“Aku melihat suami kamu di bar sama perempuan.”
Suara serupa desisan itu membuat Nayna terpaku, tangannya yang sedang melipat pakaian membeku. Jantungnya mulai berdebar lebih cepat. Telepon dari Vina, sahabatnya membuat aliran darah Nayna berdesir hebat.
“Wah gila! Mereka sampai cipok-cipokan! Pangku-pangkuan dan mesra-mesraan di depan meja bartender. KURANG AJAR SI BAGUS! CEPETAN KE SINI, NAY!!”
Suara kemarahan Vina dilaterbelakangi dengan dentum musik dan suara hilir mudik orang-orang yang sedang meneriakkan betapa serunya suasana bar itu.
Kaki Nayna gemetar tak tertahankan. Dadanya seolah tertusuk sesuatu sampai terasa sesak dan begitu perih. Kabar itu begitu mengejutkan seperti disambar petir di siang bolong.
Kepala Nayna pusing. Perutnya tergulung-gulung dan ia ingin muntah sekarang juga. Ia berharap Vina cuma salah lihat atau sedang iseng mengerjainya.
Sebab baru satu jam yang lalu Mas Bagus, suaminya meminta izin untuk menghadiri acara perjamuan teman kantornya yang katanya baru pindah rumah. Acara makan kecil-kecilan yang cuma dihadiri oleh rekan-rekan sekantor.
Lalu bagaimana bisa dia berada di bar dengan perempuan lain?
Vina pasti salah lihat! Mungkin Vina sedang mabuk dan seenaknya melihat pria lain sebagai Mas Bagus.
Nayna mati-matian menyangkal, tapi air matanya malah luruh menuruni pipinya tanpa ia sangka-sangka. Ia tak perlu datang ke bar yang disebutkan Vina, ia tak ingin ke sana.
Namun, kakinya bergerak begitu saja. Dengan daster lusuh dan sandal jepit kotor yang sudah hampir putus, perempuan berumur 25 tahun itu keluar rumah dan meninggalkan tumpukan pakaiannya yang mesti diseterika dan dilipat.
Ia segera berhambur ke pangkalan ojek dan memanggil dengan terburu-buru. Wajahnya masih dipenuhi air mata dan sepanjang perjalanan dadanya begitu sakit sampai ia kesulitan bernapas.
‘Kumohon … semoga itu bukan kamu, Mas.’
Meski begitu, firasatnya mengatakan hal yang sebaliknya. Meski ia tak pernah menemukan tanda-tanda perselingkuhan Mas Bagus, tapi setitik keraguan melekat erat di hatinya.
Sang pengendara ojek melirik sesekali lewat kaca spion, ingin bertanya namun sungkan. Suasana hati Nayna, istri Bagus ini tampaknya sedang tidak baik.
“Di sini tempatnya?” tanya Bang Jali ketika alamat yang diberikan Nayna ternyata adalah sebuah bar modern yang biasanya hanya dikunjungi oleh kalangan kelas elit.
Nayna tak menjawab. Ia turun tanpa suara dan mengulurkan selembar uang sepuluh ribu dan lima ribu. Bang Jali menerima dengan canggung. Mau apa si kembang desa ini ke bar sambil menangis pilu begitu?
Bang Jali tentulah sangat penasaran. Dengan daster yang warnanya sudah luntur dan muka kusut yang masih terlihat cantik itu, tentu Nayna tidak datang untuk berjoget-joget dan mabok.
Sebelum menikah dengan Bagus lima tahun yang lalu, Nayna adalah kembang desa yang diincar oleh para pemuda maupun tua-tua keladi. Kulitnya putih bening, mulus dan badannya ramping tapi tidak kurus-kurus amat.
Namun, setelah menikah dengan Bagus, dia menjadi sangat kusam dan lusuh. Pakaian sehari-harinya cuma daster pudar yang diberikan oleh mertuanya. Tak pernah lagi ia memakai baju-baju cantik dan senada yang dulu sering dipakainya.
Katanya, semua bajunya sudah dijual untuk mencukupi kebutuhan sehari-sehari bersama suaminya, padahal dia punya warisan dari ayahnya yang meninggal tiga tahun yang lalu, tapi penampilannya masih begitu-begitu saja.
