Kau tahu rasanya saat sebuah harapan yang sedikit berkembang langsung menghilang dalam sekejap mata dan kita bahkan tak mampu untuk mencegahnya.
Itulah yang saat ini terlihat di mata sang ibu, dan Kia sekali lagi menyesalkan harapan sang ibu yang kadung tersemai, meski dia tidak tahu harapan apa yang Zafran berikan pada ibunya."Kia membencinya... sangat membencinya," kata Kia tegas.Pandangan mereka bertemu dan tak perlu kata untuk mereka saling mengerti satu sama lain, mereka memikirkan orang yang sama yang kemungkinan mengalami ini semua."Ki, kita dan mbak Nina berbeda posisi.""Benar, kita memang berbeda tapi kemungkinan mendapat perlakuan yang sama, satu hal yang wajar memang," kata Kia dengan pandangan menerawang jauh, dia sama sekali tidak mengerti dengan pilihan mbak Nina, dan dia semakin yakin ini bukan hanya soal cinta semata."Apa yang tidak ibu ketahui tentang mereka tapi tidak KIa tahu?""Apa maksKia menyelesaikan laporannya dengan otak penuh, dia bahkan sangat khawatir kalau laporannya akan berantakan. Tapi tidak mungkin juga dia tidak mengerjakannya. “Aduh otakku mohon kerja samanya dong,” gerutu Kia kesal. Dia menengok Lita yang sudah asyik dengan komputernya sendiri, sama sekali tidak terganggu dengan cerita yang baru saja dia sampaikan. Sampai jam istirahat siang, Kia berusaha keras berkonsentrasi pada laporan yang sedang dia kerjakan, bahkan beberapa kali dia salah mengetikkan angka dan harus mengulang dari awal, baru saat atasannya muncul setengah jam sebelum makan siang, Kia baru mendapatkan moodnya untuk kembali ke laporannya. “Tumben kamu lama sekali mengerjakan laporan kecil itu,” komentar Lita, saat Kia buru-buru mengirim laporannya pada atasan mereka saat jam makan siang sudah hampir berlalu. Kia langsung cemberut melihat Lita, apalagi dia meliihat wanita itu meminum es buah yang segar dan dia yang kelaparan dan kehausan hanya bisa meminum air putih di meja
Hari ini Zafran kembali datang ke kontrakan mereka. Kia yang baru saja turun dari ojek langsung menghela napas kesal saat melihat mobil yang terparkir di halaman rumah. “Tu orang nggak ada kapoknya sudah aku usir,” gerutu Kia. “Kembaliannya, mbak.” Kia menoleh dan menatap uang kembalian yang disodorkan tukang ojek. “Buat bapak saja, terima kasih sudah diantar.” Kia yakin muka tersenyumnya pasti sedikit aneh saat melihat wajah melongo tukang ojek yang membawanya. “Oh... sama-sama, mbak,” katanya. Kia sudah akan mencapai pintu saat dia mendengar suara motor tukang ojek meninggalkan halaman rumahnya. “Ini tidak bisa menerima ini, Nak. Maaf sebaiknya kamu bawa pulang saja.” terdengar suara ibunya dan Kia buru-buru melepas sepatunya dan mengumumkan kehadirannya dengan mengucapkan salam. Kia sempat melirik tangan sang ibu yang menyembunyikan sebuah kertas di balik tubuhnya. Kia menyipitkan mata curig
