Nayna tidak menduga bahwa meskipun dia memberikan kabar mengejutkan tentang ibunya, tapi wanita paruh baya di depannya ini sama sekali tidak berubah. Ekspresi maupun nada suaranya masih sama.
Bedanya Nayna tidak lagi ciut. Ia malah merasa muak, sebab dia tidak menemukan sedikit pun kepedulian di mata mertuanya itu. Setidaknya dia menanyakan di mana ibu Nayna dirawat.
“Saya perlu uang seratus juta. Uang Ibu tidak cukup, jadi saya meminta tanah ini. Sertifikatnya juga ada pada Ibu, kan? Katanya waktu itu mau digadai untuk biaya kuliah Randy.”
“Kamu nggak usah sok tahu, itu urusan saya sama ibu kamu. Memangnya ibu kamu nggak punya BPJS? Pakai itu aja, repot banget sih!”
Subhanallah. Mengapa Nayna baru menyadari jika tabiat mertuanya seburuk ini?
Dalam keadaan yang mendesak seperti ini, Nayna merasa tidak bisa menghalau semua prasangka dan pikiran buruknya.
“BPJS Ibu mati. Saya mau menggadaikan sertifika
Nayna tidak punya cara lain selain menggadaikan sertifikat rumah orang tuanya. Ia kembali berhambur ke dalam rumah dan mencari sertifikat itu. Berbagai sudut sudah ia jelajahi, tapi tak jua ketemu.Napas Nayna terengah-engah. Waktunya tidak banyak, dia harus segera membawa uangnya. Maka ia membongkar semua lemari yang ada dan memeriksa setiap ruangan. Hasilnya nihil.Entah di mana Ibu menyimpan semua surat penting rumah. Nayna sangat panik, berlari keluar menuju rumah Pak RT. Ia butuh bantuan dan juga tempat sandar sebentar saja, fisik dan batinnya benar-benar lelah.Pak RT adalah teman baik Ayah dan merupakan orang yang peduli kepada kepada keluarganya. Pukul dua siang, Nayna mengetuk pintu rumah Pak RT yang sudah bergaya modern.Seorang perempuan paruh baya membuka pintu dan menemukan Nayna dengan ekspresi yang begitu gelisah.“Nayna? Lho? Ayo masuk sini.”Wanita yang perawakannya mirip dengan ibu mertuanya itu memanggil masuk
Bendera kuning berkibar di depan pagar rumah yang tidak terlalu tinggi. Orang-orang berpakaian hitam hilir mudik masuk dan keluar. Ada yang berekspresi sedih ada pula yang biasa saja, hanya sekadar hadir untuk setor muka sebagai tetangga jauh maupun dekat. Aura duka cita menyelimuti rumah luas tanpa perabot yang mewah itu. Di tengah-tengah rumah, berbaring sang ibu berselimutkan sarung dan secarik kain putih yang menutupi seluruh tubuhnya. Nayna tak pernah mangkir dari sisinya. Mulutnya berkomat-kamit mengucapkan doa pengampunan. Hatinya teramat pedih. Sesak menyelimui dadanya tanpa henti dan tangisnya terus melebur. Hanya Vina yang selalu setia di sampingnya. Ada pula Pak RT dan istrinya yang selalu memberikan petuah sabar dan ikhlas. Ibu mertuanya datang sesaat sebelum Ibu dimandikan. Dengan raut datar sambil melirik ke sana kemari lalu menutup mulutnya dengan kerudung. Bersikap sedih, tapi sorot matanya sudah jelas mengungkapkan bahwa wanita itu tidak bersimpati sedikit pun.
