Tuuut … tuuut … tuuutt ….“Hai, Ella! Apa kabar? Lama nggak say hallo. Apa kamu sekarang di Indonesia?” cecar Lisa dengan nada yang bahagia ketika menjawab panggilan telepon dari Ella.“Sa … Miranda meninggal. Roy … dia … dia membunuh Miranda di rumah sakit!” ucap Ella dengan suara yang masih terdengar bergetar karena tidak sanggup mengatakan kenyataan itu kepada Lisa. Bagaimanapu juga, pasti Lisa akan terpukul.“Apa yang kamu katakan, La? Kamu di mana sih sekarang? Kok suaranya putus-putus gini?” cecar Lisa dengan nada heran di seberang sana.Lisa memang tidak dapat mendengar dengan jelas hal apa yang baru saja disampaikan oleh Ella di seberang telpon. Namun, Lisa masih dapat menangkap kata Roy dan Miranda dari kalimat yang terputus-putus itu. Dibunuh? Siapa yang dibunuh dan membunuh? Lisa sangat ingin tahu dengan semua itu.Sementara di sana, Ella tidak dapat bicara apapun lagi sekarang. Keberaniannya seperti habis bersamaan dengan putusnya sambungan telepon itu. Ella tidak lagi san
Dengan sigap dua orang dokter bertubuh kekar langsung menahan tubuh Roy karena takut pria itu akan melakukan hal yang berbahaya bagi orang lain. Namun, ternyata kekuatan mereka tidak sebanding dengan kekuatan Roy. Ketika Roy dengan kasar menghentakkan tangan kedua dokter itu, mereka langsung terpental ke lantai.Tepat saat Roy akan keluar, pintu ruangan itu terbuka. Lisa datang dan melihat Roy yang sedang ditahan oleh dua orang pria berseragam dokter. Lisa terkejut sampai mundur beberapa langkah dan menutup mulutnya yang reflek terbuka lebar.Pasalnya, Lisa melihat jenazah Miranda yang sudah ditutup dengan selimut putih sampai batas leher dan masih menyisahkan bagian wajah. Sehingga wajahnya masih dapat diliat dengan jelas oleh Lisa dari ambang pintu masuk.“Lisa … sayang … akhirnya kamu datang! Sayang, maafin aku, ya. Aku janji nggak akan datang ke dia lagi. Aku janji nggak akan pernah ninggalin kamu demi wanita murahan seperti dia lagi. Dia nggak akan ganggu kita lagi, Sayang,” ucap
Setelah Roy pergi dibawa oleh pihak kepolisian, Lisa merasa tubuhnya lemah. Lututnya serasa kebas dan mati rasa, hingga membuatnya oleng dan hampir saja terjatuh. Untung dengan sigap dokter Lukman menangkap tubuhnya dari belakang.“Anda tidak apa-apa, Bu?” tanya dokter Lukman dengan formalitasnya. Tentu, karena mereka sedang berada di rumah sakit saat ini dan dokter Lukman mengenakan seragam dinasnya.“I-iya. Makasih, Dok.” Lisa menjawab dengan gugup dan mulai berdiri dengan tegap lagi.Sementara Ella juga ikut bersama polisi karena ia adalah saksi kunci dalam kasus pembunuhan ini. Bayi Miranda sudah dibawa oleh para perawat ke ruang perawatan bayi untuk ditenangkan, karena ia tidak berhenti menangis sejak kejadian itu.Ada gurat kesedihan di wajah dokter Lukman ketika melihat keadaan Lisa yang tadinya sudah kuat dan bisa melupakan tentang Roy dan Miranda, kini menjadi lemah dan tak berdaya kembali. Ia merasa cobaan yang dihadapi Lisa seperti tidak ada habisnya.Dokter Lukman ingin se
Lisa kembali ke rumahnya yang berada di daerah yang jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Ia seperti ingin menghilang sejenak dari semua orang yang mengenalnya. Lisa ingin sekali pergi jauh di mana tidak ada orang yang mengenalnya saat ini. Namun, ia tahu semua itu tidak mungkin dan tidak pantas untuk ia lakukan. Lari dari masalah bukan lah solusi yang tepat dan bukan lah perbuatan yang mencerminkan jati dirinya.Ia sampai di rumah dan segera masuk ke dalam kamarnya setelah mengunci pintu depan. Lisa menghempaskan badannya di atas ranjang berukuran sedang karena memang ia tidak menginginkan kehidupan mewah yang sudah sejak dulu ia nikmati ketika menjadi istri Roy.“Hufftt ….” Lisa meniupkan napasnya dengan berat.Ia memandang langit-langit dengan tatapan kosong. Matanya memandang ke sana tapi pikirannya entah ke mana. “Kenapa kamu sebodoh itu, Roy? Apa kamu memang nggak peduli lagi dengan hidupmu sendiri?” gumam Lisa.Kenangan masa lalu kembali terlintas dalam benak Lisa ketika ia dan
