Jovita membuang muka sambil mengembuskan napas sarat kekesalan melihat wajah Claude yang sedang tersenyum jahil padanya. Bagaimana mungkin ia bisa bertemu kembali dengan pria menjengkelkan ini.
Pria berambut pirang bergelombang itu meletakkan papan seluncur yang ditentengnya, lalu duduk di samping Jovita. "Ow ya goin?"
Jovita tak mau menjawab.
Davina diliputi kebingungan, sangat jarang melihat kakaknya bersikap tidak ramah terhadap orang. Ia mengamati pria berlogat Australia yang hanya mengenakan board short, celana pendek yang biasa digunakan untuk berselancar.
"Ini benar-benar kebetulan yang indah," ujar Claude menyeringai.
Jovita bangkit dari duduknya, menarik tangan Davina hendak mengaj
Setelah matahari terbenam, lampu-lampu di area outdoor mulai menyala dengan iringan house music, menghadirkan suasana hangout ala Ibiza. Ibiza adalah sebuah kota yang dikenal sebagai destinasi favorit untuk para penikmat pesta yang terletak di Pulau Ibiza, Spanyol. Rombongan Jovita pun berpindah ke dalam restoran dengan pintu-pintu kaca yang sengaja dibuka lebar sehingga memberi akses langsung pada area Hedonism Lounge. "Aku ke toilet sebentar, Dav. Tolong awasi Vanya," ucap Jovita. Davina mengangguk. Saat Jovita memasuki toilet, terlihat Kiara sedang meringis di depan wastafel sambil memegangi sikunya. "Kenapa, Kia?" "Tadi terpeleset di tangga
Sebuah selebrasi sederhana untuk mengapresiasi kerja keras karyawan, menghargai segala bentuk kontribusi bagi kemajuan perusahaan, dan sekaligus memperkuat keterikatan antara karyawan dengan organisasi menjadi acara rutin yang diselenggarakan oleh manajemen Starrific untuk menutup tahun dalam balutan kebersamaan. Kegiatan ini juga bertujuan untuk meningkatkan optimisme menghadapi tantangan tahun mendatang. Ekspresi kegembiraan terpancar dari wajah semua orang yang hadir menyaksikan paparan pencapaian kinerja tahun ini. "Jo, kamu sehat, kan?" tanya Rania saat acara pertemuan usai. Sejak tadi ia memerhatikan wajah Jovita yang tidak sesegar biasanya. "Kupikir cuma perasaanku saja, bahkan sejak beberapa hari terakhir ini kamu terlihat tidak fit," timpal Monica. Perhatian Rania dan Monica membuat Jovita terharu. Ia menoleh ke arah
Jovita sedang mengambil susu pasteurisasi dari lemari pendingin dan hendak meletakkan ke dalam troli belanja ketika sebuah suara yang tidak asing lagi di telinga menegurnya. "Tumben jam segini sudah pulang." Jovita mendengkus. Tanpa perlu melihat, dia sudah tahu siapa empunya suara. "Kamu juga tumben mampir ke supermarket. Supermarket dekat kantorku pula," balasnya ketus. "Itu karena aku memang ingin menemuimu," sahut Ezra. Jovita tetap pada gerakannya mengambil beberapa kotak susu kesukaan Vanya, lalu mendorong troli menyisir deretan makanan beku. "Untuk apa menemuiku? Tidak bisa sampaikan lewat telepon?" "Kamu tidak pernah mau membalas pesan, apalagi mengangkat teleponku. Jadi aku terpaksa menemuimu langsung," jawab Ezra
Suasana tegang sangat terasa di ruang keluarga kediaman Irwan Hengkara malam itu. Sofa berbentuk huruf U berwarna krem dipenuhi oleh beberapa orang yang semua menampilkan air muka penuh ketegangan. Jovita diapit oleh Davina dan ibunya duduk di bagian tengah sofa yang membelakangi jendela kaca besar dengan bingkai kayu jati berpelitur cokelat. Sisi kiri sofa diduduki oleh Bayu dan Arifin, pengacara perceraian Jovita, sedangkan di sisi kanan Damian – suami Davina – dan Irwan duduk berdampingan. Jovita memeluk cushion bermotif Bohemian yang senada dengan permadani Turki yang menghampar di lantai. Berbagai emosi berkecamuk, tidak lagi mampu diidentifikasikannya satu-persatu semenjak Monica memperlihatkan video 'Fifty Shades of Bule Hunter' yang sedang beredar luas di dunia maya. Sebuah video yang berisi foto dan hubungan intim beberapa pasangan perempuan Indonesia dengan pria kaukasia.