Wajahnya yang dulu cerah dan dipolesi riasan kini terlihat kusam dengan bintik-bintik hitam bekas jerawat. Berminyak dan seperti tidak dicuci selama berhari-hari.
Kuliahnya pun yang sudah sampai semester empat harus ia hentikan karena Bagus tidak mampu membiayai pendidikannya dan ia mesti fokus mengurus rumah tangga.
Aduh, sayang sekali.
Bang Jali, pengendara ojek berumur empat puluhan itu merasa kasihan sekaligus sayang. Padahal Nayna punya potensi besar untuk hidup lebih baik dari hidupnya sekarang.
Nayna meninggalkan Bang Jali dengan tatapan kasihannya dan menghampiri penjaga bar yang berdiri tegak di depan pintu masuk bar dengan postur yang tegap dan gestur yang kaku.
Saat melihat Nayna hendak masuk, tangan salah satu penjaga terbentang ke depan dadanya, menahan Nayna untuk masuk. Dia memandang Nayna tajam dan berkata lewat sorot matanya, ‘Kamu tidak pantas ada di sini’
Nayna tentu tahu tak ada orang berdaster lusuh dan bersendal jepit di dalam sana seperti dirinya, tapi ia tetap ingin masuk dan memastikan jika orang yang dilihat Vina bukanlah Mas Bagus.
“Maaf, Bu. Ini bukan pasar.” Terang-terangan penjaga itu menilai penampilan Nayna dari ujung kaki sampai kepala.
Nayna menghapus air mata yang menghalangi pandangannya. Dengan panik ia menelepon Vina, untunglah pada bunyi ketiga, telepon itu akhirnya tersambung.
“Halo, Vin … kamu di mana?” Suara Nayna terasa tercekat ditenggorokan, serak dan parau.
“Eh, Nay! Aku ada di hotel ngikutin mereka.”
Kali ini jantung Nayna sekejap berhenti berdetak. Aliran darahnya berdesir hebat dan pandangannya kembali memburam karena genangan air mata yang siap jatuh.
Suara Vina tidak lagi dilatarbelakangi dengan dentuman musik yang menghentak-hentak dan suara jeritan gila orang-orang.
“Di-di hotel mana?”
“Sebentar, aku kirim W* aja ya, mereka lagi check in.” Vina berbisik-bisik. “Aku kirimin foto mereka juga.”
Vina memutuskan telepon dan dalam sekejap pesannya sudah masuk. Dia menuliskan alamat hotel bintang lima dan menyertakan foto seorang laki-laki yang sedang mengamit pinggang perempuan tinggi bergaun seksi.
Nayna terperanjat. Foto itu diambil dari belakang sehingga wajah dua orang itu tidak terlihat. Tapi Nayna ingat betul kemeja berwarna nude yang dipakai Mas Bagus saat meninggalkan rumah.
Bukan main panasnya hati Nayna. Ia menutup mulut dengan telapak tangan, menahan isak tangisnya yang mendesak keluar. Air matan kembali luruh dan napasnya menjadi tidak beraturan.
Lagi-lagi Nayna menaruh harapan bahwa kemeja nude milik Mas Bagas tidak hanya satu di dunia ini. Punggung dan potongan rambut belakangnya memang mirip, tapi mungkin saja itu adalah orang lain.
Nayna keluar dari area bar dan menunggu ojek, karena uangnya tak cukup untuk menaiki taksi yang berjejeran di depan sana.
Butuh waktu tiga puluh menit sampai ojek ia dapatkan. Segera Nayna menyebutkan alamat hotel dan menyuruh sang pengendara ojek berjaket merah itu untuk ngebut.
Hotel yang disebutkan Vina tidak terlalu jauh dari bar. Hanya butuh lima belas menit untuk Nayna sampai dan buru-buru menghambur masuk ke hotel saat dilihatnya Vina berdiri di lobi sambil melambai panik padanya.
“Aduh, lama banget kamu! Mereka udah masuk kamar setengah jam yang lalu. Aku tahu nomor kamarnya. Ayo!”
