Oh, ayolah! Siapa yang tidak mengenal Arrayyan Sagara. CEO ternama di negara ini. Diumurnya yang ke 25 tahun Ray berhasil memimpin perusahaan yang dia dirikan sendiri, tanpa campur tangan keluarganya. Ya meskipun begitu, perusahaan Ray tetap menggunakan nama keluarganya-Sagara Corp.
Perusahaan Ray bergerak dibidang properti dan merupakan salah satu perusahaan terbesar di negara ini. Sedangkan perusahaan milik keluarga Sagara bergerak dibidang industri. Ketegasan serta kepiawaian Ray dalam memimpin perusahaan membawa dampak yang baik bagi perusahaan ini. Banyak yang senang dengan kepemimpinan Ray. Tak hanya para karyawan, tapi juga partner bisnisnya. Ray tak pernah mengalami kegagalan dalam bisnisnya. Setiap tahun selalu berkembang lebih baik dari sebelumnya. Apapun masalah yang terjadi di dalamnya pasti bisa dia atasi. Namun, berbeda kali ini. Ray tampak frustasi dengan setumpuk dokumen di hadapannya. Pening di kepala Ray nampaknya enggan beranjak dan terus menggerogoti."Anggara!" sentak Ray, memanggil asisten pribadinya. Ray tak pernah semarah ini sebelumnya. Anggara berlari ke hadapan Ray. Pria itu menunduk dalam. Yang ada di dalam benak Anggara sekarang adalah dia melakukan kesalahan besar sehingga bosnya semarah ini. "I-iya, Pak." Anggara gugup. Pandangannya selalu menunduk ke bawah. Takut menatap kilatan amarah dari netra bos besar. "Cek ulang dokumen ini bersama dengan bagian akuntansi! Saya rasa terjadi kesalahan." Ray melempar dokumen ke arah Anggara, langsung ditangkap dengan sigap oleh pria itu. "Baik, Pak. Kalau begitu saya pamit undur diri." Anggara membungkukkan badan sopan, langkah kakinya terus menjauh meninggalkan Ray di ruangan CEO.Selang beberapa menit kemudian terdengar ketukan pintu di ruangan Ray. "Masuk!" sahut Ray"Permisi, Pak." Anggara duduk di depan kursi kebesaran Ray, membuka dokumen yang ada di tangannya dan mencocokkan dengan laporan keuangan bagian akuntansi. "Saya sudah melakukan cek ulang pada dokumen ini dengan bagian akuntansi. Data yang terdapat pada dokumen ini memang sudah benar, Pak. Tidak terjadi suatu kesalahan apapun." Ray tak bisa meredam emosinya. Dia buka laporan bagian lapangan dengan kasar, kertasnya kusut seketika, untung tidak sampai sobek. "Lihatlah!" Ray memutar laporan pengeluaran bagian lapangan tersebut agar bisa dilihat oleh Anggara. Ray juga menunjukkan laporan pengeluaran bagian akuntansi pada Anggara. Anggara membelalakkan mata. "Astaga, Pak. Ini selisih 3 Triliun. Mengapa data bagian akuntansi yang bapak pegang berbeda dengan data bagian lapangan? Namun, data akuntansi yang saya pegang ini hasilnya sama dengan data bagian lapangan?" Anggara tak bisa berkata-kata lagi. Ia menelan ludah secara kasar. Pantas saja bosnya sedari tadi marah-marah. Ternyata kesalahan fatal di depan mata. "Ada yang tidak beres. Kamu tahu jika data yang saya pegang ini merupakan data palsu? Ada yang berniat merubahnya," ucap Ray sembari mengetuk meja menggunakan pulpen. Netranya menerawang jauh ke sana. "Kamu tahu kan harus bagaimana?" tanya Ray menatap Anggara. Anggara mengangguk dengan cepat. "Saya akan bereskan masalah ini, Pak. Saya akan cari dalang di balik penggelapan uang perusahaan.""Saya tunggu berita baik dari