Mira tidak pergi ke toilet, melainkan pergi ke kantin. Ia memesan es jeruk, ia perlu mendinginkan sekaligus menyegarkan otaknya yang sudah berasap karena menahan emosi.Minuman pun datang, ia mengaduk es jeruk itu dan menyeruputnya. Mira mengeluarkan ponselnya dan mulai berselancar ke dunia maya.ia membuka aplikasi biru, di sana ia merasa terhibur sejenak. Lalu berpindah ke drakor karena melihat aplikasi biru tak ada yang menarik.Mira mulai nonton drakor sampai tak terasa sudah satu jam di sana.Mira kemudian menonaktifkan ponselnya, ia membayar minumannya. Mira pergi keluar dari rumah sakit setelah memesan taxi online.Mira memutuskan untuk pulang saja, ia lelah.Sesampainya di dalam kamarnya, betapa terkejutnya Mira, seisi kamarnya telah berantakan. Semuanya berserakan di lantai, Mira berjalan perlahan melewati tumpukan barang-barang miliknya.Entah siapa yang telah lancang mengubrak abrik kamarnya hingga seluruh barang miliknya bertebaran di lantai.Mira memeriksa lemarinya yang t
Melihat Alan diam saja, Mira meninggalkan mereka. Ia tak berharap bisa hidup tenang lagi seperti dulu.Mira masuk ke kamar, ia memilih untuk merebahkan tubuhnya dan bermain dengan handphonenya.Malam pun tiba, Mira sengaja tak keluar untuk makan malam, setelah ia memasukan mobilnya ke garasi sewaktu karyawan restauran mengantarkan mobilnya, Mira enggan keluar kamar dan bertemu dengan mereka yang selalu memojokannya.Mira memilih untuk tidur lebih awal, dan keesokan harinya ia keluar kamar dalam keadaan sudah rapi.Mira merasa sangat lapar karena semalam ia tidak makan, jadi ia memutuskan untuk ikut sarapan bersama mereka.Mira berjalan mendekati meja makan, di sana sudah ada Bude, Pakde, Miya dan Alan. Mira menarik kursi kosong dan mengambil piring yang ada di sana, tanpa curiga ia mengambil piring itu dan menyendokkan nasi goreng yang ada di mangkuk besar beling yang ada di hadapannya.Mira tanpa pikir panjang menyendok nasi goreng itu.Bude terus memperhatikan gerak gerik Mira, pas k
Sidang sudah akan segera di mulai tapi, Mira belum melihat Alan bahkan batang hidungnya sekalipun. Hingga sidang pun di mulai.Sidang pertama Alan tak datang, itu memudahkan jalannya gugatan cerai Mira.Mira keluar dari ruang sidang di temani pengacaranya."Apa anda akan langsung pulang?" tanya pengacara itu."Tidak, aku akan ke cafe untuk bekerja," jawab Mira."Baik, berhati-hatilah di jalan. Sampai jumpa di sidang selanjutnya. Jika ada sesuatu jangan sungkan untuk mengabariku," pesan Pengacara itu pada Mira.Mira mengangguk, "baik. Terima kasih. Mohon do'anya semoga semuanya berjalan cepat dan lancar.""Aamiin," ucap pengacara itu.Lalu mereka pun berpisah, Mira ke cafe miliknya dan menghabiskan waktu di sana hingga malam dan Cafe tutup."Ibu tidak pulang?" tanya salah satu karyawan cafe yang melihat Mira masih duduk di kursi pengunjung sambil menikmati coffee robusta."Belum," jawab Mira."Apa perlu kami temani?" tanya salah seorang karyawan perempuan."Tidak usah, kalian pulang lah
