Seekor binatang yang lebih besar dan panjang dibanding kucing, berbulu lebat gelap, dengan moncong panjang sedang membelalakkan mata, seolah merasa terusik dengan kehadiran manusia. Belum pernah Jovita melihat binatang seperti itu.
Alarm bahaya di otak Jovita menyala. Ia segera melarikan diri. Namun nahas, kakinya tersandung batu dan ia pun terjerembap. Instingnya memerintahkan untuk membalik badan dan melindungi diri. Dengan posisi telentang, kedua siku bertumpu di tanah, kedua kaki Jovita adalah senjata sekaligus tameng agar binatang itu tidak menerkam tubuhnya. Usahanya berhasil, binatang bermoncong panjang itu hanya bisa menggigit hak sepatu boots-nya. Jovita pun menjerit sambil menghentakkan kaki agar binatang itu melepaskan gigitannya.
Sebuah ranting kayu dipukulkan tidak terlalu keras ke moncong binatang oleh seseorang
Setelah makan siang, Jovita mendatangi rumah Ronja seperti permintaan Thomas tadi pagi. Tiga anak lelaki sedang bermain perang-perangan dengan serunya di halaman. Jovita mengetuk pintu berwarna putih yang terbuka. "Hallå!" Ia menyapa menggunakan bahasa Swedia yang coba dipelajarinya sedikit-sedikit. Seorang anak perempuan berambut pirang dikucir kuda menyambut Jovita. "Vem är du¹?" tanyanya dengan kepala mendongak memandangi wanita asing di hadapannya. Jovita kebingungan. Ia tidak tahu apa yang ditanyakan anak ini, belum sejauh itu ia belajar. Ia menerka mungkin gadis kecil ini bertanya tentang identitasnya. "Hi, I'm Jovita. I want to meet Ronja," jawabnya sambil berharap semoga anak ini paham apa yang baru saja disampaikannya. "Wait a minute
"Dia hanya bisa seperti itu saat bersama anak-anak," ujar Ronja yang telah berdiri di samping Jovita dan ikut melihat ke luar jendela. "Maksudmu?" Jovita tidak memahami sepenuhnya yang Ronja bicarakan. "Berapa lama kamu bersama Joseph saat di Melbourne?" Ronja balik bertanya. "Tidak sampai satu minggu. Kami hanya sesekali bersama karena kegiatan yang kami hadiri berbeda," jawab Jovita. Ia makin bingung kaitan antar pernyataan dan pertanyaan Ronja. Ronja tersenyum, memahami kebingungan Jovita. Perempuan ini pasti belum mengenal karakter Joseph yang memang tertutup. "Joseph hanya bisa tertawa dan cerewet apabila berada di antara anak-anak, sedangkan jika bersama orang dewasa, ia lebih memilih sedikit bicara, apalagi tertawa. Well, kami orang Swedia memang tidak suka b
Pukul 8 malam, anak-anak sudah memasuki kamar tidur. Jovita membacakan cerita untuk tiga anak perempuan di kamar, sedangkan Joseph untuk tiga anak lelaki. Sebuah buku dengan dua bahasa berjudul 'I love to tell the truth' atau 'Jag älskar att tala sanning' menjadi pilihan Inga untuk dibacakan oleh Jovita. Jovita membacakan versi bahasa Inggris, sedangkan Inga membaca artinya dalam bahasa Swedia untuk Filippa dan Lotta. "Apakah kamu punya anak?" tanya Filippa yang kemudian diterjemahkan oleh Inga, setelah buku itu selesai dibaca. Jovita mengangguk. Wajah Vanya kembali menari di matanya. "Anak perempuan, 6 tahun." "Apakah kamu punya fotonya?" tanya Inga. Jovita mengeluarkan ponselnya, memperlihatkan foto Van
