Bab 140Keenan tahu, orang yang dimaksud oleh dokter Aariz itu adalah Eliana, dan dokter Aariz juga memberi tindakan operasi caesar kepada Eliana atas paksaannya, karena pria itu tidak mau terlalu lama mendengarkan umpatan kesakitan dari mantan istrinya itu.Pria itu mendengar dengan jelas apa yang disampaikan oleh dokter Aariz. Obrolan mereka sangat jelas terdengar. Namun Keenan sengaja tidak mau turut campur. Tidak ada urusan dengannya. Lagi pula sepertinya Alifa memang hanya menginginkan bertemu dengan Donita.Terlihat jelas dari sikap dokter Aariz bahwa dia begitu posesif. Dia dan dokter Aariz sama-sama laki-laki dan tentu tahu bagaimana caranya agar pasangan tidak lagi berhubungan dengan mantan. Jelas sekali bahwa pria itu tidak menginginkan Alifa berhubungan kembali dengan mantan suaminya, walaupun hanya sebatas berteman."Apa aku terlihat menyedihkan?" Pria itu memutar bola matanya malas sembari berjalan mendekat setelah sepasang suami istri itu meninggalkan ruangan perawatan
Bab 1"Apa? Saya hamil, Dok?" ulangku lirih. Aku menoleh sekilas kepada pria yang tengah fokus menghadapi alat USG yang terpasang tepat di sisi ranjang yang tengah kutiduri ini."Betul, Bu. Lihatlah, titik kecil ini menandakan sebuah embrio, titik kehidupan baru yang ada di rahim ibu." Pria muda itu menggerakkan kursor dan menunjuk ke titik yang dimaksud, walaupun tentu saja aku tidak mengerti karena bagiku sama saja. Layar di depanku itu hanya berwarna hitam putih dan aku tidak tahu titik yang dimaksud oleh dokter Aariz."Tapi bagaimana mungkin? Bukankah aku sudah lima tahun menikah dan belum juga dikaruniai anak?" Aku menggumam tanpa sadar. Seorang perawat perempuan membantuku bangkit dari pembaringan dan kini aku sudah duduk berhadapan dengan dokter Aariz.Sebenarnya dokter Aariz meresepkan obat pereda mual dan vitamin untukku, tapi sengaja tidak kutebus, karena uang yang kumiliki terbatas. Aku hanya sanggup membayar biaya pemeriksaan. Mungkin nanti aku akan membeli minyak kayu p
Bab 2"Tapi Ma, aku sangat mencintai Alifa. Aku nggak bisa kehilangan Alifa....""Dia itu hanya seorang pelacur. Masa iya kamu mau berbagi istri dengan laki-laki lain? Mikir, Keenan!" Kali ini kembali mbak Rosa yang bersuara."Kamu itu masih muda, masih banyak perempuan yang mau sama kamu. Lagi pula kalian juga tidak punya anak. Siapa tahu aja jika kamu menikah dengan perempuan lain, kamu bisa punya anak," bujuk mbak Yuna pula."Aku nggak peduli, Mbak. Aku nggak peduli apakah Alifa bisa melahirkan keturunanku atau tidak. Aku mencintai Alifa!" Pria itu memekik setelah ia berhasil membuat sang ibu kembali berdiri."Tapi kamu itu anak laki-laki. Kamu perlu seorang pewaris. Siapa yang akan mewarisi perusahaanmu kecuali anakmu nanti? Memangnya kamu mau, perusahaanmu diberikan kepada keponakanmu?" ucap mbak Rosa seolah-olah ia sangat memihak kepada mas Keenan, meskipun aku tahu benar jika selama ini mbak Rosa dan keluarganya hidup bergantung kepada kami. Untung saja mas Keenan adalah seoran
