Pesta pernikahan Lisa dan Lukman selesai dalam waktu yang cukup panjang dan tentu saja dengan para tamu undangan yang melimpah ruah. Mereka semua seperti tidak rela kehilangan momen pernikahan antara dokter tampan itu dengan seorang wanita cantik dan terlihat sangat menarik, meski sudah berstatus sebagai seorang janda.Sewa gedung yang mahal dan catering yang tidak main-main seakan terbayarkan dengan jumlah tamu yang membludak dan berantusias itu. Mereka tidak menjalani resepsi pernikahan yang kaku dan formal. Justru, mereka sangat enjoy dan berusaha untuk berbaur dengan para tamu dengan sebaik mungkin dan juga bersorak gembira bersama. Bernyanyi dan menari penuh suka cita hingga malam larut dan pesta berakhir.“Sayang … aku nggak nyangka banget lho tadi tamunya bakalan serame itu,” ucap Lisa kepada Lukman sambil membuka satu persatu aksesoris di tubuhnya.“Apalagi aku, Sayang. Tapi, memang semuanya tamu undangan kita sih, ya. Bisa dihitung dengan jari aja sih berapa orang yang nggak
Lisa sudah tertidur pulas di atas lengan Lukman yang dijadikannya bantal pada malam pertama mereka. Lukman mengusap wajah cantik Lisa yang masih terasa sedikit lembab karena sisa keringat keringat percintaan mereka barusan.Tak hentinya Lukman tersenyum bahagia karena pada akhirnya dia memiliki wanita yang memang sudah sejak lama mencuri hatinya itu. Ia merasa sangat beruntung meski harus menunggu sangat lama sampai Lisa akhirnya benar-benar mau membuka hatinya dan menerima pria lain dalam hidupnya.“Makasih, Sayang. Aku akan selalu menjaga dan melindungi kamu dengan segenap jiwa dan ragaku. Aku akan membuatmu bahagia dengan caraku sendiri.” Lukman berkata dengan suara setengah berbisik dan mengecup kepala Lisa dengan lembut.Mendapat sentuhan seperti itu, Lisa yang sedang tertidur pun menggeliat dan menggosok-gosokkan kepalanya di lengan Lukman. Kemudian ia memiringkan badan dan mendekap tubuh kekar Lukman yang tidak tertutup selimut sedikit pun di bagian atasnya itu. tentu saja, mer
Mendengar ada yang memanggil namanya, tentu saja Lisa spontan menoleh dan mendapati bahwa di sana sudah berdiri seorang pria yang bisa dikatakan sudah cukup tua.“Papa mertua,” gumam Lisa tanpa sadar.“Apa kabar, Nak?” tanya pria itu dengan suara yang terdengar sedikit sedih.“Aku … baik-baik aja, Pa. Papa sendiri gimana? Papa sama siapa ke sini?” Lisa melemparkan pertanyaan bertubi-tubi kepada pria bernama Herman – ayah kandung Roy.“Papa sendirian lagi keliling cari sarapan. Papa ke rumah kalian tapi rumah itu sepertinya udah lama nggak ditempati. Mau nanya juga nggak ada orang yang bisa ditanyai di sana,” terang Hartawan yang sepertinya memang baru saja datang lagi ke kota itu.Selama ini, Herman tinggal jauh di kampung halamannya karena menurutnya Roy dan Lisa sudah bisa diandalkan melanjutkan semua usaha dan bisnisnya. Jadi, orang tua Roy memutuskan untuk pensiun dini dan kembali ke kampung halaman. Menikmati masa tua mereka dengan udara dan pemandangan yang menyejukkan mata dan