Di kantor polisi, pemeriksaan terhadap Roy sudah berjalan hampir tiga jam. Roy masih tetap diam dan hanya menjawab tidak tahu ketika ditanya oleh tim penyidik. Ia tidak mengatakan apapun tentang kejadian pembunuhan yang baru saja terjadi. Ia seperti orang bingung yang kehilangan arah dan tidak tahu akan mengatakan apa dan berbuat apa.“Oke. Saat ini cukup sekian dan akan kita lanjutkan lagi nanti. Kami akan menunggu tim kuasa hukum Anda datang, Pak Roy!” ucap seorang tim penyidik yang sejak tadi menanyai Roy dengan puluhan pertanyaan itu.“Baik. Silakan menunggu dan aku juga akan terus menunggu!” jawab Roy dengan tatapan kosong pada wajah penyidik itu.“Anda bisa menunggu di sini untuk sementara waktu,” ucapnya lagi dan berjalan meninggalkan Roy dalam ruangan sempit itu.Tidak ada apapun di dalam ruangan itu selain meja dan dua buah kursi yang berhadap-hadapan. Satu masih diduduki oleh Roy dan yang satu lagi sudah kosong, bekas penyidik tadi duduk di hadapannya. Roy masih tidak bergem
Saat ini, Ella sedang berada di hotel tempatnya menginap karena memang ia datang sendirian dan tidak ingin merepotkan saudara-saudaranya yang ada di sini. Lagi pula, Ella hanya datang tiga hari dan ia ingin benar-benar memiliki waktu serta kebebasannya sendiri selama berada di Indonesia.Ella memasukkan baju dan semua perlengkapannya ke dalam koper serta tas yang semula memang ia bawa. Ia masing mengingat dengan jelas apa yang dikatakan oleh suaminya ketika di telpon tadi.“Apapun yang kamu putuskan, aku percaya itu yang terbaik, Sayang. Bagiku semua itu tidak ada artinya dibandingkan dengan kebahagiaan dan kenyamananmu.” Pria bernama Andrew itu berkata pada Ella dengan penuh kebijkasanaan dan kelembutan.“Terima kasih, Sayang. Kamu memang suami terbaik dan aku bangga memiliki kamu,” balas Ella dengan rasa haru dan suara sedikit serak menahan tangis bahagianya.“Aku yang harusnya bangga menjadi suamimu, Sweety. Memiliki wanita hebat dan kuat seperti dirimu adalah anugerah terbesar bag
“I-itu … sebenarnya aku … aku lagi makan malam sama Lukman!” ungkap Lisa kepada Ella karena ia juga tidak mungkin berbohong pada temannya itu.“Maksud kamu, dokter Lukman? Yang merawat kamu selama ini ‘kan?” tanya Ella meyakinkan dirinya atas apa yang baru saja ia dengar dari Lisa.Tentu saja selama ini Ella tahu apapun yang terjadi pada Lisa. Namun, tidak semua urusan dan hal pribadi Lisa diikut campuri oleh Ella karena ia juga tahu diri dan punya batasan dalam pertemanan. Ia sendiri adalah orang yang tidak suka urusan pribadinya dicampuri oleh siapapun. Walaupun teman dekat dan keluarganya sekali pun. Hal itu juga yang membuat Ella pun tidak pernah melakukan hal yang sama pada orang lain, termasuk pada Lisa.Lisa sendiri mengerti arti keterkejutan Ella saat ini karena memang selama ini pun ia tidak pernah menceritakan bahwa dokter Lukman memang menaruh rasa pada dirinya. Ella hanya tahu jika selama ini dokter Lukman adalah salah satu dokter yang bertanggung jawab dalam pengobatannya
