Home / Romansa / Merajut Asa / 38. Keputusan

Share

38. Keputusan

Author: Kaia Karnika
last update Last Updated: 2021-01-24 13:33:39

Pintu diketuk setelah 5 menit Jovita menangis di ruangan kerjanya. Sosok Rania dan Monica terlihat berdiri di balik pintu kaca sandblast. Keduanya masuk setelah melihat anggukan kepala dari Jovita.

Jovita menghapus sisa air mata di pipi, berusaha menahan isak yang tersisa. "Ada apa?"

"Jo, apa tidak lebih baik beristirahat di rumah saja? Kamu tidak perlu masuk sampai masalah ini reda dengan sendirinya," usul Rania sambil menarik kursi di hadapan Jovita.

"Jangan pikirkan pekerjaan, Jo. Kami bisa mengatasinya. Fokuslah dulu dengan kondisimu, habiskan waktu sesering mungkin bersama Vanya," saran Monica yang duduk di samping Rania.

Jovita menarik napas panjang. "Entahlah. Di satu sisi, aku tidak sanggup bertemu dengan orang-orang nyinyir, tapi di sisi lain, aku perlu keg

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Merajut Asa   39. Hancur Berkeping

    "Vanya harus jadi anak baik, ya," pesan Jovita dengan suara parau saat Ezra menjemput Vanya. Setelah lebih dari setengah tahun memperjuangkan hak asuh di tingkat kasasi yang berujung pada kekalahan, ia terpaksa harus rela melepaskan pengasuhan putri semata wayangnya itu kepada Ezra. Vanya mengangguk, lalu bertanya kepada ayahnya. "Kita mau ke mana, Daddy?" "Kita pulang ke rumah," sahut Ezra. "Rumah Senayan?" tanya Vanya dengan wajah berbinar. Ia tidak sabar akan kembali ke kamar dan mainan kesayangannya yang sudah ditinggalkannya lebih dari 1 tahun. Ezra mengangguk. "Kenapa Mommy tidak ikut?" tanya Vanya bingung. "Nanti Mommy menyusul," sahut E

    Last Updated : 2021-01-28
  • Merajut Asa   40. Secercah Harap

    "Jov, makanlah dahulu. Sejak siang kamu belum makan dan minum sedikit pun," bujuk Irwan seraya membelai rambut Jovita. Hatinya hancur melihat putri sulungnya yang selama ini ceria dan energik berubah menjadi tak berdaya. Ditambah lagi kehilangan cucu yang selama ini meramaikan hari-harinya. "Tidak lapar, Pa," sahut Jovita lirih. Ia terkapar lemas tak berdaya di tempat tidur sejak tadi siang. Matanya sembap, menangisi putrinya tiada henti. "Nanti kamu sakit, Jov," bujuk Irwan. "Buat apa aku bertahan? Aku sudah tidak punya apa-apa lagi, Pa," isak Jovita. Semua yang dimilikinya hilang dari genggaman. Rumah tangga, nama baik, pekerjaan, hingga putri kesayangan. Ezra merenggut semuanya. "Jangan bicara begitu. Kamu masih punya kami. Papa sudah kontak Pak Arifin, beliau akan

    Last Updated : 2021-02-01
  • Merajut Asa   41. Melangkah Ke Luar

    Jovita mengambil koper besarnya dari baggage conveyor, lalu berjalan menuju pintu kedatangan Visby Airport, bandara yang ukurannya lebih kecil dan lengang dibanding Bandara Halim Perdana Kusuma. Visby Airport adalah satu-satunya bandara komersial di Gotland, sebuah pulau di tengah laut Baltik, yang masuk ke dalam wilayah negara Swedia. Dibutuhkan waktu sekitar 40 menit penerbangan dari bandara Arlanda di Stockholm, ibu kota Swedia, untuk sampai ke bandara Visby. "Jovita!" panggil Thomas begitu melihat sosok wanita Asia keluar dari Ankomsthall atau area kedatangan. Perempuan itu terlihat lebih kurus dan kuyu dibanding terakhir kali mereka bertemu hampir dua tahun silam. "Thomas!" sahut Jovita. Ia bergegas menghampiri pria Skotlandia yang berdiri menyambut dengan tangan terbuka. "Välkommen till Gotland! Selamat