Mira pergi ke kamar meninggalkan Alan yang masih terpaku di ruang tamu.Mira mandi menggunakan air hangat agar tubuhnya yang lengket karena beraktifitas seharian menjadi segar kembali.Mira merebahkan tubuhnya setelah selesai mandi, ia memejamkan kelopak matanya perlahan. Ia melepaskan beban pikirannya agar hatinya tenang dan perlahan-lahan Mira masuk kedunia mimpi dan terbuai di dalamnya.Keesokan harinya, Mira pergi ke cafe tanpa sarapan. Ia terlalu malas untuk bertemu dengan mereka yang selalu mengganggu ketenangan jiwanya.Baru saja melangkahkan kakinya beberapa langkah, suara nyinyiran dan sindiran terdengar dari belakang."Berangkat pagi pulang tengah malam, udah kayak orang sukses saja sok sibuk. Kerja apa kerja tuh? Jangan-jangan kerja cuma jadi alasan saja," Sani mencibir tingkah laku Mira sekaligus menyindirnya.Mira menghentikan langkahnya sejenak, lalu ia pun kembali melangkahkan kakinya. Mira tak peduli dengan segala ucapan yang Sani lontarkan padanya.Mira keluar menghamp
Mira menjalani hari-harinya seperti biasa, pergi pagi pulang malam demi menghindari bertemu dengan orang-orang yang selalu mencibir hidupnya.Padahal hidup mereka tidak jauh lebih baik dari Mira. Bude Sani dan Pakde Karto akan tinggal lebih lama karena ia di minta oleh Alan untuk menjaga Prapty ibu mertua Mira.Bude Sani adalah adik iparnya Prapty tapi, lebih berkuasa dari Pakde Karto. Tingkahnya seolah-olah itu miliknya. Setiap kali bertemu dengan Sani pasti Mira mendapatkan hinaan. Tapi, Mira enggan menanggapinya untuk itu lah ia memilih pergi ke Cafe sebelum mereka bangun dan pulang setelah mereka tidur.Alan sampai geram melihat tingkah Mira, "kamu pikir rumah ini hotel, ha! Pulang dan pergi sesuka hatimu, kenapa tidak pulang saja sekalian? Lama-lama aku muak dengan kelakuanmu yang sudah seperti pelacur murahan!"Mira tersenyum sinis, "aku tidak akan begini jika kamu lebih menghargaiku sebagai istri. Tapi, nyatanya apa? Kamu lebih membela istri mudamu dan Budemu ketimbang aku yang
Miya duduk termenung, tatapan matanya kosong."Ada hubungan apa antara Miya dan laki-laki itu?" gumam Mira penasaran.Mira melanjutkan pekerjaannya, ia kembali ke kantornya.Hari-hari kembali Mira lalu seperti biasa. Tetap berangkat pagi dan pulang malam, ia tak menghiraukan teguran dari Alan maupun dari Sani.Hari ini Mira bangun kesiangan, dengan sangat terpaksa ia harus berhadapan dengan mereka.Sani menatap Mira dengan sinis, "lihat, tuan putri baru bangun tidur. Rupanya dia kesiangan," sindir Sani.Mira tak menjawab sindiran dari Sani, ia tetap melangkahkan kakinya ke arah meja makan.Sudah lama Mira tak pernah makan di rumah ini, ia ingin sekali waktu makan bersama mereka dan ingin tahu reaksi dari mereka."Enak ya. Bangun tidur ku terus makan, jangan lupa nanti cuci piringnya, jangan membebani Miya dengan banyak pekerjaan! Selama ini dia capek ngurus Kak Prapty, ngurusin rumah juga, kamu malah enak-enakan pergi subuh pulang larut malam. Dasar istri tidak tahu diri!" maki Sani.M
My love, adalah orang yang pernah Mira tabrak saat merasa sedih, ia adalah Valentino."Kamu memata-mataiku?" jawab Mira membalas chat itu. Seketika rasa kantuknya menguap menghilang bersama datangnya rasa kesal di hati Mira."Jangan ge er, Pengacaramu itu adalah salah satu team pengacaraku. Ia menceritakan semua kisahmu padaku tanpa aku minta. Bayar hutangmu!" jelas Valentino.Mata Mira menyipit, ia mengerutkan dahinya. Ia bergumam sambil memandangi layar ponselnya, 'jadi Valentino seorang pengacara?''Pantas saja dia tahu semuanya, ternyata dia ... ah! Sial!' maki Mira pada dirinya sendiri.Mira tak langsung menjawab chat dari Valentino yang ujung-ujungnya menagih hutangnya."Aku akan membayarnya, berapa semua hutangku? Berikan rekeningmu aku akan mentransfernya," balas Mira sambil memberi emoji marah."Siapa yang meminta dibayar dengan uang? Dan kenapa juga kamu memberiku emoji marah?" tanya Valentino."Lalu kalau tidak pakai uang bayar pakai apa? Jangan macam-macam dan berpikiran me
