“Jawab, dong! Aku menunggu jawaban dari kamu, Sayang.” Lukman kembali bertanya kepada Lisa dengan nada sedikit mendesak karena memang ia butuh kepastian dari kekasihnya itu.“Apa aku harus jawab sekarang juga?” tanya Lisa kepada Lukman dengan menggigit bibirnya sempurna.“Kamu ragu sama aku? Kalau kamu yakin, pasti langsung jawab iya.”“Aku nggak ragu sama kamu, Sayang. Kalau sama kamu, aku udah yakin seribu persen. Tapi masalahnya ….”“Kamu masih ragu karena mikirin tanggapan orang tentang status kamu dan juga tentang keputusan keluarga aku nanti?” tanya Lukman yang langsung pada intinya.Lisa tidak menjawab pertanyaan Lukman itu dan sampai saat ini Lukman masih berlutut di depan Lisa sambil memegangi kotak merah itu. Na masih berharap Lisa segera memberikannya jawaban sesuai dengan yang ia harapkan. Namun, gurat ragu terpancar jelas dari wajahnya yang cantik dalam pantulan sinar cahaya yang remang-remang itu.Wanita itu masih menunduk sayu karena memang benar seperti yang ditanyakan
Makan malam pertama Lisa dan bersama keluarga besar Lukman berjalan dengan penuh keceriaan dan tawa canda. Ternyata, mereka rata-rata bisa berbahasa Indonesia dan hal itu membuat Lisa merasa lebih nyaman dekat dan bicara bersama mereka. Walaupun sebenarnya Lisa juga ahli berbahasa inggris dan beberapa bahasa lainnya, akan tetapi ia tetap lebih nyaman jika menggunakan bahasa Indonesia.Lukman ternyata sengaja mendatangkan keluarga besarnya itu jauh-jauh dari luar negeri hanya untuk menepis semua keraguan dalam hati Lisa tentang keluarganya yang tidak akan menyukai seorang wanita berstatus janda seperti Lisa.Akhirnya makan malam itu berjalan dengan sukses sampai Lukman mengirim kembali keluarganya ke hotel tempat mereka menginap. Setelah itu, Lukman pun mengantarkan Lisa pulang ke rumahnya yang bisa dikatakan lumayan jauh dari pusat kota. Hal itu karena Lisa memang memilih hidup sederhana dalam keheningan setelah mengetahui tentang perselingkuhan Roy dan Miranda saat itu.Apalagi, sete
“Aku nggak bisa kasih kamu anak, Luke!” tegas Lisa lagi dengan sedikit menekankan nada bicaranya kepada Lukman.“Aku sudah mengangkat kedua rahimku, kalau kamu lupa!” lanjut Lisa sedih.“Siapa bilang, alasan untuk tidak sabar sampai di rumah dan menunggu weekend tiba itu hanya karena ada seorang anak? Kamu juga bisa membuatku merasa seperti itu, Sayang. Aku akan selalu tidak sabar untuk segera pulang untuk bisa bertemu dengan kamu!” ungkap Lukman yang lantas membuat air mata Lisa berhasil lolos dari pertahanannya.“Sayang …,” lirih Lisa dengan penuh rasa haru dan bahagia.“Semua yang aku lakukan adalah untukmu. Kamu bisa menjadi segala alasan bagiku, Sayang,” ungkap Lukman lagi dan semakin membuat perasaan Lisa tersentuh.“Terima kasih banyak untuk semua cinta yang kamu beri untukku!” ucap Lisa dengan penuh ketulusan hatinya yang terdalam.Lukman merasa bahwa Lisa sudah terlalu banyak mengucapkan terima kasih kepadanya. Namun, tentu Lukman tidak akan protes tentang hal itu karena ia t