Lisa masih terdiam ketika mendengar pertanyaan dari Herman itu. Sesungguhnya, dia tidak ingin membuat Herman merasa sedih dan mungkin saja kesehatannya akan berada dalam bahaya jika mengetahui hal yang sebenarnya tentang Roy saat ini. Namun, Lisa juga tidak tahu alasan apa yang harus ia katakan kepada Herman saat ini.“Sayang … kamu di sini!” Suara Lukman tiba-tiba saja terdengar di belakang Lisa dan membuat Lisa semakin yakin bahwa ia tidak bisa lagi menyembunyikan kebenarannya dari Herman.“I-iya, Sayang. Aku lupa ngabarin kamu!” sahut Lisa dengan sedikit canggung dan tersenyum kaku.Herman yang penasaran karena suara yang ia dengar memanggil dan dipanggil Lisa dengan kata sayang bukan lah suara putranya – Roy. Tentu saja Herman masih sangat hafal bagaimana suara Roy meski memang mereka sudah sangat lama tidak saling berkomunikasi lagi.Pria tua itu memutar kepalanya ke belakang dan melihat Lukman yang berdiri tegap di belakangnya dan tersenyum dengan sangat ramah sambil sedikit men
Herman menunggu jawaban dari Lisa dan Lukman yang sepertinya masih ragu untuk memberikan jawaban kepadanya. Kemudian ia berpikir bahwa mungkin saja pertanyaan yang ia lontarkan itu terlalu sensitive bagi mereka. Apalagi, Herman juga tidak tahu sudah berapa lama sepasang suami istri itu sudah menjalin hubungan pernikahan.“Maaf kalau Papa lancang,” ucap Herman dengan nada menyesal.“Nggak apa-apa, Pa. Aku dan Lukman sebenarnya baru menikah semalam, dan ini hari pertama kami sebagai pasangan suami istri,” jawab Lisa membeberkan kebenaran tentang hubungannya dengan Lukman.“Ya ampun! Ternyata pengantin baru! Maaf Papa udah mengganggu waktu kalian dan membuat waktu kalian terbuang banyak,” seru Herman sungguh merasa bersalah terutama kepada Lisa.“Papa! Nggak usah sungkan seperti itu. Papa tetap adalah orang tua bagiku dan nggak akan pernah berubah meskipun hubungan aku dengan Roy sudah berubah dan berakhir,” ungkap Lisa dengan tulus kepada Herman.“Sayang sekali Roy menyia-nyiakan wanita
Lisa merasakan ada yang basah di bibirnya dan itu sedikit manis. Namun, kenapa ada hembusan angin yang hangat menerpa wajahnya? Lisa yakin bahwa dia sedang tertidur karena menunggu kedatangan Lukman yang sedang mengantarkan Herman.“Hmm ….” Lisa menggeliat dengan sediki mendesah.Namun, ia justru merasa tubuhnya seperti sedang dikekang oleh sesuatu yang besar dan juga berat. Lisa masih terlalu sulit membuka matanya karena ia memang seperti itu ketika baru tertidur. Matanya akan lengket seperti diberi lem saking beratnya dan tidak bisa dibuka.“Aku tau kamu di sini, Luke! Jangan menggodaku lagi. Aku terlalu lelah karena ulahmu semalam, Sayang,” ucap Lisa dengan manja dan mulai meraba yang ada di atas tubuhnya.Ia menyentuh bagian yang bisa saja disebut dengan dada. Ia terus meraba dada itu dengan sangat lambat seperti sengaja memberikan kesan menggoda kepada lelaki yang ia yakini adalah Lukman itu. Namun, orang itu masih terus diam tidak menanggapi ucapan Lisa tadi.“Kok kamu cepat ban
Roy dengan segera beranjak dari ranjang itu dan membuat Lisa sedikit bernapas lega. Setidaknya, Roy masih mau mendengarkan dia untuk saat ini. Lisa sedang berpikir keras bagaimana caranya bisa terlepas dari Roy dan bisa menghubungi Lukman. Sungguh, meski ia tahu bahwa Roy tidak akan mencelakainya untuk saat ini, Lisa tetap tidak bisa menjamin apa yang akan dilakukan oleh pria itu nantinya.“Roy … apa kamu ingat kalau aku suka roti dengan isian fla mangga di dalamnya?” tanya Lisa ketika ia sudah bisa sedikit bergerak dan menyandar ke dinding kasur, sementara Roy duduk di sisi ranjang menatapnya.“Tentu saja aku masih ingat, Sayang. Mana mungkin aku lupa makanan yang kamu suka!” jawab Roy penuh percaya diri dan mengulurkan tangannya untuk membelai kepala Lisa.“Aku kira kamu udah lupa. Terlalu banyak yang sudah berubah akhir-akhir ini, Roy!” ungkap Lisa sengaja memancing emosional Roy.“Ya, Sayang. Kamu benar dan aku nggak suka dengan perubahan itu!”“Aku juga, Roy. Makanya, kamu jangan