Matahari baru saja menghilang di balik horizon saat Joseph menutup pintu rumah asuh. Ia memandangi Alfred yang terlihat pucat. Ia bisa membayangkan betapa hari-hari anak ini pasti diliputi ketakutan, harus menghadapi ayah pemabuk tanpa seorang ibu yang mendampinginya. "Kamu tidurlah di kamar bersama Oskar," saran Joseph kepada Alfred. "Urusan sarapan ayahmu biar aku yang tangani besok. Tidak usah khawatir." Alfred mengangguk. Ia mengucapkan terima kasih kepada Joseph dan Jovita sebelum menaiki tangga. Embusan napas lega terdengar dari hidungnya. Malam ini, ia bisa tidur nyenyak tanpa waswas mendapat serangan dari ayahnya. Joseph menuju dapur, hendak menyelesaikan minumannya yang pasti sudah tidak lagi hangat. Jovita membuntuti. Ia
Jovita mengamati jalan Mellangatan yang dilaluinya. Area yang merupakan wilayah tempat tinggal dengan jalan hanya cukup untuk satu mobil. Daerah ini tidak jauh beda dengan pemukiman padat di Jakarta. Rumah-rumah berimpitan, beberapa tidak memiliki pekarangan. Perbedaan terletak pada kebersihan dan tidak ada selokan berair hitam. Pikirannya kemudian disibukkan dengan sistem peresapan air di sini. Tak dilihat ponselnya yang dalam mode bisu menunjukkan panggilan dari Joseph. Ia pun sama sekali tidak menyadari bahwa telah memilih jalan yang berbeda dari Joseph dan Fabiana. "Kamu tunggu di sini. Jangan ke mana-mana!" perintah Joseph pada Fabiana. "Tapi, Joe ...," protes Fabiana yang tak lagi didengar oleh Joseph. Pria itu telah berlari meninggalkannya. Tidak adanya respons dari Jovita se
Salah satu cara menikmati musim panas adalah makan siang di halaman rumah. Minggu siang itu, Thomas terlihat sibuk di depan tungku barbeku, Nils meracik saus barbeku andalannya, sedangkan Edda menyiapkan tempat untuk makan siang. Jovita, Marco, dan Ashley turut membantu. Tiga orang Brasil tidak terlihat batang hidungnya. Jovita bersenandung sambil menyusun peralatan makan. Ia terkesiap begitu menyadari bahwa sejak tadi - bahkan sejak kemarin - ia merinai lagu "Wildest Dream"-nya Talyor Swift. Ia pun merutuki dirinya yang terhasut oleh Fabiana. Gara-gara perempuan Brasil yang sedang kasmaran itu meminta tips agar Joseph lebih memerhatikannya, ia tanpa sadar mengamati setiap inci fisik pria itu dan semua gerak-geriknya. Sebuah pengamatan yang menyadarkannya bahwa pria bermata hazel itu memang sungguh menawan. Tidak hanya paras dan postur tubuhnya, tapi juga caranya membawakan diri. Joseph bukan tergolong pria yang sengaja mempertontonkan kerupawanan atau berup
"Joe and Jo!" seru anak-anak begitu melihat Joseph dan Jovita memasuki halaman rumahasuh sambil membawa makan malam mereka dari Nils. Jovita dan Joseph tertawa mendengar panggilan itu. Keenam anak yatim piatu langsung berhamburan menghampiri. Filippa memeluk pinggang Jovita dari sebelah kiri. Lotta tak mau kalah, memeluknya dari sebelah kanan. Inga menubruknya dari depan Karl bergelayut di kaki kiri Joseph dan Björn di kaki kanannya, membuat pria itu sulit untuk melangkah. Oskar dengan badan tambunnya cukup tahu diri untuk tidak minta digendong oleh Joseph. "Mengapa hari Sabtu kemarin kamu tidak datang ke sini, Jo?" tanya Inga pada Jovita. "Ya, mengapa kamu juga tidak datang ke sini, Joe?" tanya Oskar pada Joseph. "Ada hal yang harus kukerjakan," ucap Joseph. "Ya, begitu pula denganku, ada kegiatan kemarin," sahut Jovita. Inga dan Oskar berpandangan dengan senyum jahil. "Apakah kalian mela
Jovita baru saja melangkah ke luar dari kediaman Thomas setelah melakukan sesi konseling ketika dari arah pagar dilihatnya Inga, Filippa, dan Lotta berlari menghampiri sambil meneriakkan namanya. Di belakang mereka terlihat Ronja menjinjing sebuah keranjang rotan. "Aku baru saja hendak menuju rumah kalian," sahut Jovita sambil memeluk ketiga gadis kecil itu. Thomas tersenyum melihat kelekatan antara Jovita dan ketiga anak itu. "Kami akan memetik bunga," ujar Filippa dengan bahasa Inggris terbata. Jovita tersenyum lebar. Filippa semakin berani dan terampil berbahasa Inggris. "Oh ya? Bolehkah aku ikut?" Filippa mengangguk, senyum dan mata birunya melebar. "Thomas, bolehkah
