Ray mengucek kedua kelopak matanya. Ray takut apa yang dilihatnya hanyalah halusinasi semata karena dia tengah merindukan wanitanya. "Kamu benar Lia?" tanya Ray memastikan. "Iya," balas Lia ogah-ogahan. Ray mencubit tangannya sendiri. Rasanya sedikit sakit. Seperti digigit raja semut. Berarti Ray dalam keadaan sadar dan berada di dunia nyata. Ray bertemu dengan Lia bukan di dalam mimpi. Ah, betapa bahagianya hati Ray. Bunga yang tengah layu bagaikan tersiram air kembali. Merekah dengan indahnya. "Kemarilah, Sayang! Aku merindukanmu," ucapnya parau. Air mata kebahagiaan jatuh membasahi pipinya, tak dapat terbendung lagi. Betapa bahagianya Ray bisa bersua kembali dengan wanitanya. Semua terasa seperti mimpi. Ray masih tidak mempercayainya. "Mama keluar dulu ya." Nyonya Helena berlalu dan menutup pintu. Menyisakan dua insan di dalam ruangan pesakitan.Mengusap kasar sisa air mata, Ray merentangkan kedua tangannya. Rindunya tak terkira. Ray ingin merengkuh wanitanya, menumpahkan gulun
Lia dibawa ke ruang pemeriksaan. Nyonya Helena berkacak pinggang seraya berjalan mondar mandir di depan ruangan. Melihat betapa Ray sangat mencintai Lia, membuat Nyonya Helena ikut mencemaskan keadaan sang menantu. "Bagaimana keadaan menantu saya, Dok?" tanya Nyonya Helena, menyela sang dokter yang akan menjelaskan keadaan Lia. "Menantu anda pingsan karena kelelahan dan faktor berbadan dua, Nyonya, untuk pemeriksaan lebih lanjut nanti akan ditindak lanjuti oleh dokter kandungan.""Kalau begitu saya permisi, Nyonya.""Baik, Dok. Terima kasih banyak."Nyonya Helena meraup wajahnya penuh syukur. Dia sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan cucu dari Ray dan Lia secepat ini. Pernikahan Ray dan Lia yang baru satu bulan setengah itu ternyata dapat mewujudkan impian Nyonya Helena. Ya, beberapa bulan lagi Nyonya Helena dapat menimang seorang cucu yang selama ini dinantikannya. Lima tahun sudah Nyonya Helena menanti datangnya seorang cucu dari pernikahan Arsa dan Bella, tapi belum tampak
Ray mendekati sang mama. Membisikkan sesuatu di telinga Nyonya Helena. "Ma... Aku mau bicara berdua dengan Lia boleh?"Nyonya Helena mencebikkan bibirnya. "Bilang aja kamu mau ngusir Mama kan?" ucapnya ketus. Sebenarnya hanya bercanda. "Ish... Bukan gitu, Ma," sunggut Ray. "Arsa... Bella... kita keluar dulu sebentar yuk!" ajak Nyonya Helena menyeret lengan keduanya. "Mau kemana, Ma?" tanya Lia. "Ke kantin bentar." Nyonya Helena beralasan. Nyonya Helena sendiri ingin memberikan kesempatan pada Ray dan Lia. Siapa tahu dengan adanya janin dalam rahim Lia membuat keduanya bisa berbaikan dan menjalin hubungan rumah tangga yang harmonis seperti sebelumnya.Setelah ketiganya pergi Ray memutar roda pada kursinya. Roda-roda itu menggelinding ke depan. Semakin lama semakin dekat dengan ranjang pesakitan. Di mana wanitanya berada di atasnya. Melihat Ray semakin mendekat ke arahnya, semakin panik pula Lia dibuatnya."Jangan mendekat!" peringat Lia. Menghentikan gerakan suaminya. "Yasudah. A
