Reza meminta dua pria misterius itu menjauh dari keramaian dan dari kejauhan Raysa melihatnya. Reza kini berada di parkiran, masih menatap penasaran dengan dua orang yang kini berada di hadapannya. Jangankan orang lain, dia sendiri pun tidak tahu siapa mereka.
"Tunggu, sepertinya kalian salah orang. Saya benar-benar tidak mengenal kalian berdua. Apa kalian mengenaliku?" tanyanya lagi. "Tentu saja, Tuan Muda. Nama asli Anda Elreza Arkha Wijaya!" jawabnya sembari sedikit menunduk memberi hormat pada Elreza. “Tuan, kami sudah mencari Anda selama ini dan beruntung bisa bertemu Anda di sini." Kalimat itu membuat Elreza mengerutkan keningnya, dia mundur beberapa langkah untuk mengamati kembali siapa dua orang yang kini berbicara dengannya. Elreza masih berdiri dengan dompet milik istrinya di tangan, dia dibuat bergeming di tempat dengan banyaknya ingatan di masa lalunya. Tentang kecelakaan dua puluh tahun yang lalu, tentang dia yang kehilangan separuh ingatannya, tentang perempuan yang menyelamatkan nyawanya, dan tentu saja tentang dia yang melamar Raysa karena janjinya. Akan tetapi, El tak mengingat pasti siapa sebenarnya dirinya dan kenapa mereka semua mencarinya. Elreza kini menatap dua orang itu, yang terlihat memang bukan orang sembarangan. Postur tubuh mereka sangat tegap dan juga berotot, menunjukkan kalau mereka memang dua orang yang terlatih untuk melindungi seseorang. "Kami berdua staf keamanan di perusahaan keluarga Anda, Tuan. Kami benar-benar yakin kalau Anda adalah Tuan Muda Elreza yang selama ini kami cari." "Sebutkan sesuatu yang bisa membuat saya percaya!" pintanya yang mana mata Elreza kembali memicing, menunggu jawaban keduanya. Mereka saling memandang untuk beberapa waktu, sampai akhirnya dua orang itu menunjukkan sesuatu yang membuat Elreza terkejut. Tentu saja itu foto dirinya dan kedua orangtuanya. Itu juga foto yang diambil di kediaman mewah mereka, tepatnya rumah yang bahkan sudah tak pernah Elreza singgahi lagi. "Kami sudah mencari Anda selama ini, dan ini saatnya Anda kembali ke Aru Malaca dan bungkam mereka semua yang sudah menganggap remeh Anda," ucap salah satunya. “Aru Malaca!” “Iya Tuan. Tuan harus ikut kami ke Aru Malaca untuk menerima warisan dan mengelola perusahaan. Hanya saja, Anda sendirian yang harus pergi ke sana.” "Aku tidak bisa kembali, Aku harus menjaga Raysa, aku—" "Tolong pikirkan baik-baik Tuan, di sani tidak ada yang menghargai Anda apalagi menghormati Anda. Tidak sepantasnya mereka memperlakukan Anda seperti ini," jelas yang lainnya berusaha mempengaruhi pemikiran Elreza. El mengerti, dia paham bagaimana sakitnya menjadi dia yang sekarang. Tanpa identitas yang pasti, tanpa keluarga, tanpa kekayaan, semuanya memang mempersulitnya. Namun, dia tidak mungkin pergi meninggal Raysa sendiri karena perempuan itu adalah tanggungjawabnya. Kepala El bergerak, dia menggelengkan kepalanya menolak keinginan dua orang misterius itu. El masih ragu dengan semua ucapanya. Saat ini, setidaknya sekarang dia tidak ingin kembali. Elreza ingin tetap di samping Raysa apa pun yang terjadi. "Siapa kalian?" ujar seseorang dengan suara yang nyaring. Reza tahu siapa dia, itulah kenapa dia menggerakkan matanya meminta kedua pria itu untuk segera pergi. Mereka mengerti dengan isyarat El, tapi semua terlambat Raysa sudah menangkap basah Reza. Raysa datang sembari memicingkan matanya, dia kini melipat kedua tangannya di dada dan mulai berpikir yang tidak-tidak. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Elreza yang hanya diam tanpa ekspresi. “Siapa kalian?” bentak Raysa. “Kami--,” “Pasti kalian rentenir bukan, cepat jawab!” teriak Raysa menyela pembicaraan. Reza memberi isyarat agar kedua pria itu mengiyakan perkataan Raysa dan segera pergi. “Iya Bu, suami ibu meminjam uang kepada bos kami. "Dasar gak tau diri, kamu pinjam uang ke rentenir. Berapa banyak kamu pinjam, sampai dia mencarimu kesini," tuduhnya. Reza hanya terdiam ketika tangan Raysa mulai mencubit tubuhnya. Itulah kebiasaan Raysa jika kesal. “Kalian tahu Reza itu gak punya uang. Jadi kalian gak perlu ngasih pinjaman sama dia. Berapa hutang dia!” teriak Raysa. “Sudah Sa gak enak didengar orang banyak,” sahut Reza “Kalian berdua pergi!” perintah Reza yang dibalas anggukan. Raysa menggigit bibirnya sendiri, dia kembali menatap Reza yang hanya diam saja. Wanita itu mengusap wajahnya dengan kasar, dia kembali menatap suaminya yang hanya berdiri. Bahkan kini Reza terlihat menunjukkan senyuman kecil di wajah tampannya itu, membuat Raysa seketika mengeluh dengan frustrasi. Tak ada kalimat merayu, membela diri, atau semacamnya. Reza benar-benar membiarkan Raysa berasumsi sendiri tanpa berniat membenarkan. Reza membukakan pintu dan kemudian mempersilakan istrinya untuk duduk. Dia juga masuk ke mobil, kemudian mengenakan sabuk pengaman untuk Raysa. "Kita mau langsung pulang atau mau ada yang kamu beli dulu, Sa?" "Emang kamu punya uang? Enggak 'kan jadi jangan banyak tanya, kita langsung pulang aja. Masakin aku, aku udah lapar banget!" ucapnya yang mana kini malah menurunkan posisi kursi dan Raysa sedikit mengubah posisi duduknya menjadi miring ke arah pintu mobil. Reza bergegas ke dapur setibanya di rumah, sementara Raysa pergi ke kamarnya untuk beristirahat. Baru saja selesai dengan satu masalah, kini Reza dihadapkan dengan banyaknya pasang mata yang tengah menatapnya dengan sinis. Raysa yang baru saja keluar dari kamarnya dan langsung bergabung dengan saudari juga ibunya, sempat melirik Reza sebentar, hanya untuk memastikan, tetapi kemudian dia melangkah ke sisi lain dengan acuhnya. "Raysa, bagaimana produknya, sold out kah?” Raysa mengangguk dengan bangganya pada diri sendiri. "Terus-terus, perusahaan mana aja yang ngajuin . Raysa pun tersadar dan dia kembali menceritakan tentang produk barunya itu. Dia memang selalu merasa bangga pada dirinya sendiri. Lupa dengan siapa yang terus mendukungnya di belakang sana. Reza diam sejenak dari aktivitasnya, dia mengamati Raysa dari kejauhan, sembari mendengar percakapan mereka semua yang tak jauh dari merendahkannya. Seketika ingatan Reza pun kembali lagi pada kejadian itu, di mana dia mengalami kecelakaan, saat dia masih berusia 10 tahun. Kepalanya terasa pening dengan banyak luka di tubuhnya, tetapi samar-samar dia melihat sosok perempuan yang ikut khawatir dengan kondisinya. Bahkan beberapa kali dia mengelus tangannya, seolah menguatkan. Reza tak lagi mengingat apa pun hari itu, dia hanya ingat ada anak perempuan yang menolongnya, siapa lagi kalau bukan istrinya, Raysa. Tiba-tiba lap meja terlempar ke arahnya yang membuat ingatan Reza di beberapa tahun ke belakang buyar seketika. "Kenapa diem aja, ha? Mikirin apa kamu, saham perusahaan lain yang lagi naik, atau lagi mikir mau bikin usaha apa, atau lagi bayangin jadi seorang jutawan? Mimpi!" teriak Marsya sembari menatapnya dengan sinis. Reza mengambil lap yang ada di dadanya, dia hendak berbalik lagi untuk fokus membuat makanan. Namun, aktivitasnya terhenti saat telinganya mendengar sesuatu yang membuat tubuhnya bergeming. "Ceraikan saja Sa, Mami udah gak tahan punya menantu gak berguna kayak dia!" "Bener tuh, kamu mau cari cowok yang kayak gimana pun sekarang ini pasti bisa," timpal adik iparnya, Siska. Reza dengan jelas melihat Raysa tersenyum saja, tak membantah, apalagi mencoba membelanya. “Ma, tadi aku ketemu wanita jalang itu!” sahut