“Lukman! Aku benar-benar butuh kamu sekarang. Cepat lah kembali ke hotel dan tolong aku! Roy ada di sini dan dia mengurungku di kamar mandi, Sayang. Tolong aku!” isak Lisa sudah tidak bisa lagi ia tahan dan hal itu terdengar sangat meyakinkan di telinga Lukman.“Kamu bukan memang janjian ketemu sama dia, Sayang?” tanya Lukman yang sepertinya menganggap bahwa Lisa sudah merencanakan semuanya sejak awal.“Luke! Jangan membuatku menganggapmu sama seperti bajingan itu!” ucap Lisa lagi dengan suara yang dibuat setegas mungkin meski nadanya terdengar bergetar.“Sayang … sepertinya kita udah dijebak! Aku … aku akan segera ke sana sekarang. Kamu tenang dulu, oke? Aku akan minta bantuan dari polisi juga,” terang Lukman dengan panik.“Oke. Cepatlah, Luke. Aku nggak tau kapan dia akan datang lagi dan nggak tau apa yang akan dia lakukan padaku!” rengek Lisa lagi untuk pertama kalinya merasa takut pada Roy setelah sekian lama.“Baik, Sayang. tetap tenang dan berusaha untuk bersikap baik dan jangan
“Mami ….”Suara igauan dari Ane menyadarakan Lukman pada khayalannya tentang Lisa. Ia tidak tahu apakah Lita marah dan tersinggung pada ucapannya tadi atau tidak.“Maaf. Aku … aku tiba-tiba teringat istriku,” ucap Lukman penuh nada sesal.“I-iya. Nggak apa-apa. Makasih udah anterin aku sampai depan hotel. Kalau gitu aku permisi.” Lita menjawab dengan sedikit gugup juga.“Sama-sama. Btw, apa kamu jadi test DNA besok?” tanya Lukman sebelum Lita benar-benar turun dari dalam mobilnya.“Jadi. Aku juga penasaran dengan kebenarang itu. Setidaknya, dengan hasil test DNA itu nanti semuanya akan sangat jelas. Iya atau tidaknya informasi yang aku kantongi saat ini.”“Kamu benar. Yang penting semuanya diperiksa dulu, kan?”“Iya. Tapi ….”“Tapi apa?”“Aku kan baru di kota ini. Jadi … aku nggak tau ke mana harus pergi untuk melakukan test itu nanti. Eh, bukannya kamu dokter? Tadi, anak kembarmu itu bilang gitu. Gimana kalau di rumah sakit tempat kamu kerja aja?” tanya Lita kemudian dengan suara yan
Lita masih tertegun tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut anak seusia Ane. Anak itu terdengar sangat dewasa dan pembawannya juga tenang ketika mengatakan semua itu. Bahkan, Lita menjadi ragu bahwa ia adalah anak yang baru berusia sekita enam atau tujuh tahunan.“Maafkan anakku, Nona. Dia masih anak-anak dan nggak ngerti dengan apa yang baru aja dia katakan,” ucap Lukman segera ketika melihat perubahan pada raut wajah Lita.Ia mengira mungkin saja Lita tersinggung dengan ucapan bocah itu. Karena tentu saja, itu adalah hal yang seharusnya diucapkan oleh orang dewasa dan makna dari kalimat itu tentu sangat besar. Tidak main-main tentunya.“Nggak masalah. Aku nggak apa-apa dengan hal itu. Tapi … apa yang membuat Lisa bisa meninggal secepat ini? Aku nggak memiliki Riwayat penyakit dalam yang parah, seharusnya Lisa juga gitu. Karena dia adalah kembaranku. Setidaknya, itu yang aku dengar dan ketahui tentang hubungan kami yang bahkan belum pernah bertemu satu sama yang
Lukman tidak dapat mempercayai penglihatannya saat ini. Di depannya jelas ada wanita yang tampak sangat mirip dengan Lisa – istri tercinta yang sudah tiada dan bahkan sekarang ia dan ketiga anaknya sedang berada di makam Lisa.“Papi … itu bukannya Mami?” tanya Ane dengan suara nyaring pada Lukman dan tak lupa telunjuknya menunjuk kepada wanita itu.“Sayang … jangan asal bicara. Nanti tantenya tersinggung,” gumam Lukman dengan suara yang sedikit ia keraskan agar Ane bisa mendengarnya dengan jelas.“Iya. Meski pun memang mirip, aku rasa dia bukan Mami. Mami jelas udah ada di syurga saat ini,” sela Andi pula dengan pemikirannya yang bak orang dewasa.“Aku setuju dengan Andi. Mereka hanya mirip dan memang di dunia ada tujuh orang yang saling mirip satu sama yang lainnya bukan?” Ana pun ikut menimpali percakapan itu.Sementara, wanita yang sedang mereka bicarakan sudah berada di depan makam Lisa dan menatap ketiga anak Lukman itu dengan senyum yang mengambang. Ia tampak menyukai anak-anak