Bab 3 Hari masih sangat gelap. Jalanan masih sepi. Aku melangkah dengan susah payah sembari menahan rasa cemas karena kurasakan darah terus mengucur dari area intimku. Bodohnya aku yang hanya mengenakan pembalut biasa sehingga akhirnya tembus dan cairan merah itu mengotori gamis yang kini kukenakan. "Bu!" Seorang petugas yang berjaga di gerbang depan menangkap tubuhku, sementaranya satu rekannya yang lain berlari ke dalam. Sebuah brankar segera datang dan aku langsung dibaringkan, lalu didorong masuk ke bagian IGD rumah sakit ini. "Maaf, apa ada keluarga ibu yang bisa dihubungi?" tanya seorang perawat perempuan yang barusan membantuku untuk berganti pakaian dengan seragam pasien rumah sakit. Sebelumnya dia juga yang menolong memakaikan popok untukku, supaya pendarahanku tidak mengotori pakaian dan sprei. Sosok mas Keenan melintas begitu saja di benakku, tapi hanya sekilas. Aku langsung menggeleng. Tidak mungkin aku menghubungi pria itu walaupun keadaan sedang genting. Dia sudah
Bab 4 Aku tahu jika bayiku memang harus dirawat di ruang anak karena menderita infeksi. Aku tidak tahu itu penyakit apa, tapi menurut informasi yang kudapat, katanya darah merah dan darah putih di tubuh bayiku tidak stabil. Aku kurang paham juga apa maksudnya, tapi mereka meyakinkan jika bayiku akan baik-baik saja. Lalu kenapa sekarang bayiku malah berpulang?Bahkan sebelumnya tidak ada informasi jika bayiku dalam keadaan kritis. "Anakku...." Aku memeluk putraku dengan perasaan hancur. Matanya sudah terpejam. Tubuh mungilnya begitu dingin. Sebelum ini, aku bahkan belum sempat menatap wajahnya karena bayiku langsung dibawa ke ruangan NICU setelah dikeluarkan dari perutku. Kenapa takdir begitu kejam? Aku hanya sempat mendengarkan tangis pertamanya, tapi kenapa keesokan harinya aku hanya bisa memeluk jasadnya saja? Tuhan, aku sudah nggak peduli jika harus kehilangan suami dan semua kasih sayangnya, tapi aku nggak bisa kehilangan anakku juga. Kenapa tidak sekalian saja Kau ambil ny
Bab 5Aku terdiam dan balas menatap lurus pria itu. Kelihatannya dia memang bersungguh-sungguh ingin memintaku untuk menyusui keponakannya. Namun masalahnya, anak yang akan aku susui adalah anak dokter kandungan terbaik di kota ini. Mereka orang berada. Orang yang datang kepadaku ini pun adalah adik dokter Aariz. Dia hanya sekedar paman dari si bayi, bukan ayah si bayi. Memangnya ayahnya bayi itu bersedia jika anaknya aku susui?"Mbak tenang saja. Mbak pasti akan mendapat imbalan yang pantas, gaji bulanan dan bonus yang menggiurkan. Tinggal sebut berapa angkanya, insya Allah Mas Aariz maupun saya pasti akan memenuhinya," bujuk pria itu, mungkin karena melihat reaksiku yang tidak terlalu antusias."Ini bukan soal bayaran, Mas. Saya tidak berada dalam posisi menjual air susu saya. Sejujurnya saya masih ragu, karena yang menawarkan ini adalah Mas Atta, bukan Dokter Aariz sendiri," ujarku hati-hati. Aku berusaha memilih kalimat sebaik mungkin supaya ia tidak tersinggung."Ah iya, saya
Bab 6 "Mbak Alifa, maaf." Attalarich langsung menangkupkan tangan di dadanya sesaat setelah dia memutar tubuhnya menghadap kepadaku. "Tidak apa-apa, Mas Atta. Saya siap kok diperiksa kesehatannya jika memang itu menjadi syarat saya diterima menjadi ibu susunya Dek Gibran," ujarku tenang. Buat apa tersinggung? Apa yang diungkapkan oleh dokter Aariz itu nggak salah, apalagi dalam kapasitasnya dia sebagai tenaga kesehatan. "Bukan begitu maksud Mas Aariz. Seharusnya dia tidak perlu meminta untuk memeriksa Mbak Alifa. Bukankah dia yang menangani proses persalinan Mbak Alifa kemarin? Seharusnya tahu dong rekam mediknya Mbak," ujar Atta sembari menatap sang kakak. "Siapa bilang?" Wajah pria itu terlihat dingin. "Aku menangani pasien VVIP yang kebetulan kondisinya juga darurat, sementara Ibu Alifa ditangani oleh dokter Halimah," jelasnya. "Benar, Mas." Aku langsung mengangguk lantaran teringat penjelasan dokter Aariz waktu itu. "Saya memang ditangani oleh dokter Halimah, kar