Raysa yang membuat wajah Marsya seperti tak suka.Reza membuang napasnya dengan kasar, saat melihat keadaan halaman belakang yang sangat berantakan. Rumput yang sudah tinggi dan dedaunan yang berserakan di tanah membuat keadaan di sana sangat kotor, berantakan, dan sudah dipastikan dialah yang harus membersihkan semuanya.Namun, mengeluh pun dia tak bisa karena memang pria tampan itu dituntut untuk segala bisa. Reza tengah memotong rerumputan, mengumpulkannya, dan memasukannya ke dalam lubang sampah yang nantinya akan dibakar. Keadaannya saat ini sangat kotor dan bau asap.Sesekali pria berambut gondrong sebahu itu mengusap keringat di wajahnya dengan tangannya yang kotor, yang mana membuat wajah tampannya itu ikut kotor juga. "Heh, kalau anak saya telepon itu diangkat. Kamu ngapain aja sih, dari tadi Raysa telepon kamu!" teriak Marsha.Reza sontak mendongak, dia kemudian bangun sembari merogoh ponselnya yang ada di saku celananya. Dia memang mematikan dering ponsel, membuat panggilan dari Raysa tidak didengarnya."Ada 'kan? Dasar s
Senyum merekah saat kedua mata menangkap pemandangan indah di pantulan cermin. Wajah cantik dengan warna kulit khas wanita Indonesia. Terlebih bibir itu tak pernah absen tersenyum, pada siapa pun juga dia selalu bersikap ramah. Membuatnya semakin terlihat indahTubuh tinggi semampai itu sudah dibalut pakaian kerja, khas seorang SPG kecantikan. Rambut panjangnya dicepol dan dipakaikan harnet pita berwarna hitam merah muda. Cantik. Itulah kata yang menggambarkan seorang Riviya Pandhita.High heels dia kenakan begitu keluar dari kamar kosnya, sembari mengunci pintu dia menundukkan kepalanya memberi salam pada setiap orang yang melihatnya. “Selamat pagi, selamat beraktifitas!”“Via mau berangkat ke mall?”“Iya, Mbak Naura mau jaga toko juga di mall?” tanyanya balik dengan senyum yang masih merekah indah.Percakapan singkat antara sesama penghuni kos-kosan. Via memang terkenal ramah dan sangat murah senyum, dia juga merupakan lulusan sarjana yang nasibnya sedikit kurang baik. Di mana buka
Seorang pria tua berjalan sembari membawa tas kerjanya, tetapi kemudian dia berkacak pinggang saat melihat kendaraan miliknya masih dalam keadaan kotor. Emosi pun mulai menguasai diri, membuatnya kini berteriak sekeras yang dia mampu."Reza!" Suaranya menggema, membuat semua orang langsung mengalihkan perhatian padanya, yang membuat Marsha istrinya ikut keluar.Termasuk pemilik nama itu, yang ternyata tengah menyiram tanaman di halaman. Dia mengangkat kepalanya, sikap biasa yang ditunjukkan Reza membuat sosok itu membulatkan matanya. "Kamu ini ngapain aja dari tadi, ha? Saya suruh kamu cuci mobil 'kan ini malah main air." Padahal semua ini adalah kesalahan Marsha yang lupa tidak memberi perintah kepada Reza."Astaga, saya mau ada rapat pemegang saham dan mobilnya belum dicuci. Kamu sengaja mau mempermalukan saya, iya?" ucapnya lagi.Reza hanya diam saja, lagian apa yang harus dia katakan. Mertuanya itu sangat keras, tepatnya semua orang di sana sangat keras kepala dan tak pernah mau m
Reza mendekat, pandangannya tertuju pada layar ponsel yang dipegang Raysa. Di sana, ia melihat tajuk berita yang memuat nama istrinya. Berita itu ternyata telah menyebar luas, dan menjadi perbincangan hangat di berbagai media.Raysa tersenyum hampa menanggapi banyak orang di sana. Dia menelan air liurnya, kemudian berjalan mendekati Reza, kemudian dia menatap mereka semua dengan tajam. "Masuk ke mobil sekarang juga!""Ke-kenapa?""Jangan banyak tanya, cepat ikuti Raysa!" ucap Pak Abas membulatkan mata dan meminta menantunya itu untuk segera pergi.Tak ada pilihan lain, Reza segera menyusul Raysa yang kini sudah masuk mobil terlebih dahulu. Tentunya aksi mereka berdua ditonton banyak orang, termasuk para wartawan. Mereka tak mau meninggalkan kesempatan sedikit pun untuk mengambil gambar berharga ini.Raysa langsung membawa mobilnya, melaju menjauhi pabrik. Di perjalanan, keduanya sama-sama bungkam, mereka memilih diam sebelum mengutarakan isi pikiran masing-masing."Aku sudah bangun re