Lukman membawa ketiga bayi besarnya itu menuju ke sebuah pemakaman elite yang terlihat sangat indah dan rapi tentunya. Di sana adalah makam Lisa yang sudah meninggalkan dirinya lima tahun yang lalu. Lukman tidak pernah merasa kesepian karena Lisa sudah meninggalkan ketiga anak bayi besar itu untuk ia rawat, jaga, dan sayangi sepanjang hidupnya.Ana, Ane, dan Andi tampak sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Andi duduk di kursi penumpang di sebelah kemudi Lukman. Sementara Ana dan Ane duduk di kursi belakang yang sedang asik dengan tablet mereka masing-masing.“Apa yang sedang kalian lakukan? Main game?” tanya Lukman dan melirik kedua gadisnya itu melalui kaca tengah.“Bukan, Pi. Aku sedang melihat style penyanyi luar negeri ini, yang terbaru. Aku mau melukisnya nanti." Ana menyahut dan menampilkan layar tabletnya ke arah Lukman dan tentu saja tidak dapat diliat dengan jelas oleh lelaki itu.“Bagus banget, Sayang. Kamu mau jadi desaigner, ya?” tanya Lukman lagi kepada Ana dengan nad
Lima tahun setelah kepergian Lisa ….“Papi … Ane mana?” Sebuah suara bocah terdengar memanggil ke arah Lukman.“Papi nggak tau, Sayang. Tadi ada di sini. Kenapa?” sahut Lukman pada gadis kecil berusia enam tahun itu.“Dia pinjam buku cerita aku, tapi robek. Liat nih!” jawab gadis bernama Ana itu dengan menunjukkan sebuah buku dongeng yang sampulnya sudah robek setengah kepada Lukman.Lukman menghela napasnya dengan berat. Ia tahu bahwa Ane tidak akan pernah bisa menjaga barangnya dengan baik. Berbeda memang dengan Ana yang selalu perfect dalam segala hal. Meski pun mereka masih terbilang sangat kecil, Ana sudah memperlihatkan sisi kedewasaannya pada saudaranya yang lain.Ia selalu menjadi yang paling unggul di antara kedua saudara kembarnya yang lain. Ana selalu sempurna dalam segala hal dan tidak suka ada kesalahan atau kekurangan sedikit pun pada benda-benda yang dimilikinya. Namun, Ane yang selalu menjadi biang rusuh akan selalu merusak segalanya dan membuat Ana marah.“Nanti Papi
Dua tahun sudah berlalu sejak pernikahan Lisa dan Lukman. Kini mereka sudah tinggal di sebuah rumah yang sederhana tetapi punya lahan yang cukup luas. Ketika membuka jendela kamar, maka hamparan laut biru membentang di pelupuk mata. Lisa selalu suka memandang ke luar jendelanya baik di pagi hari, siang, sore, apalagi malam hari. Sementara Lukman membuka sebuah klinik Kesehatan yang selalu ramai dikunjungi pasien. Meski pun ia tidak pernah menetapkan harga untuk biaya pengobatannya, Lukman sudah cukup merasa bahagia dengan kehidupannya sekarang. Baginya, asalkan Lisa bisa bahagia maka dia juga akan merasa bahagia untuk hal itu. Siang ini, tumben sekali tidak ada pasien yang datang berkunjung ke kliniknya itu. Jadi, Lukman memutuskan untuk segera pulang dan makan masakan istri tercinta. Sudah lama sejak mereka makan siang bersama di rumah bersama tiga orang anak yang berusia sama. Mereka seperti kembar tiga yang selalu ada di mana pun Lisa berada. “Sayang … di mana Ane, Ana, dan Andi?