Meletup, lalu redup. Bias cahaya menghiasi langit malam yang cerah. Menyala bertaburan saling menari-nari di angkasa. Membentuk sebuah keindahan dalam kesunyian malam. Gadis ayu itu berdiri di balkon kamar. Menatap cahaya yang saling mengisi kesunyian malam. Pandangannya lurus ke depan. Netra hazel miliknya memandang sendu pemandangan di depannya. Ada sepercik kegundahan yang membalut jiwa. Rambut coklat panjang miliknya dibiarkan terurai. Hembusan angin sudah menerpanya sedari tadi. Seakan membelai dan ingin mengajaknya bercengkerama, melupakan segala kerisauan di hatinya. 'Bukankah kamu sudah menunggu waktu yang sangat lama untuk menikmati keberhasilan dalam hidupmu ini, Cendana Amelia? Lalu apa lagi yang engkau risaukan?' tanya Lia, bergelut dengan batinnya sendiri. Ini kali pertama Cendana Amelia melakukan perayaan dalam hidupnya. Sudah belasan tahun dia menunggu momen ini dalam hidupnya, tapi baru terjadi hari ini. Perayaan yang dia adakan berbeda dari perayaan yang dilakukan
Oh, ayolah! Siapa yang tidak mengenal Arrayyan Sagara. CEO ternama di negara ini. Diumurnya yang ke 25 tahun Ray berhasil memimpin perusahaan yang dia dirikan sendiri, tanpa campur tangan keluarganya. Ya meskipun begitu, perusahaan Ray tetap menggunakan nama keluarganya-Sagara Corp. Perusahaan Ray bergerak dibidang properti dan merupakan salah satu perusahaan terbesar di negara ini. Sedangkan perusahaan milik keluarga Sagara bergerak dibidang industri. Ketegasan serta kepiawaian Ray dalam memimpin perusahaan membawa dampak yang baik bagi perusahaan ini. Banyak yang senang dengan kepemimpinan Ray. Tak hanya para karyawan, tapi juga partner bisnisnya. Ray tak pernah mengalami kegagalan dalam bisnisnya. Setiap tahun selalu berkembang lebih baik dari sebelumnya. Apapun masalah yang terjadi di dalamnya pasti bisa dia atasi. Namun, berbeda kali ini. Ray tampak frustasi dengan setumpuk dokumen di hadapannya. Pening di kepala Ray nampaknya enggan beranjak dan terus menggerogoti."Anggara!"
Drrrttt DrrrtttPonsel pria itu bergetar. Tangan kirinya dia gunakan untuk meraih ponsel yang diletakkan di dashboard mobil, sementara tangan kanan tetap memegang kendali. "Ya, hallo," jawab pria itu tanpa melihat siapa si penelepon terlebih dahulu, tapi sepersekian detik berikutnya dia mengenali suara tersebut."Oke. Saya akan segera kembali ke sana!"Pria itu memutar balik kendaraannya. Melaju dengan kecepatan tinggi agar segera sampai di tempat tujuan. Rasa penasaran yang dia miliki begitu tinggi. Membuat kaki panjangnya melangkah dengan cepat. Langkahnya seperti orang dikejar setan di siang bolong. "Bagaimana, Anggara?" tanya Ray menghampiri Anggara di ruangan asistennya. "Saya sudah menyelidikinya, Pak. Memang benar ada pengubahan data di laporan keuangan, sehingga menyebabkan perbedaan data antara yang terdapat pada laporan bagian akuntansi dan aktual di bagian lapangan."Ray memijat pelipisnya. "Ini benar tidak main-main, Anggara. Dia telah mencuri uang perusahaan sebanyak 3
"Lepas, Ray!" sentak Lia kasar, tapi tak membuat cengkraman Ray terlepas begitu saja. "Kumohon, lepaskan aku, Ray! Sakit!" rintih Lia terus meronta minta dilepaskan.Telinga Ray seakan tuli. Dia tak mengindahkan ucapan Lia sama sekali. Ray menyeret paksa wanita itu agar beranjak dari ranjang. Lia sudah berdiri, berhadapan dengan suaminya. Pria itu melepaskan cengkraman di pergelangan tangan Lia dengan kasar. "Aww..." ringis Lia sembari memegangi pergelangan tangannya yang sakit. Ray berubah seketika menjadi pria yang dingin. Bulu kuduk Lia meremang seketika. Ketakutan nampak di raut wajahnya yang ayu. Tidak pernah sekalipun Lia merasakan sikap Ray yang seperti ini padanya.Ray semakin mendekat ke arah Lia. Menepis jarak diantara keduanya. Tatapan mereka saling beradu. Netranya menatap Lia dengan tajam. Tak hanya itu, rahang Ray mengeras. Bahkan gemeletuk dari gigi Ray bisa Lia dengar. Pria itu terlihat sedang menahan emosi yang kian meledak dalam dirinya. "Katakan apa maumu?" tanya