Nomor kamar. Hati Nayna tercubit keras. Diam-diam dia memohon dalam hati semoga adegan-adegan yang terlintas dalam pikirannya tidak terjadi. “Sini!” Vina menarik tangan Nayna memasuki lift. Tentu saja penampilan kucel Nayna mengundang lirikan orang-orang yang lalu lalang di lobi, untunglah lift sedang kosong. Pegangan Vina di pergelangannya cukup kencang. Sahabatnya sejak sekolah dasar itu mengerjap gelisah dan tak sabar menunggu pergantian lift menuju lantai tujuh. “Kamu … yakin itu Mas Bagus?” Suara Nayna mencicit. Air matanya tak berhenti mengalir seperti pipa yang bocor. “Ya ampun, Nay. Seratus persen aku yakin. Mas Bagus-mu yang tidak terlalu tinggi, dandanan kayak anak muda, rambut dibikin mirip badboy dan muka yang nggak ganteng-ganteng amat. Aku yakin betul itu dia.” “Tapi Mas Bagus gak seperti itu. Dia pergi dengan kemeja rapi dan rambut yang ditata biasa. Dia hanya pergi ke acara pindahan rumah teman sekantornya.” “Oh ya?” Vina tersenyum miring mengejek kenaifan Nayna,
Nayna diantar pulang oleh Vina. Sahabatnya itu menawarkan diri untuk menginap dan menemani Nayna.“Nggak usah, Vin. Aku perlu bicara berdua dengan Mas Bagus.”“Kamu yakin? Sebenarnya, Nay. Orang kayak Bagus nggak perlu dikasih waktu bicara berdua dari hati ke hati. Dia bakal kasih kamu seribu satu alasan berikut janji-janji kosongnya. Pokoknya apa pun yang terjadi jangan tergoda. Aku nggak mau lihat kamu menderita lagi.”Nayna memaksakan senyum. Memang saat ini hanya Vina-lah yang bisa dia jadikan sandaran. “Makasih, Vin.”“Nggak masalah, Nay. Kalau dia macam-macam ke kamu, tinggal telepon aku aja, oke?”Nayna mengangguk dengan mata sembab. Melihat kepergian Vina dari teras rumahnya.Setelah tubuh Vina tak lagi terlihat, air mata Nayna kembali meluncur jatuh. Rasanya sangat pedih seperti seluruh dunianya hancur. Dia tak pernah membayangkan Mas Bagus akan mengkhianatinya. Berdua dengan per
Pagi-pagi sekali Nayna kembali mendapat telepon dari Ibu Mas Bagus.“Bawakan bajunya Bagus. Kemarin itu dia pinjam kemeja sama tetangga. Aduh malu-maluin banget! Ini semua gara-gara kamu! Ya suami itu dibaikin, dibujuk, dirayu-rayu jangan malah kamu yang ngambek! Bawain ke sini!”Nayna sudah biasa mendapat bentakan seperti itu dari sang ibu mertua. Ibu Mas Bagus selalu memanjakan Mas Bagus. Apa pun masalahnya, Nayna yang akan disalahkan.Karena itu setiap ada masalah, sekecil apapun itu, Mas Bagus selalu mengadu ke ibunya katanya ‘Sama siapa lagi aku bersandar kalau bukan ke ibuku?’“Heh! Denger nggak kamu! Mana anak saya nggak dimasakin lagi! Dia sekarang jadi kurus semenjak nikah sama kamu! Kerja banting tulang tapi nggak dikasih makan enak sama istri. Gajinya kamu apakan?”Nayna hanya bisa menggigit bibir. Di saat seperti ini dia hanya bisa mengingat nasihat ibunya bahwa kesabaran adalah kunci dari semua
Bagus menoleh pada Nayna lalu mendelik kesal.“Aku sudah telat, Nay.” Ia menghampiri Nayna dengan cepat lalu merebut bungkusan di tangan sang istri. “Nggak basah ‘kan bajunya?”Mas Bagus bahkan tak repot-repot menanyakan keadaannya yang setengah basah.Mungkin baru kali ini Mas Bagus kesal padanya perihal pakaian, karena sejak dulu Nayna selalu mengurus pakaian Mas Bagus dengan baik. Jika ia mengambek dan pulang ke rumah ibunya pun tidak sampai berhari-hari. Biasanya hanya semalam dan akan pulang besok paginya.“Kenapa terlambat kamu! Saya bilang ‘kan cepetan.” Kedua alis Ibu yang rapi hasil sulaman bergerak-gerak seiring dengan matanya yang melotot-lotot. Sanggup membuat Nayna ciut.“Tadi hujan deras banget, Bu.”“Aduh, pantas baju kamu basah. Airnya nggak kena lantai, kan? Barusan habis saya pel loh!”“Maaf, Bu.” Nayna menunduk pahit.