kamu.""Baik, Pak." Anggara kemudian pamit secara sopan dari ruangan Ray. Belum juga setengah jam Anggara dari ruangannya, pintu itu sudah diketuk kembali. "Apa lagi? Tidakkah dia memiliki pekerjaan lain? Dari tadi hanya bolak balik ke ruangan ini." Ray mengoceh sendiri.Pintu terus diketuk. Membuat Ray jengah dan memutar bola matanya malas. "Masuk! Ada apa lagi Anggara?" teriak Ray kesal. Ray salah. Bukan Anggara yang datang. Melainkan wanitanya. Lia datang dengan membawa rantang di tangan kanan. Berjalan perlahan ke arah Ray. "Maaf sudah marah-marah. Aku kira tadi yang datang Anggara." Ray memeluk pinggang ramping Lia. Mendudukkan wanita itu di sofa. Ray sendiri duduk di sebelahnya dan tetap memeluk wanitanya dari samping. Lia mengerucutkan bibir. Mendorong dada Ray perlahan agar pelukan pria itu terlepas. "Pantas saja mukamu cepat tua. Kerjaanmu hanya marah-marah saja," dengus Lia sebal. "Meskipun tua dan beruban aku akan tetap tampan," ucap Ray percaya diri. Ray memeluk Lia kembali. Membenamkan wajahnya di ceruk leher Lia. Dia hirup dalam-dalam aroma shampo yang menguar dari rambut Lia. Aroma yang selalu membuatnya betah jika berlama-lama menghirupnya. Disaat-saat seperti ini wanitanya sebagai penenang bagi Ray. Lia seakan bisa menjadi obat pusing untuk Ray dalam mengatasi segala kekacauan hari ini. Lihat saja, pria itu seakan lupa dengan masalah yang menimpanya hari ini karena kedatangan Lia."Ray, lepas! Ini di kantor." Lia memperingati Ray agar tidak terus-terusan mengusel-usel dirinya. "Biarkan saja. Siapa yang peduli?" jawab Ray acuh. "Ray, lepas!" kali ini Lia sampai meronta meminta dilepaskan.Ray beringsut menjauhi Lia. Wajahnya menjadi murung. Selalu saja ditolak saat sedang bermesraan. Ray menjatuhkan tubuhnya kembali di kursi kebesaran miliknya. Dia kembali berkutat dengan dokumen-dokumen di atas mejanya. Ray terlalu sibuk mengurusi dokumennya. Sebenarnya Ray sedang sengaja mendiamkan Lia karena terus-terusan menolaknya. Biarlah wanita itu paham mengapa suaminya menjadi dingin seperti ini. Lia terus melirik jam di pergelangan tangan. Dia menghentak-hentakkan kakinya di lantai. Merasa sangat bosan jika hanya duduk dan melihat Ray yang sedang bekerja. Sudah sekitar satu jam sejak fokus Ray beralih ke dokumen di depannya, pria itu sama sekali tidak melirik Lia di ruangan ini. Kedatangan Lia sendiri di kantor ini sebenarnya ingin membaca situasi. Apakah Ray sudah mengetahui kejanggalan yang terjadi di perusahaannya atau belum. Namun, nampaknya pria itu tidak akan berbagi keluh kesah mengenai pekerjaannya pada Lia. Lia sudah tidak tahan lagi jika harus menunggu Ray berbicara. Lia hanya ingin tahu jika Ray sudah mengalami kegagalan dalam bisnisnya. Lia bahkan sudah mengadakan sebuah pesta terlebih dahulu sebelum melihat penderitaan yang dialami Ray. Lia berjalan mendekati Ray, menyusup di sela-sela meja dan kursi Ray, lalu duduk di atas pangkuan Ray. Siapa tahu jika mereka sedekat ini Ray akan membuka diri untuk bercerita. "Sayang, kamu ada masalah?" tanya Lia sembari menatap wajah tampan Ray. "Tidak," balas Ray singkat. Pandangannya lurus, tertuju pada laptop di depannya. Lia menyandarkan kepalanya di dada bidang Ray. Lia masih terus berusaha mengulik informasi yang