Akhir minggu yang Kia tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Kia sudah mandi dan berdandan, dia hanya tinggal menunggu Bi Asih yang katanya akan datang dari kampung. Anak-anak Bi Asih libur sekolah dan suaminya yang bekerja di salah satu penggilingan padi di desa mereka juga libur, dan rencana kedatangan Bi Asih di sambut baik. “Kamu jadi pergi, Ki. Bibimu jauh-jauh dari desa kamu malah tidak di rumah,” kata ibunya. Kia hanya nyengir, dia tidak mungkin mengatakan pada ibunya apa yang akan dia lakukan. Kia yakin ibunya tidak akan setuju. Bagi ibunya kasus meninggalnya mbak Nina sudah selesai dan mereka harus mengihlaskan kepergiaan mbak Nina dan bapak, tapi mengihlaskan bukan berarti melupakan bukan. “Maaf bu. Kia sudah janji mau main ke rumah teman, tidak enak kalau tiba-tiba dibatalkan, sebentar nanti pulang,” kata Kia dengan senyum semanis mungkin supaya ibunya luluh. Kia membantu ibunya menyiapkan beberapa makanan untuk menyambut kedatangan bi Asih dan keluarganya. Tepat puk
“Sudah bibi duga dia dan keluarganya tinggal tak jauh dari rumah Nina, apa kamu sudah ketemu istri pertamanya?” Pandangan mata sang bibi yang pebuh selidiki membuat Kia menghela napas panjang. “Belum, untuk apa? Aku sebenarnya tak ingin lagi berhubungan dengannya, begitu pun ibu,” kata Kia. Awalnya dia memang ingin bicara dengan Zafran tapi setelah mengetahui bahwa laki-laki itu terlalu pengecut untuk mengatakan semua kebenarannya, maka dia memutuskan mencari tahu semua sendiri tanpa bersinggungan dengan Zafran, tapi laki-laki itu terlalu bebal dan datang seenaknya lagi seolah tidak pernah terjadi tragedi yang membuat dua orang anggota keluarga Kia kehilangan nyawanya. “Kok untuk apa? Ya tentu saja untuk memastikan semuanya,” kata sang bibi heran sekali. “Maksud bibi apa?” tanya Kia tak mengerti. Sang bibi berdiri dan masuk ke kamar Kia yang untuk hari ini dia dan keluarganya tempati, mengambil tas hitam yang dia bawa dari
Kia memegang kuat-kuat tepi tempat tidurnya mencegah dirinya untuk melompat keluar kamar dan menggedor kamarnya yang sekarang ditempati sang bibi. “Kenapa sih paginya lama,” keluhnya. Rasa kantuk sudah lenyap tak bersisa, meski dia berusaha memejamkan matanya rapat-rapat atau menghitung domba di kepalanya. Kia menggenggam tangannya memukul sisi tempat tidur dengan kesal, tanpa sadar tindakan konyolnya itu malah membuat sang ibu terbangun. “Apa yang kamu lakukan malam-malam begini, Nduk?” Kia meringis merasa bersalah karena telah mengganggu istirahat ibunya, “Ehm... tadi ada nyamuk makanya Kia pukul,” katanya sam bil neyngir, tapi sepertinya sang Ibu tahu Kia bohong. “Mungkin kamu butuh susu, atau coklat panas supaya bisa tidur nyenyak,” kata sang ibu perlahan bangkit, tapi buru-buru Kia mencegahnya. “Kia bisa buat sendiri, Bu,” katanya. “Kamu bisa?” Kia langsung mengerucutkan bibinya, ibunya selalu menga
“Kenapa sih satpam ini tidak kelihatan saat aku masuk perumahan ini,” gerutu Kia menatap sebal pada satpam yang sedang menelpon entah siapa di sana. Teriakannya membuat beberapa orang keluar rumah dan ikut menatap Kia, saat dia bilang ada orang asing ingin masuk rumah mbak Nina semua orang membantunya dengan ... menghubungi satpam perumahan. Akan tetapi sementara Kia berbicara dengan mereka orang itu sudah menghilang dan di sinilah Kia, berada di ruangan kecil sang satpam yang bukannya mengejar tapi sibuk menelpon ke sana kemari. Mungkin dia berharap orang asing itu tersangkut kabel telepon. “Tidak ada orang asing seperti yang mbak katakan,” kata sang satpam pada Kia setelah meletakkan gagang teleponnya. “Saya sudah tahu,” kata Kia ketus. Lah bagaimana bisa tahu ada orang atau tidak kalau berusaha mengejar saja tidak, masih mending kalau memantaunya lewat CCTV atau apa gitu, dia dari tadi hanya bertelepon ke sana kemari.