“Aku tau kalau kamu terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini, sampai kamu lupa kalau hari ini ulang tahunmu. Iya kan?” tanya Lukman dengan serius.“Hmm … sepertinya gitu. Aku benar-benar lupa kalau hari ini ulang tahunku. Kamu malah ingat dan kasih aku kejutan seperti ini. Makasih banyak, Sayang. Aku percaya kamu selalu memberikan aku kebahagiaan tak terbatas,” jawab Lisa dengan mata berkaca-kaca dan memandang lekat pada bola mata Lukman.“Aku nggak bisa menjanjikan apa pun untuk kamu. Tapi … aku bisa pastikan selama aku bisa maka aku akan memberikan segala yang terbaik untuk kamu dan kebahagiaan kamu,” ungkap Lukman sekali lagi dan membuat hati Lisa merasa tenang.“Makasih, Sayang. Akhirnya aku benar-benar bisa hidup dengan bahagia.”“Memangnya, siapa yang bilang kalau kamu nggak bisa hidup bahagia?”“Nggak ada. Itu cuma ketakutan yang sempat mengisi hati dan pikiranku dulu,” jawab Lisa dan tersenyum tipis.“Sekarang, nggak ada lagi yang harus kamu takutkan. Selama ada aku, semuanya ak
“Siapa yang datang jam segini?” tanya Lukman dan merasa heran.“Mana aku tau, Sayang. Kamu yang buka atau aku?” Lisa menaikkan bahunya lalu bertanya juga pada Lukman.“Aku aja. Kamu di sini aja, ya. Siapa tau itu mantan mertua kamu yang dalam incaran polisi,” jawab Lukman dan mulai waspada.“Apa aku telpon 116 aja sekarang?”“Jangan dulu. Kita nggak tau siapa yang berdiri di depan pintu saat ini. Jangan gegabah, Sayang.”Lukman berkata kepada Lisa karena sebenarnya sejak tadi dia juga merasa tidak nyaman dan seperti ada hal besar yang akan terjadi. Namun, karena tidak ingin membuat Lisa merasa khawatir, tentu saja Lukman tidak menyampaikan hal itu kepada sang istrinya. Apalagi Lisa sedang dalam masa pemulihannya. Hal-hal tidak penting seperti itu hanya akan memperburuk kesehatannya lagi.Lisa memperhatikan Lukman yang berjalah keluar dari kamar dan berharap semoga yang datang bukan lah orang jahat. Ia mengikuti perintah Lukman dan tetap berdiri di dalam kamar mereka dengan menahan ras
Tiga hari lamanya Lisa dirawat secara insentif di rumah sakit hingga akhirnya diperbolehkan untuk pulang dan bisa melakukan pengobatan dengan rawat jalan saja. Hal itu dikarenakan kondisi Lisa yang memang benar-benar sudah memungkinkan dan mengalami kemajuan yang sangat pesat pasca perawatan di rumah sakit besar itu.Lukman membawa Lisa pulang ke apartemennya dan mereka merasa sangat lega karena akhirnya bisa kembali pulang. Hal itu juga membuat keluarga Lukman yang sudah pulang ke negaranya menjadi sangat senang. Mereka mengatakan sangat menyesal tidak bisa menemani Lisa sampai Lisa diperbolehkan untuk pulang.“Sayang … makasih kamu udah rawat aku selama aku sakit,” ucap Lisa sungguh-sungguh dengan menggenggam tangan Lukman dengan erat.“Jangan bilang makasih, dong Sayang. Itu memang udah jadi tanggung jawab aku sebagai suami kamu,” balas Lukman dengan tatapan mesra dan juga melempar senyum pada Lisa.“Kamu adalah pria terhebat dan juga suami terbaik di dunia,” ungkap Lisa dan langsu