“Apa yang kamu bilang barusan?” tanya Ella seolah merasa tidak yakin dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut Lisa.“Aku akan menikah, Beb. Lukman udah melamar aku tadi, dan itu di depan keluarga besarnya!” ucap Lisa mengulangi lagi pengakuannya.Ella di seberang sana terdiam karena merasa syok dalam arti bahagia. Ia sama sekali tidak menyangka hari di mana kebahagiaan itu datang kepada Lisa sudah sampai dengan begitu cepat dan orang yang selama ini tahu tentang seluk beluk penyakitnya, membantu proses operasinya, dan juga memberikan semangat luar biasa kepadanya, ternyata adalah pria yang tepat dan akan mendampingin melewati masa-masa yang tidak akan pernah bisa mereka duga ke depannya.Lisa tetap diam karena ia tahu bahwa saat ini Ella sedang menetralkan pikiran dan napasnya dan tidak ingin terlalu terburu-buru menjelaskan segalanya kepada Ella. Lisa juga yakin bahwa sesaat lagi Ella akan bertanya di mana ia berada saat ini.“Apa itu artinya kamu sekarang sedang di luar negeri
Bagaimana caranya Ella akan menjelaskan pada Lisa bahwa anak yang diadopsinya adalah anak Miranda? Sungguh ia dalam dilemma yang cukup besar saat ini. Namun, suara tangis bayi itu sepertinya menyelematkan Ella dari pertanyaan Lisa kali ini.“La, bayi kamu nangis terus tuh. Udah, kamu urus dia aja dulu. Lain kali kita cerita lagi, ya!” ucap Lisa memberikan waktu untuk Ella bisa mengurus anak angkatnya itu.“Oh, iya. Makasih atas pengertian kamu. Leon memang sedang nggak enak badan. Makanya dia sering bangun dan rewel,” balas Ella dan sedikit menjelaskan kepada Lisa tentang kondisi bayi itu.“Iya. Akhirnya kamu merasakan juga jadi seorang ibu. Aku berharap, suatu saat nanti aku akan mengalami hal itu juga,” ungkap Lisa kepada Ella dan mengakhiri panggilan mereka.Di dalam hatinya, Ella tentu sedikit merasa bersalah kepada Lisa karena tidak mengatakan terus terang tentang anak yang sudah diangkatnya saat ini. Bagaimanapun juga, seharusnya Lisa tahu tentang hal itu karena sebenarnya merek
“Hey! Jangan sok jadi jagoan kau di sini!” sorak Baron, yang mereka anggap sebagai ketua di dalam kamar tahanan itu.“Aku nggak ada urusan denganmu. Sebaiknya kau diam aja di tempatmu!” bentak Roy dan melirik tajam pada Baron.Semua orang di dalam sel tahanan itu lantas tercengang karena jawaban dan bentakan yang diberikan Roy kepada Baron. Selama ini, tidak ada yang berani bicara dengan nada tinggi apalagi kasar kepada Baron. Baron adalah penjahat kelas kakap yang sudah biasa keluar masuk penjara. Namun, biasanya ia tidak akan lama mendekam di dalam penjara.Setidaknya hanya satu sampai dua tahun saja, karena ia akan dibebaskan dengan sejumlah uang dari para anggotanya yang berada di luar. Agar tidak terlalu jelas permainan uang di sana, maka ia tetap harus menjalani maksimal satu tahun penjara agar tidak ada yang curiga dan tentu saja agar kasus yang menimpa dirinya sudah mulai dilupakan oleh orang-orang.“Berani sekali kau membentak ketua seperti itu?” geram Dodi dan langsung menga
Tanpa terasa lagi, waktu memang terus berlalu dengan sangat cepat dan tiba lah hari di mana pernikahan Lisa dan Lukman akan segera diselenggarakan. Pagi ini adalah acara akad dan langsung dilanjutkan dengan resepsi pernikahannya. Tanpa terasa pula, sudah sebulan keluarga Lukman berada di Indonesia dan tinggal di sebuah hotel mewah. Yang mana ternyata hotel itu juga masih ada hak kepemilikan ayah Lukman.“Saya terima nikah dan kawinnya Melisa Anggraini binti Mohammad Syabri Iskandar dengan seperangkat alat sholat, emas seberat dua puluh tujuh gram, satu unit rumah, dan satu unit apartemen dibayar tunai!” ucap Lukman dengan sangat lancar dan jelas. Suaranya sangat lantang terdengar hingga orang yang berada jauh pun dapat mendengarkan ijab qabul itu dengan sangat jelas.“Bagaimana para saksi? Sah?” tanya pak penghulu kepada para saksi.“Sah ….”“Sah!”“Sah.”Silih berganti, bersahutan, dan ada pula yang serempak mengatakan kata sah itu sesaat setelah pak penghulu yang juga menjadi wali u