"Jangan konyol kamu Ki, untuk apa kamu mengonsumsi obat ini, anak itu tidak berdosa." Kia melongo tak mengerti. Dia tadi sengaja salah satu temannya yang berprofesi sebagai apoteker, untuk menanyakan obat apa yang ada dia temukan. Tapi bukannya menjawab pertanyaan KIa, temannya yang bernama Dara itu malah membawanya ke bangku di samping apotek yang sepi pengunjuang."Emang itu obat apa?" tanya Kia bingung. "Siapa yang memberikan padamu?" Bukannya menjawab Dara malah balik bertanya dengan galak. "Ini obat apa emang, aku nemu kata Kia." Dara menatap Kia Seperti harimau yang ingin memakan mangsannya. "Baiklah... baiklah... aku akan ngaku, aku mendapatkan ini di kamar kakakku yang barusan meninggal, kamu ingat mbak NIna bukan." Kia yakin Dara tidak akan menjawab pertanyaannya jika dia tidak jujur. "Maksudmu kakakmu menggunakan itu? " KIa mengangguk dengan tidak sabar. "Jadi?" "Itu obat penggugur kandungan." Satu kalimat singkat itu sudah cukup untuk Kia, tubuhnya bergetar
Andai saja ini bukan dalam situsi menegangkan, Kia akan tertawa mlihat para ibu tetangganya yang berbaris seperti antri sembako di halaman rumahnya. Tapi sayang sekali mereka datang ke sini bukan untuk antri sembako... tidak sebaik itu, bahkan lebih buruk mereka datang untuk menyaksikan pertengkaran. Yah setidaknya mereka melihat kalau ada masalah dengan ibunya saat dia tidak ada di rumah, batin Kia mencoba menghibur diri. “Lihat, dia mau memukulku.” Kia yang tadi ingin meminta para tetangganya untuk pulang saja menoleh. Sebuah pemandangan memuakkan tersaji di depan matanya dan Kia menatap sinis dua orang itu. Wanita itu berlari dengan wajah teraniyaya ke pada suaminya. Bukankah ini sangat lucu padahal Kia yang dari tadi di tampar dan dijambak. “Apa yang kamu lakukan, Ki.” Kia tahu Zafran bukan orang bodoh, atau setidaknya itu yang dia harapkan. “Apa kamu buta, tidak bisa melihat. Aku ingin
Kia sama sekali tidak pernah mendengar kabar Renata lagi sejak Zafran mengatakan akan menceraikan wanita itu. Bahkan Biru yang biasanya akan sibuk membela kakak sepupunya itu terlihat juga enggan untuk membicarakan wanita itu, dan Kia juga berusaha keras menjaga mulutnya meski rasa penasaran menderanya Tapi hari ini tiba-tiba saja Biru menghampirinya dengan wajah panik. "Ki, aku ingin menjenguk mbak Rena apa kamu mau ikut?" tanyanya. Kia mengangkat alis. "Apa harus?" tanyanya. "Bagaimanapun mereka yang sudah membesarkanku dan mbak Rena pernah memperlakukan aku dengan baik, aku hanya-" "Bukan itu maksudku tapi apa aku harus ikut kamu ke sana? kamu tahu sendiri bagaimana mereka?" Biru menghela napas, dan mengangguk dengan mantap. "Kamu calon istriku, aku hanya ingin terbiasa terbuka padamu, lagi pula aku tahu mbak Rena dan bibiku, mereka pasti akan membuat dr
Kia terus saja menarik tangan Biru keluar dari rumah, mengabaikan panggilan ibunya dan juga protes Biru yang kepalanya langsung pusing. "Kia kamu mengajakku kemana, kalau masalah mahar dan kapan kita menikah kenapa tidak dibicarakan dengan mereka juga," gerutu Biru, tapi Kia sama sekali tak peduli dia terus menarik tangan Biru dan baru berhenti saat mereka sudah ada di samping rumah Kia barus melepaskannya. "Bapak seharusnya balik lagi ke rumah sakit, benar kata dokter bapak belum sembuh benar." Bukannya menjawab Biru malah menatap Kia dengan wajah kesal. "Siapa yang kamu panggil bapak," katanya. Kia menghela napas panjang menatap Biru dengan kesal. "Apa sebenarnya maksudmu mengatakan itu pada ibuku?" tanya Kia judes, bukan apa-apa, setelah kematian mbak Nina dan mereka pindah ke sini ibunya sudah terjangkit virus, ibu minta mantu. Dan tiba-tiba saja ada laki-laki yang melamar putrinya,Kia yakin sang ibu tak akan pikir pan
