Jovita baru saja keluar dari pagar rumah Thomas hendak menuju rumah Ronja ketika melihat Joseph turun dari mobilnya sambil menggendong Filippa.
Jovita bergegas menghampiri. "Apa yang terjadi, Joe?" tanyanya cemas. Dilihatnya Filippa terkulai lemas di gendongan Joseph.
"Ia demam dan terkena influenza, untuk menghindari penularan ke anak-anak lain, lebih baik dikarantina di sini," jawab Joseph sambil membuka kunci rumahnya.
Jovita menyentuh tubuh Filippa, teramat panas.
"Silakan masuk," ucap Joseph kepada Jovita.
Jovita mengiakan lalu melangkah masuk. Ini kali pertama ia memasuki rumah Joseph.
Begitu pintu dibuka, terdapat foyer¹ yang menghubungkan pintu masuk ke ruang kel
Jovita mengembalikan buku "Captain's Verses" karya Pablo Neruda ke tempat semula dengan perlahan. Pembicaraan mengenai tawa bersama Marco tadi pagi mendistorsi persepsinya. Ada keingintahuan yang menyeruak tentang siapa pemilik tawa, bersamaan dengan sebuah asumsi yang mendesak logika. Helaan napas panjang terdengar dari hidung Jovita. Matanya menatap punggung dan rambut cokelat Joseph. Pikirannya melayang ke semua rangkaian percakapan mereka sejak di Melbourne hingga saat ini. Pria di hadapannya itu butuh kendali untuk mengungkap diri. Bukan sosok yang akan dengan sukarela menjawab rentetan pertanyaan ranah personal. Menggali informasi pribadi darinya adalah sebuah seni, perlu strategi yang pasti akan menguras energi. "Done!" ujar Joseph. Ia mencopot kacamata, meregangkan badan, melemaskan otot lehernya. Terkirim sudah ulasannya atas jurnal yang ditulis oleh tiga orang peneliti dari negara lain. Jovita segera kembali menghadap ke rak buku.
"Bagaimana keadaan Filippa?" tanya Ronja saat Joseph mengambil pakaian ganti untuk anak itu. "Panasnya sudah turun. Dia juga sudah mau makan," jawab Joseph. "Syukurlah. Sejak kemarin aku kesulitan membujuknya makan. Mungkin kerongkongannya terasa perih untuk menelan. Apa yang kamu lakukan sehingga dia mau makan?" Ronja penasaran. "Aku tidak melakukan apa pun." Ronja memandangi Joseph, lalu tertawa kecil. "Tidak mungkin. Pasti kamu mengiming-imingi sesuatu," tukasnya. "Sungguh. Aku tidak melakukan apa pun," sahut Joseph, "tapi Jovita. Ia memanjakannya, bahkan mau menemani Filippa tidur malam ini di rumahku." "Kehadirannya pasti membuat Filippa senang," - Ronja tersenyum jahil - "dan juga membuat dirimu senang tentunya," godanya. "Mana pakaian Filippa?" Joseph mencoba untuk tidak menggubris Ronja. Ronja tergelak. Ia menaiki tangga, Joseph mengikuti dari belakang. Mereka berjalan menuju kamar Filippa. "Kamu sudah m
Joseph bergegas menuju pintu rumahnya yang diketuk oleh seseorang berulang kali. Ia mendengkus kesal ketika melihat Fabiana berdiri dengan pakaian olahraga di balik pintu. "Ada apa?" tanya Joseph ketus. "Ini hari terakhirku di sini, aku ingin kita berolahraga bersama," pinta Fabiana kenes. "Maaf, aku tidak bisa menemanimu. Semoga perjalanan pulangmu lancar," sahut Joseph hendak menutup pintu kembali. Fabiana tidak menyerah. Ia menahan pintu, segera menyeruak masuk. "Hey!" tegur Joseph atas kelancangan Fabiana. Ia tidak menduga gerakan tiba-tiba dari perempuan Brasil ini yang menyelonong masuk. "Joe, mengapa kamu begit
Dari Stora Torget, perjalanan dilanjutkan ke reruntuhan lainnya yang berjarak sekitar 150 meter, reruntuhan Gereja Drottens. "Kapan gereja-gereja yang sekarang menjadi reruntuhan itu tadinya dibangun?" tanya Jovita. "Sekitar tahun 1200-an. Reruntuhan ini sekarang juga sering digunakan untuk berbagai kegiatan, salah satunya acara perkawinan," jawab Joseph. "Oh ya? Pasti mengesankan sekali." Jovita membayangkan upacara sakral bercampur gaya gotik berpadu menjadi sebuah acara pernikahan yang syahdu. Usai melihat reruntuhan Gereja Drottens, mereka kembali menyusuri jalan berlapis pavling block menuju reruntuhan lainnya. Joseph menjelaskan berbagai bangunan bersejarah yang mereka lewati dan kunjungi.
