selainnya aku bawa kemari. Jika masih ada di sana tidak menjamin akan tetap aman," ucap Mira pada Dara. "Baguslah kalau begitu, aku pikir kamu masih menyimpan semua itu di sana," ucap Dara khawatir."Tidaklah. Mau habis tuh barang di gondol ulet keket, enak saja! Udah datang-datang mencuri, sekarang malah mengusai, sebel aku!" Mira menggerutu mengungkapkan unek-uneknya."Lagian sudah tahu ada hama bukannya cepat di basmi ini malah dibiarkan saja. Salah sendirilah, kenapa tak segera dibasmi coba?" Dara menyalahkan Mira."Hamanya itu datang menyerang seca
Alan terus mundar mandir di depan rumah Mira, hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan pintu gerbang tinggi menjulang itu.Alan menghampiri mobil itu dan mengetuk kaca jendelanya.Tok Tok Tok"Alan?" ucap Mira yang ada di dalam mobil bersama Valentino.Sepertinya mereka habis bepergian."Mau apa dia kemari? Bagaimana bisa dia tahu alamat rumah ini?" tanya Mira pada Valentino yang ada di sisinya.Dor ... Dor ... DorKetukan berubah menjadi gedoran.Meski ia menggendor tetap saja tidak dibuka oleh Valentino dan Mira."Jangan dibuka!" perintah Valentino. "Kita tidak tahu niat jahat apa yang hendak ia lakukan pada kita, terutama kamu!" ucap Valentino memperingati Mira dengan tegas.Mira tak menjawab dengan ucapan melainkan dengan anggukan.Mata Alan nyalang, ia memutari mobil. Tak berhasil di sisi sebelah kanan ia berpindah ke sebelah kiri.Mata Mira tak sengaja bertemu pandang dengan mata Alan secara tak sengaja. Namun tetap saja hal itu membuat Mira terkejut, sampai ia merapatkan pun
Alan terpaku menatap jasad di hadapannya. Ia tak terlihat seperti orang linglung. Baru saja kemarin ia menemuinya, kini dia sudah ada di hadapannya sudah menjadi jasad."Miya," ucap Alan lirih.Salah satu petugas ambulance menoel Alan."Pak, maaf tolong tandatangani dokumen ini," ucap salah satu petugas pengantar jenazah itu pada Alan.Alan menoleh, ia melihat petugas itu kaku bagaikan tak bernyawa.Alan mengambil dokumen itu tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ia langsung menandatanganinya dan menyerahkannya kembali pada petugas itu.Setelah petugas menerima kembali dokunen itu, ia pun bertanya pada Alan, "Maaf Pak, jenazahnya mau di letakkan di mana? Sekalian mau kami turunkan." Mata Alan masih terfokus pada jasad Miya yang terbaring di atas brangkar."Benarkah itu kamu Miya?" tanya Alan masih tak percaya.Ada rasa penyesalan yang begitu dalam di hati Alan."Andai aku tak menjatuhkan talak padamu, apakah kamu masih tetap hidup sampai saat ini, Miya?" tanya Alan.Tentu saja Miya tak
Mira kembali lagi ketika tahu rumah Alan kosong tak berpenghuni.Mira mencari tahu kemana Alan membawa ibunya dengan bertanya pada orang yang memposting berita duka itu.Ternyata Alan telah pindah rumah, Mira baru tahu kalau rumah mewah yang pernah ia tempati ternyata telah dijual oleh Alan."Ternyata rumah itu telah dijual, Bu," ucap Mira pada Carolina."Oh, iya? Aku tidak tahu kabar itu," balas Carolina."Mungkin Alan membawa Prapty ke kampungnya," ucap Mira."Iya sepertinya begitu," balas Carolina.Mira akhirnya tidak pergi melayat, justru malah main di rumah Carolina.Sementara itu Alan membawa jasad Prapty ke rumahnya yang ada di perkampungan warga. Alan telah membeli sebuah rumah yang kecil di pinggiran kota.Mobil ambulance itu masuk ke sebuah pekarangan yang bercat merah muda. Cat itu sudah memudar.Alan membuka kunci pintu rumah itu, dan meminta pada Susi untuk membersihkan rumah itu dengan menyapunya.Susi menyapu ruang tengah dan juga ruang tamu."Pak, ada karpet atau perm
