Lisa mendapatkan apa yang sudah ia harapkan selama ini. Ia mengalihkan semua harta kekayaan itu atas namanya, bukan semata-mata karena ia serakah dan ingin mengambil alih segalanya dari Roy saja. Namun, seperti yang sudah ia tuliskan di sana, Lisa berusaha menjaga semua itu dari mara serakah wanita yang mengincar harta Roy. Siapa lagi yang ia maksud kalau bukan Miranda.“Ngapain Roy kasih komen-komen seperti ini di foto dan status aku? Kurang kerjaan banget dia ngeboom like dan komen,” gumam Lisa saat ia menerima banyak sekali notifikasi dari akun sosial medianya.Lisa baru saja akan bersiap untuk tidur ketika notifikasi itu masuk silih berganti dan membuatnya merasa penasaran. Hingga akhirnya Lisa membuka dan mengetahui bahwa di sana Roy sedang memberikan banyak komentar pada postingannya.[“Sa ….”]Sebuah pesan masuk ke akun Lisa dan itu dari Roy. Mungkin, Roy melihat akun Lisa sedang online dan kemudian mengirimkannya pesan.Sejenak, Lisa merasa tidak harus menanggapi pesan itu. Na
Pagi harinya Miranda bangun lebih awal dan berusaha mengambil hati Roy lagi. Ia tidak ingin Roy berpaling lagi pada Lisa dan kemudian meninggalkan dirinya yang sebentar lagi akan melahirkan. Tentu semua adalah hal yang sangat dihindari oleh Miranda karena pria tua yang menjadi sandaran utamanya selama ini sudah pergi pula meninggalkan dirinya.Mungkin, pria itu merasa bosan karena harus terus mengalah dan bersabar pada sikap serta tingkah laku Miranda. Terlebih lagi ia tahu bahwa Miranda tidak pernah mencintainya dan hanya berharap pada cinta Roy seorang.“Aku akan membuat kamu memandang padaku lagi, Roy!” gumam Miranda sambil mempersiapkan sebuah menu untuk sarapan pagi ini.Sementara itu Roy masih terlelap di kamar belakang yang semalam ia tempati dan mungkin karena terlalu lama berharap Lisa akan online lagi, Roy akhirnya baru bisa tidur sekitar jam tiga dini hari. Hal itu membuatnya masih tidur dengan sangat nyenyak meski sudah jam tujuh pagi saat ini.Yang mana biasanya pada jam
“Gimana, Roy? Kok kamu malah bengong aja sih?” tanya Miranda dengan nada protes yang jelas terdengar oleh Roy.“Apanya?” tanya Roy balik karena memang ia baru tersadar tentang bayangan Lisa.“Belanja perlengkapan bayinya lah! Apalagi kalau bukan itu? Tadi ‘kan kita lagi bahas itu, Roy!” gerutu Miranda lagi.“Besok aku kasih uangnya!”“Aku nggak mau uangnya aja. Aku mau ditemani sama kamu juga, Roy!” rengek Miranda pada Roy dan semakin membuat Roy merasa gerah.“Liat besok aja deh! Kalau aku nggak sibuk, kita pergi pas jam makan siang. Besok aku telpon kalau memang bisa, supaya kami siap-siap dan aku jemput. Atau mau janjian langsung ketemu di tempat belinya aja?”Roy sebenarnya malas sekali berurusan lagi dengan Miranda, apalagi tentang segala keperluan kehamilannya itu. Ia merasa tidak tertarik sama sekali untuk beberbelanja perlengkapan bayi itu bersama dengan Miranda.Tentu jauh berbeda dengan ketika ia masih bersama dengan Lisa dulu. Roy akan langsung bersemangat ketika Lisa menga
“Lisa! Jaga ucapan kamu! Bagaimanapun juga, Roy adalah suami kamu. Kamu pernah cinta mati dan menikmati semua yang ada pada dirinya juga!” kecam Miranda dengan sombong pada Lisa.“Tentu saja aku nggak akan lupa semua itu, Miranda sayangku. Roy adalah suami yang sangat aku sayangi dan aku sanjung. Aku dewakan karena cintanya padaku yang tak perlu aku ragukan lagi! Tapi, semenjak dia masuk dalam tumpukan sampah yang kau tawarkan, maka habis sudah lah semua perasaanku padanya. Bukannya sampah memang harus berakhir pada tempatny?” tanya Lisa lagi dengan angkuh.“Sekarang kau menghinanya, padahal dulu kau sangat menyanjungnya!” sindir Miranda ketus.“Aku akan melakukan apa yang orang lain lakukan padaku, Miranda. Jika kau ingin melihat bagaimana sikapku padamu, maka perhatikan dulu bagaiman cara kau bersikap padaku. Aku akan berbuat baik ketika orang itu melakukan setidaknya setitik kebaikan saja padaku. Namun, sebaliknya! Aku akan membalas dengan kejam jika orang itu melukai hatiku walau