"Sudah aku duga," kata Kia terkesan tak peduli.Sekarang dua laki-laki di depannya itu yang terkejut. "Kenapa kamu berpikir begitu?" tanya Biru. Kia menatap Biru seolah laki-laki itu datang dari dunia lain. "Wanita itu, Felly masih muda dan sangat cantik, juga kaya. Sayang sekali, padahal aku ingin melihat drama istri pertama dan istri ketiga, kalau mbak Nina aku tak yakin dia bisa menentang Renata yang berkuasa dan dicintai suaminya." Sunyi yang menegangkan langsung tercipta setelah Kia mengatakan kalimat panjangnya. Dia sadar kedua laki-laki di depannya ini pasti tidak akan suka dengan kelimatnya, tapi Kia tidak mau peduli. "Makanlah buburmu keburu dingin," kata Kia mengambil sendoknya lagi dan menyuapkan makanan dengan nikmat seolah tak terjadi apapun." "Kamu masih menyalahkan, Mas atas kematian mbakmu, KI?" tanya Zafran pelan. "Tidak penting bukan bagaimana perasaanku, karena kamu salah atau tidak kam
Pantas saja Biru meminta Kia untuk merawatnya tanpa khawatir dijulitin tetangga, ternyata laki-laki itu tinggal di salah satu apartemen yang biasanya hanya Kia lihat iklannya di televisi. "Kamu tinggal di sini?" pertanyaan konyol sebenarnya, karena jelas-jelas Biru mengajaknya ke mari setelah pulang dari rumah sakit, dan perlu digaris bawahi 'pulang paksa' yang kecil kemungkinan membuatnya harus mampir main ke rumah teman dulu. "Ada yang aneh?" tanya Biru. Kia tak menjawab dia lalu menatap ke luar. Jarak kantor dengan apartemen ini mungkin kira-kira hanya sepuluh menit perjalanan dengan menggunakan mobil atau Kira-kira lima belas menit dengan rumah kontrakan KIa dan juga rumah milik Biru. "Aku kira kamu tinggal di dekat rumah kontrakanmu," kata Kia, tapi mungkin dia langsung sadar orang seperti Biru tidak mungkin selevel tinggal di kampung seperti dirinya. "Aku hanya tidak ingin ribet urusan kecil masalah kebersihan dan keamanan misalnya, di sini semuanya sudah ditangani menagem
"Kulihat lukamu tidak terlalu parah." Ini kejutan, bahkan Biru sepertinya tidak menyangka kalau sang bibi akan datang menjenguknya, tanpa Zafran, Renata atau suaminya. "Bibi datang," kata Biru setelaj berhasil mengatasi keterkejutannya, Kia sendiri langsung melompat dari duduknya saat tahu siapa yang datang, dan dia yang tahu diri segera menyingkir karena wanita itu menatap Kia seolah dia adalah hama penggangu. Tidak heran sih, apalagi setelah kejutan yang Kia tampilkan dalam pesta waktu itu. "Ckk kamu memang benar-benar merepotkan, untuk apa kamu mengumpankan diri hingga terluka." Biru terlihat tak setuju dengan kata-kata sang bibi, dan ingin membantah. Dia menatap Kia sejenak dan melihat Kia yang menggeleng tak kentara. Bukan Kia sok baik atau apa sih, tapi dia hanya tidak ingin Biru merasa sendiri, dia tahu meski sang bibi tak terlalu memperhatikannya, Biru sangat menyayangi bibinya. "Aku datang bersama Kia," kata Biru singkat. "Aku tidak tahu dari sekian banyak wanita ya
