Jarum di arloji Cartier Jovita menunjukkan pukul 7 pagi. Matahari sudah memunculkan diri sejak tiga jam lalu di langit Gotland ketika Jovita dan Joseph mulai memasuki feri berkecepatan tinggi yang akan menyeberangkan mereka ke daratan Swedia. Lima belas menit kemudian, feri berwarna putih dengan panjang hampir 200 meter dan berkapasitas hingga 1.500 penumpang tersebut mulai meninggalkan Pelabuhan Visby.
Setelah memarkirkan Volvo putihnya di dek bawah, Joseph mengajak Jovita naik ke dek atas. Dua lantai geladak kapal terbawah digunakan untuk memarkir kendaraan, sedangkan dua dek di atasnya difungsikan sebagai ruang untuk penumpang, mulai dari tempat bersantai, area makan, kabin privat, serta ruang konferensi. Ruang makan menjadi area yang mereka tuju untuk menikmati sarapan.
Sepotong sandwich dengan olesan smörgåskaviar di atasnya dan segelas teh hangat menjadi
Lima menit kemudian mereka sudah berada di luar apartemen, menyusuri jalan Kungsängsgatan. Setelah sekitar empat ratus meter berjalan, Jovita memerhatikan bahwa bangunan apartemen di daerah ini terlihat lebih lawas dan terkesan lebih padat dibanding area tempat tinggal Joseph. "Ini masih jalan yang sama dengan tempat tinggalmu, bukan?" tanya Jovita. Joseph mengangguk. "Bangunannya terlihat lebih tua. Daerahmu tampaknya lebih baru," ujar Jovita. "Ya ... ini daerah yang lebih lama. Tingginya urbanisasi dan makin bertambahnya jumlah mahasiswa membuat banyak pembangunan apartemen baru," jelas Joseph. Ia kemudian menunjuk ke satu bangunan bertingkat 4 berdinding merah bata yang terkesan agak kusam. "Itu apartemen pertamaku di sin
Setelah menempuh perjalanan sepanjang 1.200 kilometer dari Uppsala, Joseph dan Jovita sampai di tujuan utama mereka, Abisko, sebuah kota kecil yang terletak di sebelah utara Swedia. "Kita sudah sampai," ujar Joseph sambil memarkirkan mobilnya tidak jauh dari bangunan bertuliskan STF Abisko Touriststation. Jovita memandang ke sekelilingnya yang merupakan daerah pegunungan. Ia melirik Cartier di pergelangan kirinya, pukul 22 malam tapi langit tak ubah seperti pukul 4 sore di Jakarta. Ia mulai bisa menangkap kejutan apa yang diberikan Joseph. "Apakah ini midnight sun, Joe?" tanya Jovita dengan mata berbinar. Midnight sun adalah fenomena alam ketika matahari sama sekali tidak menyentuh horizon, alias tidak ada malam
"Tadi kamu bilang sedang cemas, apa yang merisaukanmu?" tanya Jovita sambil membelai lembut rambut cokelat tua Joseph. Ia bisa memaklumi rasa malu yang mungkin merasuki Joseph setelah pengakuan atas masa lalu. "Aku sepakat keterbukaan adalah hal utama agar hubungan ini berhasil. Namun, aku juga harus menghadapi kemungkinan kamu tak mau lagi bersamaku setelah tahu semuanya," - Joseph mengangkat wajahnya - "dan maaf harus mengungkapkannya di hari ulang tahunmu." "Oh Joe ... keterbukaanmu justru hadiah ulang tahun yang kian melengkapi kebahagiaanku. Aku sudah dibohongi oleh mantan suamiku untuk waktu yang cukup lama. Terlalu banyak rahasia yang disembunyikannya, sehingga kejujuran adalah satu hal yang sangat kubutuhkan saat ini. Aku sangat berterima kasih untuk itu ... and I love you more for that." Jovita mengulas senyum terind