Hari yang teramat ditunggu oleh keenam anak asuh Ronja dan Lukas pun tiba. Liburan musim panas. Ronja dibantu oleh Jovita telah merancang liburan yang merupakan kombinasi antara edukasi dan bersenang-senang. Tujuan pertama adalah Lummelunda grottan atau gua Lummelunda. Tempat wisata yang hanya berjarak 15 kilometer dari kediaman mereka ini terletak di sisi barat pulau Gotland. Selain gua sepanjang 4 kilometer yang dapat dijelajahi sebagai daya tarik utama, di Lummelunda juga terdapat bekas pabrik penggilingan dengan kincir air terbesar di Eropa utara, sebuah rumah bangsawan kuno yang mewah, dan taman dengan aroma daun bawang yang menyebar di seluruh penjuru. Keenam anak diikutkan pada tur khusus anak-anak untuk mengeksplorasi dunia bawah tanah yang dikemas dengan menyenangkan, tetapi tetap menomorsatukan keamanan. Sambil menu
Kabin penginapan yang dimaksud oleh Ronja adalah rumah kayu berbentuk segitiga yang terdapat di kompleks museum Bläse Kalkbruk. Rumah kayu berkapasitas 2 orang dewasa ini disewakan untuk umum. Penyewa hanya perlu membawa alas tidur. Setelah selesai meletakkan perlengkapan di dalam kabin, semua berkumpul di halaman. Beberapa permainan - baik individual, berpasangan, maupun berkelompok - telah disiapkan oleh Ylva dan Alfred. Permainan pertama adalah moving on up. Permainan individual ini mewajibkan pemain yang memegang setumpuk gelas memindahkan gelas dari atas ke bawah. Pemenangnya adalah yang terlebih dahulu bisa menggeser gelas terbawah bertanda spidol pada bibir gelas hingga ke posisi paling atas. Di kelompok anak-anak, Karl menjadi pemenangnya. Sementara di kelompok dewasa, Lukas keluar sebagai juara pertama.
Hari kedua liburan, anak-anak bangun pagi dengan bersemangat, tak sabar dengan petualangan baru lainnya. Jalan pagi menjadi kegiatan pertama mereka. Sambil menyusuri jalan beraspal di pinggir pantai Bläse, Lukas menceritakan kepada anak-anak tentang penggunaan batu kapur sejak zaman dahulu untuk membangun berbagai bangunan di Gotland, termasuk tembok Visby. "Apakah Lukas penduduk asli Gotland?" tanya Jovita kepada Joseph yang berjalan di sampingnya. Ia mendengarkan penjelasan Lukas yang tampak sangat menguasai sejarah dan seluk-beluk pulau ini. Joseph mengangguk. "Ia sempat menjadi guru di Stockholm, tapi kemudian kembali ke sini. Menurutnya, ia tidak cocok hidup di kota besar." "Ya ... orang yang tumbuh di tempat sunyi, biasanya tidak suka hiruk pikuk kota
Lima menit kemudian mereka sudah sampai di sebuah kedai makan yang terkenal akan galette dan crepe-nya yang lezat, Crêperie Tati. Dari luar, orang pasti menyangka ini adalah tempat pembuangan barang bekas, bukan tempat makan. Tempat ini dipenuhi dengan barang-barang rongsokan dan berkarat, seperti mobil, kulkas, dan tong minyak. Sebuah dekorasi yang tidak umum, tapi menjadi daya tarik tersendiri. Moto mereka pun sejalan dengan sejarah tempat ini yang dahulu merupakan tempat pengisian bahan bakar, yaitu "fuel for the soul". Kelezatan hidangan mereka membuktikan bahwa moto tersebut tidak main-main. Situasi di Crêperie Tati sangat ramai. Beberapa penunggang motor Harley terlihat berkumpul di halaman. Antrian mengular hingga luar kedai dan hampir semua kursi dipenuhi pengunjung. Sebuah meja panjang di bagian luar restoran yang menghadap ke padang rumput luas tersisa untuk mereka berduabelas.