Miya tak segera pergi dari Cafe itu. Ia duduk kembali setelah tadi ia berdiri.Tangannya merogoh tas slingnya dan mengeluarkan ponselnya.Ia terlihat sedang mengulik ponselnya lalu menempelkannya di daun telingannya.Miya sedang menghubungi seseorang terdengar suara dari seberang telepon menyapanya."Halo, ada apa?" tanya orang yang ada di seberang telepon."Mas!" panggil Miya tak melanjutkan."Ada apa?" tanya orang itu tak sabar."Mas Alan sudah tahu. Tadi pagi ia kembali menanyakan siapa kamu?" lapor Miya pada orang yang ada di seberang telepon itu."Lalu kamu jawab apa?" tanya orang itu."Aku jawab kalau kamu Kakakku," ucap Miya."Bodoh! Dia sekarang mungkin percaya tapi, lama kelamaan dia akan menuntut untuk bertemu, lalu apa yang akan kamu lakukan dan kamu katakan pada Alan?" orang itu memaki Miya."Aku meneleponmu agar memikirkan solusinya bukab memakiku," ucap Miya kesal dengan suara membentak."Kamu sudah berani membentakku, ha!" sentak orang itu marah."Bukan begitu. Hanya saj
Alan terus mundar mandir di depan rumah Mira, hingga sebuah mobil berhenti tepat di depan pintu gerbang tinggi menjulang itu.Alan menghampiri mobil itu dan mengetuk kaca jendelanya.Tok Tok Tok"Alan?" ucap Mira yang ada di dalam mobil bersama Valentino.Sepertinya mereka habis bepergian."Mau apa dia kemari? Bagaimana bisa dia tahu alamat rumah ini?" tanya Mira pada Valentino yang ada di sisinya.Dor ... Dor ... DorKetukan berubah menjadi gedoran.Meski ia menggendor tetap saja tidak dibuka oleh Valentino dan Mira."Jangan dibuka!" perintah Valentino. "Kita tidak tahu niat jahat apa yang hendak ia lakukan pada kita, terutama kamu!" ucap Valentino memperingati Mira dengan tegas.Mira tak menjawab dengan ucapan melainkan dengan anggukan.Mata Alan nyalang, ia memutari mobil. Tak berhasil di sisi sebelah kanan ia berpindah ke sebelah kiri.Mata Mira tak sengaja bertemu pandang dengan mata Alan secara tak sengaja. Namun tetap saja hal itu membuat Mira terkejut, sampai ia merapatkan pun
Alan terpaku menatap jasad di hadapannya. Ia tak terlihat seperti orang linglung. Baru saja kemarin ia menemuinya, kini dia sudah ada di hadapannya sudah menjadi jasad."Miya," ucap Alan lirih.Salah satu petugas ambulance menoel Alan."Pak, maaf tolong tandatangani dokumen ini," ucap salah satu petugas pengantar jenazah itu pada Alan.Alan menoleh, ia melihat petugas itu kaku bagaikan tak bernyawa.Alan mengambil dokumen itu tanpa mengatakan sepatah kata pun. Ia langsung menandatanganinya dan menyerahkannya kembali pada petugas itu.Setelah petugas menerima kembali dokunen itu, ia pun bertanya pada Alan, "Maaf Pak, jenazahnya mau di letakkan di mana? Sekalian mau kami turunkan." Mata Alan masih terfokus pada jasad Miya yang terbaring di atas brangkar."Benarkah itu kamu Miya?" tanya Alan masih tak percaya.Ada rasa penyesalan yang begitu dalam di hati Alan."Andai aku tak menjatuhkan talak padamu, apakah kamu masih tetap hidup sampai saat ini, Miya?" tanya Alan.Tentu saja Miya tak