“Nggak nyangka akhirnya Lisa menerima cintaku,” bathin dokter Lukman sambil terus tersenyum.Dokter muda berdarah campuran itu tak henti melempar senyum ke udara seraya terus mengemudikan kendaraan roda empatnya itu. Dalam hatinya masih merasa tidak percaya dengan semua yang baru saja terjadi.Sepertinya, memang segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya. Contohnya saja seperti yang terjadi kepada Miranda dan Roy hari ini. Hal itu justru mengantarkan Lukman dan Lisa pada hubungan yang selama ini hanya menjadi angan saja bagi Lukman.Lukman harus kembali ke rumah sakit karena baru saja mendapatkan telpon dari rumah sakit. Ada korban kecelakaan lalu lintas yang butuh pertolongan dan dokter yang lainnya juga sedang menangani pasien lainnya. Mungkin karena suasana hatinya dalam keadaan baik, dokter itu tidak lepas memberikan senyuman terbaik di sepanjang perjalanannya. Hal itu tentu saja mengundang tanya pada perawat yang menjadi asisten Lukman malam ini.“Dokter senyum terus kayak orang baru
“Mami ….”Suara igauan dari Ane menyadarakan Lukman pada khayalannya tentang Lisa. Ia tidak tahu apakah Lita marah dan tersinggung pada ucapannya tadi atau tidak.“Maaf. Aku … aku tiba-tiba teringat istriku,” ucap Lukman penuh nada sesal.“I-iya. Nggak apa-apa. Makasih udah anterin aku sampai depan hotel. Kalau gitu aku permisi.” Lita menjawab dengan sedikit gugup juga.“Sama-sama. Btw, apa kamu jadi test DNA besok?” tanya Lukman sebelum Lita benar-benar turun dari dalam mobilnya.“Jadi. Aku juga penasaran dengan kebenarang itu. Setidaknya, dengan hasil test DNA itu nanti semuanya akan sangat jelas. Iya atau tidaknya informasi yang aku kantongi saat ini.”“Kamu benar. Yang penting semuanya diperiksa dulu, kan?”“Iya. Tapi ….”“Tapi apa?”“Aku kan baru di kota ini. Jadi … aku nggak tau ke mana harus pergi untuk melakukan test itu nanti. Eh, bukannya kamu dokter? Tadi, anak kembarmu itu bilang gitu. Gimana kalau di rumah sakit tempat kamu kerja aja?” tanya Lita kemudian dengan suara yan
Lita masih tertegun tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut anak seusia Ane. Anak itu terdengar sangat dewasa dan pembawannya juga tenang ketika mengatakan semua itu. Bahkan, Lita menjadi ragu bahwa ia adalah anak yang baru berusia sekita enam atau tujuh tahunan.“Maafkan anakku, Nona. Dia masih anak-anak dan nggak ngerti dengan apa yang baru aja dia katakan,” ucap Lukman segera ketika melihat perubahan pada raut wajah Lita.Ia mengira mungkin saja Lita tersinggung dengan ucapan bocah itu. Karena tentu saja, itu adalah hal yang seharusnya diucapkan oleh orang dewasa dan makna dari kalimat itu tentu sangat besar. Tidak main-main tentunya.“Nggak masalah. Aku nggak apa-apa dengan hal itu. Tapi … apa yang membuat Lisa bisa meninggal secepat ini? Aku nggak memiliki Riwayat penyakit dalam yang parah, seharusnya Lisa juga gitu. Karena dia adalah kembaranku. Setidaknya, itu yang aku dengar dan ketahui tentang hubungan kami yang bahkan belum pernah bertemu satu sama yang
Lukman tidak dapat mempercayai penglihatannya saat ini. Di depannya jelas ada wanita yang tampak sangat mirip dengan Lisa – istri tercinta yang sudah tiada dan bahkan sekarang ia dan ketiga anaknya sedang berada di makam Lisa.“Papi … itu bukannya Mami?” tanya Ane dengan suara nyaring pada Lukman dan tak lupa telunjuknya menunjuk kepada wanita itu.“Sayang … jangan asal bicara. Nanti tantenya tersinggung,” gumam Lukman dengan suara yang sedikit ia keraskan agar Ane bisa mendengarnya dengan jelas.“Iya. Meski pun memang mirip, aku rasa dia bukan Mami. Mami jelas udah ada di syurga saat ini,” sela Andi pula dengan pemikirannya yang bak orang dewasa.“Aku setuju dengan Andi. Mereka hanya mirip dan memang di dunia ada tujuh orang yang saling mirip satu sama yang lainnya bukan?” Ana pun ikut menimpali percakapan itu.Sementara, wanita yang sedang mereka bicarakan sudah berada di depan makam Lisa dan menatap ketiga anak Lukman itu dengan senyum yang mengambang. Ia tampak menyukai anak-anak
