Roy mengemudikan kendaraan roda empat itu dengan kecepatan penuh. Ia sudah tidak sabar lagi untuk menemui Lisa dan mengatakan segalanya pada Lisa. Meski Roy tahu bahwa nanti awalnya Lisa akan merasa terluka dan menolak, akan tetapi Roy begitu yakin Lisa akan setuju dan mendukung keputusannya di akhir. “Sayang, kita akan segera punya anak. Kamu nggak usah sedih lagi, ya.” Roy berkata dengan nada lirih sambil terus menyetir mobilnya menuju rumah sakit. Sementara di dalam ruangan tempat Lisa dirawat, tampak dokter Lukman baru saja selesai dengan pemeriksaannya pada wanita itu. Seorang pasiet yang datang bersama dokter Lukman sudah mencatat dengan sangat terperinci semua keadaan Lisa berdasarkan hasil pemeriksaan dokter Lukman tadi. “Kalau gitu, aku akan membuatkan resep lagi untuk kamu.” Dokter Lukman berkata sambil menurunkan tetoskop dari telinganya. “Luk, aku ingin bicara sama kamu,” pinta Lisa pada dokter Lukman dengan wajah memelas. “Sus, silahkan kembali terlebih dahulu. Nanti
Bug … bug ….Tiba-tiba, terdengar suara pukulan beruntun sebanyak dua kali dan seorang dari kedua lelaki itu tersungkur ke lantai. Sementara Lisa terperanjat dan berteriak sambil menutup mulutnya tak percaya dengan apa yang sedang terjadi di depan mata kepalanya saat ini.Lisa sama sekali tidak menyangka jika ternyata dokter Lukman akan memberikan pukulan itu pada Roy. Lelaki yang sudah mengkhianatinya dan masih bicara soal menjaga anak dari selingkuhannya itu dengan enteng. Ia sama sekali tidak mengira jika pikiran Roy terlalu sempit atau bahkan bisa dikatakan dia sudah berubah menjadi pria yang tidak mempunyai hati dan perasaan. Lelaki yang dulu selalu menjaga hati dan perasaannya dengan baik, ternyata kita terang-terangan menambah luka dan rasa kecewa padanya. Luka yang ia torehkan kemarin masih ternganga dengan jelas, sekarang ia sengaju menabur asam di atas luka itu.Tak ada lagi yang bisa Lisa pertahankan dengan semua keadaan ini. Bahkan, Lisa sendiri sudah tidak sabar menangga
“Ke mana Roy pergi? Kenapa dia nggak angkat telpon dari aku sama sekali sejak semalam?” gumam Miranda yang baru saja bangun dari tidurnya.Ia menggeliat meregangkan otot-otot badannya dan memandang ke sekeliling. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Roy di ruangan ini. Itu artinya Roy memang benar tidak datang ke rumahnya semalam. Padahal, Miranda sudah memberikan kabar tentang kehamilannya dengan bukti foto testpack pada Roy.Miranda awalnya sangat yakin kalau Roy pasti akan bahagia saat mendengar kabar baik itu. Tentu saja karena sudah sejak lama Roy menginginkan kehadiran seorang anak dalam hidupnya.Lisa tidak pernah bisa memberikannya anak selama ini. meski Roy tidak mengatakan hal itu langsung pada Lisa, tentu saja Miranda bisa mengetahui perasaan Roy sebagai seorang pria yang merasa dirinya sangat normal. Keturunan adalah alasan seseorang bisa mempertahankan dan menyudahi rumah tangganya.Miranda menggerakkan tubuhnya dengan malas. Langkahnya gontai menuju kamar mandi, dan segera ia