Riviya berusaha memutar otak, mencari jalan keluar. Gadis berambut panjang itu tidak bisa diam saja, dia tidak sendirian, dia membawa seseorang yang sedang terluka parah. Matanya tertutup sejenak, tampak juga dia menarik napas, kemudian membuangnya secara perlahan. Via hanya mencoba menenangkan diri agar pikirannya bisa bekerja lebih baik lagi.Untuk beberapa saat dia diam di tengah badai yang masih mengguyur tempat tersebut. Via memutuskan untuk putar balik, dia rasa dibandingkan mengambil resiko dengan berjalan terus, lebih baik kembali menuju arah pantai dan mencari pertolongan di pemukiman warga. Tak begitu jauh, dia bisa mencapai tempat itu dengan lebih cepat."Tenang ya, kayaknya ada klinik di area pemukiman yang tadi aku lewati." Via sebisa mungkin mengendarai motornya dengan cepat dan tentunya tetap hati-hati.Tak berselang lama, mereka tiba di lokasi, membuat Via merasa sedikit lega. Terlebih bangunan klinik yang dimaksudnya sudah ada di depan mata."Mas! Mbak! Tolong!" teria
Langkah kakinya bergerak dengan terburu-buru, begitu mendengar Raysa masuk rumah sakit karena kecelakaan. Terlebih saat nama menantu tak bergunanya itu terlibat, membuat Marsha naik pitam."Mama udah bilang sama kamu, jangan pernah pergi sama dia. Selain dia gak berguna, pengecut, miskin, dia juga membawa sial!" ucapnya terus menggerutu.Marsha tak menyadari kalau di sana bukan hanya ada putrinya, melainkan ada orang asing. Untungnya Marsha tak menyebut Reza sebagai menantunya. Dia langsung membulatkan mata, menaikan alisnya saat Raysa menggerakkan matanya ke sisi lain di belakang Marsha.Marsha langsung mengubah ekspresinya dan mencoba tersenyum, dia sadar kalau putrinya saat ini tengah menunjukkan seseorang di belakangnya. Marsha berbalik badan kemudian menunduk, menyapa seseorang yang kini hanya tersenyum saja. "Selamat siang, Pak. Maaf, saya terlalu panik sampai tidak menyadari ada Anda di sini." "Tidak apa-apa, perkenalkan saya Brian.""Dia salah satu pengusaha juga Ma, perusaha
Reza kini masih berdiri di depan gerbang seperti orang bodoh. Bukan tak punya harga diri, hanya saja dia berpikir untuk menemui Raysa dulu. Tak mungkin dia pergi tanpa tahu keadaan istrinya, tetapi sialnya dia tidak tahu harus menanyakan kondisi Raysa pada siapa.Setelah lelah berdiri, Reza pun berjongkok di depan gerbang sembari berpikir. Kemudian dia tersenyum kecil, saat mengingat seseorang yang mungkin bisa dia minta pertolongan. Reza berkeliling rumah, mencari jalan agar dia bisa menemui seseorang itu. Sampai akhirnya dia tersenyum, begitu melihat seseorang tengah membuang sampah di halaman belakang, Reza bersabar menunggu, sampai wanita itu melirik ke arahnya. Begitu asisten rumah tangga itu melihatnya, dengan cepat Reza melambaikan tangan memintanya untuk mendekat."Kenapa, Pak?""Kamu tahu di mana Nyonya tidak? Dia ada di rumah atau dia ada di mana gitu?""Nyonya Raysa ada di rumah sakit, katanya tadi kecelakaan," ceritanya.Reza mengamati sekitar kemudian bertanya, "Kamu tah