Bab 7 Di dapur, Keenan membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Dia sudah biasa seperti ini sepeninggal Alifa. Dulu dia pernah menyuruh Eliana untuk membuatkan kopi untuknya, tetapi rasanya tidak pas. Akhirnya dia memilih membuat kopi sendiri. Keenan pun malas menyuruh istrinya untuk memasak, karena tahu Eliana tidak bisa memasak. Jangan sampai dapur ini seperti kapal pecah karena ulah Eliana. Untuk urusan memasak, Keenan lebih percaya kepada mbak Narti yang setiap hari datang ke rumah ini. Tugas mbak Narti adalah memasak dan mencuci pakaian, sementara urusan rumah dikerjakan oleh pak Amran yang merangkap sebagai tukang kebun dan bersih-bersih halaman. Keenan membuka lemari dapur dan kemudian mengeluarkan isinya. Makan malam sudah disiapkan oleh mbak Narti. Dia hanya tinggal makan saja. Keenan makan dengan lahap meskipun tentu saja masakan itu sudah dingin lantaran dia pulang larut malam. Namun Keenan tidak peduli, yang penting perutnya kenyang. Pria itu ha
Bab 140Keenan tahu, orang yang dimaksud oleh dokter Aariz itu adalah Eliana, dan dokter Aariz juga memberi tindakan operasi caesar kepada Eliana atas paksaannya, karena pria itu tidak mau terlalu lama mendengarkan umpatan kesakitan dari mantan istrinya itu.Pria itu mendengar dengan jelas apa yang disampaikan oleh dokter Aariz. Obrolan mereka sangat jelas terdengar. Namun Keenan sengaja tidak mau turut campur. Tidak ada urusan dengannya. Lagi pula sepertinya Alifa memang hanya menginginkan bertemu dengan Donita.Terlihat jelas dari sikap dokter Aariz bahwa dia begitu posesif. Dia dan dokter Aariz sama-sama laki-laki dan tentu tahu bagaimana caranya agar pasangan tidak lagi berhubungan dengan mantan. Jelas sekali bahwa pria itu tidak menginginkan Alifa berhubungan kembali dengan mantan suaminya, walaupun hanya sebatas berteman."Apa aku terlihat menyedihkan?" Pria itu memutar bola matanya malas sembari berjalan mendekat setelah sepasang suami istri itu meninggalkan ruangan perawatan
Bab 139"Sepanjang kondisi kamu masih memungkinkan, Mas pasti mengizinkan." Aku berbaring dengan posisi miring menghadapnya. Pandangan kami beradu, aku mencoba menyelami apa yang ada di dalam pikirannya.Barusan ia bilang jika Donita sudah melahirkan, dan aku spontan mengemukakan keinginan untuk menjenguk Donita di rumah sakit, lagi pula itu adalah rumah sakit milik suamiku sendiri, seharusnya kan tidak masalah."Tapi ingat kamu nggak boleh mual-mual atau menunjukkan ekspresi yang mencurigakan, karena kita harus menyembunyikan kehamilan kamu," ujarnya lagi."Sampai saat ini aku masih tidak mengerti apa alasan Mas menyembunyikan semuanya.""Kelak kamu pasti akan mengerti jika usia kandunganmu sudah memasuki trimester ketiga.""Mas menyembunyikan sesuatu dariku," rajukku."Ini untuk kebaikanmu dan keluarga kita, jangan sampai kamu kenapa-kenapa." Pria itu melingkarkan tangan di pinggangku dan wajah kami pun terpadu. Dia mencium keningku lalu berlanjut ke pipi.Aku mendengus. "Mas selal