Pintu diketuk setelah 5 menit Jovita menangis di ruangan kerjanya. Sosok Rania dan Monica terlihat berdiri di balik pintu kaca sandblast. Keduanya masuk setelah melihat anggukan kepala dari Jovita. Jovita menghapus sisa air mata di pipi, berusaha menahan isak yang tersisa. "Ada apa?" "Jo, apa tidak lebih baik beristirahat di rumah saja? Kamu tidak perlu masuk sampai masalah ini reda dengan sendirinya," usul Rania sambil menarik kursi di hadapan Jovita. "Jangan pikirkan pekerjaan, Jo. Kami bisa mengatasinya. Fokuslah dulu dengan kondisimu, habiskan waktu sesering mungkin bersama Vanya," saran Monica yang duduk di samping Rania. Jovita menarik napas panjang. "Entahlah. Di satu sisi, aku tidak sanggup bertemu dengan orang-orang nyinyir, tapi di sisi lain, aku perlu keg
"Vanya harus jadi anak baik, ya," pesan Jovita dengan suara parau saat Ezra menjemput Vanya. Setelah lebih dari setengah tahun memperjuangkan hak asuh di tingkat kasasi yang berujung pada kekalahan, ia terpaksa harus rela melepaskan pengasuhan putri semata wayangnya itu kepada Ezra. Vanya mengangguk, lalu bertanya kepada ayahnya. "Kita mau ke mana, Daddy?" "Kita pulang ke rumah," sahut Ezra. "Rumah Senayan?" tanya Vanya dengan wajah berbinar. Ia tidak sabar akan kembali ke kamar dan mainan kesayangannya yang sudah ditinggalkannya lebih dari 1 tahun. Ezra mengangguk. "Kenapa Mommy tidak ikut?" tanya Vanya bingung. "Nanti Mommy menyusul," sahut E
"Jov, makanlah dahulu. Sejak siang kamu belum makan dan minum sedikit pun," bujuk Irwan seraya membelai rambut Jovita. Hatinya hancur melihat putri sulungnya yang selama ini ceria dan energik berubah menjadi tak berdaya. Ditambah lagi kehilangan cucu yang selama ini meramaikan hari-harinya. "Tidak lapar, Pa," sahut Jovita lirih. Ia terkapar lemas tak berdaya di tempat tidur sejak tadi siang. Matanya sembap, menangisi putrinya tiada henti. "Nanti kamu sakit, Jov," bujuk Irwan. "Buat apa aku bertahan? Aku sudah tidak punya apa-apa lagi, Pa," isak Jovita. Semua yang dimilikinya hilang dari genggaman. Rumah tangga, nama baik, pekerjaan, hingga putri kesayangan. Ezra merenggut semuanya. "Jangan bicara begitu. Kamu masih punya kami. Papa sudah kontak Pak Arifin, beliau akan
Jovita mengambil koper besarnya dari baggage conveyor, lalu berjalan menuju pintu kedatangan Visby Airport, bandara yang ukurannya lebih kecil dan lengang dibanding Bandara Halim Perdana Kusuma. Visby Airport adalah satu-satunya bandara komersial di Gotland, sebuah pulau di tengah laut Baltik, yang masuk ke dalam wilayah negara Swedia. Dibutuhkan waktu sekitar 40 menit penerbangan dari bandara Arlanda di Stockholm, ibu kota Swedia, untuk sampai ke bandara Visby. "Jovita!" panggil Thomas begitu melihat sosok wanita Asia keluar dari Ankomsthall atau area kedatangan. Perempuan itu terlihat lebih kurus dan kuyu dibanding terakhir kali mereka bertemu hampir dua tahun silam. "Thomas!" sahut Jovita. Ia bergegas menghampiri pria Skotlandia yang berdiri menyambut dengan tangan terbuka. "Välkommen till Gotland! Selamat
"Selamat datang di Åberg!" Magnus menjabat tangan Jovita erat. "Kapan datang dari Indonesia?" "Seminggu yang lalu," jawab Jovita. Kerstin, Direktur Human Capital, yang juga hadir saat wawancara di Uppsala turut menjabat tangan Jovita. "Terima kasih sudah bersedia datang sebelum tanggal di kontrak." Ia mempersilakan Jovita untuk duduk. "Tidak masalah," sahut Jovita. Siang itu, ia diminta datang ke kantor pusat Åberg School of Communication di Norrmalm, area pusat bisnis Stockholm. "Perkenalkan ini Niklas, ia adalah Staf Human Capital. Ia nanti akan mengurus semua keperluanmu," ucap Kerstin sembari memperkenalkan seorang pria berusia awal 30-an berkacamata. Jovita menjabat tangan Niklas. "Jovita. Trevligtatt träffas.