"Selamat datang di Åberg!" Magnus menjabat tangan Jovita erat. "Kapan datang dari Indonesia?" "Seminggu yang lalu," jawab Jovita. Kerstin, Direktur Human Capital, yang juga hadir saat wawancara di Uppsala turut menjabat tangan Jovita. "Terima kasih sudah bersedia datang sebelum tanggal di kontrak." Ia mempersilakan Jovita untuk duduk. "Tidak masalah," sahut Jovita. Siang itu, ia diminta datang ke kantor pusat Åberg School of Communication di Norrmalm, area pusat bisnis Stockholm. "Perkenalkan ini Niklas, ia adalah Staf Human Capital. Ia nanti akan mengurus semua keperluanmu," ucap Kerstin sembari memperkenalkan seorang pria berusia awal 30-an berkacamata. Jovita menjabat tangan Niklas. "Jovita. Trevligtatt träffas.
"Jo!" panggil Monica sambil melambaikan tangannya. Jovita balas melambaikan tangan lalu bergegas mendekati temannya yang sudah duduk di salah satu meja dekat kolam renang. Ia menyempatkan diri berpamitan kepada rekan-rekan seperjuangannya. Restoran Mendjangan di kawasan Kemang, Jakarta Selatan menjadi pilihan mereka bertemu siang itu. Di meja tersebut telah menunggu Monica, Albert dan istrinya Karen. "Apa kabarmu, Jo?" tanya Karen yang dahulu teman satu angkatan Jovita kala di jenjang S1. "Baik, kamu bagaimana kabar?" "Baik. Kamu makin cantik dan seksi, deh," sanjung Karen. "Tuh, kan, bukan cuma aku dan Rania yang bilang begitu," celetuk Monica.
Suasana riuh memenuhi kediaman keluarga Irwan Hengkara pada hari Sabtu pekan pertama di tahun baru. Tidak hanya semua anak dan cucunya yang berkumpul, tapi juga tiga anak almarhum supir pribadinya yang sudah dianggap seperti anak sendiri, Bayu, Reza, dan Gilang bersama keluarga mereka. Enam anak dan dua balita terlihat asik bermain bersama di halaman berumput samping rumah. Bayu dan Joseph bermain catur tak jauh dari anak-anak itu. Reza, Gilang, Damian, dan juga Irwan mengamati permainan itu dengan serius. Baru kali ini Bayu mendapat perlawanan sengit dalam bermain catur. "Semua jadi kecanduan catur," komentar Yulia melihat enam pria bermimik serius di teras samping. Ia bersama para perempuan sibuk di dapur dan ruang makan menyiapkan makan siang. "Soalnya selama ini tidak ada yang bisa menandingi Kak Bayu, jadi kurang seru, ba
"Sampai kapan Anda di sini?" tanya Agung kepada Joseph setelah menutup pertemuan tersebut. "Rencananya kami akan berangkat pertengahan Januari. Semoga semua dokumen Jovita dan juga Vanya sudah selesai," sahut Joseph. "Jangan khawatir, pengacara kami bisa membantu agar semua urusan beres," ujar Agung. Joseph mengernyitkan dahi, berusaha memaknai perkataan Agung, bertanya-tanya mengapa harus menawarkan bantuan untuk sebuah prosedur yang sudah jelas dan baku. Jovita menangkap makna ekspresi Joseph. Ia yakin Joseph pasti bingung menyikapi tawaran kolusi dari Agung. "Terima kasih atas bantuannya, Pak." Ia segera memberikan jawaban. "Ayo, silakan diminum terlebih dahulu." Dewi mempersilakan para tamunya untuk menikmati minuman d