"Apa aku perlu menghubungi keluargamu yang lain?" tanya Kia. Biru menggeleng. "Kamu bisa pulang, maaf tidak bisa mengantarmu," katanya datar. Kia menatap laki-laki itu tak enak hati. Miris memang setahunya di saat Renata sakit waktu itu, Biru bilang ikut menjaganya di rumah sakit, tapi sekarang saat laki-laki itu sakit dan itu karena uah Renata, tidak ada satupun dari mereka yang bahkan datang menyusul. Kia menggeleng bukankah dia tidak boleh berburuk sangka, mungkin saja mereka masih capek atau sibuk dengan pesta itu. "Aku sudah menghubungi temanku, untuk mengatakan pada ibu, aku akan menemanimu di sini." Biru menatap Kia dengan pandangan antara ingin tersenyum juga tak percaya. "Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Biru. Kia meluruskan duduknya dan membenarkan rambutnya. "Melakukan apa?" tanyanya tak mengerti. "Membawaku ke rumah sakit dan mengurus semuanya, padahal kamu bilang tidak mau jadi pacarku apa
Tidak ada senyum di wajah Renata sepanjag acara itu berlangsung. Bagi Kia hal itu cukup wajar, Jika dia yang mendapati suaminnya menikah lagi, mungkin bukan hanya wajahnya yang masam, tapi dia akan langsung balik badan dan tak akan mau melihat wajah mereka lagi. Kia akan sangat mengagumi ketegaran Renata, andai saja.... "Kenapa tidak langsung menikah?" bisik Kia pada Biru yang pandangannya masih terpaku pada prosesi tukar cincin pada pasangan calon pengantin. "Wanita itu anak orang kaya bukan, dia pasti ingin pesta yang selayaknya." "Meski dia istri kedua," kata KIa sinis. "Yah mau bagaimana lagi, dia cintanya sama mas Zafran.""Kamu yakin itu cinta, bukan karena tujuan lain?" Sepertinya Kia sudah ketularan penyakit julid LIta. Biru kembali mengangkat bahunya. "Kamu bilang ingin melihat mereka menikah, tapi kamu kenapa pertanyaanmu seolah kamu tidak suka dengan calon istri mas Zafran." "Bukan tidak suka sih, hanya kok tidak masuk akal saja." "Bukankah cinta katanya mem
"Kamu yakin ini rumah calon istri ketiga Zafran?" tanya Kia sekali lagi. Dia sampai melangkah ke depan Biru dan menatap laki-laki itu tajam, seolah mencari kebohongan di wajahnya. "Tentu saja mbak Rena minggu lalu mengajakku kemari, dan maaf kali ini tidak seperti pernikahan mas Zafran dan kakakmu yang hanya diketahui mereka saja, sekarang semua keluarga besar tahu." "Mereka juga mendukung, termasuk om dan tantemu?" tanya Kia dan anggukan yang diberikan Biru membuat Kia menggelenng tak percaya. "Dan kamu juga mendukungnya?" "Kalau bisa aku ingin menghentikannya, untuk itulah aku mengajakmu ke sini." "Aku tidak punya hak." "Aku tahu, tapi kamu akan mengingatkan mereka pada kasus kakakmu, lagi pula ini acara keluarga dan sudah sepantasnya aku mengajak teman dekatku," jawab Biru mantap. Kia tak menjawab dia kembali berbalik dan menatap bangunan di depannya, bukan bangunan modern yang megah memang, bahkan bagian depan di dominasi oleh kayu berukir rumit khas jawa. "Sepertinya me
"Aku tidak ada bersamanya waktu itu, kamu pasti sudah tahu aku dengar kamu bertanya pada beberapa orang." "Dan mereka pasti mengatakan seperti yang kamu mau." Zafran menatap Kia terkejut tapi tidak menjawab, dan itu menguatkan dugaan Kia. "Aku tidak tahu kalau dia hamil sebenarnya, tapi aku punya dugaan dari perubahan sikap dan bentuk tubuhnya, juga siklus bulanannya, kamu tahu bukan." Kia buru-buru mengangguk. "Aku meminta Biru untuk membelikan obat penggugur kandungan, aku tidak langsung menyuruhnya hanya mengatakan sambil lalu obat apa itu dan mungkin saja dia membutuhkan, NIna waktu itu hanya tersenyum, tapi dia pasti tahu kalau aku tidak menginginkan anak yang dikandungnya, tepatnya aku khawatir dengan masa depan anak itu." "Karena kamu tidak mencintai ibunya." "Aku menyayangi Nina... tapi aku terlalu lemah," jawab Zafran sambil menunduk. Kia menatap Zafran dengan jijik. "Andai aku tahu itu lebih cepat, aku akan menyeret mbak NIna meninggalkanmu, dan kamu pantas untuk itu.