    Last Updated : 2021-02-04
  • Merajut Asa   42. Rasa Bersalah

    Bagaimana tidurmu semalam, Jo?" tanya Thomas yang sudah tampak segar di jam 7 pagi itu, saat Jovita keluar dari pondoknya. "Sangat pulas," sahut Jovita. Ia mengamati suasana di sekelilingnya. Matahari - yang saat awal musim panas di Swedia sudah terbit sekitar pukul setengah 4 pagi - bersinar dengan cerahnya. Mahkota kuning bunga irish fleabane yang bermekaran di sela-sela rerumputan hijau terlihat begitu menyegarkan mata. "Apakah kamu sudah sarapan?" Jovita mengangguk. Ia sudah membuat roti panggang yang disediakan di dapur pondoknya. "Kalau begitu, mari kita berkeliling," ajak Thomas. Jovita segera mengganti alas kaki dengan sepatu kets dan kemudian bersama Thomas berjalan pagi.

    Last Updated : 2021-02-07
  • Merajut Asa   43. Cemas

    Pukul 19.00, Jovita melangkah ke luar dari pondoknya, berjalan melewati halaman rumput yang luas menuju rumah utama. Matahari masih jauh dari horizon, sinarnya menerangi langit sore. Seorang pria berusia 55 tahun keluar dari pondok nomor 2 yang berdekatan dengan tempat Jovita tinggal. "Hallå!" sapa pria itu ramah dengan suara agak serak. Meskipun menyapa dengan bahasa Swedia, tapi dari gayanya, Jovita menduga pasti pria itu bukan orang Swedia. Teringat cerita Joseph bahwa orang Swedia cenderung menghindari bertegur sapa, bukan justru sengaja keluar menyapa seperti pria ini. Fisiknya pun lebih mendekati kaukasia mediteranian dibanding kaukasia nordic. Kulit berwarna olive dan berbintik-bintik, serta rambut gelombang berwarna cokelat. "Halo," sahut Jovita.

    Last Updated : 2021-02-16
  • Merajut Asa   44. Menghindar

    Usai melahap roti panggang dan susu, Jovita memakai sepatu ketsnya. Thomas pasti sudah menunggu untuk berjalan pagi seperti kemarin. Sebelum keluar, ia terlebih dahulu mengintip ke arah rumah Joseph, memastikan pria itu tidak sedang berada di depan rumah. Ia tertawa geli karena merasa sudah memiliki kebiasaan seperti orang Swedia pada umumnya, mengintip sebelum keluar untuk menghindari tegur sapa. Harapannya pupus kala melihat Joseph sedang berada di beranda rumah. Ia harus menunggu hingga pria itu masuk ke dalam. Dalam hati berharap Thomas mau bersabar menanti. Diamatinya Joseph sedang menyirami tanaman-tanaman dalam pot yang berjejer di atas pagar pembatas teras dengan telaten. Penampilan pria itu sama seperti kala pertama kali mereka bertemu, mengenakan kaos tanpa kerah dan celana jin, rambut lurus cokelat yang hanya dirapikan dengan jemari, rambut-rambut halus - yang tampaknya sengaja tidak dicukur beberapa hari - mengelilingi

    Last Updated : 2021-02-17
  • Merajut Asa   45. Fokus

    Seekor binatang yang lebih besar dan panjang dibanding kucing, berbulu lebat gelap, dengan moncong panjang sedang membelalakkan mata, seolah merasa terusik dengan kehadiran manusia. Belum pernah Jovita melihat binatang seperti itu. Alarm bahaya di otak Jovita menyala. Ia segera melarikan diri. Namun nahas, kakinya tersandung batu dan ia pun terjerembap. Instingnya memerintahkan untuk membalik badan dan melindungi diri. Dengan posisi telentang, kedua siku bertumpu di tanah, kedua kaki Jovita adalah senjata sekaligus tameng agar binatang itu tidak menerkam tubuhnya. Usahanya berhasil, binatang bermoncong panjang itu hanya bisa menggigit hak sepatu boots-nya. Jovita pun menjerit sambil menghentakkan kaki agar binatang itu melepaskan gigitannya. Sebuah ranting kayu dipukulkan tidak terlalu keras ke moncong binatang oleh seseorang

    Last Updated : 2021-02-21
  • Merajut Asa   46. Tak Bisa Mengelak

    Setelah makan siang, Jovita mendatangi rumah Ronja seperti permintaan Thomas tadi pagi. Tiga anak lelaki sedang bermain perang-perangan dengan serunya di halaman. Jovita mengetuk pintu berwarna putih yang terbuka. "Hallå!" Ia menyapa menggunakan bahasa Swedia yang coba dipelajarinya sedikit-sedikit. Seorang anak perempuan berambut pirang dikucir kuda menyambut Jovita. "Vem är du¹?" tanyanya dengan kepala mendongak memandangi wanita asing di hadapannya. Jovita kebingungan. Ia tidak tahu apa yang ditanyakan anak ini, belum sejauh itu ia belajar. Ia menerka mungkin gadis kecil ini bertanya tentang identitasnya. "Hi, I'm Jovita. I want to meet Ronja," jawabnya sambil berharap semoga anak ini paham apa yang baru saja disampaikannya. "Wait a minute