Nayna betul-betul pulang dengan berjalan kaki. Tak ada yang peduli untuk sekadar menahannya atau mungkin menawarkan payung. Ibu dan adik adik-adik Mas Bagus tak acuh saat ia bilang akan pulang.Sandal jepitnya sudah hampir putus. Rasanya matahari tepat berada di atas kepalanya. Nayna bahkan tak pernah lagi memikirkan apakah kulitnya yqng putih akan gosong atau lecet.Tidak apa. Dia bisa punya waktu memikirkan masalah rumah tangganya. Meskipun merasa marah, Nayna tak bisa melampiaskannya kepada keluarga Mas Bagus. Dia akan menyelesaikan masalahnya sendiri bersama lelaki itu.“Eh, Neng Nayna. Kok jalan sendirian di siang bolong begini? Nggak kepanasan?”Motor Bang Jali ternyata sudah berhenti beberapa menit yang lalu di samping Nayna. Sepertinya lamunannya sudah terlmpau jauh sampai baru menyadari keberadaan tukang ojek tinggi berwajah sedikit sangar itu.Nayna memberikan senyum. “Iya, Bang. Habis dari rumah Ibu.”&ldqu
Semua kantung belanjaan Nayna terjatuh. Dia membeku. Luar biasa kaget ketika perempuan yang berdiri angkuh di teras itu menyorotnya dingin.Nayna ingat betul wajah perempuan yang ia dapati bersama Mas Bagus di dalam kamar hotel. Wajah yang tirus dan mulus, tubuh yang ramping dan tinggi bak model. Rambut lurus berkilau. Sekilas mirip aktris yang wara-wiri di sinetron. Semua anggota tubuhnya terawat dengan baik, tidak seperti Nayna.Apa karena itu Mas Bagus berpaling? Karena rupa yang lebih indah?“Nay? Kok belanjaannya sampai jatuh? Sini biar Ibu saja, temun teman kamu sana.”Ingin rasanya Nayna berteriak bahwa perempuan itu bukan temannya. Dia temannya Mas Bagu—-teman tidur.Kenapa dia datang ke sini?“Biar aku saja, Bu.” Nayna membereskan semua belanjaannya dan meletakkannya di teras. Dalam waktu yang cukup lama, ia terpaku berhadapan dengan perempuan yang sedang bersedekap dingin itu.“Temannya di
“NAY!!” Vina berteriak parau saat melihat Nayna tersungkur di atas aspal. Dia tidak habis pikir mengapa Nayna sampai memohon-mohon kepada perempuan pelakor itu.Lalu dia melirik Ibu Nayna yang melemah dalam papahannya. Nayna melakukan semua itu untuk ibunya. Meski hati nurani Vina bisa menerima, tapi akal sehatnya tidak. Nayna tidak perlu membuang ego dan harga diri seperti itu. Vina memapah Ibu untuk menghampiri Nayna yang masih sangat terkejut di atas aspal. “Apa yang kamu lakukan, Nay? Kenapa kamu sampai—“ Ucapan Vina terpotong saat melihat luka robekan di kedua lutut Nayna, dan juga bekas air aneh di wajahnya. “Apa itu di muka kamu?” Vina melotot ngeri. “Apa itu, Nay?” Wajah dan lehernya mengeras. Nayna kehilangan kata-kata. Ia tak mampu menjawab. Yang ia lakukan hanya menatap kosong aspal kasar yang sudah melukai kedua lututnya. “Nay! Sadar! Lihat ibu kamu. Ibu melihat semua yang ka