dapat menyenangkan hatinya. "Aku lihat tadi wajahmu murung. Jika ada masalah sebaiknya berceritalah! Aku akan mendengarkan dengan baik." Lia terus berusaha agar Ray mau bercerita. Lia ingin mendengarkan kabar buruk dari Ray tentang perusahaannya. Ray menghentikan ketikan jemarinya di atas laptop. Tangannya beralih menangkup wajah Lia yang ayu. Netranya beralih menatap netra hazel milik Lia. "Aku baik-baik saja, Sayang. Tidak ada masalah sama sekali," jawab Ray berdusta. Ray tidak berniat menyembunyikan apapun dari Lia, kecuali masalah pekerjaan. Lia tidak harus tahu masalah pekerjaan yang dialami Ray saat ini. Biarkan Lia tahu bagian yang manis-manis saja dalam hidup Ray. Ray ingin membahagiakan Lia tanpa membebani wanita itu sedikitpun. Lia mencoba menyelami netra hitam milik Ray. Mencoba mencari kebenaran dari sana. 'Sepertinya Ray memang tidak menyembunyikan apapun. Atau mungkin Ray belum tahu mengenai kejanggalan dalam perusahaannya?' batin Lia bertanya-tanya. Lia mengusap dengan perlahan wajah Ray yang ditumbuhi bulu-bulu halus. "Yasudah. Kalau ada masalah atau apapun jangan sungkan untuk berbagi. Ingat, aku ini istrimu, Ray."Ray mengangguk. "Ya, kamu memang istriku, Lia. Wanita yang paling aku cintai." Ray menghujani kecupan penuh cinta pada pipi kiri Lia. Lia memukul dada Ray pelan. "Ray, ini di kantor. Jangan cium aku sembarangan." Lia mendecih sebal, sedangkan Ray hanya tertawa menanggapi ucapan Lia. "Sudah hampir jam makan siang, makanlah Ray! Aku akan segera pulang." Lia berdiri dari pangkuan Ray. Merapikan rok panjangnya yang sedikit berantakan. Dia juga meraih tangan Ray, mencium punggung tangan suaminya. Lia berlalu begitu saja tanpa menunggu persetujuan dari Ray. Ray tidak mau melepas kepergian Lia begitu saja. Dia hampiri wanita yang sedang berjalan ke arah pintu itu, diraihnya pinggang Lia. "Makan sianglah bersamaku, Sayang!"Lia menggeleng, menolak ajakan makan siang Ray. "Aku buru-buru harus ke supermarket, Ray. Persediaan bahan makanan di rumah kita hampir habis. Aku tidak mau suamiku nanti malam kelaparan." Lia mengusap pipi Ray sekilas, kemudian berlalu begitu saja meninggalkan ruangan CEO itu. Lia merasa kesal. Kedatangannya ke kantor Ray seperti tidak ada artinya sama sekali. Dia tidak mendapatkan informasi apapun mengenai kejanggalan di Sagara Corp.'Tunggu waktunya tiba, Ray. Perlahan kamu akan hancur,' batin Lia tertawa.Drrrttt DrrrtttPonsel pria itu bergetar. Tangan kirinya dia gunakan untuk meraih ponsel yang diletakkan di dashboard mobil, sementara tangan kanan tetap memegang kendali. "Ya, hallo," jawab pria itu tanpa melihat siapa si penelepon terlebih dahulu, tapi sepersekian detik berikutnya dia mengenali suara tersebut."Oke. Saya akan segera kembali ke sana!"Pria itu memutar balik kendaraannya. Melaju dengan kecepatan tinggi agar segera sampai di tempat tujuan. Rasa penasaran yang dia miliki begitu tinggi. Membuat kaki panjangnya melangkah dengan cepat. Langkahnya seperti orang dikejar setan di siang bolong. "Bagaimana, Anggara?" tanya Ray menghampiri Anggara di ruangan asistennya. "Saya sudah menyelidikinya, Pak. Memang benar ada pengubahan data di laporan keuangan, sehingga menyebabkan perbedaan data antara yang terdapat pada laporan bagian akuntansi dan aktual di bagian lapangan."Ray memijat pelipisnya. "Ini benar tidak main-main, Anggara. Dia telah mencuri uang perusahaan sebanyak 3