"Jo!" panggil Monica sambil melambaikan tangannya. Jovita balas melambaikan tangan lalu bergegas mendekati temannya yang sudah duduk di salah satu meja dekat kolam renang. Ia menyempatkan diri berpamitan kepada rekan-rekan seperjuangannya. Restoran Mendjangan di kawasan Kemang, Jakarta Selatan menjadi pilihan mereka bertemu siang itu. Di meja tersebut telah menunggu Monica, Albert dan istrinya Karen. "Apa kabarmu, Jo?" tanya Karen yang dahulu teman satu angkatan Jovita kala di jenjang S1. "Baik, kamu bagaimana kabar?" "Baik. Kamu makin cantik dan seksi, deh," sanjung Karen. "Tuh, kan, bukan cuma aku dan Rania yang bilang begitu," celetuk Monica.
Suasana riuh memenuhi kediaman keluarga Irwan Hengkara pada hari Sabtu pekan pertama di tahun baru. Tidak hanya semua anak dan cucunya yang berkumpul, tapi juga tiga anak almarhum supir pribadinya yang sudah dianggap seperti anak sendiri, Bayu, Reza, dan Gilang bersama keluarga mereka. Enam anak dan dua balita terlihat asik bermain bersama di halaman berumput samping rumah. Bayu dan Joseph bermain catur tak jauh dari anak-anak itu. Reza, Gilang, Damian, dan juga Irwan mengamati permainan itu dengan serius. Baru kali ini Bayu mendapat perlawanan sengit dalam bermain catur. "Semua jadi kecanduan catur," komentar Yulia melihat enam pria bermimik serius di teras samping. Ia bersama para perempuan sibuk di dapur dan ruang makan menyiapkan makan siang. "Soalnya selama ini tidak ada yang bisa menandingi Kak Bayu, jadi kurang seru, ba
"Sampai kapan Anda di sini?" tanya Agung kepada Joseph setelah menutup pertemuan tersebut. "Rencananya kami akan berangkat pertengahan Januari. Semoga semua dokumen Jovita dan juga Vanya sudah selesai," sahut Joseph. "Jangan khawatir, pengacara kami bisa membantu agar semua urusan beres," ujar Agung. Joseph mengernyitkan dahi, berusaha memaknai perkataan Agung, bertanya-tanya mengapa harus menawarkan bantuan untuk sebuah prosedur yang sudah jelas dan baku. Jovita menangkap makna ekspresi Joseph. Ia yakin Joseph pasti bingung menyikapi tawaran kolusi dari Agung. "Terima kasih atas bantuannya, Pak." Ia segera memberikan jawaban. "Ayo, silakan diminum terlebih dahulu." Dewi mempersilakan para tamunya untuk menikmati minuman d
Jovita memarkir mobilnya di halaman rumah Poppy. Ia menarik napas panjang, menyiapkan diri untuk menghadapi pembicaraan yang bisa saja melebar menjadi perseteruan. "Apa kamu yakin mau aku temani?" Joseph mengusap lengan Jovita. Ia khawatir pembicaraan ini bersifat privasi. "Tentu. Aku membutuhkanmu." Jovita memandangi mata hazel Joseph lekat. Joseph tersenyum. Ada bahagia karena merasa kehadirannya dibutuhkan. "Kalau begitu, mari kita turun," ajak Joseph. "Everything's gonna be alright." Jovita mengangguk. Joseph laksana daya tambahan bagi keberaniannya. Berbarengan dengan mereka berdua turun dari mobil, Arifin - pengacara Jovita - turun dari mobilnya beserta Ri