Menjelang makan siang, Volvo XC40 putih yang dikendarai Joseph memasuki kota Stockholm. Setelah menginap semalam di kota Umeå sepulangnya dari mengunjungi desa Rávttas, tak lama setelah matahari terbit, mereka mulai melanjutkan perjalanan pulang ke Gotland dengan menyinggahi Stockholm. "Apa yang unik dari Stockholm? Kalau tidak salah kota ini terdiri dari banyak pulau?" tanya Jovita saat mobil mereka menyusuri jalan Klarastrandsleden yang berada di pinggir sungai. "Betul. Stockholm dijuluki sebagai kota yang mengapung di atas air karena kota ini terdiri dari empat belas pulau yang dihubungkan oleh lima puluh tujuh jembatan," sahut Joseph. "Jadi dengan menyeberangi jembatan, bisa jadi kita sudah berada di pulau yang berbeda?" Jovita menemukan jawaban mengapa sejak tadi selalu melihat
Keesokan hari, setelah berolahraga di pinggir dermaga dan menikmati sarapan, perjalanan pun dilanjutkan. Mengelilingi pulau Södermalm menjadi agenda hari itu sebelum pulang ke Visby. Jovita melihat plang toko berwarna hitam bertuliskan The English Bookshop di jalan yang sedang mereka lewati. Ia meminta Joseph untuk menghentikan kendaraan dan menyambangi toko berdinding kuning tua itu. "Aku ingin membelikan anak-anak buku cerita. Di situ pasti banyak buku menarik." Jovita memberikan alasan permintaannya berhenti di toko tersebut yang dikabulkan dengan segera oleh Joseph. Jovita dan Joseph bersamaan menarik napas panjang, menghirup bibliosmia¹ yang menguar begitu melangkahkan kaki memasuki toko buku. "Ternyata kita sesama book sniffer," ujar Joseph saat menya
Agustus menjadi bulan yang penuh ajang menarik di Gotland. Salah satunya di awal bulan adalah Kejuaran Dunia Kubb atau Kubb World Championship. Kubb merupakan permainan tradisional melempar kayu di lapangan rumput yang cukup populer di Swedia. Permainan ini kemudian marak di negara-negara Eropa dan Amerika. Sejak tahun 1995, Gotland menjadi tuan rumah Kejuaraan Dunia Kubb. Kejuaraan yang diikuti oleh hampir 200 tim dari berbagai negara Eropa dan Amerika ini berlangsung selama 2 hari di daerah Hemse, sisi selatan Gotland, sekitar 50 kilometer dari Visby. Jovita, Joseph, bersama enam anak asuh Ronja sejak pagi sudah berada di lokasi pertandingan, tidak hanya untuk menonton, tapi memberi semangat bagi Lukas dan timnya yang turut bertanding. "Bagaimana cara bermainnya?" tanya Jovita.
"Hej," sapa Anders. Jovita hanya membalas dengan senyum. Anders melihat tiga buah es krim yang jatuh berceceran di atas rumput akibat ulahnya barusan. "Aku akan ganti es krimmu." Ia lalu berlari ke truk es krim tanpa menunggu persetujuan Jovita. "Bajumu terkena noda, Jo," ujar Ylva. Jovita mengamati kaus putihnya yang terkena noda cokelat. Ia mengembuskan napas kesal, tapi tak ada yang bisa dilakukan untuk mengembalikan keadaan. "It's okay, nanti bisa kubersihkan. Kalian boleh duluan, khawatir esnya meleleh. Aku akan membeli lagi," ujarnya pada Ylva dan Alfred seraya mengambil cone es krim yang terjatuh lantas membuangnya ke tempat sampah terdekat.
Gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan Stora Salen atau Grand Hall di Uppsala Concert & Congress Hall mengiringi masuknya Joseph ke panggung sebagai pemateri terakhir di acara TEDx. Tampil sebagai pemateri terakhir penuh dengan tantangan. Di satu sisi, hadirin dalam kondisi lelah karena telah mendengarkan serangkaian presentasi, tapi di sisi lain, hal terakhir adalah hal yang biasanya paling melekat di memori manusia dan meninggalkan kesan mendalam. Membuka presentasi dengan pertanyaan menggelitik bagi peserta, menjadi strategi yang sudah disiapkan oleh Joseph dengan arahan Jovita. Sebuah langkah yang langsung menyita perhatian dan mengembalikan fokus hadirin yang mulai kelelahan. Penggunaan bahasa sederhana yang memudahkan pemahaman peserta, selipan humor cerdas yang menghidupkan suasana, visualisasi materi atraktif di layar yang menggugah atensi, teknik presentasi yang sempurna, dan outfit smart casual, berp
"Selamat datang di Åberg!" Magnus menjabat tangan Jovita erat. "Kapan datang dari Indonesia?" "Seminggu yang lalu," jawab Jovita. Kerstin, Direktur Human Capital, yang juga hadir saat wawancara di Uppsala turut menjabat tangan Jovita. "Terima kasih sudah bersedia datang sebelum tanggal di kontrak." Ia mempersilakan Jovita untuk duduk. "Tidak masalah," sahut Jovita. Siang itu, ia diminta datang ke kantor pusat Åberg School of Communication di Norrmalm, area pusat bisnis Stockholm. "Perkenalkan ini Niklas, ia adalah Staf Human Capital. Ia nanti akan mengurus semua keperluanmu," ucap Kerstin sembari memperkenalkan seorang pria berusia awal 30-an berkacamata. Jovita menjabat tangan Niklas. "Jovita. Trevligtatt träffas.
"Jo!" panggil Monica sambil melambaikan tangannya. Jovita balas melambaikan tangan lalu bergegas mendekati temannya yang sudah duduk di salah satu meja dekat kolam renang. Ia menyempatkan diri berpamitan kepada rekan-rekan seperjuangannya. Restoran Mendjangan di kawasan Kemang, Jakarta Selatan menjadi pilihan mereka bertemu siang itu. Di meja tersebut telah menunggu Monica, Albert dan istrinya Karen. "Apa kabarmu, Jo?" tanya Karen yang dahulu teman satu angkatan Jovita kala di jenjang S1. "Baik, kamu bagaimana kabar?" "Baik. Kamu makin cantik dan seksi, deh," sanjung Karen. "Tuh, kan, bukan cuma aku dan Rania yang bilang begitu," celetuk Monica.
Suasana riuh memenuhi kediaman keluarga Irwan Hengkara pada hari Sabtu pekan pertama di tahun baru. Tidak hanya semua anak dan cucunya yang berkumpul, tapi juga tiga anak almarhum supir pribadinya yang sudah dianggap seperti anak sendiri, Bayu, Reza, dan Gilang bersama keluarga mereka. Enam anak dan dua balita terlihat asik bermain bersama di halaman berumput samping rumah. Bayu dan Joseph bermain catur tak jauh dari anak-anak itu. Reza, Gilang, Damian, dan juga Irwan mengamati permainan itu dengan serius. Baru kali ini Bayu mendapat perlawanan sengit dalam bermain catur. "Semua jadi kecanduan catur," komentar Yulia melihat enam pria bermimik serius di teras samping. Ia bersama para perempuan sibuk di dapur dan ruang makan menyiapkan makan siang. "Soalnya selama ini tidak ada yang bisa menandingi Kak Bayu, jadi kurang seru, ba
"Sampai kapan Anda di sini?" tanya Agung kepada Joseph setelah menutup pertemuan tersebut. "Rencananya kami akan berangkat pertengahan Januari. Semoga semua dokumen Jovita dan juga Vanya sudah selesai," sahut Joseph. "Jangan khawatir, pengacara kami bisa membantu agar semua urusan beres," ujar Agung. Joseph mengernyitkan dahi, berusaha memaknai perkataan Agung, bertanya-tanya mengapa harus menawarkan bantuan untuk sebuah prosedur yang sudah jelas dan baku. Jovita menangkap makna ekspresi Joseph. Ia yakin Joseph pasti bingung menyikapi tawaran kolusi dari Agung. "Terima kasih atas bantuannya, Pak." Ia segera memberikan jawaban. "Ayo, silakan diminum terlebih dahulu." Dewi mempersilakan para tamunya untuk menikmati minuman d