"Lepas, Ray!" sentak Lia kasar, tapi tak membuat cengkraman Ray terlepas begitu saja. "Kumohon, lepaskan aku, Ray! Sakit!" rintih Lia terus meronta minta dilepaskan.Telinga Ray seakan tuli. Dia tak mengindahkan ucapan Lia sama sekali. Ray menyeret paksa wanita itu agar beranjak dari ranjang. Lia sudah berdiri, berhadapan dengan suaminya. Pria itu melepaskan cengkraman di pergelangan tangan Lia dengan kasar. "Aww..." ringis Lia sembari memegangi pergelangan tangannya yang sakit. Ray berubah seketika menjadi pria yang dingin. Bulu kuduk Lia meremang seketika. Ketakutan nampak di raut wajahnya yang ayu. Tidak pernah sekalipun Lia merasakan sikap Ray yang seperti ini padanya.Ray semakin mendekat ke arah Lia. Menepis jarak diantara keduanya. Tatapan mereka saling beradu. Netranya menatap Lia dengan tajam. Tak hanya itu, rahang Ray mengeras. Bahkan gemeletuk dari gigi Ray bisa Lia dengar. Pria itu terlihat sedang menahan emosi yang kian meledak dalam dirinya. "Katakan apa maumu?" tanya
[Bu, nanti Lia sama Ray ke sana ya. Kami berencana akan membangun ulang panti dan mendirikan sekolahan. Kalau Ray tanya tentang masalah ini, tolong ibu katakan padanya bahwa kita sudah berdiskusi sebelumnya tentang hal ini.]Lia mengirimi pesan singkat pada ibu panti agar wanita paruh baya itu tahu maksud kedatangan dirinya dan suaminya. Dia tidak ingin Ray menaruh curiga padanya sedikitpun. Ray keluar dari kamar mandi. Pria itu melangkahkan kakinya mendekati Lia. Mencuri-curi kesempatan dengan mengecup pipi kiri wanitanya. Tubuh Ray semakin mendekati Lia. Menepis jarak diantara keduanya. Lia mendorong dada bidang Ray yang polos. Lia paling tidak suka jika Ray sudah begini. Menempelkan tubuhnya dengan tubuh Lia. Apalagi tubuh bagian atas dari pria itu polos, dia hanya memakai celana jeans panjang. Tubuhnya juga basah terkena sisa air sehabis mandi. Lia merasa sangat risih. "Keringkan tubuhmu dan pakai baju terlebih dahulu! Badanmu basah, Ray!""Keringkan!" pinta Ray manja, merengkuh
Jemari lentik wanita itu mengusap wajah seorang pria dalam sebuah foto. Terlihat lengkungan di salah satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas. Mengejek foto si pria yang ada pada genggaman tangannya. "Kamu memang iblis! Namun, tahukah kamu jika aku bisa menjadi malaikat pencabut nyawa untuk iblis sepertimu? Hahaha." Wanita itu berbicara sendiri. Sudah seperti orang gila saja nampaknya. Hahaha... Ya, dia memang tidak waras semenjak hidupnya dihancurkan oleh pria itu. Kobaran api membingkai benda persegi yang sedari tadi dia genggam. Dia membakar foto itu hingga tak bersisa. Luruh, berhamburan, melayang-layang di udara menjadi abu. "Tenanglah! Sebentar lagi kamu juga akan menjadi abu seperti fotomu ini. Tinggal menunggu ajal menjemputmu saja. Hahaha...""Tidak... tidak. Bajingan sepertimu tidak boleh sekarat sekarang. Tidak asik bukan? Lebih asik lagi jika kamu mati secara perlahan dalam penderitaan. Tentu aku akan menikmatinya. Jika kamu menderita, akan kubuatkan sebuah pesta peraya