Nayna tidak menduga bahwa meskipun dia memberikan kabar mengejutkan tentang ibunya, tapi wanita paruh baya di depannya ini sama sekali tidak berubah. Ekspresi maupun nada suaranya masih sama.Bedanya Nayna tidak lagi ciut. Ia malah merasa muak, sebab dia tidak menemukan sedikit pun kepedulian di mata mertuanya itu. Setidaknya dia menanyakan di mana ibu Nayna dirawat.“Saya perlu uang seratus juta. Uang Ibu tidak cukup, jadi saya meminta tanah ini. Sertifikatnya juga ada pada Ibu, kan? Katanya waktu itu mau digadai untuk biaya kuliah Randy.”“Kamu nggak usah sok tahu, itu urusan saya sama ibu kamu. Memangnya ibu kamu nggak punya BPJS? Pakai itu aja, repot banget sih!”Subhanallah. Mengapa Nayna baru menyadari jika tabiat mertuanya seburuk ini?Dalam keadaan yang mendesak seperti ini, Nayna merasa tidak bisa menghalau semua prasangka dan pikiran buruknya.“BPJS Ibu mati. Saya mau menggadaikan sertifika
EXTRA PARTTerima Kasih, Sayang. “Mereka seenaknya narik rambut dan meludahi wajah aku kalau kesel. Memangnya aku ini apa?” Bibir Lisa bergetar-getar, menahan diri untuk tak berteriak dan tetap berbisik. Sedang Bagus di sampingnya mengusap wajah frustrasi. “Aku sering ditampar di sel. Disebut tukang selingkuh dan mau ngebunuh istri. Mereka begitu karena ada beberapa yang ditangkap karena mencuri untuk ngasih makan istri dan anak.” Ini adalah ketiga kalinya mereka bertemu dalam pembinaan para napi. Napi pria dan wanita digabung dalam satu aula untuk mendengarkan bimbingan yang diadakan setiap tahun. Sudah tiga tahun berlalu dan kehidupan di dalam penjara tidak pernah baik-baik saja untuk mereka. Ada saja napi lain yang kurang ajar dan sok berkuasa. Rasanya seperti di neraka. Jika Lisa tahu kehidupan di penjara akan sesulit ini, maka ia akan menahan diri untuk tak selingkuh dengan Bagus dan memilih setia. Setidaknya biarpun sibuk, kehidupan pernikahannya bersama Rama selalu baik-bai
Satu tahun kemudian. Nayna mengerutkan kening saat Vina masuk membawa beberapa kantong besar yang entah isinya apa. Raut wajahnya terlihat antusias. Sudut bibirnya terus terangkat ketika ia mengeluarkan isi dari semua kantong yang dibawanya. Ada aneka macam kue dan makanan. Hidangan yang sangat banyak. Vina bahkan bersenandung sambil sesekali tertawa sendirian. “Abis mimpi bagus, ya, Vin?” Nayna mendekat, mengintip isi dari mangkuk-mangkuk plastik yang dikemas rapi itu. Selama dua bulan terakhir, Vina seringkali mengadakan pesta kecil-kecilan untuk merayakan mimpinya, seperti mimpi menang lotere, mimpi gendong keponakan, atau mimpi masuk surga. “Yah … bisa dibilang begitu.” Vina cengengesan. “Kali ini mau ngundang siapa lagi?” Setiap kali ia merayakan mimpinya, Vina pasti mengundang orang lain untuk berbagi. Entah itu anak yatim, para tukang ojek, tetangga, ataupun teman-teman seprofesinya dulu. “Teman lama.” Senyum Vina kian lebar dengan mata menerawang. Nayna menggulung
Pengacara Alif Trisakti yang mendampingi Nayna mengucapkan selamat kepada mereka berdua karena telah memenangkan persidangan dan kedua terdakwa sudah dihukum seberat-beratnya. Ruangan sidang itu senyap. Helaan napas yang tegang dan lega bersahut-sahutan. Nayna menatap kosong dua punggung yang melemas di depan sana setelah menerima berita hukuman mereka. Mungkin Nayna merasakan kelegaan seperti yang dirasakan Vina yang duduk di sampingnya, tapi lebih daripada itu, ada perasaan nanar yang menghinggapi. Hanya karena nafsu sesaat, kedua orang itu benar-benar hancur, orang-orang yang ada di sisi mereka, yang mencintai mereka dengan tulus juga ikut mereka hancurkan. Hanya gara-gara nafsu sesaat itu, Nayna harus hadir di tempat ini, berjalan sejauh ini, dan bertindak sebesar ini. Di sisi deretan meja yang lain, ia mendengar sesenggukan dan teriakan protes dari Mirna. Ujung jarinya menunjuk-bunjuk hakim dan berusaha menggapai Bagus. Sesekali memelototi Nayna dengan mata memerah.“Anak say