Dengan segera Vina menghadang Nayna yang kalap, seolah hendak betul-betul menghajar Mirna.Sedang Mirna merunduk panik ketika Vina berhasil memegang gagang pel yang akan ditujukan untuknya. Dia mundur beberapa langkah untuk menjauh.“KAMU GILA YA! MAU BUNUH SAYA? SAYA LAPORIN KAMU KE POLISI YA!”Jantungnya hampir copot. Merasa lega ketika Alya dan Randy keluar dari kamar masing-masing. Mereka masih terlihat kaget dan mengantuk. Mirna segera berlari ke arah dua anaknya.“Ada apa ini, Bu? Ribut bener!”“Ini istrinya kakak kamu. Dia sudah gila karena ibunya meninggal dan melampiaskannya ke kita.”Mendengar kata ‘ibu’ dan ‘meninggal’ membuat mata Nayna kembali berapi-api. Ia mendorong Vina dan berlari memegang gagang pel untuk kembali menyerang.“HEI! MAU APA LAGI KAMU!”Mirna berlindung di belakang Randy sedang kedua anaknya itu bingung harus melak
Vina membeku. Tak pernah menyangka Nayna akan mengatakan hal semacam itu. Ia tersenyum canggung saat mengira Nayna mungkin hanya bercanda. “Eiihhh … kamu ngomong apa sih?” “Aku akan buat dia merasakan artinya dikhianati.” “Dengan merebut suaminya juga? Kenapa kamu sampai berpikir begitu?” Nayna melirik Vina sepersekian detik sebelum kembali memasang sorot mata yang datar. “Karena dia sudah mengambil segalanya dari aku. Aku juga akan membalasnya.” “Tapi kamu bakal dicap sebagai pelakor nantinya, apalagi belum lama kamu berpisah dengan Bagus. Akan ada banyak spekulasi.” “Aku nggak peduli.” Vina menghela napas. “Banyak konsekuensinya, Nay.” “Aku bilang aku nggak peduli.” Merebut suami pelakor itu adalah ide balas dendam yang tidak pernah terpikirkan oleh Vina. Dia tidak tahu kenapa Nayna mempunyai ide seperti itu. “Kamu yakin, Nay? Kamu siap dengan semua konsekuensinya?” Tak perlu banyak waktu untuk Nayna menjawab. “Aku sangat siap.” “Banyak cara balas dendam selain ini, Nay.
Vina kehilangan kendali dan akhirnya melempar pot itu, namun Bagus sudah berlari keluar pagar dan pot itu jatuh, pecah dan tanahnya berserakan di halaman rumah.Bagus sudah tidak lagi terlihat. Vina terengah-engah dengan dengusan amarah yang masih tersisa. Ia berbalik dan mendapati Nayna tidak bergerak sedikit pun. Wanita itu menunduk dengan urat-urat di leher yang menegang.“Nay. Kamu nggak papa?”Vina mendesah takjub ketika Nayna mengangkat wajah dan tidak ada air mata setetes pun di pipinya. Mata dengan riasan itu kering.Nayna malah tersenyum miris. “Ternyata dia seburuk itu.”Vina mendapati penyesalan yang dalam pada mata Nayna, bahwa dia sudah salah memilih. Bahwa kehidupannya selama lima tahun bersama Bagus sangat sia-sia.“Kamu nggak perlu menyesal begitu. Setiap pilihan ada risikonya, Nay. Nggak ada pilihan yang betul-betul tepat. Masa lalu itu cuma sebagian dari keping kehidupan kamu. Kalau
“Jadi istri kamu ngusir kamu?”Lisa bersandar di kepala ranjang. Tubuhnya hanya tertutupi selimut sampai ke batas dada—tanpa pakaian. Melirik Bagus yang berbaring di sampingnya.“Iya.” Bagus menjawab muak.“Sudah ngamuk terus ngusir? Istri kamu itu orang macam apa sih? Dia bahkan mengemis-ngemis ke aku untuk antar ibunya ke rumah sakit. Nggak ada harga dirinya banget.”“Lagian untuk apa kamu ke sana? Gara-gara kamu ibunya kena serangan jantung sampai meninggal. Aku sampai takut datang karena Nayna mungkin bakal membongkar perselingkuhan kita di depan semua orang.”Lisa mendelik kesal kepada Bagus. “Kok gara-gara aku?! Ini semua karena istri kamu yang udik itu! Pakai pelihara video segala, Kenapa bukan kamu yang minta videonya?”Bagus tidak bisa bilang jika dia tidak bisa pulang setelah kejadian pelabrakan di hotel malam itu. Lebih tepatnya dia tidak ingin disalahka