Pesta pernikahan Lisa dan Lukman selesai dalam waktu yang cukup panjang dan tentu saja dengan para tamu undangan yang melimpah ruah. Mereka semua seperti tidak rela kehilangan momen pernikahan antara dokter tampan itu dengan seorang wanita cantik dan terlihat sangat menarik, meski sudah berstatus sebagai seorang janda.Sewa gedung yang mahal dan catering yang tidak main-main seakan terbayarkan dengan jumlah tamu yang membludak dan berantusias itu. Mereka tidak menjalani resepsi pernikahan yang kaku dan formal. Justru, mereka sangat enjoy dan berusaha untuk berbaur dengan para tamu dengan sebaik mungkin dan juga bersorak gembira bersama. Bernyanyi dan menari penuh suka cita hingga malam larut dan pesta berakhir.“Sayang … aku nggak nyangka banget lho tadi tamunya bakalan serame itu,” ucap Lisa kepada Lukman sambil membuka satu persatu aksesoris di tubuhnya.“Apalagi aku, Sayang. Tapi, memang semuanya tamu undangan kita sih, ya. Bisa dihitung dengan jari aja sih berapa orang yang nggak
“Mami ….”Suara igauan dari Ane menyadarakan Lukman pada khayalannya tentang Lisa. Ia tidak tahu apakah Lita marah dan tersinggung pada ucapannya tadi atau tidak.“Maaf. Aku … aku tiba-tiba teringat istriku,” ucap Lukman penuh nada sesal.“I-iya. Nggak apa-apa. Makasih udah anterin aku sampai depan hotel. Kalau gitu aku permisi.” Lita menjawab dengan sedikit gugup juga.“Sama-sama. Btw, apa kamu jadi test DNA besok?” tanya Lukman sebelum Lita benar-benar turun dari dalam mobilnya.“Jadi. Aku juga penasaran dengan kebenarang itu. Setidaknya, dengan hasil test DNA itu nanti semuanya akan sangat jelas. Iya atau tidaknya informasi yang aku kantongi saat ini.”“Kamu benar. Yang penting semuanya diperiksa dulu, kan?”“Iya. Tapi ….”“Tapi apa?”“Aku kan baru di kota ini. Jadi … aku nggak tau ke mana harus pergi untuk melakukan test itu nanti. Eh, bukannya kamu dokter? Tadi, anak kembarmu itu bilang gitu. Gimana kalau di rumah sakit tempat kamu kerja aja?” tanya Lita kemudian dengan suara yan
Lita masih tertegun tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut anak seusia Ane. Anak itu terdengar sangat dewasa dan pembawannya juga tenang ketika mengatakan semua itu. Bahkan, Lita menjadi ragu bahwa ia adalah anak yang baru berusia sekita enam atau tujuh tahunan.“Maafkan anakku, Nona. Dia masih anak-anak dan nggak ngerti dengan apa yang baru aja dia katakan,” ucap Lukman segera ketika melihat perubahan pada raut wajah Lita.Ia mengira mungkin saja Lita tersinggung dengan ucapan bocah itu. Karena tentu saja, itu adalah hal yang seharusnya diucapkan oleh orang dewasa dan makna dari kalimat itu tentu sangat besar. Tidak main-main tentunya.“Nggak masalah. Aku nggak apa-apa dengan hal itu. Tapi … apa yang membuat Lisa bisa meninggal secepat ini? Aku nggak memiliki Riwayat penyakit dalam yang parah, seharusnya Lisa juga gitu. Karena dia adalah kembaranku. Setidaknya, itu yang aku dengar dan ketahui tentang hubungan kami yang bahkan belum pernah bertemu satu sama yang
Lukman tidak dapat mempercayai penglihatannya saat ini. Di depannya jelas ada wanita yang tampak sangat mirip dengan Lisa – istri tercinta yang sudah tiada dan bahkan sekarang ia dan ketiga anaknya sedang berada di makam Lisa.“Papi … itu bukannya Mami?” tanya Ane dengan suara nyaring pada Lukman dan tak lupa telunjuknya menunjuk kepada wanita itu.“Sayang … jangan asal bicara. Nanti tantenya tersinggung,” gumam Lukman dengan suara yang sedikit ia keraskan agar Ane bisa mendengarnya dengan jelas.“Iya. Meski pun memang mirip, aku rasa dia bukan Mami. Mami jelas udah ada di syurga saat ini,” sela Andi pula dengan pemikirannya yang bak orang dewasa.“Aku setuju dengan Andi. Mereka hanya mirip dan memang di dunia ada tujuh orang yang saling mirip satu sama yang lainnya bukan?” Ana pun ikut menimpali percakapan itu.Sementara, wanita yang sedang mereka bicarakan sudah berada di depan makam Lisa dan menatap ketiga anak Lukman itu dengan senyum yang mengambang. Ia tampak menyukai anak-anak