Alan meremas jari jemarinya, ia terlihat begitu gugup. Ada rasa tak rela dalam sudut matanya."Silahkan Pak tanda tangan di sini," ucap orang yang ada di hadapannya Alan.Alan meraih ballpoint yang ada di atas kertas itu. Ia tak segera menandatangani dokumen itu. Alan merasa ragu, hingga ia meletakan kembali ballpoint itu di tempat semula."Ada apa, Pak?" tanya orang itu pada Alan."Bolehkah saya menghela nafas sejenak," ucap Alan.Alan merasa berat hati melepas rumah yang selama ini menjadi impiannya bersama Mira. Tapi, Alan justru malah menghianati Mira begitu saja.Alan kembali meraih ballpoint itu, ia memejamkan matanya sejenak. Lalu, dengan berat hati Alan mulai membubuhkan tandatangannya di dokumen jual beli itu.Setelah selesai, Alan menyodorkan dokumen itu pada orang yang ada di hadapannya."Pak, uangnya sudah saya transfer ya. Silahkan anda cek terlebih dahulu!" ucap orang yang ada di sampingnya Alan."Baik, Pak." Alan mengambil gawainya, ia melihat ada sebuah notifikasi dar
Kepala Sekolah itu terperangah. Wajahnya menunjukan keterkujatannya. Wanita pongah itu pun melakukan hal yang sama."Pak Valentino?" sapa Kepala Sekolah. Ia langsung berdiri saat melihat yang datang itu adalah Valentino."Pak?" sapa wanita itu sambil menganggukan sedikit kepalanya ke arah Valentino.Asya yang melihat Valentino datang langsung memanggilnya."Ayaaahh!" panggil Asya sambil berjalan menghampiri Valentino."Sayang, apa yang terjadi?" tanya Valentino sambil merengkuh kedua bahu Asya dan menatapnya penuh tanya dengan tubuh yang berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Asya.Mata Kepala Sekolah langsung melotot saat mendengar Valentino memanggil Asya dengan sebutan sayang.Kepala Sekolah itu pun bertanya-tanya dalam hatinya, 'ada hubungan apa antara anak itu dengan Pak Valentino?'Begitu pun dengan wanita yang arogan itu. Matanya sampai berkedip berkali-kali seperti orang yang kelilipan."Aku baik-baik saja Ayah. Tapi, Bunda tidak," ucap Asya."Kenapa dengan Bunda?" tan
Mira melajukan mobilnya ke sekolahnya Asya setelah mengantar Carolina.Sepanjang jalan ia terus berpikir, ternyata hidupnya jauh lebih beruntung daripada Miya.Miya merebut Alan darinya, ketika Mira ikhlas melepaskan miliknya untuk orang lain Tuhan memberi pengganti yang jauh lebih baik dari sebelumnya.Tuhan tak pernah tidur, Ia Maha Melihat. Dan kini Miya maupun Alan telah menerima karmanya.Berbuat baik maka akan menghasilkan kebaikan untuk diri kita sendiri. Begitu pun sebaliknya.Mira memarkirkan mobilnya di pinggir jalan depan sekolahnya Asya.Bel pulang berdering. Anak-anak berhamburan keluar dari gedung sekolah menghampiri para orang tuanya yang sedang menunggu kepulangan mereka di depan gerbang. Mira melihat Asya yang sedang berjalan menggunakan tongkatnya.Mira melambaikan tangannya sambil berteriak memanggil namanya Asya."Asyaaaa!" teriak Mira memanggil Asya.Asya pun melambaikan tangannya ke arah Mira sambil menghentikan langkahnya."Bundaa!" teriak Asya.Mira melihat ke