“Kamu bisa menemui pengacara bersama saya?” Rama bertanya keesokan harinya. Alih-alih menelepon, ia malah datang sendiri dengan baju rapi seolah sudah siap mengantar Nayna ke suatu tempat. Kemarin pagi setelah sarapan, Rama pulang dan tidak kembali lagi. Dia hanya meminta izin kepada Pak RT untuk menginap sampai Nayna sedikit membaik. “Hanya sekali. Setelah itu saya akan urus sisanya.” Sepertinya Rama mengerti ekspresi keberatan di wajah Nayna. “Pengacara untuk membela saya dan membuat Lisa dihukum?” Nayna mengernyit. Bukankah itu terlalu ikut campur? “Bahkan tanpa pengacara pun, Lisa dan Bagus sudah bisa dihukum.” Mata Nayna seolah bertanya, ‘lalu kenapa kamu sendiri yang menyodorkan pengacara pada saya?’ Dan Rama mengerti arti tatapan itu. “Anggaplah sebagai pembalasan dendam terakhir. Lisa akan sangat marah jika melihat saya ada di pihak kamu.” “Kamu yakin?” “Saya juga ingin sedikit memberikan pelajaran. Dia sudah mengkhianati kepercayaan saya.” Jika alasan rasional itu m
Jantung Nayna berdebar cepat. Ia terpaku di hadapan Rama tanpa mampu menjawab ajakan pria itu. Mata Rama masih memandangnya dengan tatapan sayu.“Oh, mau salat bareng? Gue ikut, ya?” sahut Vina yang baru saja keluar dari kamar mandi.Rama memberikan tiga anggukan lalu bangkit dari sofa, melewati Nayna begitu saja tanpa menunggu jawaban wanita itu. Ia berjalan menuju kamar mandi sambil menggulung lengan kemejanya. Sekarang Nayna tahu seperti apa aroma parfum pria itu. Wanginya seperti kayu manis, sepat, dan menusuk hidung, tapi berkesan dalam indra penciuman Nayna. Nayna menghela napas, duduk di sofa yang ditiduri Rama. Masih hangat dengan jejak Rama yang tertinggal. Nayna belum mengucapkan terima kasih. Setidaknya dia harus jadi orang yang tahu diri karena Rama sudah repot-repot merawatnya. Nayna masih sibuk dengan pikirannya ketika pintu kamar mandi terbuka. Rama keluar dengan wajah dan rambut yang basah. “Bisa wudhu?” Nayna tidak mengerti mengapa dia sampai menahan napas. "Bisa
Sekujur tubuh Nayna terasa remuk redam. Kelopak matanya berat untuk terbuka. Tenggorokan yang terbakar dan kepala yang pening, tapi ia tetap berusaha membuka mata.Langit-langit yang temaram menyambutnya beserta suara dengkuran halus di samping. Ia menemukan Vina yang meringkuk menghadap ke arahnya. Ah, sepertinya dia jatuh sakit dan merepotkan Vina. Padahal Vina-lah yang mesti dirawat. Samar-samar Nayna mencium aroma parfum yang tertinggal, yang akhir-akhir ini sering kali dia cium. Terendus seperti wangi Rama. Apa hanya perasaannya?Nayna memaksakan diri untuk bangun. Sepertinya dia sudah lama berbaring sebab punggungnya terasa kebas. Ia hanya ingat Vina yang menyuapinya bubur beberapa kali. Mendongak, Nayna melihat jarum pendek pada jam dinding mengarah pada angka empat. Berarti sudah Subuh. Berapa lama ia terbaring sakit?Napasnya masih sedikit berat, tak sengaja ketika ia mengembuskan napas, Nayna menemukan kakinya yang dibalut dengan perban baru dan lebih tebal. “Nay? Kamu ba