Lukman membawa ketiga bayi besarnya itu menuju ke sebuah pemakaman elite yang terlihat sangat indah dan rapi tentunya. Di sana adalah makam Lisa yang sudah meninggalkan dirinya lima tahun yang lalu. Lukman tidak pernah merasa kesepian karena Lisa sudah meninggalkan ketiga anak bayi besar itu untuk ia rawat, jaga, dan sayangi sepanjang hidupnya.Ana, Ane, dan Andi tampak sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Andi duduk di kursi penumpang di sebelah kemudi Lukman. Sementara Ana dan Ane duduk di kursi belakang yang sedang asik dengan tablet mereka masing-masing.“Apa yang sedang kalian lakukan? Main game?” tanya Lukman dan melirik kedua gadisnya itu melalui kaca tengah.“Bukan, Pi. Aku sedang melihat style penyanyi luar negeri ini, yang terbaru. Aku mau melukisnya nanti." Ana menyahut dan menampilkan layar tabletnya ke arah Lukman dan tentu saja tidak dapat diliat dengan jelas oleh lelaki itu.“Bagus banget, Sayang. Kamu mau jadi desaigner, ya?” tanya Lukman lagi kepada Ana dengan nad
Lima tahun setelah kepergian Lisa ….“Papi … Ane mana?” Sebuah suara bocah terdengar memanggil ke arah Lukman.“Papi nggak tau, Sayang. Tadi ada di sini. Kenapa?” sahut Lukman pada gadis kecil berusia enam tahun itu.“Dia pinjam buku cerita aku, tapi robek. Liat nih!” jawab gadis bernama Ana itu dengan menunjukkan sebuah buku dongeng yang sampulnya sudah robek setengah kepada Lukman.Lukman menghela napasnya dengan berat. Ia tahu bahwa Ane tidak akan pernah bisa menjaga barangnya dengan baik. Berbeda memang dengan Ana yang selalu perfect dalam segala hal. Meski pun mereka masih terbilang sangat kecil, Ana sudah memperlihatkan sisi kedewasaannya pada saudaranya yang lain.Ia selalu menjadi yang paling unggul di antara kedua saudara kembarnya yang lain. Ana selalu sempurna dalam segala hal dan tidak suka ada kesalahan atau kekurangan sedikit pun pada benda-benda yang dimilikinya. Namun, Ane yang selalu menjadi biang rusuh akan selalu merusak segalanya dan membuat Ana marah.“Nanti Papi
Dua tahun sudah berlalu sejak pernikahan Lisa dan Lukman. Kini mereka sudah tinggal di sebuah rumah yang sederhana tetapi punya lahan yang cukup luas. Ketika membuka jendela kamar, maka hamparan laut biru membentang di pelupuk mata. Lisa selalu suka memandang ke luar jendelanya baik di pagi hari, siang, sore, apalagi malam hari. Sementara Lukman membuka sebuah klinik Kesehatan yang selalu ramai dikunjungi pasien. Meski pun ia tidak pernah menetapkan harga untuk biaya pengobatannya, Lukman sudah cukup merasa bahagia dengan kehidupannya sekarang. Baginya, asalkan Lisa bisa bahagia maka dia juga akan merasa bahagia untuk hal itu. Siang ini, tumben sekali tidak ada pasien yang datang berkunjung ke kliniknya itu. Jadi, Lukman memutuskan untuk segera pulang dan makan masakan istri tercinta. Sudah lama sejak mereka makan siang bersama di rumah bersama tiga orang anak yang berusia sama. Mereka seperti kembar tiga yang selalu ada di mana pun Lisa berada. “Sayang … di mana Ane, Ana, dan Andi?