[Bu, nanti Lia sama Ray ke sana ya. Kami berencana akan membangun ulang panti dan mendirikan sekolahan. Kalau Ray tanya tentang masalah ini, tolong ibu katakan padanya bahwa kita sudah berdiskusi sebelumnya tentang hal ini.]Lia mengirimi pesan singkat pada ibu panti agar wanita paruh baya itu tahu maksud kedatangan dirinya dan suaminya. Dia tidak ingin Ray menaruh curiga padanya sedikitpun. Ray keluar dari kamar mandi. Pria itu melangkahkan kakinya mendekati Lia. Mencuri-curi kesempatan dengan mengecup pipi kiri wanitanya. Tubuh Ray semakin mendekati Lia. Menepis jarak diantara keduanya. Lia mendorong dada bidang Ray yang polos. Lia paling tidak suka jika Ray sudah begini. Menempelkan tubuhnya dengan tubuh Lia. Apalagi tubuh bagian atas dari pria itu polos, dia hanya memakai celana jeans panjang. Tubuhnya juga basah terkena sisa air sehabis mandi. Lia merasa sangat risih. "Keringkan tubuhmu dan pakai baju terlebih dahulu! Badanmu basah, Ray!""Keringkan!" pinta Ray manja, merengkuh
Ray mendekati sang mama. Membisikkan sesuatu di telinga Nyonya Helena. "Ma... Aku mau bicara berdua dengan Lia boleh?"Nyonya Helena mencebikkan bibirnya. "Bilang aja kamu mau ngusir Mama kan?" ucapnya ketus. Sebenarnya hanya bercanda. "Ish... Bukan gitu, Ma," sunggut Ray. "Arsa... Bella... kita keluar dulu sebentar yuk!" ajak Nyonya Helena menyeret lengan keduanya. "Mau kemana, Ma?" tanya Lia. "Ke kantin bentar." Nyonya Helena beralasan. Nyonya Helena sendiri ingin memberikan kesempatan pada Ray dan Lia. Siapa tahu dengan adanya janin dalam rahim Lia membuat keduanya bisa berbaikan dan menjalin hubungan rumah tangga yang harmonis seperti sebelumnya.Setelah ketiganya pergi Ray memutar roda pada kursinya. Roda-roda itu menggelinding ke depan. Semakin lama semakin dekat dengan ranjang pesakitan. Di mana wanitanya berada di atasnya. Melihat Ray semakin mendekat ke arahnya, semakin panik pula Lia dibuatnya."Jangan mendekat!" peringat Lia. Menghentikan gerakan suaminya. "Yasudah. A
Lia dibawa ke ruang pemeriksaan. Nyonya Helena berkacak pinggang seraya berjalan mondar mandir di depan ruangan. Melihat betapa Ray sangat mencintai Lia, membuat Nyonya Helena ikut mencemaskan keadaan sang menantu. "Bagaimana keadaan menantu saya, Dok?" tanya Nyonya Helena, menyela sang dokter yang akan menjelaskan keadaan Lia. "Menantu anda pingsan karena kelelahan dan faktor berbadan dua, Nyonya, untuk pemeriksaan lebih lanjut nanti akan ditindak lanjuti oleh dokter kandungan.""Kalau begitu saya permisi, Nyonya.""Baik, Dok. Terima kasih banyak."Nyonya Helena meraup wajahnya penuh syukur. Dia sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan cucu dari Ray dan Lia secepat ini. Pernikahan Ray dan Lia yang baru satu bulan setengah itu ternyata dapat mewujudkan impian Nyonya Helena. Ya, beberapa bulan lagi Nyonya Helena dapat menimang seorang cucu yang selama ini dinantikannya. Lima tahun sudah Nyonya Helena menanti datangnya seorang cucu dari pernikahan Arsa dan Bella, tapi belum tampak