Mira kembali lagi ketika tahu rumah Alan kosong tak berpenghuni.Mira mencari tahu kemana Alan membawa ibunya dengan bertanya pada orang yang memposting berita duka itu.Ternyata Alan telah pindah rumah, Mira baru tahu kalau rumah mewah yang pernah ia tempati ternyata telah dijual oleh Alan."Ternyata rumah itu telah dijual, Bu," ucap Mira pada Carolina."Oh, iya? Aku tidak tahu kabar itu," balas Carolina."Mungkin Alan membawa Prapty ke kampungnya," ucap Mira."Iya sepertinya begitu," balas Carolina.Mira akhirnya tidak pergi melayat, justru malah main di rumah Carolina.Sementara itu Alan membawa jasad Prapty ke rumahnya yang ada di perkampungan warga. Alan telah membeli sebuah rumah yang kecil di pinggiran kota.Mobil ambulance itu masuk ke sebuah pekarangan yang bercat merah muda. Cat itu sudah memudar.Alan membuka kunci pintu rumah itu, dan meminta pada Susi untuk membersihkan rumah itu dengan menyapunya.Susi menyapu ruang tengah dan juga ruang tamu."Pak, ada karpet atau perm
Alan meremas jari jemarinya, ia terlihat begitu gugup. Ada rasa tak rela dalam sudut matanya."Silahkan Pak tanda tangan di sini," ucap orang yang ada di hadapannya Alan.Alan meraih ballpoint yang ada di atas kertas itu. Ia tak segera menandatangani dokumen itu. Alan merasa ragu, hingga ia meletakan kembali ballpoint itu di tempat semula."Ada apa, Pak?" tanya orang itu pada Alan."Bolehkah saya menghela nafas sejenak," ucap Alan.Alan merasa berat hati melepas rumah yang selama ini menjadi impiannya bersama Mira. Tapi, Alan justru malah menghianati Mira begitu saja.Alan kembali meraih ballpoint itu, ia memejamkan matanya sejenak. Lalu, dengan berat hati Alan mulai membubuhkan tandatangannya di dokumen jual beli itu.Setelah selesai, Alan menyodorkan dokumen itu pada orang yang ada di hadapannya."Pak, uangnya sudah saya transfer ya. Silahkan anda cek terlebih dahulu!" ucap orang yang ada di sampingnya Alan."Baik, Pak." Alan mengambil gawainya, ia melihat ada sebuah notifikasi dar
Kepala Sekolah itu terperangah. Wajahnya menunjukan keterkujatannya. Wanita pongah itu pun melakukan hal yang sama."Pak Valentino?" sapa Kepala Sekolah. Ia langsung berdiri saat melihat yang datang itu adalah Valentino."Pak?" sapa wanita itu sambil menganggukan sedikit kepalanya ke arah Valentino.Asya yang melihat Valentino datang langsung memanggilnya."Ayaaahh!" panggil Asya sambil berjalan menghampiri Valentino."Sayang, apa yang terjadi?" tanya Valentino sambil merengkuh kedua bahu Asya dan menatapnya penuh tanya dengan tubuh yang berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Asya.Mata Kepala Sekolah langsung melotot saat mendengar Valentino memanggil Asya dengan sebutan sayang.Kepala Sekolah itu pun bertanya-tanya dalam hatinya, 'ada hubungan apa antara anak itu dengan Pak Valentino?'Begitu pun dengan wanita yang arogan itu. Matanya sampai berkedip berkali-kali seperti orang yang kelilipan."Aku baik-baik saja Ayah. Tapi, Bunda tidak," ucap Asya."Kenapa dengan Bunda?" tan
Mira melajukan mobilnya ke sekolahnya Asya setelah mengantar Carolina.Sepanjang jalan ia terus berpikir, ternyata hidupnya jauh lebih beruntung daripada Miya.Miya merebut Alan darinya, ketika Mira ikhlas melepaskan miliknya untuk orang lain Tuhan memberi pengganti yang jauh lebih baik dari sebelumnya.Tuhan tak pernah tidur, Ia Maha Melihat. Dan kini Miya maupun Alan telah menerima karmanya.Berbuat baik maka akan menghasilkan kebaikan untuk diri kita sendiri. Begitu pun sebaliknya.Mira memarkirkan mobilnya di pinggir jalan depan sekolahnya Asya.Bel pulang berdering. Anak-anak berhamburan keluar dari gedung sekolah menghampiri para orang tuanya yang sedang menunggu kepulangan mereka di depan gerbang. Mira melihat Asya yang sedang berjalan menggunakan tongkatnya.Mira melambaikan tangannya sambil berteriak memanggil namanya Asya."Asyaaaa!" teriak Mira memanggil Asya.Asya pun melambaikan tangannya ke arah Mira sambil menghentikan langkahnya."Bundaa!" teriak Asya.Mira melihat ke