    Last Updated : 2021-02-24

Latest chapter

  • Merajut Asa   97. Menyatukan Hati

    "Selamat datang di Åberg!" Magnus menjabat tangan Jovita erat. "Kapan datang dari Indonesia?" "Seminggu yang lalu," jawab Jovita. Kerstin, Direktur Human Capital, yang juga hadir saat wawancara di Uppsala turut menjabat tangan Jovita. "Terima kasih sudah bersedia datang sebelum tanggal di kontrak." Ia mempersilakan Jovita untuk duduk. "Tidak masalah," sahut Jovita. Siang itu, ia diminta datang ke kantor pusat Åberg School of Communication di Norrmalm, area pusat bisnis Stockholm. "Perkenalkan ini Niklas, ia adalah Staf Human Capital. Ia nanti akan mengurus semua keperluanmu," ucap Kerstin sembari memperkenalkan seorang pria berusia awal 30-an berkacamata. Jovita menjabat tangan Niklas. "Jovita. Trevligtatt träffas.

  • Merajut Asa   96. Permintaan

    "Jo!" panggil Monica sambil melambaikan tangannya. Jovita balas melambaikan tangan lalu bergegas mendekati temannya yang sudah duduk di salah satu meja dekat kolam renang. Ia menyempatkan diri berpamitan kepada rekan-rekan seperjuangannya. Restoran Mendjangan di kawasan Kemang, Jakarta Selatan menjadi pilihan mereka bertemu siang itu. Di meja tersebut telah menunggu Monica, Albert dan istrinya Karen. "Apa kabarmu, Jo?" tanya Karen yang dahulu teman satu angkatan Jovita kala di jenjang S1. "Baik, kamu bagaimana kabar?" "Baik. Kamu makin cantik dan seksi, deh," sanjung Karen. "Tuh, kan, bukan cuma aku dan Rania yang bilang begitu," celetuk Monica.

  • Merajut Asa   95. Kehangatan Keluarga

    Suasana riuh memenuhi kediaman keluarga Irwan Hengkara pada hari Sabtu pekan pertama di tahun baru. Tidak hanya semua anak dan cucunya yang berkumpul, tapi juga tiga anak almarhum supir pribadinya yang sudah dianggap seperti anak sendiri, Bayu, Reza, dan Gilang bersama keluarga mereka. Enam anak dan dua balita terlihat asik bermain bersama di halaman berumput samping rumah. Bayu dan Joseph bermain catur tak jauh dari anak-anak itu. Reza, Gilang, Damian, dan juga Irwan mengamati permainan itu dengan serius. Baru kali ini Bayu mendapat perlawanan sengit dalam bermain catur. "Semua jadi kecanduan catur," komentar Yulia melihat enam pria bermimik serius di teras samping. Ia bersama para perempuan sibuk di dapur dan ruang makan menyiapkan makan siang. "Soalnya selama ini tidak ada yang bisa menandingi Kak Bayu, jadi kurang seru, ba

  • Merajut Asa   94. Buah Hati

    "Sampai kapan Anda di sini?" tanya Agung kepada Joseph setelah menutup pertemuan tersebut. "Rencananya kami akan berangkat pertengahan Januari. Semoga semua dokumen Jovita dan juga Vanya sudah selesai," sahut Joseph. "Jangan khawatir, pengacara kami bisa membantu agar semua urusan beres," ujar Agung. Joseph mengernyitkan dahi, berusaha memaknai perkataan Agung, bertanya-tanya mengapa harus menawarkan bantuan untuk sebuah prosedur yang sudah jelas dan baku. Jovita menangkap makna ekspresi Joseph. Ia yakin Joseph pasti bingung menyikapi tawaran kolusi dari Agung. "Terima kasih atas bantuannya, Pak." Ia segera memberikan jawaban. "Ayo, silakan diminum terlebih dahulu." Dewi mempersilakan para tamunya untuk menikmati minuman d