Setelah setengah jam berkendara, Jovita menghentikan kendaraannya di restoran Bandar Djakarta yang terletak di dalam area wisata Taman Impian Jaya Ancol, sebuah tempat makan seafood yang memiliki konsep pasar ikan dengan pemandangan pantai Ancol. Sambil menyantap hidangan makan siang, obrolan kembali berlanjut. Ludvig mengamati pasangan yang ada di hadapannya. Dua orang yang sedang kasmaran. Tiap kali Joseph berbicara, Jovita memandanginya dengan penuh kekaguman, begitu pula sebaliknya. Joseph memandangi Jovita mesra saat perempuan itu bertutur. Suatu hal yang sangat jarang dilihatnya terjadi pada Joseph, bahkan ketika ia bersama dengan Freja. "Kapan terakhir kali kamu ke Gotland?" tanya Jovita. "Sekitar dua tahun lalu, tapi tidak bertemu Joe," - Ludvig mengalihkan pandangan ke Joseph - "kalau tidak salah, kamu sedang
"Herregud¹!" Joseph tidak dapat menutupi kekagetan menyaksikan pemandangan di hadapannya. Beberapa orang pengendara motor nekat melaju meski lampu belum berubah hijau. Jovita yang duduk di belakang kemudi, tertawa geli, sudah menduga hal ini pasti terjadi. "Kamu tahu apa warna bendera Indonesia?" tanya Jovita. "Merah putih kalau tidak salah," sahut Joseph. "Betul. Merah artinya berani, putih artinya suci." "Filosofi yang bagus sekali," puji Joseph. "Sangat bagus! Beberapa orang terlalu meresapi makna warna bendera tersebut, maka lampu merah pun diartikan berani. Jadi, setiap lampu berwarna merah, ia pun menganggap itu adalah perintah untuk bersikap berani," selo
"Hah?" Ezra terkejut. Ta' kemplang berarti kutempeleng. Jovita nyaris tersedak. "Namanya soto ayam ta'kemplang. Ayam betina muda dan telur uritan," jelas Poppy. Ia melirik makanan Ezra yang tidak disentuh. "Kenapa kamu tidak makan?" "Aku tidak suka rica." "Lalu mengapa tadi pesan itu?" "Aku tidak terlalu memperhatikan." Kali ini Jovita benar-benar tersedak, menahan tawa mendengar percakapan dua orang di hadapannya. Sudah diduganya Ezra pasti sedang melamun saat memesan makanan itu. Ia berusaha meraih botol air mineral di hadapannya untuk meredakan batuk. Joseph dengan cekatan meraih botol hijau bertuliskan Equil
Sebuah pohon beringin besar dengan lampu-lampu hias antik tergantung di dahannya menyambut para tamu memasuki pelataran restoran Lara Djonggrang di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Tempat makan bernuansa mistikal yang terinspirasi dari dongeng romansa cinta tak berbalasnya Bandung Bondowoso kepada Rara Jonggrang ini, menjadi pilihan Poppy untuk pertemuannya dengan Jovita. "Aku masih tidak bisa memahami keinginanmu bertemu Jovita," ujar Ezra gusar sambil melangkah masuk ke restoran berfasad merah itu. "Aku ingin menekankan beberapa hal padanya, sehingga ia tidak mengganggu perkawinan kita nanti, Beb," sahut Poppy sembari memandangi sekelilingnya. Pencahayaan temaram dengan interior etnik Indonesia dan paduan sentuhan Tiongkok menghadirkan kesan mistis nan memesona. Ezra mendengkus, tak mungkin menolak keinginan Poppy. Ia harus me