Semalaman penuh Rama hampir-hampir tidak tidur karena sibuk mengompres Nayna, memastikan handuk yang melekat di dahinya tetap terasa hangat. Nayna sangat gelisah. Ia sering merintih dan berdeham sambil memegang lehernya. Sepertinya tenggorokan wanita itu terasa sakit. Karena itu, Rama terus menyuapkan air secara berkala, sedangkan Vina dia suruh istirahat. Tidak lucu jika Nayna sembuh nanti, malah giliran Vina yang sakit. Nayna akan cemas dan merasa bersalah lagi. Rama masih berjaga di kamar Nayna, mengamati bagaimana mata yang terpejam itu sering kali mengerjap sayu. Wajah Nayna masih pucat dan bibirnya bergetar kedinginan padahal ia sudah memakai dua lapis selimut. Rama terdorong untuk menggenggam tangan wanita itu dan meniupnya. Mungkin tidak sopan, tapi rasa-rasanya ia ingin berbaring di samping Nayna dan mendekap wanita itu, menyalurkan rasa hangat dan berbagi kesakitan yang sama. Entah sejak kapan ia begitu ingin melindungi perempuan mungil yang selalu terlihat sok kuat ini.
ASeolah semua tenaga Lisa berangsur-angsur kembali. Rasa lapar dan kelelahan yang menyerangnya tergantikan dengan amarah membabi buta. “Kamu nggak lebih baik daripada aku, Mas.”Serangan telak itu menembus hati Rama. Kepalanya mendadak blank. Niatnya untuk membiarkan Lisa masuk dan berganti pakaian lenyap sudah. Rasa-rasanya ia tak sanggup melihat Lisa masuk dan mengingatkan lelaki itu pada kegagalan dan ketidakbecusannya menjadi seorang suami. “Jangan bergerak! Anda kami kepung.” Suara berat dengan nada yang tegas itu memecah suasana sunyi yang menyesakkan di antara mereka. Lisa membelalak saat melihat dua orang polisi tengah mengacungkan pistol ke arah dirinya dan Rama. Ia mundur ketakutan dan bersembunyi di balik punggung Rama.“Kamu menelepon polisi? Sialan. Harusnya aku nggak ke sini,” bisik Lisa. Sedang Rama mengernyit. Dia tidak pernah menelepon polisi.“Maaf, Pak. Saya tidak pernah melapor.” “Katanya di sini ada pencurian. Kami datang atas laporan dari penghuni rumah.” P
Waktu tiga hari ini adalah waktu yang sangat panjang dan melelahkan bagi Lisa, benar-benar seperti neraka. Setiap detik ia merasa hendak mati. Tak ada harapan dan bantuan yang datang, yang ada hanya ketakutan. Tak ada makanan, tempat tinggal, dan air. Ia mesti berjuang mati-matian untuk mendapatkan semua itu, meski dengan cara mencuri sekalipun. Di malam pertama, ia berbaring kelelahan di batang pohon pinggir jalan. Namun, tiba-tiba ia dibangunkan paksa oleh orang gila yang hendak melecehkannya. Tertawa menjijikkan sambil mengejarnya dengan penampilan kotor. “Heh, mau apa kamu! Jangan sentuh saya!” Orang gila berambut gimbal dengan gigi ompong dan wajah yang kotor itu terkekeh aneh sambil mencoba menyentuh lengan Lisa. “Pergi kamu, Gembel Sialan!”Sial! Orang gila ini tidak mau pergi. Lisa terpaksa melarikan diri, tapi orang itu tetap mengejar dengan baju compang-camping yang warnanya tidak jelas lagi. “Siapa pun tolong singkirkan orang sinting itu!” Lisa menjerit, tapi tidak ad