Nayna menatap nanar bangunan hotel yang cukup besar di hadapannya, sementara Bagus sedang membayar ongkos taksi di belakang. Nayna menarik napas berulang kali, menyiapkan hati dan juga tubuhnya.“Ayo masuk.” Bagus menyentuh pinggangnya, membuat Nayna membeku. Jantungnya berdebar bukan lagi karena sensasi cinta, tapi tiba-tiba saja ia merasa sangat muak sampai perutnya melilit hebat.Tanpa melihat reaksi Nayna, Bagus mengamit pinggang wanita itu dan menuntunnya masuk, check in lalu bersama-sama melewati koridor panjang menuju kamar yang sudah dia pesan.“Oh ya, kita bahkan belum kenalan. Sorry, aku lupa nanya nama kamu. Aku Bagus.”Nayna terdiam. Bingung harus memberikan nama apa pada dirinya sendiri.“Atau nggak mau kasih tahu nama. Cukup one night stand, eh?”“Anya,” jawabnya pelan, tapi cukup meyakinkan.“Anya. Nama yang simple, tapi menarik.” Lagi-lagi lirikan mata d
Nayna tidak bisa kembali ke bar karena Bagus pasti akan mencarinya ke sana. Ia mengirimkan pesan kepada Vina bahwa dia sudah pulang ke kos—tentu membawa semua barang curiannya.Namun, terlebih dahulu Nayna mampir ke ATM untuk menarik semua uang yang ada dalam tabungan Bagus. Ia tersenyum miris saat mendapati kartu itu berisi nominal yang cukup banyak.“Tiga puluh tujuh juta.”Jumlah yang bahkan cukup jika ponsel, jam tangan dan semua uang dalam dompet Bagus disatukan untuk operasi Ibu ditambah dengan tabungan Ibu dan juga perhiasan yang sudah dijual Nayna. Dia tidak perlu keliling ke sana kemari untuk mengumpulkan biaya operasi.Dada Nayna hampir meledak karena sesak. Mengapa orang-orang ini tidak punya hati sama sekali? Tidak Bagus maupun mertuanya. Mereka bukan manusia.Padahal Nayna sudah menghubungi lelaki itu berulang kali. Untuk meminta sedikit simpati dan juga bantuan, tapi Bagus tidak pernah mengangkat teleponnya. Pu
EXTRA PARTTerima Kasih, Sayang. “Mereka seenaknya narik rambut dan meludahi wajah aku kalau kesel. Memangnya aku ini apa?” Bibir Lisa bergetar-getar, menahan diri untuk tak berteriak dan tetap berbisik. Sedang Bagus di sampingnya mengusap wajah frustrasi. “Aku sering ditampar di sel. Disebut tukang selingkuh dan mau ngebunuh istri. Mereka begitu karena ada beberapa yang ditangkap karena mencuri untuk ngasih makan istri dan anak.” Ini adalah ketiga kalinya mereka bertemu dalam pembinaan para napi. Napi pria dan wanita digabung dalam satu aula untuk mendengarkan bimbingan yang diadakan setiap tahun. Sudah tiga tahun berlalu dan kehidupan di dalam penjara tidak pernah baik-baik saja untuk mereka. Ada saja napi lain yang kurang ajar dan sok berkuasa. Rasanya seperti di neraka. Jika Lisa tahu kehidupan di penjara akan sesulit ini, maka ia akan menahan diri untuk tak selingkuh dengan Bagus dan memilih setia. Setidaknya biarpun sibuk, kehidupan pernikahannya bersama Rama selalu baik-bai
Satu tahun kemudian. Nayna mengerutkan kening saat Vina masuk membawa beberapa kantong besar yang entah isinya apa. Raut wajahnya terlihat antusias. Sudut bibirnya terus terangkat ketika ia mengeluarkan isi dari semua kantong yang dibawanya. Ada aneka macam kue dan makanan. Hidangan yang sangat banyak. Vina bahkan bersenandung sambil sesekali tertawa sendirian. “Abis mimpi bagus, ya, Vin?” Nayna mendekat, mengintip isi dari mangkuk-mangkuk plastik yang dikemas rapi itu. Selama dua bulan terakhir, Vina seringkali mengadakan pesta kecil-kecilan untuk merayakan mimpinya, seperti mimpi menang lotere, mimpi gendong keponakan, atau mimpi masuk surga. “Yah … bisa dibilang begitu.” Vina cengengesan. “Kali ini mau ngundang siapa lagi?” Setiap kali ia merayakan mimpinya, Vina pasti mengundang orang lain untuk berbagi. Entah itu anak yatim, para tukang ojek, tetangga, ataupun teman-teman seprofesinya dulu. “Teman lama.” Senyum Vina kian lebar dengan mata menerawang. Nayna menggulung