Bab 138Pria itu tidak berbohong. Aariz menjamin jika Donita bisa melahirkan secara normal.Dan benar saja. Begitu pembukaan sudah lengkap, pria itu memberi instruksi Donita untuk segera mengejan Seorang bayi laki-laki lahir, dan suara tangis pertamanya memenuhi seisi ruangan persalinan, membuat Keenan seketika mengucap syukur. Lantaran Donita menggunakan metode ELA, jadi dia bisa lebih fokus dan tenang untuk mengejan. Dan hasilnya, perempuan itu hanya menerima dua bonus jahitan saja.Luar biasa, bukan?"Selamat ya Donita. Tuh, bisa kan lahiran normal?" Pria itu mengacungkan jempol setelah dokter anak mengambil alih bayi itu untuk diobservasi."Perjuangan yang luar biasa. Untung dokternya sabar." Perempuan itu menanggapi sambil tersenyum. Saat digigit pun, Donita tetap tenang karena rasanya memang tidak terlalu sakit, beda sekali jika menjahit. jalan lahir tanpa bius sama sekali.Itu karena kamu bersedia untuk berjuang. Kalau pasien nggak mau diajak berjuang dan maunya minta SC, ya
Bab 137Keenan menatap nanar pria yang sudah menghilang di balik ruangan tempat ia duduk. Sekarang sepertinya pria itu menuju ruangan operasi, karena barusan dia mendengar Nia memberitahu jika akan ada tindakan untuk salah satu pasien. Pria itu menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Lamat-lamat dia masih mendengar suara Donita yang merintih. Ada rasa tidak tega, tapi bagaimanapun dia harus mematuhi anjuran dokter. Aariz itu terkenal jujur dalam memberi rekomendasi. Banyak dokter yang cenderung merekomendasikan untuk operasi caesar, karena ingin pekerjaannya cepat selesai, apalagi bagi pasien yang menggunakan layanan pembayaran melalui BPJS. Keenan pernah mendengar rumor yang berkembang di dunia kesehatan. Konon BPJS hanya bersedia untuk membayar tindakan terakhir, jadi tindakan sebelumnya seperti induksi dan lain-lain tidak dihitung, sehingga para dokter cenderung lebih merekomendasikan operasi caesar apabila pasien mengalami sedikit kesulitan dalam proses persalinan normal. Padahal sebe
Bab 136"Dok, satu jam lalu masuk satu pasien atas nama Donita. Dia baru pembukaan satu sejak mulas pertama kali tadi malam. Dokter Amel menyarankan untuk induksi, tapi pasien itu tidak mau," lapor Nia saat Aariz baru saja menjejakkan kakinya di pelataran rumah sakit."Baiklah, kita akan memeriksanya." Pria itu segera berbelok ke arah samping, di mana ruangan IGD berada. Dia memasuki ruangan dengan langkah-langkah lebarnya. Suara rintihan terdengar. Hal yang biasa ia dengar jika masuk ke ruangan seperti ini."Loh, Donita." Pria itu sangat terkejut. Tentu dia mengenali perempuan itu, karena mereka pernah beberapa kali ketemu saat kontrol kehamilan."Dok, sakit," rintih Donita. Dia menggeliat. Pinggangnya sudah sangat pegal. Sesekali gelombang kontraksi menderanya, gelombang yang semakin lama semakin sering dan itu yang membuat Donita semalaman tidak bisa tidur. Dia mengantuk, tapi tidak bisa tidur. Fisiknya pun terasa mulai melemah.Sebenarnya sudah sejak sore kemarin dia merasakan hal
Bab 135Pria itu tidak menjawab. Dia memilih untuk membelai rambut istrinya, lalu mengusap wajah itu, dan mengatupkan kedua mata Alifa. "Tidurlah. Kamu pasti lelah.""Kamu belum menjawab pertanyaanku, Mas," ucap Alifa. Rupanya dia masih belum juga memejamkan mata."Kamu akan tahu jawabannya nanti, jadi untuk sekarang tolong patuhi perintahku. Kamu nggak boleh kasih tahu kepada siapapun soal kehamilan kamu, meski itu orang terdekat kita sekalipun.""Aku akan mentaati suamiku sejauh itu tidak bertentangan dengan perintah Allah dan rasul-nya...." "Bagus, istri solehah." Pria itu tersenyum, lalu mendekatkan wajahnya, dan mengecup kening perempuan itu. "Sekarang kamu tidur ya, semoga besok nggak mual-mual lagi."Perempuan itu mengangguk. Dia mulai memejamkan mata.Aariz tersenyum senang. Sebenarnya istrinya ini penurut dan sangat baik. Hanya saja sampai saat ini dia baru sebatas melakukan segala hal untuk menjadikan dirinya sebagai suami yang layak untuk Alifa, perempuan yang dipilihkan