“Ke mana kamu akan membawaku?” tanya Miranda pada Lisa sambil berusaha menahan rasa sakit perutnya itu.Miranda menyandar pada kursi belakang dan Lisa menyetir mobil sendirian di depan. Lisa memang berkali kali tersenyum di depan, dan hal itu membuat Miranda merasa sedikit ngeri karena berpikir pasti Lisa punya niat jahat padanya saat ini.“Bukannya kamu perlu ke rumah sakit? Aku hanya akan membawamu ke rumah sakit, Miranda!” jawab Lisa dengan tegas dan wajahnya kembali berubah menjadi sangat serius.“Bohong! Kamu pasti mau melakukan sesuatu sama aku dan calon anakku ini ‘kan? Kamu nggak akan bawa kami ke rumah sakit karena kamu pasti nggak ingin anak Roy ini lahir!” tuduh Miranda pada Lisa dengan sedikit berteriak.“Bohong kamu bilang? Buang pikiran burukmu itu, Mir! Jangan karena kamu adalah orang yang licik dan penuh kebohongan, jadi kamu menganggap aku akan seperti kamu juga!” bantah Lisa terus terang pada Miranda dengan perasaan jengkel dan nada bicara yang kesal.Miranda tidak b
Tidak ada perasaan cemburu atau sakit hati yang Lisa rasakan ketika mendengar Miranda mengeluh manja pada Roy dari panggilan telepon itu. Justru Lisa tersenyum miris melihat nasib Miranda yang bahkan tidak dipedulikan ketika akan melahirkan. Itu semua karena telepon itu sengaja diaktifkan tombol pengeras suaranya oleh Miranda.Niatnya tentu saja agar Lisa mendengar percakapannya dengan Roy. Namun, yang membuat Miranda merasa malu dan semakin meringis kesakitan adalah ketika mendengar jawaban dari Roy di seberang sana.“Berjuang saja dulu sendiri, ya. Aku masih ada rapat dengan klien dari Jepang dan nggak bisa ditinggal. Pokoknya kamu semangat dan nanti kalau udah selesai aku pasti ke sana,” ucap Roy dengan nada datar. Lisa bahkan tidak dapat mendengar nada khawatir dari Roy dan ia sebenarnya tidak terlalu peduli pada semua itu. Lisa tidak ingin ikut campur atau terlibat lagi tentang Miranda dan calon anaknya bersama Roy.Ia memutuskan untuk segera meninggalkan rumah sakit dan pergi k
“Ke mana kita?” tanya dokter Lukman pada Lisa saat kendaraan roda empatnya itu sudah melaju di jalanan.Lisa masih mengintip laman sosial medianya dan melihat di sana Roy memposting sebuah foto mesra dengan seorang perempuan muda yang cantik dan seksi. Tentu, dulunya Miranda yang kini sedang bertaruh nyawa demi anaknya itu juga memiliki semua kriteria itu.Namun, tidak ada terbesit rasa marah sedikit pun dalam hati Lisa pada postingan itu. Lisa justru merasa kasihan pada Miranda karena ternyata pada akhirnya karma itu berbalas.Meskipun Lisa tidak tahu pasti siapa wanita dalam foto yang diunggah oleh Roy itu, akan tetapi dapat Lisa pastikan bahwa hubungan mereka tidak sekedar teman biasa saja. Perempuan itu tampak bergelayut manja pada lengan Roy dan Roy pun tampak tersenyum lepas seperti tidak ada beban sama sekali. Itu pertanda dia memang menikmati atau menyukai wanita itu. Tentu Lisa sangat tahu dan hafal bagaimana cara Roy bersikap. “Tuhan itu Maha Adil dan Bijaksana, Luke! Terny