Cklek!Pintu terbuka. Lia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Hanya gelap yang ditangkap oleh netranya. Tanggannya meraba tembok, mencari saklar terdekat dari tempatnya berdiri. Klik! "Astaga..." Lia tersentak, memegangi jantungnya yang hampir saja copot dari tempatnya. Barang belanjaannya sudah jatuh tercecer di atas lantai. Lia masih syok. Dia kira di depannya tadi hantu penunggu rumah ini. Ah tidak, tidak mungkin di rumah ini ada hantunya. Ini bukan cerita horor kali. Author tidak akan menambahkan tokoh hantu dalam cerita ini wkwk.Wanita itu melotot. Menatap tajam pria di hadapannya. Sepersekian detik berikutnya dia menunduk. Mengambil barang belanjaannya yang jatuh tercecer. "Dari mana saja kamu?" tanya si pemilik suara berat itu. Siapa lagi kalau bukan suaminya. Nada bicaranya terdengar ketus. Tidak seperti biasanya. Bisa Lia duga suaminya sedang memasang tampang dingin layaknya es dalam kulkas. Lia mendongakkan kepala. Menangkap netra hitam milik Ray. Benar kan dugaan
Arsa kira semuanya sudah baik-baik saja. Arsa kira konflik diantara keduanya telah berakhir, tapi dia salah. Bella masih marah dan menaruh kecurigaan yang besar padanya. Arsa sendiri masih tidak mengerti mengapa dia dituduh berselingkuh. Padahal tidak pernah sekalipun dia menduakan istrinya. Berniat untuk selingkuh pun tidak ada di dalam benaknya. Ah, apa-apaan ini. Menurut Arsa, Bella sudah benar-benar keterlaluan. Wanita itu mengaktifkan gps di ponsel Arsa. Dia akan melacak keberadaan suaminya setiap waktu. Tidak sampai di situ saja. Aplikasi chatting suaminya juga sudah dia sadap. Jadi percakapan apapun akan dia ketahui. Ah, sungguh sangat menyebalkan. Seperti tidak memiliki privasi sama sekali. Mengapa juga harus posesif seperti ini? Tanpa Bella bersusah payah mengawasinya pun, Arsa tidak akan berselingkuh. Dia pria yang sangat setia."Tunggu dulu!" Bella menahan lengan suaminya saat pria itu akan berlalu begitu saja."Apalagi. Aku sudah terlambat." Arsa menunjuk jam di pergelan
Jam menunjukkan pukul 15.00 WIB. Dokumen-dokumen yang berserakan di atas meja sudah ditata dengan begitu rapi. Ray sengaja pulang dari kantor lebih awal dari biasanya. Dia ingin bersantai di rumah ditemani sang istri tercinta. Sebelum pulang, Ray mampir ke toko kue terlebih dahulu. Dia ingin membeli kue rasa strawberry kesukaan wanitanya. Membayangkan Lia memakan kue itu dengan begitu lahap membuat senyum di bibir Ray berkembang. "Selamat sore, Tuan Ray." Sapa penjaga toko kue dengan ramah. Dia memang sudah mengenal Ray karena pria itu pelanggan tetap di toko ini. "Sore, Mbak. Biasa ya, Mbak," ucap Ray yang tentu sudah dapat dipahami oleh si penjaga toko. "Baik, Tuan Ray. Tunggu sebentar ya!"Penjaga toko kue pergi ke dalam. Mengambil kue strawberry yang baru saja keluar dari open. Bisa dilihat bahwa asap masih mengepul di atasnya. Dikemasnya kue tersebut memakai plastik putih, lalu memasukkannya ke dalam kardus. Setelah itu baru di masukkan ke dalam paper bag."Ini, Tuan Ray!" Pen