"Selamat datang di Åberg!" Magnus menjabat tangan Jovita erat. "Kapan datang dari Indonesia?" "Seminggu yang lalu," jawab Jovita. Kerstin, Direktur Human Capital, yang juga hadir saat wawancara di Uppsala turut menjabat tangan Jovita. "Terima kasih sudah bersedia datang sebelum tanggal di kontrak." Ia mempersilakan Jovita untuk duduk. "Tidak masalah," sahut Jovita. Siang itu, ia diminta datang ke kantor pusat Åberg School of Communication di Norrmalm, area pusat bisnis Stockholm. "Perkenalkan ini Niklas, ia adalah Staf Human Capital. Ia nanti akan mengurus semua keperluanmu," ucap Kerstin sembari memperkenalkan seorang pria berusia awal 30-an berkacamata. Jovita menjabat tangan Niklas. "Jovita. Trevligtatt träffas.
"Jo!" panggil Monica sambil melambaikan tangannya. Jovita balas melambaikan tangan lalu bergegas mendekati temannya yang sudah duduk di salah satu meja dekat kolam renang. Ia menyempatkan diri berpamitan kepada rekan-rekan seperjuangannya. Restoran Mendjangan di kawasan Kemang, Jakarta Selatan menjadi pilihan mereka bertemu siang itu. Di meja tersebut telah menunggu Monica, Albert dan istrinya Karen. "Apa kabarmu, Jo?" tanya Karen yang dahulu teman satu angkatan Jovita kala di jenjang S1. "Baik, kamu bagaimana kabar?" "Baik. Kamu makin cantik dan seksi, deh," sanjung Karen. "Tuh, kan, bukan cuma aku dan Rania yang bilang begitu," celetuk Monica.
Suasana riuh memenuhi kediaman keluarga Irwan Hengkara pada hari Sabtu pekan pertama di tahun baru. Tidak hanya semua anak dan cucunya yang berkumpul, tapi juga tiga anak almarhum supir pribadinya yang sudah dianggap seperti anak sendiri, Bayu, Reza, dan Gilang bersama keluarga mereka. Enam anak dan dua balita terlihat asik bermain bersama di halaman berumput samping rumah. Bayu dan Joseph bermain catur tak jauh dari anak-anak itu. Reza, Gilang, Damian, dan juga Irwan mengamati permainan itu dengan serius. Baru kali ini Bayu mendapat perlawanan sengit dalam bermain catur. "Semua jadi kecanduan catur," komentar Yulia melihat enam pria bermimik serius di teras samping. Ia bersama para perempuan sibuk di dapur dan ruang makan menyiapkan makan siang. "Soalnya selama ini tidak ada yang bisa menandingi Kak Bayu, jadi kurang seru, ba
"Sampai kapan Anda di sini?" tanya Agung kepada Joseph setelah menutup pertemuan tersebut. "Rencananya kami akan berangkat pertengahan Januari. Semoga semua dokumen Jovita dan juga Vanya sudah selesai," sahut Joseph. "Jangan khawatir, pengacara kami bisa membantu agar semua urusan beres," ujar Agung. Joseph mengernyitkan dahi, berusaha memaknai perkataan Agung, bertanya-tanya mengapa harus menawarkan bantuan untuk sebuah prosedur yang sudah jelas dan baku. Jovita menangkap makna ekspresi Joseph. Ia yakin Joseph pasti bingung menyikapi tawaran kolusi dari Agung. "Terima kasih atas bantuannya, Pak." Ia segera memberikan jawaban. "Ayo, silakan diminum terlebih dahulu." Dewi mempersilakan para tamunya untuk menikmati minuman d
Jovita memarkir mobilnya di halaman rumah Poppy. Ia menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk menghadapi pembicaraan yang bisa saja melebar menjadi perseteruan. "Apa kamu yakin mau aku temani?" Joseph mengusap lengan Jovita. Ia khawatir pembicaraan ini bersifat privasi. "Tentu. Aku membutuhkanmu." Jovita memandangi mata hazel Joseph lekat. Joseph tersenyum. Ada bahagia karena merasa kehadirannya dibutuhkan. "Kalau begitu, mari kita turun," ajak Joseph. "Everything's gonna be alright." Jovita mengangguk. Joseph laksana daya tambahan bagi keberaniannya. Berbarengan dengan mereka berdua turun dari mobil, Arifin - pengacara Jovita - turun dari mobilnya beserta Ri