“Kamu serius, Roy?” tanya Miranda tak percaya dengan ucapan Roy.“Tentu aja aku serius. Kamu pikir aku pria yang suka berbohong?” jawab Roy dengan sedikit sombong.“Tapi, kamu berbohong banyak sama Lisa tentang hubungan kita,” sindir Miranda pada Roy.“Itu dulu! Sebelum aku tau kalau dia juga mengkhianati aku. Sekarang, aku udah nggak peduli lagi denga napa yang terjadi pada Lisa. Lebih baik aku fokus pada perkembangan calon anak kita,” bantah Roy yang tak ingin terlihat cacat di mata siapapun.Sumpah demi apa, Miranda saat ini sedang sangat bahagia. Ia bahkan tidak bisa mengungkapkan kebahagiaannya itu dengan kata-kata saja. Ia terlalu senang mendengar pengakuan Roy padanya, dan ia hanya bisa diam menatap jalanan seraya mengelus perutnya yang mulai sedikit membuncit.Namun, raut wajah bahagia itu tentu saja tak bisa ia sembunyikan dari Roy. Miranda sudah hampir sepenuhnya memiliki Roy dan itu membuatnya teramat sangat bahagia.“Kita udah sampai.” Roy berkata ketika mobil sudah berhen
Roy dan Miranda duduk di bangku tunggu di depan bagian pengambilan obat. Tentu saja dengan raut wajah bahagia, Miranda tak henti mengelus perutnya dan juga sebelah tangannya lagi menggandeng lengan Roy dengan sangat erat. Seakan ia tak akan pernah melepaskan Roy lagi setelahnya.Tiba-tiba, netra mata Roy menangkap seorang wanita yang didorong masuk ke ruang USG menggunakan kursi roda. Dia adalah Lisa, dan dokter Lukman yang mendorong kursi rodanya ditemani dengan dua orang perawat.Kening Roy mengkernyit dan ia langsung merasa penasaran, ada apa dengan Lisa sampai-sampai ia harus masuk ke ruangan USG juga? Apa Lisa juga ternyata hamil? Apakah Lisa hamil anaknya, atau mungkin saja justru anak dari dokter Lukman? Beragam pertanyaan mengisi ruang pikiran Roy saat ini.Hal itu membuat duduk Roy menjadi gelisah dan tak tenang. Ia terus memikirkan Lisa yang kini sedang berada di dalam ruangan USG. Ia merasa sangat ingin tahu pada kenyataan tentang keadaan Lisa.“Andai dia hamil anakku, apa
“Katakan dengan jelas, Dok! Apa yang Anda maksud? Anda tidak bisa merahasiakan apapun tentang kesehatan istri saya dari saya!” desak Roy pada dokter Susi. “Maaf, Pak Roy. Sebaiknya Anda bicarakan saja hal ini langsung pada istri Anda. Jika memang Anda suaminya, seharusnya tadi Anda ada bersamanya di sini dan menguatkannya dalam segala hal!” sindir dokter Susi dengan sangat pedas. Mendengar ucapan dokter Susi itu, tentu saja Roy semakin tersulut emosi dan menatap sang dokter dengan bengis. “Itu bukan urusan Anda, Dokter!” ucap Roy dengan tegas. “Maka karena itu, sekarang sepertinya Anda sudah bisa keluar dari ruangan saya, Pak Roy yang terhormat. Saya ada pasien lain yang harus segera diperiksa,” usir dokter Susi dengan halus pada Roy. Dengan wajah murka yang jelas terlihat, Roy mendorong sedikit kursinya kemudian berdiri. Tanpa berpamitan dan bahkan mengucapkan sepatah katapun pada dokter Susi, Roy keluar dari ruangan itu. Dokter Susi hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melih
Mendengar ucapan Miranda yang berkata sedang dalam perjalanan untuk pergi menggugurkan kandungannya, tentu saja Roy menjadi sangat panik. Ia tidak pernah menyangka kalau Miranda benar-benar akan berbuat nekad seperti itu. Sekali lagi, Roy merasa terjebak dalam permainannya sendiri.Berkali-kali Roy mencoba menghubungi Miranda, akan tetapi nomor ponselnya sudah tidak dapat dihubungi lagi. Walaupun pada dasarnya, Roy memang tidak pernah berniat untuk memiliki anak dari hubungan gelapnya dengan Miranda, akan tetapi hal itu tidak membuat dirinya pun lantas tidak merasa senang dengan kehamilan Miranda.Roy berusaha sekuat tenaga mencari tahu keberadaan Miranda saat ini. Ia bahkan memerintahkan beberapa anak buahnya untuk mencari dan menemukan Miranda secepatnya.Sementara itu, di dalam sebuah mobil mewah kelas menengah, Miranda sedang duduk di atas pangkuan seorang pria paruh baya. Mungkin, sekitar empat puluh tahunan usia pria itu.“Sayang, kamu nggak takut kalau dia tau?” tanya pria itu