Keesokan harinya Raysa langsung dibawa pulang tanpa sepengetahuan suaminya. Reza datang ke rumah sakit untuk menjenguk istrinya lagi, tetapi ternyata sang istri sudah tidak ada di ruangannya. Setelah kemarin mereka berdebat yang berujung Reza diusir, Raysa kini memutuskan untuk pulang dan tak ingin menemui Reza. Raysa semakin membenci Reza setelah semalam berita tentang mereka muncul diberita. "Gimana? Ayolah Sa, Mama udah gak bisa tahan lagi sama semua kelakuan bodohnya dia. Apa yang kamu harapkan dari dia, dia cuma numpang hidup di sini, dia cuma laki-laki miskin yang pengen hidup enak tanpa harus bekerja. Dia menjadikanmu alat untuk dia bertahan hidup!" ucap Mama Marsya yang mana Raysa hanya diam saja.Tak ada tanggapan pasti, Raysa seolah mengabaikan ocehan ibunya. Namun, dia melemparkan ponselnya yang mana membuat Mama Marsya langsung menangkap benda pipih itu. Dia membulatkan mata, yang kemudian diikuti senyuman merekah di wajahnya. "Ini baru anak Mama. Kapan kamu mengajukan gu
Malam itu, di tengah situasi yang semakin memanas, Reza memutuskan bahwa ia harus mengambil kendali. Tidak hanya demi keluarganya, tetapi juga untuk melindungi Via dari segala bahaya yang mungkin mendatanginya.Di ruang kerja kecil di apartemen Randi, Reza berdiri dengan tatapan serius di depan papan yang dipenuhi peta dan catatan strategi. Tangannya menggenggam spidol, mencoret-coret skema rencana yang rumit namun brilian.“Kita nggak bisa terus bertahan seperti ini,” ucap Reza dengan suara tegas. “Johan sudah melangkah terlalu jauh. Sekarang giliran kita yang memukul balik.”Randi dan Via memperhatikan dengan saksama. Bahkan Randi, yang biasanya penuh ide, memilih untuk mendengarkan. Ada sesuatu dalam nada suara Reza—keyakinan yang kuat, dan kepercayaan diri seorang pemimpin.“Langkah pertama, kita harus memastikan dokumen ini tetap aman,” lanjut Reza, menunjuk pada map yang berisi bukti transaksi ilegal Johan. “Aku akan menyerahkan salinannya ke pengacara keluarga kita besok pagi.
Kecurigaan BaruVia dan Randi mulai menyusun rencana untuk menyelidiki Johan. Meski awalnya ragu untuk bekerja sama lagi, Via menyadari bahwa pengalaman mereka sebelumnya bisa menjadi keunggulan. Randi, di sisi lain, merasa kesempatan ini adalah cara untuk melindungi Via dan membuktikan dirinya bukan ancaman bagi keluarga Wiryo.Malam itu, di sebuah apartemen kecil yang disewa Randi, mereka membahas dokumen dan informasi yang telah dikumpulkan Randi selama ini.“Johan ini lebih berbahaya dari yang kita kira,” ujar Randi sambil menunjukkan dokumen dengan tanda tangan palsu yang sempat ditemukan Chandra. “Dia memalsukan dokumen keuangan perusahaan keluarga kamu untuk mengalihkan dana ke rekening pribadinya. Tapi itu bukan yang paling parah.”Via mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”“Johan juga bekerja sama dengan beberapa pihak eksternal untuk mengambil alih aset keluarga kamu. Kalau rencananya berhasil, dia nggak cuma mencuri uang, tapi juga kendali penuh atas perusahaan.”Via menggigit
Sementara itu, di sudut kota yang jauh dari hiruk-pikuk rumah Eyang Wiryo, Johan duduk di ruang kantor kecilnya, mengamati dokumen-dokumen yang berserakan di atas meja. Ia memegang salah satu dokumen utama yang berkaitan dengan aset keluarga Wiryo, khususnya properti yang baru saja dibeli oleh perusahaan mereka.“Jadi, keluarga besar itu memang punya banyak rahasia,” gumam Johan dengan senyum licik. “Aku cuma perlu satu langkah lagi untuk membuat semuanya berantakan.”Seorang pria dengan tubuh kekar masuk ke dalam ruangan. “Pak Johan, tim sudah siap. Tinggal tunggu perintah Bapak.”Johan mengangguk. “Bagus. Pastikan semua berjalan mulus. Kita harus buat mereka tertekan. Kalau keluarga itu mulai goyah, aku akan masuk dan mengambil apa yang seharusnya jadi milikku.”Pria itu mengangguk sebelum keluar meninggalkan Johan dengan rencana jahatnya.Via duduk di ruang tamu, termenung memikirkan kepergian Randi. Meski ia tahu keputusan itu yang terbaik, ada rasa bersalah yang masih mengganjal.