“Aku tau kalau kamu terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini, sampai kamu lupa kalau hari ini ulang tahunmu. Iya kan?” tanya Lukman dengan serius.“Hmm … sepertinya gitu. Aku benar-benar lupa kalau hari ini ulang tahunku. Kamu malah ingat dan kasih aku kejutan seperti ini. Makasih banyak, Sayang. Aku percaya kamu selalu memberikan aku kebahagiaan tak terbatas,” jawab Lisa dengan mata berkaca-kaca dan memandang lekat pada bola mata Lukman.“Aku nggak bisa menjanjikan apa pun untuk kamu. Tapi … aku bisa pastikan selama aku bisa maka aku akan memberikan segala yang terbaik untuk kamu dan kebahagiaan kamu,” ungkap Lukman sekali lagi dan membuat hati Lisa merasa tenang.“Makasih, Sayang. Akhirnya aku benar-benar bisa hidup dengan bahagia.”“Memangnya, siapa yang bilang kalau kamu nggak bisa hidup bahagia?”“Nggak ada. Itu cuma ketakutan yang sempat mengisi hati dan pikiranku dulu,” jawab Lisa dan tersenyum tipis.“Sekarang, nggak ada lagi yang harus kamu takutkan. Selama ada aku, semuanya ak
“Siapa yang datang jam segini?” tanya Lukman dan merasa heran.“Mana aku tau, Sayang. Kamu yang buka atau aku?” Lisa menaikkan bahunya lalu bertanya juga pada Lukman.“Aku aja. Kamu di sini aja, ya. Siapa tau itu mantan mertua kamu yang dalam incaran polisi,” jawab Lukman dan mulai waspada.“Apa aku telpon 116 aja sekarang?”“Jangan dulu. Kita nggak tau siapa yang berdiri di depan pintu saat ini. Jangan gegabah, Sayang.”Lukman berkata kepada Lisa karena sebenarnya sejak tadi dia juga merasa tidak nyaman dan seperti ada hal besar yang akan terjadi. Namun, karena tidak ingin membuat Lisa merasa khawatir, tentu saja Lukman tidak menyampaikan hal itu kepada sang istrinya. Apalagi Lisa sedang dalam masa pemulihannya. Hal-hal tidak penting seperti itu hanya akan memperburuk kesehatannya lagi.Lisa memperhatikan Lukman yang berjalah keluar dari kamar dan berharap semoga yang datang bukan lah orang jahat. Ia mengikuti perintah Lukman dan tetap berdiri di dalam kamar mereka dengan menahan ras
Tiga hari lamanya Lisa dirawat secara insentif di rumah sakit hingga akhirnya diperbolehkan untuk pulang dan bisa melakukan pengobatan dengan rawat jalan saja. Hal itu dikarenakan kondisi Lisa yang memang benar-benar sudah memungkinkan dan mengalami kemajuan yang sangat pesat pasca perawatan di rumah sakit besar itu.Lukman membawa Lisa pulang ke apartemennya dan mereka merasa sangat lega karena akhirnya bisa kembali pulang. Hal itu juga membuat keluarga Lukman yang sudah pulang ke negaranya menjadi sangat senang. Mereka mengatakan sangat menyesal tidak bisa menemani Lisa sampai Lisa diperbolehkan untuk pulang.“Sayang … makasih kamu udah rawat aku selama aku sakit,” ucap Lisa sungguh-sungguh dengan menggenggam tangan Lukman dengan erat.“Jangan bilang makasih, dong Sayang. Itu memang udah jadi tanggung jawab aku sebagai suami kamu,” balas Lukman dengan tatapan mesra dan juga melempar senyum pada Lisa.“Kamu adalah pria terhebat dan juga suami terbaik di dunia,” ungkap Lisa dan langsu