Lukman membawa ketiga bayi besarnya itu menuju ke sebuah pemakaman elite yang terlihat sangat indah dan rapi tentunya. Di sana adalah makam Lisa yang sudah meninggalkan dirinya lima tahun yang lalu. Lukman tidak pernah merasa kesepian karena Lisa sudah meninggalkan ketiga anak bayi besar itu untuk ia rawat, jaga, dan sayangi sepanjang hidupnya.Ana, Ane, dan Andi tampak sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Andi duduk di kursi penumpang di sebelah kemudi Lukman. Sementara Ana dan Ane duduk di kursi belakang yang sedang asik dengan tablet mereka masing-masing.“Apa yang sedang kalian lakukan? Main game?” tanya Lukman dan melirik kedua gadisnya itu melalui kaca tengah.“Bukan, Pi. Aku sedang melihat style penyanyi luar negeri ini, yang terbaru. Aku mau melukisnya nanti." Ana menyahut dan menampilkan layar tabletnya ke arah Lukman dan tentu saja tidak dapat diliat dengan jelas oleh lelaki itu.“Bagus banget, Sayang. Kamu mau jadi desaigner, ya?” tanya Lukman lagi kepada Ana dengan nad
Lima tahun setelah kepergian Lisa ….“Papi … Ane mana?” Sebuah suara bocah terdengar memanggil ke arah Lukman.“Papi nggak tau, Sayang. Tadi ada di sini. Kenapa?” sahut Lukman pada gadis kecil berusia enam tahun itu.“Dia pinjam buku cerita aku, tapi robek. Liat nih!” jawab gadis bernama Ana itu dengan menunjukkan sebuah buku dongeng yang sampulnya sudah robek setengah kepada Lukman.Lukman menghela napasnya dengan berat. Ia tahu bahwa Ane tidak akan pernah bisa menjaga barangnya dengan baik. Berbeda memang dengan Ana yang selalu perfect dalam segala hal. Meski pun mereka masih terbilang sangat kecil, Ana sudah memperlihatkan sisi kedewasaannya pada saudaranya yang lain.Ia selalu menjadi yang paling unggul di antara kedua saudara kembarnya yang lain. Ana selalu sempurna dalam segala hal dan tidak suka ada kesalahan atau kekurangan sedikit pun pada benda-benda yang dimilikinya. Namun, Ane yang selalu menjadi biang rusuh akan selalu merusak segalanya dan membuat Ana marah.“Nanti Papi
Dua tahun sudah berlalu sejak pernikahan Lisa dan Lukman. Kini mereka sudah tinggal di sebuah rumah yang sederhana tetapi punya lahan yang cukup luas. Ketika membuka jendela kamar, maka hamparan laut biru membentang di pelupuk mata. Lisa selalu suka memandang ke luar jendelanya baik di pagi hari, siang, sore, apalagi malam hari. Sementara Lukman membuka sebuah klinik Kesehatan yang selalu ramai dikunjungi pasien. Meski pun ia tidak pernah menetapkan harga untuk biaya pengobatannya, Lukman sudah cukup merasa bahagia dengan kehidupannya sekarang. Baginya, asalkan Lisa bisa bahagia maka dia juga akan merasa bahagia untuk hal itu. Siang ini, tumben sekali tidak ada pasien yang datang berkunjung ke kliniknya itu. Jadi, Lukman memutuskan untuk segera pulang dan makan masakan istri tercinta. Sudah lama sejak mereka makan siang bersama di rumah bersama tiga orang anak yang berusia sama. Mereka seperti kembar tiga yang selalu ada di mana pun Lisa berada. “Sayang … di mana Ane, Ana, dan Andi?