Lisa dan dokter Lukman akhirnya mampir ke sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kota itu. Sebuah mall yang tentu saja menjadi sarang dari segala macam benda dan makanan. Ratusan, bahkan mungkin ribuan manusia datang ke sini setiap harinya. Mereka berdua berjalan menyusuri setiap tempat yang ada di dalam mall itu. Tujuan mereka memang hanya ingin bersantai dan menikmati siang ini tanpa memikirkan masalah apapun. Lisa masih merasa kenyang, jadi ia menolak tawaran dokter Lukman untuk makan di sebuah resto yang ada di lantai empat mall itu. Seperti sepasang kekasih, keduanya terus berjalan dan beberapa kali berhenti di pagar pembatas dan melihat ke bawah. Ramainya pengunjung yang datang juga mampu membuat mata dan pikiran Lisa sedikit tenang dan melupakan kejadian yang sudah terjadi tadi antara dia dan Miranda. Lisa lebih rileks saat ini karena dokter Lukman juga sangat pandai membawakan diri dalam suasana saat ini. Membuat Lisa merasa nyaman dan tidak terbebani adalah tujuan dokter Lu
“Mami ….”Suara igauan dari Ane menyadarakan Lukman pada khayalannya tentang Lisa. Ia tidak tahu apakah Lita marah dan tersinggung pada ucapannya tadi atau tidak.“Maaf. Aku … aku tiba-tiba teringat istriku,” ucap Lukman penuh nada sesal.“I-iya. Nggak apa-apa. Makasih udah anterin aku sampai depan hotel. Kalau gitu aku permisi.” Lita menjawab dengan sedikit gugup juga.“Sama-sama. Btw, apa kamu jadi test DNA besok?” tanya Lukman sebelum Lita benar-benar turun dari dalam mobilnya.“Jadi. Aku juga penasaran dengan kebenarang itu. Setidaknya, dengan hasil test DNA itu nanti semuanya akan sangat jelas. Iya atau tidaknya informasi yang aku kantongi saat ini.”“Kamu benar. Yang penting semuanya diperiksa dulu, kan?”“Iya. Tapi ….”“Tapi apa?”“Aku kan baru di kota ini. Jadi … aku nggak tau ke mana harus pergi untuk melakukan test itu nanti. Eh, bukannya kamu dokter? Tadi, anak kembarmu itu bilang gitu. Gimana kalau di rumah sakit tempat kamu kerja aja?” tanya Lita kemudian dengan suara yan
Lita masih tertegun tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut anak seusia Ane. Anak itu terdengar sangat dewasa dan pembawannya juga tenang ketika mengatakan semua itu. Bahkan, Lita menjadi ragu bahwa ia adalah anak yang baru berusia sekita enam atau tujuh tahunan.“Maafkan anakku, Nona. Dia masih anak-anak dan nggak ngerti dengan apa yang baru aja dia katakan,” ucap Lukman segera ketika melihat perubahan pada raut wajah Lita.Ia mengira mungkin saja Lita tersinggung dengan ucapan bocah itu. Karena tentu saja, itu adalah hal yang seharusnya diucapkan oleh orang dewasa dan makna dari kalimat itu tentu sangat besar. Tidak main-main tentunya.“Nggak masalah. Aku nggak apa-apa dengan hal itu. Tapi … apa yang membuat Lisa bisa meninggal secepat ini? Aku nggak memiliki Riwayat penyakit dalam yang parah, seharusnya Lisa juga gitu. Karena dia adalah kembaranku. Setidaknya, itu yang aku dengar dan ketahui tentang hubungan kami yang bahkan belum pernah bertemu satu sama yang
Lukman tidak dapat mempercayai penglihatannya saat ini. Di depannya jelas ada wanita yang tampak sangat mirip dengan Lisa – istri tercinta yang sudah tiada dan bahkan sekarang ia dan ketiga anaknya sedang berada di makam Lisa.“Papi … itu bukannya Mami?” tanya Ane dengan suara nyaring pada Lukman dan tak lupa telunjuknya menunjuk kepada wanita itu.“Sayang … jangan asal bicara. Nanti tantenya tersinggung,” gumam Lukman dengan suara yang sedikit ia keraskan agar Ane bisa mendengarnya dengan jelas.“Iya. Meski pun memang mirip, aku rasa dia bukan Mami. Mami jelas udah ada di syurga saat ini,” sela Andi pula dengan pemikirannya yang bak orang dewasa.“Aku setuju dengan Andi. Mereka hanya mirip dan memang di dunia ada tujuh orang yang saling mirip satu sama yang lainnya bukan?” Ana pun ikut menimpali percakapan itu.Sementara, wanita yang sedang mereka bicarakan sudah berada di depan makam Lisa dan menatap ketiga anak Lukman itu dengan senyum yang mengambang. Ia tampak menyukai anak-anak