Mira terkejut ketika Belinda tiba-tiba pingsan. Rupanya ia begitu shock ketika menerima kenyataan bahwa Valentino lebih memilih Mira daripada dirinya."Tolong bawa dia ke Rumah Sakit segera," pinta Mira pada suster yang di bawa oleh Belinda."Baik, Bu," jawab suster itu patuh.Mira tidak ingin mengambil resiko dengan memasukan Belinda ke dalam rumahnya.Entah Belinda dapatkan dari mana alamat rumahnya Mira. Padahal Valentino sudah pindah dari rumahnya yang dulu.Mira kembali ke dalam rumah setelah Belinda dan susternya pergi.Di dalam mobilnya Belinda."Sial! Percuma sqja aku harus akting menjadi orang yang penyakitan!" ucap Belinda marah.Belinda menghapus riasannya, ia merias ulang wajahnya sehingga terlihat cantik dan fresh.Belinda juga melempar selimut yang menutupi kakinya ke sembarang arah."Huh! Sialan! Benar-benar sialan! Kenapa sih harus hadir wanita sialan itu!" maki Belinda sambil meninju jok mobil di sampingnya berulang kali.Ia marah karena Valentino mengabaikannya. Saat
Mira pergi bulan madu bersama Valentino. Mereka sungguh menikmati waktu kebersamaannya.Mira tak pernah merasa sebahagia ini setelah lepas dari Alan.Mira benar-benar di manjakan oleh Valentino."Aku ke kamar mandi dulu," pamit Mira pada Valentino."Jangan lama-lama," jawab Valentino."Hmm," jawab Mira singkat.Valentino menunggu Mira kembali dari kamar mandi sambil memainkan gawainya.Ia berselancar ke dunia maya, ia melihat aplikasi biru. Betapa terkejutnya ia saat melihat sebuah berita."Bukankah ini Alan?" gumam Valentino."Tapi, sedang apa dia? Tunggu, istrinya Alan menjadi seorang pembunuh?" gumam Vqlentino lagi kali ini dengan alis yang saling bertaut.Mira yang sudah kembali dati kamar mandi melihat Alan sedang melihat ke arah gawainya. Tapi, wajahnya seperti orang yang terkejut.Valentino dulu sering mengikuti berita perceraian Mira dengan Alan. Jadi, ia mengenal Alan.Mira menghampiri Valentino, ia merebahkan tubuhnya di sisi Valentino."Sedang melihat apa?" tanya Mira."Oh,
Beberapa hari berlalu tanpa harapan. Mata Miya kian sayu dan cekung.Ia sudah tak bersemangat lagi untuk hidup, ruang dingin dan lembab kini menjadi temannya dalam diam.Tak ada satu orang pun yang berniat untuk mendekat atau pun sekedar bertanya padanya.Semua orang menghindarinya, Miya selalu duduk di pojokan dengan memeluk lutut dan wajah yang terbenam.Mata semua orang memandangnya sinis, tak ada belas kasih. Seorang yang berstatus pembunuh selalu di anggap penjahat paling keji.Miya tak peduli dengan tatapan mereka, ia kini tak peduli dengan dunia. Harapan satu-satunya kini sudah tiada.Miya berjalan gontai saat namanya di panggil karena ada yang menjenguknya.Miya duduk di depan orang yang menjenguknya. Rini menatapnya iba tak ada jejak kebencian dalam sorot matanya."Mbah, maaf aku baru bisa berkunjung," sapa Rini. Tak ada riak kesedihan dalam raut wajahnya.Miya tak menjawab, ia diam."Aku akan menjual rumah itu dan pergi dari sini," lanjut Rini.Miya tetap bungkam, ia menatap