Johan tertawa. “Kalian pikir bisa menghentikanku? Semua ini sudah berjalan terlalu jauh. Keluarga kalian akan kehilangan segalanya, dan aku akan menikmati setiap detiknya.”Namun, sebelum Johan bisa melanjutkan, Via dengan tenang mengeluarkan rekaman suara dari ponselnya.“Kita sudah merekam semua pengakuanmu,” kata Via sambil menekan tombol putar.Johan langsung panik. “Kalian nggak punya bukti cukup untuk menjatuhkanku!”“Tunggu saja,” jawab Reza dingin. “Kami punya lebih dari yang kamu bayangkan.”Dengan bukti rekaman dan dokumen, keluarga Wiryo akhirnya memiliki dasar kuat untuk melaporkan Johan ke pihak berwajib. Namun, mereka tahu bahwa perjuangan belum selesai.Di tengah semua kekacauan itu, hubungan antara Via dan Randi semakin rumit. Randi, yang masih menyimpan perasaan untuk Via, mulai merasa sulit menyembunyikan emosinya.“Aku nggak tahu apa aku bisa tetap di sini setelah semua ini selesai,” kata Randi pada Via suatu malam.Via menatapnya dengan penuh pengertian. “Kenapa ka
Malam itu, Reza memutuskan untuk menghubungi seorang teman lamanya yang bekerja di kepolisian untuk meminta bantuan. Temannya, Pak Anton, menyarankan agar mereka mengatur pertemuan rahasia untuk mendiskusikan langkah selanjutnya.Di sisi lain, Randi merasa bersalah karena semua ini terjadi akibat masa lalu ibunya. Ia mendekati Via yang sedang duduk di teras rumah.“Via, aku nggak tahu apakah semua ini layak diperjuangkan. Kalau aku tahu ibuku memang salah, aku nggak akan terus mencari,” katanya dengan suara rendah.Via menatapnya dengan penuh empati. “Randi, kamu nggak bisa menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi di masa lalu. Yang penting sekarang adalah mencari kebenaran. Kalau kamu menyerah sekarang, itu artinya kamu membiarkan mereka menang.”Randi tersenyum tipis, meski rasa cemas masih menyelimuti hatinya. “Kamu benar. Aku nggak akan mundur. Terima kasih, Via.”Namun, di balik percakapan itu, Reza memperhatikan mereka dari kejauhan. Ada perasaan tak nyaman di hatinya seti
Randi berdiri termenung di depan rumah Bu Diana, memandangi surat yang baru saja diberikan Chandra. Perasaan campur aduk menghantuinya. Ia tahu ia harus menemukan kebenaran, tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk membersihkan nama ibunya.Di sisi lain, Via merasa tidak tenang setelah berbicara dengan Randi. Ia melihat ketulusan di mata pria itu, namun situasi yang rumit membuatnya tak bisa berbuat banyak.“Via, aku nggak tahu siapa lagi yang bisa aku percaya,” kata Randi ketika Via kembali menghampirinya. “Aku cuma punya satu orang di pikiranku yang mungkin bisa bantu menjelaskan semuanya. Tapi aku butuh bantuanmu.”Via mengernyit. “Siapa?”“Pak Surya, mantan rekan kerja ibuku. Dia yang tahu banyak tentang masa lalu keluarga kami,” jawab Randi. “Tapi aku nggak tahu di mana dia sekarang. Kalau kamu bisa bantu aku menemukannya, aku janji ini nggak akan lama.”Via ragu, tapi ia tahu bahwa Randi memang membutuhkan bantuan. “Oke. Aku akan coba cari informasi tentang Pak Surya.”Semen