Lukman membawa ketiga bayi besarnya itu menuju ke sebuah pemakaman elite yang terlihat sangat indah dan rapi tentunya. Di sana adalah makam Lisa yang sudah meninggalkan dirinya lima tahun yang lalu. Lukman tidak pernah merasa kesepian karena Lisa sudah meninggalkan ketiga anak bayi besar itu untuk ia rawat, jaga, dan sayangi sepanjang hidupnya.Ana, Ane, dan Andi tampak sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Andi duduk di kursi penumpang di sebelah kemudi Lukman. Sementara Ana dan Ane duduk di kursi belakang yang sedang asik dengan tablet mereka masing-masing.“Apa yang sedang kalian lakukan? Main game?” tanya Lukman dan melirik kedua gadisnya itu melalui kaca tengah.“Bukan, Pi. Aku sedang melihat style penyanyi luar negeri ini, yang terbaru. Aku mau melukisnya nanti." Ana menyahut dan menampilkan layar tabletnya ke arah Lukman dan tentu saja tidak dapat diliat dengan jelas oleh lelaki itu.“Bagus banget, Sayang. Kamu mau jadi desaigner, ya?” tanya Lukman lagi kepada Ana dengan nad
Lima tahun setelah kepergian Lisa ….“Papi … Ane mana?” Sebuah suara bocah terdengar memanggil ke arah Lukman.“Papi nggak tau, Sayang. Tadi ada di sini. Kenapa?” sahut Lukman pada gadis kecil berusia enam tahun itu.“Dia pinjam buku cerita aku, tapi robek. Liat nih!” jawab gadis bernama Ana itu dengan menunjukkan sebuah buku dongeng yang sampulnya sudah robek setengah kepada Lukman.Lukman menghela napasnya dengan berat. Ia tahu bahwa Ane tidak akan pernah bisa menjaga barangnya dengan baik. Berbeda memang dengan Ana yang selalu perfect dalam segala hal. Meski pun mereka masih terbilang sangat kecil, Ana sudah memperlihatkan sisi kedewasaannya pada saudaranya yang lain.Ia selalu menjadi yang paling unggul di antara kedua saudara kembarnya yang lain. Ana selalu sempurna dalam segala hal dan tidak suka ada kesalahan atau kekurangan sedikit pun pada benda-benda yang dimilikinya. Namun, Ane yang selalu menjadi biang rusuh akan selalu merusak segalanya dan membuat Ana marah.“Nanti Papi
Dua tahun sudah berlalu sejak pernikahan Lisa dan Lukman. Kini mereka sudah tinggal di sebuah rumah yang sederhana tetapi punya lahan yang cukup luas. Ketika membuka jendela kamar, maka hamparan laut biru membentang di pelupuk mata. Lisa selalu suka memandang ke luar jendelanya baik di pagi hari, siang, sore, apalagi malam hari. Sementara Lukman membuka sebuah klinik Kesehatan yang selalu ramai dikunjungi pasien. Meski pun ia tidak pernah menetapkan harga untuk biaya pengobatannya, Lukman sudah cukup merasa bahagia dengan kehidupannya sekarang. Baginya, asalkan Lisa bisa bahagia maka dia juga akan merasa bahagia untuk hal itu. Siang ini, tumben sekali tidak ada pasien yang datang berkunjung ke kliniknya itu. Jadi, Lukman memutuskan untuk segera pulang dan makan masakan istri tercinta. Sudah lama sejak mereka makan siang bersama di rumah bersama tiga orang anak yang berusia sama. Mereka seperti kembar tiga yang selalu ada di mana pun Lisa berada. “Sayang … di mana Ane, Ana, dan Andi?