#Harap bijak dalam membaca! Untuk teman-teman yang kurang berkenan dengan bab ini bisa langsung di skip. "Lia, bangun!" sentak Ray kasar. Tidak ada manis-manisnya sama sekali. Wanita itu bergeming. Seperti tidak mendengar suara apapun. Alam mimpinya terlalu indah untuk dia tinggalkan begitu saja. "Lia, bangun!" Suara Ray naik beberapa oktaf. Dia guncangkan tubuh Lia perlahan. Sama, masih tidak ada reaksi sama sekali. Nampaknya wanita itu terlalu terlena dalam tidurnya. Entahlah, sedang bermimpi apa dia sehingga enggan membuka mata. Sudah habis kesabaran Ray. Amarah semakin menjalar ke setiap sudut hatinya. Dia bopong tubuh wanitanya. Dia jatuhkan ke atas ranjang berukuran king size. Dengan begini Lia akan terkejut dan bangun dari tidurnya. Benar saja kan? Lihatlah! Wanita ini sudah membuka matanya. "Gempa... Gempa..." teriak Lia begitu bangun dari tidurnya. "Heh, sadarlah!" Ray menepuk pipi kanan dan kiri wanita itu. "Siapa kamu?" tanya Lia masih di dalam mode linglung sehabis
Ray mendekati sang mama. Membisikkan sesuatu di telinga Nyonya Helena. "Ma... Aku mau bicara berdua dengan Lia boleh?"Nyonya Helena mencebikkan bibirnya. "Bilang aja kamu mau ngusir Mama kan?" ucapnya ketus. Sebenarnya hanya bercanda. "Ish... Bukan gitu, Ma," sunggut Ray. "Arsa... Bella... kita keluar dulu sebentar yuk!" ajak Nyonya Helena menyeret lengan keduanya. "Mau kemana, Ma?" tanya Lia. "Ke kantin bentar." Nyonya Helena beralasan. Nyonya Helena sendiri ingin memberikan kesempatan pada Ray dan Lia. Siapa tahu dengan adanya janin dalam rahim Lia membuat keduanya bisa berbaikan dan menjalin hubungan rumah tangga yang harmonis seperti sebelumnya.Setelah ketiganya pergi Ray memutar roda pada kursinya. Roda-roda itu menggelinding ke depan. Semakin lama semakin dekat dengan ranjang pesakitan. Di mana wanitanya berada di atasnya. Melihat Ray semakin mendekat ke arahnya, semakin panik pula Lia dibuatnya."Jangan mendekat!" peringat Lia. Menghentikan gerakan suaminya. "Yasudah. A
Lia dibawa ke ruang pemeriksaan. Nyonya Helena berkacak pinggang seraya berjalan mondar mandir di depan ruangan. Melihat betapa Ray sangat mencintai Lia, membuat Nyonya Helena ikut mencemaskan keadaan sang menantu. "Bagaimana keadaan menantu saya, Dok?" tanya Nyonya Helena, menyela sang dokter yang akan menjelaskan keadaan Lia. "Menantu anda pingsan karena kelelahan dan faktor berbadan dua, Nyonya, untuk pemeriksaan lebih lanjut nanti akan ditindak lanjuti oleh dokter kandungan.""Kalau begitu saya permisi, Nyonya.""Baik, Dok. Terima kasih banyak."Nyonya Helena meraup wajahnya penuh syukur. Dia sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan cucu dari Ray dan Lia secepat ini. Pernikahan Ray dan Lia yang baru satu bulan setengah itu ternyata dapat mewujudkan impian Nyonya Helena. Ya, beberapa bulan lagi Nyonya Helena dapat menimang seorang cucu yang selama ini dinantikannya. Lima tahun sudah Nyonya Helena menanti datangnya seorang cucu dari pernikahan Arsa dan Bella, tapi belum tampak
Ray mengucek kedua kelopak matanya. Ray takut apa yang dilihatnya hanyalah halusinasi semata karena dia tengah merindukan wanitanya. "Kamu benar Lia?" tanya Ray memastikan. "Iya," balas Lia ogah-ogahan. Ray mencubit tangannya sendiri. Rasanya sedikit sakit. Seperti digigit raja semut. Berarti Ray dalam keadaan sadar dan berada di dunia nyata. Ray bertemu dengan Lia bukan di dalam mimpi. Ah, betapa bahagianya hati Ray. Bunga yang tengah layu bagaikan tersiram air kembali. Merekah dengan