Setelah setengah jam berkendara, Jovita menghentikan kendaraannya di restoran Bandar Djakarta yang terletak di dalam area wisata Taman Impian Jaya Ancol, sebuah tempat makan seafood yang memiliki konsep pasar ikan dengan pemandangan pantai Ancol. Sambil menyantap hidangan makan siang, obrolan kembali berlanjut. Ludvig mengamati pasangan yang ada di hadapannya. Dua orang yang sedang kasmaran. Tiap kali Joseph berbicara, Jovita memandanginya dengan penuh kekaguman, begitu pula sebaliknya. Joseph memandangi Jovita mesra saat perempuan itu bertutur. Suatu hal yang sangat jarang dilihatnya terjadi pada Joseph, bahkan ketika ia bersama dengan Freja. "Kapan terakhir kali kamu ke Gotland?" tanya Jovita. "Sekitar dua tahun lalu, tapi tidak bertemu Joe," - Ludvig mengalihkan pandangan ke Joseph - "kalau tidak salah, kamu sedang
"Herregud¹!" Joseph tidak dapat menutupi kekagetan menyaksikan pemandangan di hadapannya. Beberapa orang pengendara motor nekat melaju meski lampu belum berubah hijau. Jovita yang duduk di belakang kemudi, tertawa geli, sudah menduga hal ini pasti terjadi. "Kamu tahu apa warna bendera Indonesia?" tanya Jovita. "Merah putih kalau tidak salah," sahut Joseph. "Betul. Merah artinya berani, putih artinya suci." "Filosofi yang bagus sekali," puji Joseph. "Sangat bagus! Beberapa orang terlalu meresapi makna warna bendera tersebut, maka lampu merah pun diartikan berani. Jadi, setiap lampu berwarna merah, ia pun menganggap itu adalah perintah untuk bersikap berani," selo
"Hah?" Ezra terkejut. Ta' kemplang berarti kutempeleng. Jovita nyaris tersedak. "Namanya soto ayam ta'kemplang. Ayam betina muda dan telur uritan," jelas Poppy. Ia melirik makanan Ezra yang tidak disentuh. "Kenapa kamu tidak makan?" "Aku tidak suka rica." "Lalu mengapa tadi pesan itu?" "Aku tidak terlalu memperhatikan." Kali ini Jovita benar-benar tersedak, menahan tawa mendengar percakapan dua orang di hadapannya. Sudah diduganya Ezra pasti sedang melamun saat memesan makanan itu. Ia berusaha meraih botol air mineral di hadapannya untuk meredakan batuk. Joseph dengan cekatan meraih botol hijau bertuliskan Equil
Sebuah pohon beringin besar dengan lampu-lampu hias antik tergantung di dahannya menyambut para tamu memasuki pelataran restoran Lara Djonggrang di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Tempat makan bernuansa mistikal yang terinspirasi dari dongeng romansa cinta tak berbalasnya Bandung Bondowoso kepada Rara Jonggrang ini, menjadi pilihan Poppy untuk pertemuannya dengan Jovita. "Aku masih tidak bisa memahami keinginanmu bertemu Jovita," ujar Ezra gusar sambil melangkah masuk ke restoran berfasad merah itu. "Aku ingin menekankan beberapa hal padanya, sehingga ia tidak mengganggu perkawinan kita nanti, Beb," sahut Poppy sembari memandangi sekelilingnya. Pencahayaan temaram dengan interior etnik Indonesia dan paduan sentuhan Tiongkok menghadirkan kesan mistis nan memesona. Ezra mendengkus, tak mungkin menolak keinginan Poppy. Ia harus me