Miranda bahkan tidak menghiraukan ucapan Hans dan lebih memilih untuk melanjutkan tidurnya. Ia tidak ingin terbujuk oleh rayuan lelaki tua dan buaya itu. Miranda sendiri tidak menyangka kalau Hans akan seroyal ini padanya.Hans memberikan akses pribadi untuk bisa keluar masuk ke dalam rumah mewah ini padanya. Saat ini, Hans memang sudah memiliki tiga orang istri. Pengusaha kaya ini tak segan-segan ingin menambah istri lagi. Namun, Miranda masih enggan terikat hubungan dengannya. Miranda masih ingin bebas dan melakukan apa saja yang ia inginkan tanpa ada larangan dari siapapun.Saat tidur, Miranda merasakan bahwa ada tangan yang menjalar di tubuhnya dengan sangat lambat. Perlahan bergerak dari bawah ke atas dan menangkup buah dadanya yang kenyal, montok, juga sangat padat.Ia tahu, Hans pasti mempunyai kunci cadangan untuk bisa masuk ke kamar ini dan pasti tua bangka itu sudah melakukannya. Mana mungkin dia melewatkan kesempatan bercinta dengan Miranda. Hans memang sudah lama tergila-g
“Mami ….”Suara igauan dari Ane menyadarakan Lukman pada khayalannya tentang Lisa. Ia tidak tahu apakah Lita marah dan tersinggung pada ucapannya tadi atau tidak.“Maaf. Aku … aku tiba-tiba teringat istriku,” ucap Lukman penuh nada sesal.“I-iya. Nggak apa-apa. Makasih udah anterin aku sampai depan hotel. Kalau gitu aku permisi.” Lita menjawab dengan sedikit gugup juga.“Sama-sama. Btw, apa kamu jadi test DNA besok?” tanya Lukman sebelum Lita benar-benar turun dari dalam mobilnya.“Jadi. Aku juga penasaran dengan kebenarang itu. Setidaknya, dengan hasil test DNA itu nanti semuanya akan sangat jelas. Iya atau tidaknya informasi yang aku kantongi saat ini.”“Kamu benar. Yang penting semuanya diperiksa dulu, kan?”“Iya. Tapi ….”“Tapi apa?”“Aku kan baru di kota ini. Jadi … aku nggak tau ke mana harus pergi untuk melakukan test itu nanti. Eh, bukannya kamu dokter? Tadi, anak kembarmu itu bilang gitu. Gimana kalau di rumah sakit tempat kamu kerja aja?” tanya Lita kemudian dengan suara yan
Lita masih tertegun tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut anak seusia Ane. Anak itu terdengar sangat dewasa dan pembawannya juga tenang ketika mengatakan semua itu. Bahkan, Lita menjadi ragu bahwa ia adalah anak yang baru berusia sekita enam atau tujuh tahunan.“Maafkan anakku, Nona. Dia masih anak-anak dan nggak ngerti dengan apa yang baru aja dia katakan,” ucap Lukman segera ketika melihat perubahan pada raut wajah Lita.Ia mengira mungkin saja Lita tersinggung dengan ucapan bocah itu. Karena tentu saja, itu adalah hal yang seharusnya diucapkan oleh orang dewasa dan makna dari kalimat itu tentu sangat besar. Tidak main-main tentunya.“Nggak masalah. Aku nggak apa-apa dengan hal itu. Tapi … apa yang membuat Lisa bisa meninggal secepat ini? Aku nggak memiliki Riwayat penyakit dalam yang parah, seharusnya Lisa juga gitu. Karena dia adalah kembaranku. Setidaknya, itu yang aku dengar dan ketahui tentang hubungan kami yang bahkan belum pernah bertemu satu sama yang
Lukman tidak dapat mempercayai penglihatannya saat ini. Di depannya jelas ada wanita yang tampak sangat mirip dengan Lisa – istri tercinta yang sudah tiada dan bahkan sekarang ia dan ketiga anaknya sedang berada di makam Lisa.“Papi … itu bukannya Mami?” tanya Ane dengan suara nyaring pada Lukman dan tak lupa telunjuknya menunjuk kepada wanita itu.“Sayang … jangan asal bicara. Nanti tantenya tersinggung,” gumam Lukman dengan suara yang sedikit ia keraskan agar Ane bisa mendengarnya dengan jelas.“Iya. Meski pun memang mirip, aku rasa dia bukan Mami. Mami jelas udah ada di syurga saat ini,” sela Andi pula dengan pemikirannya yang bak orang dewasa.“Aku setuju dengan Andi. Mereka hanya mirip dan memang di dunia ada tujuh orang yang saling mirip satu sama yang lainnya bukan?” Ana pun ikut menimpali percakapan itu.Sementara, wanita yang sedang mereka bicarakan sudah berada di depan makam Lisa dan menatap ketiga anak Lukman itu dengan senyum yang mengambang. Ia tampak menyukai anak-anak