Mira terkejut ketika Belinda tiba-tiba pingsan. Rupanya ia begitu shock ketika menerima kenyataan bahwa Valentino lebih memilih Mira daripada dirinya."Tolong bawa dia ke Rumah Sakit segera," pinta Mira pada suster yang di bawa oleh Belinda."Baik, Bu," jawab suster itu patuh.Mira tidak ingin mengambil resiko dengan memasukan Belinda ke dalam rumahnya.Entah Belinda dapatkan dari mana alamat rumahnya Mira. Padahal Valentino sudah pindah dari rumahnya yang dulu.Mira kembali ke dalam rumah setelah Belinda dan susternya pergi.Di dalam mobilnya Belinda."Sial! Percuma sqja aku harus akting menjadi orang yang penyakitan!" ucap Belinda marah.Belinda menghapus riasannya, ia merias ulang wajahnya sehingga terlihat cantik dan fresh.Belinda juga melempar selimut yang menutupi kakinya ke sembarang arah."Huh! Sialan! Benar-benar sialan! Kenapa sih harus hadir wanita sialan itu!" maki Belinda sambil meninju jok mobil di sampingnya berulang kali.Ia marah karena Valentino mengabaikannya. Saat
Mira pergi bulan madu bersama Valentino. Mereka sungguh menikmati waktu kebersamaannya.Mira tak pernah merasa sebahagia ini setelah lepas dari Alan.Mira benar-benar di manjakan oleh Valentino."Aku ke kamar mandi dulu," pamit Mira pada Valentino."Jangan lama-lama," jawab Valentino."Hmm," jawab Mira singkat.Valentino menunggu Mira kembali dari kamar mandi sambil memainkan gawainya.Ia berselancar ke dunia maya, ia melihat aplikasi biru. Betapa terkejutnya ia saat melihat sebuah berita."Bukankah ini Alan?" gumam Valentino."Tapi, sedang apa dia? Tunggu, istrinya Alan menjadi seorang pembunuh?" gumam Vqlentino lagi kali ini dengan alis yang saling bertaut.Mira yang sudah kembali dati kamar mandi melihat Alan sedang melihat ke arah gawainya. Tapi, wajahnya seperti orang yang terkejut.Valentino dulu sering mengikuti berita perceraian Mira dengan Alan. Jadi, ia mengenal Alan.Mira menghampiri Valentino, ia merebahkan tubuhnya di sisi Valentino."Sedang melihat apa?" tanya Mira."Oh,
Beberapa hari berlalu tanpa harapan. Mata Miya kian sayu dan cekung.Ia sudah tak bersemangat lagi untuk hidup, ruang dingin dan lembab kini menjadi temannya dalam diam.Tak ada satu orang pun yang berniat untuk mendekat atau pun sekedar bertanya padanya.Semua orang menghindarinya, Miya selalu duduk di pojokan dengan memeluk lutut dan wajah yang terbenam.Mata semua orang memandangnya sinis, tak ada belas kasih. Seorang yang berstatus pembunuh selalu di anggap penjahat paling keji.Miya tak peduli dengan tatapan mereka, ia kini tak peduli dengan dunia. Harapan satu-satunya kini sudah tiada.Miya berjalan gontai saat namanya di panggil karena ada yang menjenguknya.Miya duduk di depan orang yang menjenguknya. Rini menatapnya iba tak ada jejak kebencian dalam sorot matanya."Mbah, maaf aku baru bisa berkunjung," sapa Rini. Tak ada riak kesedihan dalam raut wajahnya.Miya tak menjawab, ia diam."Aku akan menjual rumah itu dan pergi dari sini," lanjut Rini.Miya tetap bungkam, ia menatap