“Aku tau kalau kamu terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini, sampai kamu lupa kalau hari ini ulang tahunmu. Iya kan?” tanya Lukman dengan serius.“Hmm … sepertinya gitu. Aku benar-benar lupa kalau hari ini ulang tahunku. Kamu malah ingat dan kasih aku kejutan seperti ini. Makasih banyak, Sayang. Aku percaya kamu selalu memberikan aku kebahagiaan tak terbatas,” jawab Lisa dengan mata berkaca-kaca dan memandang lekat pada bola mata Lukman.“Aku nggak bisa menjanjikan apa pun untuk kamu. Tapi … aku bisa pastikan selama aku bisa maka aku akan memberikan segala yang terbaik untuk kamu dan kebahagiaan kamu,” ungkap Lukman sekali lagi dan membuat hati Lisa merasa tenang.“Makasih, Sayang. Akhirnya aku benar-benar bisa hidup dengan bahagia.”“Memangnya, siapa yang bilang kalau kamu nggak bisa hidup bahagia?”“Nggak ada. Itu cuma ketakutan yang sempat mengisi hati dan pikiranku dulu,” jawab Lisa dan tersenyum tipis.“Sekarang, nggak ada lagi yang harus kamu takutkan. Selama ada aku, semuanya ak
“Siapa yang datang jam segini?” tanya Lukman dan merasa heran.“Mana aku tau, Sayang. Kamu yang buka atau aku?” Lisa menaikkan bahunya lalu bertanya juga pada Lukman.“Aku aja. Kamu di sini aja, ya. Siapa tau itu mantan mertua kamu yang dalam incaran polisi,” jawab Lukman dan mulai waspada.“Apa aku telpon 116 aja sekarang?”“Jangan dulu. Kita nggak tau siapa yang berdiri di depan pintu saat ini. Jangan gegabah, Sayang.”Lukman berkata kepada Lisa karena sebenarnya sejak tadi dia juga merasa tidak nyaman dan seperti ada hal besar yang akan terjadi. Namun, karena tidak ingin membuat Lisa merasa khawatir, tentu saja Lukman tidak menyampaikan hal itu kepada sang istrinya. Apalagi Lisa sedang dalam masa pemulihannya. Hal-hal tidak penting seperti itu hanya akan memperburuk kesehatannya lagi.Lisa memperhatikan Lukman yang berjalah keluar dari kamar dan berharap semoga yang datang bukan lah orang jahat. Ia mengikuti perintah Lukman dan tetap berdiri di dalam kamar mereka dengan menahan ras
Tiga hari lamanya Lisa dirawat secara insentif di rumah sakit hingga akhirnya diperbolehkan untuk pulang dan bisa melakukan pengobatan dengan rawat jalan saja. Hal itu dikarenakan kondisi Lisa yang memang benar-benar sudah memungkinkan dan mengalami kemajuan yang sangat pesat pasca perawatan di rumah sakit besar itu.Lukman membawa Lisa pulang ke apartemennya dan mereka merasa sangat lega karena akhirnya bisa kembali pulang. Hal itu juga membuat keluarga Lukman yang sudah pulang ke negaranya menjadi sangat senang. Mereka mengatakan sangat menyesal tidak bisa menemani Lisa sampai Lisa diperbolehkan untuk pulang.“Sayang … makasih kamu udah rawat aku selama aku sakit,” ucap Lisa sungguh-sungguh dengan menggenggam tangan Lukman dengan erat.“Jangan bilang makasih, dong Sayang. Itu memang udah jadi tanggung jawab aku sebagai suami kamu,” balas Lukman dengan tatapan mesra dan juga melempar senyum pada Lisa.“Kamu adalah pria terhebat dan juga suami terbaik di dunia,” ungkap Lisa dan langsu