“Aku tau kalau kamu terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini, sampai kamu lupa kalau hari ini ulang tahunmu. Iya kan?” tanya Lukman dengan serius.“Hmm … sepertinya gitu. Aku benar-benar lupa kalau hari ini ulang tahunku. Kamu malah ingat dan kasih aku kejutan seperti ini. Makasih banyak, Sayang. Aku percaya kamu selalu memberikan aku kebahagiaan tak terbatas,” jawab Lisa dengan mata berkaca-kaca dan memandang lekat pada bola mata Lukman.“Aku nggak bisa menjanjikan apa pun untuk kamu. Tapi … aku bisa pastikan selama aku bisa maka aku akan memberikan segala yang terbaik untuk kamu dan kebahagiaan kamu,” ungkap Lukman sekali lagi dan membuat hati Lisa merasa tenang.“Makasih, Sayang. Akhirnya aku benar-benar bisa hidup dengan bahagia.”“Memangnya, siapa yang bilang kalau kamu nggak bisa hidup bahagia?”“Nggak ada. Itu cuma ketakutan yang sempat mengisi hati dan pikiranku dulu,” jawab Lisa dan tersenyum tipis.“Sekarang, nggak ada lagi yang harus kamu takutkan. Selama ada aku, semuanya ak
“Siapa yang datang jam segini?” tanya Lukman dan merasa heran.“Mana aku tau, Sayang. Kamu yang buka atau aku?” Lisa menaikkan bahunya lalu bertanya juga pada Lukman.“Aku aja. Kamu di sini aja, ya. Siapa tau itu mantan mertua kamu yang dalam incaran polisi,” jawab Lukman dan mulai waspada.“Apa aku telpon 116 aja sekarang?”“Jangan dulu. Kita nggak tau siapa yang berdiri di depan pintu saat ini. Jangan gegabah, Sayang.”Lukman berkata kepada Lisa karena sebenarnya sejak tadi dia juga merasa tidak nyaman dan seperti ada hal besar yang akan terjadi. Namun, karena tidak ingin membuat Lisa merasa khawatir, tentu saja Lukman tidak menyampaikan hal itu kepada sang istrinya. Apalagi Lisa sedang dalam masa pemulihannya. Hal-hal tidak penting seperti itu hanya akan memperburuk kesehatannya lagi.Lisa memperhatikan Lukman yang berjalah keluar dari kamar dan berharap semoga yang datang bukan lah orang jahat. Ia mengikuti perintah Lukman dan tetap berdiri di dalam kamar mereka dengan menahan ras
Tiga hari lamanya Lisa dirawat secara insentif di rumah sakit hingga akhirnya diperbolehkan untuk pulang dan bisa melakukan pengobatan dengan rawat jalan saja. Hal itu dikarenakan kondisi Lisa yang memang benar-benar sudah memungkinkan dan mengalami kemajuan yang sangat pesat pasca perawatan di rumah sakit besar itu.Lukman membawa Lisa pulang ke apartemennya dan mereka merasa sangat lega karena akhirnya bisa kembali pulang. Hal itu juga membuat keluarga Lukman yang sudah pulang ke negaranya menjadi sangat senang. Mereka mengatakan sangat menyesal tidak bisa menemani Lisa sampai Lisa diperbolehkan untuk pulang.“Sayang … makasih kamu udah rawat aku selama aku sakit,” ucap Lisa sungguh-sungguh dengan menggenggam tangan Lukman dengan erat.“Jangan bilang makasih, dong Sayang. Itu memang udah jadi tanggung jawab aku sebagai suami kamu,” balas Lukman dengan tatapan mesra dan juga melempar senyum pada Lisa.“Kamu adalah pria terhebat dan juga suami terbaik di dunia,” ungkap Lisa dan langsu