Jovita memarkir mobilnya di halaman rumah Poppy. Ia menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk menghadapi pembicaraan yang bisa saja melebar menjadi perseteruan. "Apa kamu yakin mau aku temani?" Joseph mengusap lengan Jovita. Ia khawatir pembicaraan ini bersifat privasi. "Tentu. Aku membutuhkanmu." Jovita memandangi mata hazel Joseph lekat. Joseph tersenyum. Ada bahagia karena merasa kehadirannya dibutuhkan. "Kalau begitu, mari kita turun," ajak Joseph. "Everything's gonna be alright." Jovita mengangguk. Joseph laksana daya tambahan bagi keberaniannya. Berbarengan dengan mereka berdua turun dari mobil, Arifin - pengacara Jovita - turun dari mobilnya beserta Ri
Setelah setengah jam berkendara, Jovita menghentikan kendaraannya di restoran Bandar Djakarta yang terletak di dalam area wisata Taman Impian Jaya Ancol, sebuah tempat makan seafood yang memiliki konsep pasar ikan dengan pemandangan pantai Ancol. Sambil menyantap hidangan makan siang, obrolan kembali berlanjut. Ludvig mengamati pasangan yang ada di hadapannya. Dua orang yang sedang kasmaran. Tiap kali Joseph berbicara, Jovita memandanginya dengan penuh kekaguman, begitu pula sebaliknya. Joseph memandangi Jovita mesra saat perempuan itu bertutur. Suatu hal yang sangat jarang dilihatnya terjadi pada Joseph, bahkan ketika ia bersama dengan Freja. "Kapan terakhir kali kamu ke Gotland?" tanya Jovita. "Sekitar dua tahun lalu, tapi tidak bertemu Joe," - Ludvig mengalihkan pandangan ke Joseph - "kalau tidak salah, kamu sedang
"Herregud¹!" Joseph tidak dapat menutupi kekagetan menyaksikan pemandangan di hadapannya. Beberapa orang pengendara motor nekat melaju meski lampu belum berubah hijau. Jovita yang duduk di belakang kemudi, tertawa geli, sudah menduga hal ini pasti terjadi. "Kamu tahu apa warna bendera Indonesia?" tanya Jovita. "Merah putih kalau tidak salah," sahut Joseph. "Betul. Merah artinya berani, putih artinya suci." "Filosofi yang bagus sekali," puji Joseph. "Sangat bagus! Beberapa orang terlalu meresapi makna warna bendera tersebut, maka lampu merah pun diartikan berani. Jadi, setiap lampu berwarna merah, ia pun menganggap itu adalah perintah untuk bersikap berani," selo
"Hah?" Ezra terkejut. Ta' kemplang berarti kutempeleng. Jovita nyaris tersedak. "Namanya soto ayam ta'kemplang. Ayam betina muda dan telur uritan," jelas Poppy. Ia melirik makanan Ezra yang tidak disentuh. "Kenapa kamu tidak makan?" "Aku tidak suka rica." "Lalu mengapa tadi pesan itu?" "Aku tidak terlalu memperhatikan." Kali ini Jovita benar-benar tersedak, menahan tawa mendengar percakapan dua orang di hadapannya. Sudah diduganya Ezra pasti sedang melamun saat memesan makanan itu. Ia berusaha meraih botol air mineral di hadapannya untuk meredakan batuk. Joseph dengan cekatan meraih botol hijau bertuliskan Equil
Sebuah pohon beringin besar dengan lampu-lampu hias antik tergantung di dahannya menyambut para tamu memasuki pelataran restoran Lara Djonggrang di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Tempat makan bernuansa mistikal yang terinspirasi dari dongeng romansa cinta tak berbalasnya Bandung Bondowoso kepada Rara Jonggrang ini, menjadi pilihan Poppy untuk pertemuannya dengan Jovita. "Aku masih tidak bisa memahami keinginanmu bertemu Jovita," ujar Ezra gusar sambil melangkah masuk ke restoran berfasad merah itu. "Aku ingin menekankan beberapa hal padanya, sehingga ia tidak mengganggu perkawinan kita nanti, Beb," sahut Poppy sembari memandangi sekelilingnya. Pencahayaan temaram dengan interior etnik Indonesia dan paduan sentuhan Tiongkok menghadirkan kesan mistis nan memesona. Ezra mendengkus, tak mungkin menolak keinginan Poppy. Ia harus me