Pengacara Alif Trisakti yang mendampingi Nayna mengucapkan selamat kepada mereka berdua karena telah memenangkan persidangan dan kedua terdakwa sudah dihukum seberat-beratnya. Ruangan sidang itu senyap. Helaan napas yang tegang dan lega bersahut-sahutan. Nayna menatap kosong dua punggung yang melemas di depan sana setelah menerima berita hukuman mereka. Mungkin Nayna merasakan kelegaan seperti yang dirasakan Vina yang duduk di sampingnya, tapi lebih daripada itu, ada perasaan nanar yang menghinggapi. Hanya karena nafsu sesaat, kedua orang itu benar-benar hancur, orang-orang yang ada di sisi mereka, yang mencintai mereka dengan tulus juga ikut mereka hancurkan. Hanya gara-gara nafsu sesaat itu, Nayna harus hadir di tempat ini, berjalan sejauh ini, dan bertindak sebesar ini. Di sisi deretan meja yang lain, ia mendengar sesenggukan dan teriakan protes dari Mirna. Ujung jarinya menunjuk-bunjuk hakim dan berusaha menggapai Bagus. Sesekali memelototi Nayna dengan mata memerah.“Anak say
“Kamu bisa menemui pengacara bersama saya?” Rama bertanya keesokan harinya. Alih-alih menelepon, ia malah datang sendiri dengan baju rapi seolah sudah siap mengantar Nayna ke suatu tempat. Kemarin pagi setelah sarapan, Rama pulang dan tidak kembali lagi. Dia hanya meminta izin kepada Pak RT untuk menginap sampai Nayna sedikit membaik. “Hanya sekali. Setelah itu saya akan urus sisanya.” Sepertinya Rama mengerti ekspresi keberatan di wajah Nayna. “Pengacara untuk membela saya dan membuat Lisa dihukum?” Nayna mengernyit. Bukankah itu terlalu ikut campur? “Bahkan tanpa pengacara pun, Lisa dan Bagus sudah bisa dihukum.” Mata Nayna seolah bertanya, ‘lalu kenapa kamu sendiri yang menyodorkan pengacara pada saya?’ Dan Rama mengerti arti tatapan itu. “Anggaplah sebagai pembalasan dendam terakhir. Lisa akan sangat marah jika melihat saya ada di pihak kamu.” “Kamu yakin?” “Saya juga ingin sedikit memberikan pelajaran. Dia sudah mengkhianati kepercayaan saya.” Jika alasan rasional itu m
Jantung Nayna berdebar cepat. Ia terpaku di hadapan Rama tanpa mampu menjawab ajakan pria itu. Mata Rama masih memandangnya dengan tatapan sayu.“Oh, mau salat bareng? Gue ikut, ya?” sahut Vina yang baru saja keluar dari kamar mandi.Rama memberikan tiga anggukan lalu bangkit dari sofa, melewati Nayna begitu saja tanpa menunggu jawaban wanita itu. Ia berjalan menuju kamar mandi sambil menggulung lengan kemejanya. Sekarang Nayna tahu seperti apa aroma parfum pria itu. Wanginya seperti kayu manis, sepat, dan menusuk hidung, tapi berkesan dalam indra penciuman Nayna. Nayna menghela napas, duduk di sofa yang ditiduri Rama. Masih hangat dengan jejak Rama yang tertinggal. Nayna belum mengucapkan terima kasih. Setidaknya dia harus jadi orang yang tahu diri karena Rama sudah repot-repot merawatnya. Nayna masih sibuk dengan pikirannya ketika pintu kamar mandi terbuka. Rama keluar dengan wajah dan rambut yang basah. “Bisa wudhu?” Nayna tidak mengerti mengapa dia sampai menahan napas. "Bisa