Ray mengucek kedua kelopak matanya. Ray takut apa yang dilihatnya hanyalah halusinasi semata karena dia tengah merindukan wanitanya. "Kamu benar Lia?" tanya Ray memastikan. "Iya," balas Lia ogah-ogahan. Ray mencubit tangannya sendiri. Rasanya sedikit sakit. Seperti digigit raja semut. Berarti Ray dalam keadaan sadar dan berada di dunia nyata. Ray bertemu dengan Lia bukan di dalam mimpi. Ah, betapa bahagianya hati Ray. Bunga yang tengah layu bagaikan tersiram air kembali. Merekah dengan indahnya. "Kemarilah, Sayang! Aku merindukanmu," ucapnya parau. Air mata kebahagiaan jatuh membasahi pipinya, tak dapat terbendung lagi. Betapa bahagianya Ray bisa bersua kembali dengan wanitanya. Semua terasa seperti mimpi. Ray masih tidak mempercayainya. "Mama keluar dulu ya." Nyonya Helena berlalu dan menutup pintu. Menyisakan dua insan di dalam ruangan pesakitan.Mengusap kasar sisa air mata, Ray merentangkan kedua tangannya. Rindunya tak terkira. Ray ingin merengkuh wanitanya, menumpahkan gulun
Lia sengaja berganti bus dua kali untuk mengecoh Anggara dan orang suruhan Ray. Tujuan awal kepergiannya ke Jawa Timur. Setelah menginap satu hari di sana, Lia kembali ke Jakarta. Pikirnya, Anggara dan orang suruhan Ray tidak mungkin bisa menebak keberadaannya sekarang. Luntang lantung di kota orang selama berminggu-minggu membuat Lia pusing tujuh keliling. Bukan karena jauh dari segala kemewahan yang diberikan Ray padanya, tapi lebih ke buta arah. Lia yang notabenenya anak rumahan merasa asing berada di kota orang. Apalagi Lia sama sekali tidak menggunakan ponselnya untuk membuka maps. Hanya mengandalkan bertanya orang yang dijumpainya saja, beruntunglah Lia bisa kembali ke Jakarta tanpa drama nyasar. Tujuan Lia ke Jakarta bukan untuk menyerahkan dirinya ataupun kembali pada Ray, melainkan untuk melancarkan aksi balas dendamnya pada Arsa. Selagi Lia berada di Jakarta, dia bisa mengawasi hubungan Arsa dan Bella, lalu membuat rumah tangga mereka berdua berantakan. Pagi ini Lia suda
"Friska, batalkan meeting kita hari ini!" perintah Ray pada sekretarisnya melalui sambungan interkom. "Tapi, Pak, meeting kita hari ini sangat penting," sahut Friska keberatan."Saya tidak peduli!"Persetan soal pekerjaannya saat ini. Ray hanya mau bertemu Lia dan memastikan bahwa yang dikatakan Anggara tidak benar adanya. Ray menggelengkan kepala, berusaha menampik kenyataan yang akan menyakitinya. 'Lia tidak berselingkuh di belakangku. Lia tidak akan menduakanku. Hanya aku yang dieluh-eluhkan wanitaku.' Ray mengukuhkan itu dalam pikirannya. Menghela napas kasar, pandangannya tertuju pada bangunan kota di luar kaca jendela. Menerawang beberapa peristiwa dari masa silam tentang kebersamaannya dengan Lia. "Ah shittt!" umpat Ray. Ray kehilangan fokusnya. Hampir saja Ray menabrak truk dari arah berlawanan. Demi menghindari tabrakan Ray membanting setir ke kiri. Ciitttt! Roda-roda saling bergesekan dengan jalan raya, menimbulkan bunyi decitan yang kencang. Debu jalanan pun ikut ter
Anggara dan beberapa orang suruhan Ray sedang berada di desa terpencil yang Lia singgahi. "Pak Anggara, kami mendapatkan informasi dari salah satu warga bahwa Nyonya Lia memang berada di desa ini, tepatnya di sebuah kontrakan kecil belakang sekolahan," lapor salah satu orang suruhan yang sering dijuluki si mancung karena hidungnya mancung. Anggara menghentikan kunyahannya. Meletakkan sendok dan bangkit dari duduknya. "Tunggu apalagi, kita cari sekarang juga!""Tunggu, Pak! Lebih baik kita selidiki lagi," cegahnya. "Selidiki apalagi hah? Kamu nggak tahu Pak Ray marah-marah gara-gara istrinya belum ketemu?" sentak Anggara. "Kami dapat informasi dari salah satu warga kalau Nyonya Lia berpacaran dengan anak lurah desa ini. Lebih baik kita selidiki dulu."Anggara menepis tangannya ke udara. "Hah? Mana mungkin?" jawabnya tak percaya. Mana mungkin sosok bos besar seperti Arrayyan Sagara tergantikan begitu saja dengan anak lurah. Apa nyonya-nya sebercanda itu? Mereka berjalan menuju seko