Lukman membawa ketiga bayi besarnya itu menuju ke sebuah pemakaman elite yang terlihat sangat indah dan rapi tentunya. Di sana adalah makam Lisa yang sudah meninggalkan dirinya lima tahun yang lalu. Lukman tidak pernah merasa kesepian karena Lisa sudah meninggalkan ketiga anak bayi besar itu untuk ia rawat, jaga, dan sayangi sepanjang hidupnya.Ana, Ane, dan Andi tampak sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Andi duduk di kursi penumpang di sebelah kemudi Lukman. Sementara Ana dan Ane duduk di kursi belakang yang sedang asik dengan tablet mereka masing-masing.“Apa yang sedang kalian lakukan? Main game?” tanya Lukman dan melirik kedua gadisnya itu melalui kaca tengah.“Bukan, Pi. Aku sedang melihat style penyanyi luar negeri ini, yang terbaru. Aku mau melukisnya nanti." Ana menyahut dan menampilkan layar tabletnya ke arah Lukman dan tentu saja tidak dapat diliat dengan jelas oleh lelaki itu.“Bagus banget, Sayang. Kamu mau jadi desaigner, ya?” tanya Lukman lagi kepada Ana dengan nad
Lima tahun setelah kepergian Lisa ….“Papi … Ane mana?” Sebuah suara bocah terdengar memanggil ke arah Lukman.“Papi nggak tau, Sayang. Tadi ada di sini. Kenapa?” sahut Lukman pada gadis kecil berusia enam tahun itu.“Dia pinjam buku cerita aku, tapi robek. Liat nih!” jawab gadis bernama Ana itu dengan menunjukkan sebuah buku dongeng yang sampulnya sudah robek setengah kepada Lukman.Lukman menghela napasnya dengan berat. Ia tahu bahwa Ane tidak akan pernah bisa menjaga barangnya dengan baik. Berbeda memang dengan Ana yang selalu perfect dalam segala hal. Meski pun mereka masih terbilang sangat kecil, Ana sudah memperlihatkan sisi kedewasaannya pada saudaranya yang lain.Ia selalu menjadi yang paling unggul di antara kedua saudara kembarnya yang lain. Ana selalu sempurna dalam segala hal dan tidak suka ada kesalahan atau kekurangan sedikit pun pada benda-benda yang dimilikinya. Namun, Ane yang selalu menjadi biang rusuh akan selalu merusak segalanya dan membuat Ana marah.“Nanti Papi
Dua tahun sudah berlalu sejak pernikahan Lisa dan Lukman. Kini mereka sudah tinggal di sebuah rumah yang sederhana tetapi punya lahan yang cukup luas. Ketika membuka jendela kamar, maka hamparan laut biru membentang di pelupuk mata. Lisa selalu suka memandang ke luar jendelanya baik di pagi hari, siang, sore, apalagi malam hari. Sementara Lukman membuka sebuah klinik Kesehatan yang selalu ramai dikunjungi pasien. Meski pun ia tidak pernah menetapkan harga untuk biaya pengobatannya, Lukman sudah cukup merasa bahagia dengan kehidupannya sekarang. Baginya, asalkan Lisa bisa bahagia maka dia juga akan merasa bahagia untuk hal itu. Siang ini, tumben sekali tidak ada pasien yang datang berkunjung ke kliniknya itu. Jadi, Lukman memutuskan untuk segera pulang dan makan masakan istri tercinta. Sudah lama sejak mereka makan siang bersama di rumah bersama tiga orang anak yang berusia sama. Mereka seperti kembar tiga yang selalu ada di mana pun Lisa berada. “Sayang … di mana Ane, Ana, dan Andi?