indahnya. "Kemarilah, Sayang! Aku merindukanmu," ucapnya parau. Air mata kebahagiaan jatuh membasahi pipinya, tak dapat terbendung lagi. Betapa bahagianya Ray bisa bersua kembali dengan wanitanya. Semua terasa seperti mimpi. Ray masih tidak mempercayainya. "Mama keluar dulu ya." Nyonya Helena berlalu dan menutup pintu. Menyisakan dua insan di dalam ruangan pesakitan.Mengusap kasar sisa air mata, Ray merentangkan kedua tangannya. Rindunya tak terkira. Ray ingin merengkuh wanitanya, menumpahkan gulun
Lia sengaja berganti bus dua kali untuk mengecoh Anggara dan orang suruhan Ray. Tujuan awal kepergiannya ke Jawa Timur. Setelah menginap satu hari di sana, Lia kembali ke Jakarta. Pikirnya, Anggara dan orang suruhan Ray tidak mungkin bisa menebak keberadaannya sekarang. Luntang lantung di kota orang selama berminggu-minggu membuat Lia pusing tujuh keliling. Bukan karena jauh dari segala kemewahan yang diberikan Ray padanya, tapi lebih ke buta arah. Lia yang notabenenya anak rumahan merasa asing berada di kota orang. Apalagi Lia sama sekali tidak menggunakan ponselnya untuk membuka maps. Hanya mengandalkan bertanya orang yang dijumpainya saja, beruntunglah Lia bisa kembali ke Jakarta tanpa drama nyasar. Tujuan Lia ke Jakarta bukan untuk menyerahkan dirinya ataupun kembali pada Ray, melainkan untuk melancarkan aksi balas dendamnya pada Arsa. Selagi Lia berada di Jakarta, dia bisa mengawasi hubungan Arsa dan Bella, lalu membuat rumah tangga mereka berdua berantakan. Pagi ini Lia suda
"Friska, batalkan meeting kita hari ini!" perintah Ray pada sekretarisnya melalui sambungan interkom. "Tapi, Pak, meeting kita hari ini sangat penting," sahut Friska keberatan."Saya tidak peduli!"Persetan soal pekerjaannya saat ini. Ray hanya mau bertemu Lia dan memastikan bahwa yang dikatakan Anggara tidak benar adanya. Ray menggelengkan kepala, berusaha menampik kenyataan yang akan menyakitinya. 'Lia tidak berselingkuh di belakangku. Lia tidak akan menduakanku. Hanya aku yang dieluh-eluhkan wanitaku.' Ray mengukuhkan itu dalam pikirannya. Menghela napas kasar, pandangannya tertuju pada bangunan kota di luar kaca jendela. Menerawang beberapa peristiwa dari masa silam tentang kebersamaannya dengan Lia. "Ah shittt!" umpat Ray. Ray kehilangan fokusnya. Hampir saja Ray menabrak truk dari arah berlawanan. Demi menghindari tabrakan Ray membanting setir ke kiri. Ciitttt! Roda-roda saling bergesekan dengan jalan raya, menimbulkan bunyi decitan yang kencang. Debu jalanan pun ikut ter
Anggara dan beberapa orang suruhan Ray sedang berada di desa terpencil yang Lia singgahi. "Pak Anggara, kami mendapatkan informasi dari salah satu warga bahwa Nyonya Lia memang berada di desa ini, tepatnya di sebuah kontrakan kecil belakang sekolahan," lapor salah satu orang suruhan yang sering dijuluki si mancung karena hidungnya mancung. Anggara menghentikan kunyahannya. Meletakkan sendok dan bangkit dari duduknya. "Tunggu apalagi, kita cari sekarang juga!""Tunggu, Pak! Lebih baik kita selidiki lagi," cegahnya. "Selidiki apalagi hah? Kamu nggak tahu Pak Ray marah-marah gara-gara istrinya belum ketemu?" sentak Anggara. "Kami dapat informasi dari salah satu warga kalau Nyonya Lia berpacaran dengan anak lurah desa ini. Lebih baik kita selidiki dulu."Anggara menepis tangannya ke udara. "Hah? Mana mungkin?" jawabnya tak percaya. Mana mungkin sosok bos besar seperti Arrayyan Sagara tergantikan begitu saja dengan anak lurah. Apa nyonya-nya sebercanda itu? Mereka berjalan menuju seko