Suasana di rumah Bu Diana kembali memanas. Randi datang untuk berbicara dengan Reza dan keluarganya. Kehadirannya langsung menciptakan ketegangan. Chandra, yang sejak awal menaruh curiga pada Randi, memutuskan untuk tidak ikut berkumpul, tetapi memantau dari jauh.Bu Diana duduk di sofa dengan Via di sampingnya. Wajahnya tegang, tetapi ia mencoba untuk menjaga sikap. Reza berdiri di depan Randi, ekspresinya sulit ditebak.“Aku tahu kalian masih sulit menerima aku,” Randi membuka pembicaraan. Suaranya tenang, tetapi penuh ketegangan. “Tapi aku nggak punya niat jahat. Aku hanya ingin menemukan tempatku di sini, keluarga yang selama ini aku cari.”Bu Diana menghela napas panjang. “Randi, aku paham kalau kamu merasa begitu. Tapi yang kamu harus tahu, keluarga ini punya luka yang masih sulit sembuh. Kehadiranmu… membawa banyak kenangan buruk.”Randi menunduk sejenak, lalu menatap Bu Diana. “Aku nggak berniat membuka luka itu lagi, Tante. Tapi aku punya hak untuk tahu siapa aku sebenarnya.
Beberapa hari setelah pertemuan itu, suasana di rumah Bu Diana mulai terasa lebih tegang. Reza berusaha untuk tetap tenang, namun semakin banyak waktu berlalu, semakin sulit baginya untuk menerima kenyataan bahwa Randi benar-benar ingin menjadi bagian dari keluarga mereka.Suatu malam, setelah makan malam yang canggung bersama, Reza duduk di balkon rumah, menatap kosong ke luar. Via datang, duduk di sampingnya, dan menggenggam tangan suaminya."Mas, kamu masih khawatir soal Randi?" tanya Via lembut.Reza mengangguk, matanya tertuju pada bintang yang tampak bersinar di langit malam. "Aku nggak tahu lagi harus gimana, Via. Aku merasa terjebak di tengah semuanya."Via menghela napas. "Aku tahu ini berat buat kamu. Tapi kita nggak bisa menghindar dari kenyataan. Randi punya hak untuk mencari tahu siapa dirinya, meskipun kehadirannya mungkin mempengaruhi banyak hal."Reza menatap Via. "Tapi apakah kamu siap kalau dia terus ada di sekitar kita, bahkan mungkin mencoba lebih dekat lagi?"Via
Beberapa hari berlalu sejak Reza menceritakan tentang Randi kepada Via. Dalam diam, Reza menyadari bahwa hubungan Randi dengan keluarga ini lebih rumit dari yang ia bayangkan. Sementara itu, Via berusaha menenangkan dirinya, meskipun ia tahu bahwa kehadiran Randi di keluarga mereka akan membawa dinamika baru—terutama karena masa lalu mereka yang tidak sepenuhnya terselesaikan.Via sedang menyiapkan sarapan ketika Diana masuk ke dapur dengan raut wajah penuh pertanyaan. Dua hari ini Diana tinggal di rumah."Via, kamu nggak apa-apa?" tanya Diana, sambil memperhatikan putrinya yang terlihat lebih banyak diam sejak kedatangan Randi.Via menghentikan gerakannya sejenak, lalu menatap ibunya. "Aku nggak tahu, Ma. Aku cuma merasa kehadiran Randi membawa sesuatu yang... aneh."Diana menghela napas panjang, lalu menarik kursi dan duduk. "Mama tahu ini nggak mudah untuk kamu. Apalagi, kalau Mama ingat betapa dekatnya kalian dulu waktu masih kuliah."Via menundukkan kepala, mengingat masa-masa it