Memikirkan banyak hal membuat wanita berparas cantik itu sulit terlelap. Netra hazelnya memandang plafon kamar. Mengikuti arah pandang cicak-cicak yang berlarian bebas di atas sana. Satu persatu benang kusut diurainya. "Oke, Lia. Pertama, hancurkan rumah tangga Arsa terlebih dahulu. Ingat! Iblis itu yang membunuh Mamamu. Setelah rumah tangga Arsa hancur dan hidupnya menderita, barulah kamu buat Ray menderita juga.""Sekarang tidurlah! Balas dendam juga butuh tenaga."Lia memejamkan matanya, meski rasa kantuk belum menghampirinya. Menghitung domba mungkin akan membuatnya cepat terlelap, meskipun pikirannya belum kosong. Taman biasanya dipenuhi bunga bermekaran, bangku-bangku memanjang untuk tempat duduk, dan tempat bermain anak. Namun, berbeda dengan taman satu ini. Benar-benar tampak aneh. Tidak ada satu bunga pun tumbuh di sana. Hanya terdapat pohon beringin yang berjajar memenuhi area itu. Lia mengerutkan dahinya. Merasa semakin tidak paham dengan taman ini. Apalagi saat melihat
"Bang, kontrakannya udah pasti ada kan?" tanya Lia memastikan. Pasalnya Lia ingin sekalian membeli perabotan rumah. "Ada. Neng mau yang bagus apa yang biasa aja?" tanya Farid. "Pokoknya yang bersih, yang nyaman juga. Nggak usah terlalu luas gapapa. Kan cuma ditempatin sendiri.""Di tempat Bu Anik aja entar.""Hmm. Kalau beli peralatan dapur sekalian gapapa kan bang? Saya juga butuh magicom sama kipas angin. Abang bisa bawanya?""Bisa, Neng. Gampang."Setelah membeli berbagai makanan dan kebutuhan, Farid mengantarkan Lia menemui Bu Anik-pemilik kontrakan. "Permisi, Bu Anik," sapa Farid. "Ada apa, Bang Farid?" tanya Bu Anik sembari menyingkirkan berbagai alat-alat perkebunan. "Ini, Neng Ana lagi cari kontrakan.""Ayo masuk dulu, Neng Ana, Farid," ajak Bu Anik. "Makasih, Bu. Kami di sini saja," tolak Lia sopan. "Saya mau lihat langsung kontrakannya apa boleh?" tanya Lia. "Boleh, Neng. Bentar ya, Ibu ambilin kunci kontrakannya dulu."Bu Anik mengantarkan Lia melihat isi di dalam k
Netranya memandang nanar di sepanjang jalanan. Berulang kali mengumpat karena tidak menemukan keberadaan sang wanita. Pikirannya semakin kalut. Hatinya semakin resah. Ray memilih menepi barang sejenak. Menghubungi Anggara untuk mencari informasi di mana keberadaan wanitanya. "Bagaimana, Anggara? Apa sudah ada info?" tanya Ray ke inti pembahasan. "Keberadaan Nyonya saat ini belum bisa dilacak lebih jauh. Jejak terakhirnya berada di pertigaan hotel. Nyonya berjalan ke arah selatan. Detektif kita sudah menyelidiki jalanan yang kemungkinan dilewati Nyonya Lia, tapi sayang sekali, di sana tidak ada CCTV jalan. Sangat menyulitkan untuk kami melacak keberadaan Nyonya Lia.""Coba lacak melalui ponselnya!""Sudah, Pak. Ponselnya sudah tidak aktif semenjak dari hotel. Sim cardnya juga tidak terdeteksi.""Lacak dari atm, Anggara. Siapa tahu Lia menarik uang.""Sudah juga, Pak. Nyonya memang menarik uang dalam jumlah yang banyak di mesin atm dekat hotel. Apa struknya perlu saya kirim, Pak?""T