Jovita memarkir mobilnya di halaman rumah Poppy. Ia menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk menghadapi pembicaraan yang bisa saja melebar menjadi perseteruan. "Apa kamu yakin mau aku temani?" Joseph mengusap lengan Jovita. Ia khawatir pembicaraan ini bersifat privasi. "Tentu. Aku membutuhkanmu." Jovita memandangi mata hazel Joseph lekat. Joseph tersenyum. Ada bahagia karena merasa kehadirannya dibutuhkan. "Kalau begitu, mari kita turun," ajak Joseph. "Everything's gonna be alright." Jovita mengangguk. Joseph laksana daya tambahan bagi keberaniannya. Berbarengan dengan mereka berdua turun dari mobil, Arifin - pengacara Jovita - turun dari mobilnya beserta Ri
Setelah setengah jam berkendara, Jovita menghentikan kendaraannya di restoran Bandar Djakarta yang terletak di dalam area wisata Taman Impian Jaya Ancol, sebuah tempat makan seafood yang memiliki konsep pasar ikan dengan pemandangan pantai Ancol. Sambil menyantap hidangan makan siang, obrolan kembali berlanjut. Ludvig mengamati pasangan yang ada di hadapannya. Dua orang yang sedang kasmaran. Tiap kali Joseph berbicara, Jovita memandanginya dengan penuh kekaguman, begitu pula sebaliknya. Joseph memandangi Jovita mesra saat perempuan itu bertutur. Suatu hal yang sangat jarang dilihatnya terjadi pada Joseph, bahkan ketika ia bersama dengan Freja. "Kapan terakhir kali kamu ke Gotland?" tanya Jovita. "Sekitar dua tahun lalu, tapi tidak bertemu Joe," - Ludvig mengalihkan pandangan ke Joseph - "kalau tidak salah, kamu sedang
"Herregud¹!" Joseph tidak dapat menutupi kekagetan menyaksikan pemandangan di hadapannya. Beberapa orang pengendara motor nekat melaju meski lampu belum berubah hijau. Jovita yang duduk di belakang kemudi, tertawa geli, sudah menduga hal ini pasti terjadi. "Kamu tahu apa warna bendera Indonesia?" tanya Jovita. "Merah putih kalau tidak salah," sahut Joseph. "Betul. Merah artinya berani, putih artinya suci." "Filosofi yang bagus sekali," puji Joseph. "Sangat bagus! Beberapa orang terlalu meresapi makna warna bendera tersebut, maka lampu merah pun diartikan berani. Jadi, setiap lampu berwarna merah, ia pun menganggap itu adalah perintah untuk bersikap berani," selo
"Hah?" Ezra terkejut. Ta' kemplang berarti kutempeleng. Jovita nyaris tersedak. "Namanya soto ayam ta'kemplang. Ayam betina muda dan telur uritan," jelas Poppy. Ia melirik makanan Ezra yang tidak disentuh. "Kenapa kamu tidak makan?" "Aku tidak suka rica." "Lalu mengapa tadi pesan itu?" "Aku tidak terlalu memperhatikan." Kali ini Jovita benar-benar tersedak, menahan tawa mendengar percakapan dua orang di hadapannya. Sudah diduganya Ezra pasti sedang melamun saat memesan makanan itu. Ia berusaha meraih botol air mineral di hadapannya untuk meredakan batuk. Joseph dengan cekatan meraih botol hijau bertuliskan Equil
Sebuah pohon beringin besar dengan lampu-lampu hias antik tergantung di dahannya menyambut para tamu memasuki pelataran restoran Lara Djonggrang di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Tempat makan bernuansa mistikal yang terinspirasi dari dongeng romansa cinta tak berbalasnya Bandung Bondowoso kepada Rara Jonggrang ini, menjadi pilihan Poppy untuk pertemuannya dengan Jovita. "Aku masih tidak bisa memahami keinginanmu bertemu Jovita," ujar Ezra gusar sambil melangkah masuk ke restoran berfasad merah itu. "Aku ingin menekankan beberapa hal padanya, sehingga ia tidak mengganggu perkawinan kita nanti, Beb," sahut Poppy sembari memandangi sekelilingnya. Pencahayaan temaram dengan interior etnik Indonesia dan paduan sentuhan Tiongkok menghadirkan kesan mistis nan memesona. Ezra mendengkus, tak mungkin menolak keinginan Poppy. Ia harus me