  • Merajut Asa   93. Kesepakatan Baru

    Jovita memarkir mobilnya di halaman rumah Poppy. Ia menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk menghadapi pembicaraan yang bisa saja melebar menjadi perseteruan. "Apa kamu yakin mau aku temani?" Joseph mengusap lengan Jovita. Ia khawatir pembicaraan ini bersifat privasi. "Tentu. Aku membutuhkanmu." Jovita memandangi mata hazel Joseph lekat. Joseph tersenyum. Ada bahagia karena merasa kehadirannya dibutuhkan. "Kalau begitu, mari kita turun," ajak Joseph. "Everything's gonna be alright." Jovita mengangguk. Joseph laksana daya tambahan bagi keberaniannya. Berbarengan dengan mereka berdua turun dari mobil, Arifin - pengacara Jovita - turun dari mobilnya beserta Ri

  • Merajut Asa   92. Bucket List

    Setelah setengah jam berkendara, Jovita menghentikan kendaraannya di restoran Bandar Djakarta yang terletak di dalam area wisata Taman Impian Jaya Ancol, sebuah tempat makan seafood yang memiliki konsep pasar ikan dengan pemandangan pantai Ancol. Sambil menyantap hidangan makan siang, obrolan kembali berlanjut. Ludvig mengamati pasangan yang ada di hadapannya. Dua orang yang sedang kasmaran. Tiap kali Joseph berbicara, Jovita memandanginya dengan penuh kekaguman, begitu pula sebaliknya. Joseph memandangi Jovita mesra saat perempuan itu bertutur. Suatu hal yang sangat jarang dilihatnya terjadi pada Joseph, bahkan ketika ia bersama dengan Freja. "Kapan terakhir kali kamu ke Gotland?" tanya Jovita. "Sekitar dua tahun lalu, tapi tidak bertemu Joe," - Ludvig mengalihkan pandangan ke Joseph - "kalau tidak salah, kamu sedang

  • Merajut Asa   91. Sahabat Masa Kecil

    "Herregud¹!" Joseph tidak dapat menutupi kekagetan menyaksikan pemandangan di hadapannya. Beberapa orang pengendara motor nekat melaju meski lampu belum berubah hijau. Jovita yang duduk di belakang kemudi, tertawa geli, sudah menduga hal ini pasti terjadi. "Kamu tahu apa warna bendera Indonesia?" tanya Jovita. "Merah putih kalau tidak salah," sahut Joseph. "Betul. Merah artinya berani, putih artinya suci." "Filosofi yang bagus sekali," puji Joseph. "Sangat bagus! Beberapa orang terlalu meresapi makna warna bendera tersebut, maka lampu merah pun diartikan berani. Jadi, setiap lampu berwarna merah, ia pun menganggap itu adalah perintah untuk bersikap berani," selo

  • Merajut Asa   90. Sekakmat

    "Hah?" Ezra terkejut. Ta' kemplang berarti kutempeleng. Jovita nyaris tersedak. "Namanya soto ayam ta'kemplang. Ayam betina muda dan telur uritan," jelas Poppy. Ia melirik makanan Ezra yang tidak disentuh. "Kenapa kamu tidak makan?" "Aku tidak suka rica." "Lalu mengapa tadi pesan itu?" "Aku tidak terlalu memperhatikan." Kali ini Jovita benar-benar tersedak, menahan tawa mendengar percakapan dua orang di hadapannya. Sudah diduganya Ezra pasti sedang melamun saat memesan makanan itu. Ia berusaha meraih botol air mineral di hadapannya untuk meredakan batuk. Joseph dengan cekatan meraih botol hijau bertuliskan Equil

  • Merajut Asa   89. Blessing in Disguise

    Sebuah pohon beringin besar dengan lampu-lampu hias antik tergantung di dahannya menyambut para tamu memasuki pelataran restoran Lara Djonggrang di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Tempat makan bernuansa mistikal yang terinspirasi dari dongeng romansa cinta tak berbalasnya Bandung Bondowoso kepada Rara Jonggrang ini, menjadi pilihan Poppy untuk pertemuannya dengan Jovita. "Aku masih tidak bisa memahami keinginanmu bertemu Jovita," ujar Ezra gusar sambil melangkah masuk ke restoran berfasad merah itu. "Aku ingin menekankan beberapa hal padanya, sehingga ia tidak mengganggu perkawinan kita nanti, Beb," sahut Poppy sembari memandangi sekelilingnya. Pencahayaan temaram dengan interior etnik Indonesia dan paduan sentuhan Tiongkok menghadirkan kesan mistis nan memesona. Ezra mendengkus, tak mungkin menolak keinginan Poppy. Ia harus me

DMCA.com Protection Status