Bab 134Baru saja perut kenyang lantaran makan martabak dan juga makan malam dengan menu yang sangat enak di posko tadi, tapi kini semuanya termuntahkan, sehingga perutku kembali kosong. Aku memandangi sisa-sisa muntahanku yang tengah coba kuhilangkan dengan guyuran air yang terus mengalir dari kran di atas wastafel kamar mandi. Sementara suamiku yang rupanya menyusulku ke kamar mandi tengah memijat-mijat punggungku."Sayang, kamu kenapa? Lagi masuk angin, atau asam lambung kamu yang kumat?""Aku nggak tahu, Mas," jawabku setelah menutup kembali kran di tempat cuci tangan dan muka di kamar mandi setelah memastikan semua isi muntahanku bersih.Tubuhku gemetar dengan kepala yang berkunang-kunang. Mas Aariz memapahku kembali ke ranjang, lalu menyandarkan tubuh ini di kepala ranjang dengan beberapa bantal sebagai penyangga."Sepertinya kamu salah makan deh. Tadi kan kamu menghirup banyak kuah asam yang buat martabak itu. Kayaknya nikmat sekali." Dia mengingatkan."Memang enak, Mas. Rasan
Bab 133"Saya bahkan bisa saja meminta kepada suami saya untuk menarik dukungannya terhadap suami Ibu," tekanku tanpa mengeraskan suara."Dan saya pastikan karir Aariz tamat sebagai dokter kandungan di rumah sakit umum," balas perempuan paruh baya itu."Oh ya?" Bukannya takut, tapi aku malah kembali tersenyum. "Apa saya tidak salah dengar? Bukankah kalian sengaja memasukkan Mas Aariz sebagai salah satu anggota tim sukses agar suami saya ini tidak melanjutkan niatnya untuk mengundurkan diri dari rumah sakit umum?" Tidak prakteknya suamiku di rumah sakit umum pasti akan berdampak cukup besar, karena kebanyakan pasien memang selalu ingin ditangani oleh dokter senior, walaupun mereka menggunakan pembiayaan dari BPJS sekalipun."Jaga bicara kamu ya!""Saya pikir malah bagus, karena kalau suami saya tidak lagi praktek di rumah sakit umum, maka calon pasien dipastikan akan langsung ke RSIA Hermina. Jadi rumah sakit milik sendiri pasti akan lebih maju....""Tutup mulutmu! Tahu apa kamu tenta
Bab 132"Jadi dulunya Mbak Alifa ini kuliahnya apa?""Akuntansi, Dok, karena saya suka hitung-hitungan.""Wah... Emangnya nggak tertarik dengan kedokteran?" Perempuan itu menaikkan alisnya."Kebetulan Alifa ini dulunya suka sama itung-itungan, dan dia kuliah lewat jalur beasiswa." Pria itu menerangkan tanpa melepas genggaman tangannya padaku. Di atas meja hadapan kami sudah ada beberapa macam hidangan yang siap untuk kami santap. Namun tampaknya dokter Hera masih penasaran denganku. Dia tetap mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaannya."Oh, ya? Apakah lewat jalur prestasi atau beasiswa yang buat anak yang nggak mampu?""Jalur prestasi, Hera. Alifa ini pintar dan dia berhasil kuliah di bidang yang ia sukai. Lulus kuliah, Alifa sempat bekerja sebagai akuntan di sebuah perusahaan, tapi kemudian resign karena dia menikah.""Loh, katanya kan Mbak Alifa ini ibu susu anaknya dokter. Emangnya kapan dia bekerja sebagai akuntan?""Tepatnya sebelum menikah dengan suami pertamanya. Setelah menik