“Aku tau kalau kamu terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini, sampai kamu lupa kalau hari ini ulang tahunmu. Iya kan?” tanya Lukman dengan serius.“Hmm … sepertinya gitu. Aku benar-benar lupa kalau hari ini ulang tahunku. Kamu malah ingat dan kasih aku kejutan seperti ini. Makasih banyak, Sayang. Aku percaya kamu selalu memberikan aku kebahagiaan tak terbatas,” jawab Lisa dengan mata berkaca-kaca dan memandang lekat pada bola mata Lukman.“Aku nggak bisa menjanjikan apa pun untuk kamu. Tapi … aku bisa pastikan selama aku bisa maka aku akan memberikan segala yang terbaik untuk kamu dan kebahagiaan kamu,” ungkap Lukman sekali lagi dan membuat hati Lisa merasa tenang.“Makasih, Sayang. Akhirnya aku benar-benar bisa hidup dengan bahagia.”“Memangnya, siapa yang bilang kalau kamu nggak bisa hidup bahagia?”“Nggak ada. Itu cuma ketakutan yang sempat mengisi hati dan pikiranku dulu,” jawab Lisa dan tersenyum tipis.“Sekarang, nggak ada lagi yang harus kamu takutkan. Selama ada aku, semuanya ak
“Siapa yang datang jam segini?” tanya Lukman dan merasa heran.“Mana aku tau, Sayang. Kamu yang buka atau aku?” Lisa menaikkan bahunya lalu bertanya juga pada Lukman.“Aku aja. Kamu di sini aja, ya. Siapa tau itu mantan mertua kamu yang dalam incaran polisi,” jawab Lukman dan mulai waspada.“Apa aku telpon 116 aja sekarang?”“Jangan dulu. Kita nggak tau siapa yang berdiri di depan pintu saat ini. Jangan gegabah, Sayang.”Lukman berkata kepada Lisa karena sebenarnya sejak tadi dia juga merasa tidak nyaman dan seperti ada hal besar yang akan terjadi. Namun, karena tidak ingin membuat Lisa merasa khawatir, tentu saja Lukman tidak menyampaikan hal itu kepada sang istrinya. Apalagi Lisa sedang dalam masa pemulihannya. Hal-hal tidak penting seperti itu hanya akan memperburuk kesehatannya lagi.Lisa memperhatikan Lukman yang berjalah keluar dari kamar dan berharap semoga yang datang bukan lah orang jahat. Ia mengikuti perintah Lukman dan tetap berdiri di dalam kamar mereka dengan menahan ras
Tiga hari lamanya Lisa dirawat secara insentif di rumah sakit hingga akhirnya diperbolehkan untuk pulang dan bisa melakukan pengobatan dengan rawat jalan saja. Hal itu dikarenakan kondisi Lisa yang memang benar-benar sudah memungkinkan dan mengalami kemajuan yang sangat pesat pasca perawatan di rumah sakit besar itu.Lukman membawa Lisa pulang ke apartemennya dan mereka merasa sangat lega karena akhirnya bisa kembali pulang. Hal itu juga membuat keluarga Lukman yang sudah pulang ke negaranya menjadi sangat senang. Mereka mengatakan sangat menyesal tidak bisa menemani Lisa sampai Lisa diperbolehkan untuk pulang.“Sayang … makasih kamu udah rawat aku selama aku sakit,” ucap Lisa sungguh-sungguh dengan menggenggam tangan Lukman dengan erat.“Jangan bilang makasih, dong Sayang. Itu memang udah jadi tanggung jawab aku sebagai suami kamu,” balas Lukman dengan tatapan mesra dan juga melempar senyum pada Lisa.“Kamu adalah pria terhebat dan juga suami terbaik di dunia,” ungkap Lisa dan langsu