Memikirkan banyak hal membuat wanita berparas cantik itu sulit terlelap. Netra hazelnya memandang plafon kamar. Mengikuti arah pandang cicak-cicak yang berlarian bebas di atas sana. Satu persatu benang kusut diurainya. "Oke, Lia. Pertama, hancurkan rumah tangga Arsa terlebih dahulu. Ingat! Iblis itu yang membunuh Mamamu. Setelah rumah tangga Arsa hancur dan hidupnya menderita, barulah kamu buat Ray menderita juga.""Sekarang tidurlah! Balas dendam juga butuh tenaga."Lia memejamkan matanya, meski rasa kantuk belum menghampirinya. Menghitung domba mungkin akan membuatnya cepat terlelap, meskipun pikirannya belum kosong. Taman biasanya dipenuhi bunga bermekaran, bangku-bangku memanjang untuk tempat duduk, dan tempat bermain anak. Namun, berbeda dengan taman satu ini. Benar-benar tampak aneh. Tidak ada satu bunga pun tumbuh di sana. Hanya terdapat pohon beringin yang berjajar memenuhi area itu. Lia mengerutkan dahinya. Merasa semakin tidak paham dengan taman ini. Apalagi saat melihat
"Bang, kontrakannya udah pasti ada kan?" tanya Lia memastikan. Pasalnya Lia ingin sekalian membeli perabotan rumah. "Ada. Neng mau yang bagus apa yang biasa aja?" tanya Farid. "Pokoknya yang bersih, yang nyaman juga. Nggak usah terlalu luas gapapa. Kan cuma ditempatin sendiri.""Di tempat Bu Anik aja entar.""Hmm. Kalau beli peralatan dapur sekalian gapapa kan bang? Saya juga butuh magicom sama kipas angin. Abang bisa bawanya?""Bisa, Neng. Gampang."Setelah membeli berbagai makanan dan kebutuhan, Farid mengantarkan Lia menemui Bu Anik-pemilik kontrakan. "Permisi, Bu Anik," sapa Farid. "Ada apa, Bang Farid?" tanya Bu Anik sembari menyingkirkan berbagai alat-alat perkebunan. "Ini, Neng Ana lagi cari kontrakan.""Ayo masuk dulu, Neng Ana, Farid," ajak Bu Anik. "Makasih, Bu. Kami di sini saja," tolak Lia sopan. "Saya mau lihat langsung kontrakannya apa boleh?" tanya Lia. "Boleh, Neng. Bentar ya, Ibu ambilin kunci kontrakannya dulu."Bu Anik mengantarkan Lia melihat isi di dalam k
Netranya memandang nanar di sepanjang jalanan. Berulang kali mengumpat karena tidak menemukan keberadaan sang wanita. Pikirannya semakin kalut. Hatinya semakin resah. Ray memilih menepi barang sejenak. Menghubungi Anggara untuk mencari informasi di mana keberadaan wanitanya. "Bagaimana, Anggara? Apa sudah ada info?" tanya Ray ke inti pembahasan. "Keberadaan Nyonya saat ini belum bisa dilacak lebih jauh. Jejak terakhirnya berada di pertigaan hotel. Nyonya berjalan ke arah selatan. Detektif kita sudah menyelidiki jalanan yang kemungkinan dilewati Nyonya Lia, tapi sayang sekali, di sana tidak ada CCTV jalan. Sangat menyulitkan untuk kami melacak keberadaan Nyonya Lia.""Coba lacak melalui ponselnya!""Sudah, Pak. Ponselnya sudah tidak aktif semenjak dari hotel. Sim cardnya juga tidak terdeteksi.""Lacak dari atm, Anggara. Siapa tahu Lia menarik uang.""Sudah juga, Pak. Nyonya memang menarik uang dalam jumlah yang banyak di mesin atm dekat hotel. Apa struknya perlu saya kirim, Pak?""T