Sekujur tubuh Nayna terasa remuk redam. Kelopak matanya berat untuk terbuka. Tenggorokan yang terbakar dan kepala yang pening, tapi ia tetap berusaha membuka mata.Langit-langit yang temaram menyambutnya beserta suara dengkuran halus di samping. Ia menemukan Vina yang meringkuk menghadap ke arahnya. Ah, sepertinya dia jatuh sakit dan merepotkan Vina. Padahal Vina-lah yang mesti dirawat. Samar-samar Nayna mencium aroma parfum yang tertinggal, yang akhir-akhir ini sering kali dia cium. Terendus seperti wangi Rama. Apa hanya perasaannya?Nayna memaksakan diri untuk bangun. Sepertinya dia sudah lama berbaring sebab punggungnya terasa kebas. Ia hanya ingat Vina yang menyuapinya bubur beberapa kali. Mendongak, Nayna melihat jarum pendek pada jam dinding mengarah pada angka empat. Berarti sudah Subuh. Berapa lama ia terbaring sakit?Napasnya masih sedikit berat, tak sengaja ketika ia mengembuskan napas, Nayna menemukan kakinya yang dibalut dengan perban baru dan lebih tebal. “Nay? Kamu ba
Semalaman penuh Rama hampir-hampir tidak tidur karena sibuk mengompres Nayna, memastikan handuk yang melekat di dahinya tetap terasa hangat. Nayna sangat gelisah. Ia sering merintih dan berdeham sambil memegang lehernya. Sepertinya tenggorokan wanita itu terasa sakit. Karena itu, Rama terus menyuapkan air secara berkala, sedangkan Vina dia suruh istirahat. Tidak lucu jika Nayna sembuh nanti, malah giliran Vina yang sakit. Nayna akan cemas dan merasa bersalah lagi. Rama masih berjaga di kamar Nayna, mengamati bagaimana mata yang terpejam itu sering kali mengerjap sayu. Wajah Nayna masih pucat dan bibirnya bergetar kedinginan padahal ia sudah memakai dua lapis selimut. Rama terdorong untuk menggenggam tangan wanita itu dan meniupnya. Mungkin tidak sopan, tapi rasa-rasanya ia ingin berbaring di samping Nayna dan mendekap wanita itu, menyalurkan rasa hangat dan berbagi kesakitan yang sama. Entah sejak kapan ia begitu ingin melindungi perempuan mungil yang selalu terlihat sok kuat ini.
ASeolah semua tenaga Lisa berangsur-angsur kembali. Rasa lapar dan kelelahan yang menyerangnya tergantikan dengan amarah membabi buta. “Kamu nggak lebih baik daripada aku, Mas.”Serangan telak itu menembus hati Rama. Kepalanya mendadak blank. Niatnya untuk membiarkan Lisa masuk dan berganti pakaian lenyap sudah. Rasa-rasanya ia tak sanggup melihat Lisa masuk dan mengingatkan lelaki itu pada kegagalan dan ketidakbecusannya menjadi seorang suami. “Jangan bergerak! Anda kami kepung.” Suara berat dengan nada yang tegas itu memecah suasana sunyi yang menyesakkan di antara mereka. Lisa membelalak saat melihat dua orang polisi tengah mengacungkan pistol ke arah dirinya dan Rama. Ia mundur ketakutan dan bersembunyi di balik punggung Rama.“Kamu menelepon polisi? Sialan. Harusnya aku nggak ke sini,” bisik Lisa. Sedang Rama mengernyit. Dia tidak pernah menelepon polisi.“Maaf, Pak. Saya tidak pernah melapor.” “Katanya di sini ada pencurian. Kami datang atas laporan dari penghuni rumah.” P
Waktu tiga hari ini adalah waktu yang sangat panjang dan melelahkan bagi Lisa, benar-benar seperti neraka. Setiap detik ia merasa hendak mati. Tak ada harapan dan bantuan yang datang, yang ada hanya ketakutan. Tak ada makanan, tempat tinggal, dan air. Ia mesti berjuang mati-matian untuk mendapatkan semua itu, meski dengan cara mencuri sekalipun. Di malam pertama, ia berbaring kelelahan di batang pohon pinggir jalan. Namun, tiba-tiba ia dibangunkan paksa oleh orang gila yang hendak melecehkannya. Tertawa menjijikkan sambil mengejarnya dengan penampilan kotor. “Heh, mau apa kamu! Jangan sentuh saya!” Orang gila berambut gimbal dengan gigi ompong dan wajah yang kotor itu terkekeh aneh sambil mencoba menyentuh lengan Lisa. “Pergi kamu, Gembel Sialan!”Sial! Orang gila ini tidak mau pergi. Lisa terpaksa melarikan diri, tapi orang itu tetap mengejar dengan baju compang-camping yang warnanya tidak jelas lagi. “Siapa pun tolong singkirkan orang sinting itu!” Lisa menjerit, tapi tidak ad