Atas ide Riyanti, aku meretas WA Mas Elman. Meski terlihat polos, ternyata gadis itu lihai juga urusan sadap menyadap HP. "Nih! Kamu sudah memantau komunikasi suamimu," ucap gadis yang usianya lebih muda tiga tahun dariku itu, sambil menyerahkan ponsel. "Makasih ya?" Aku menerima ponsel itu, sambil men scrol riwayat chat suamiku. Nggak ada yang aneh, semuanya normal. Percakapan pun membahas seputar pekerjaan. "Aman aja, Ri. Nggak ada yang aneh," gumamku. "Mungkin chat lama sudah dihapus, sementara belum ada chat baru yang masuk. Biasanya orang selingkuh itu lihai, pinter nyari celah. Mereka sudah mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang bisa membongkar kebejatan mereka." Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasan Riyanti. Masa iya Mas Elman sudah se-ekspert itu? Perasaan dia orangnya kalem. Selama ini tidak ada gejala-gejala yang aneh, hanya sering pulang malam itu saja. "Kalau misalnya mereka pakai aplikasi lain gimana? Kan ada telegram, messenger, we chat, atau mungkin kak
Aku bisa saja melabrak mereka, menampar keduanya, melampiaskan semua amarah, melampiaskan kekecewaan atas penghianatan mereka. Tapi apa daya, nyatanya aku tak sanggup melihat mereka bersikap mesra, aku tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi berikutnya. Apakah mereka sekedar makan malam, atau berlanjut hingga ke ranjang. Kuputuskan untuk segera pulang, bagiku pertemuan ini sudah cukup membuktikan, bahwa selama ini Mas Elman membohongiku. Tak ada lagi kompromi, penghianatan tak bisa dimaafkan. Setengah mati aku berusaha menjadi istri dan ibu yang baik untuk anaknya, tapi mendapat balasan yang sangat menyakitkan. Sepanjang jalan aku hanya bisa menangis, meski awalnya sudah menduga, tapi melihat kenyataannya ternyata sakit luar biasa. Kenapa Mas Elman tidak jujur saja, kalau masih mencintai Mbak Dita. Kenapa dia memintaku membuatnya jatuh cinta, kalau nyatanya hati dia masih milik Mbak Dita. Rasanya tidak akan sesakit ini, kalau aku tidak terlanjur jatuh cinta. Hal yang palin
"Mas," ucapku ragu. "Mulai hari ini dan seterusnya, tolong kamu urus Zila. Aku mengundurkan diri jadi istrimu." Akhirnya kata-kata itu lolos dari bibirku. Rahang Mas Elman mengetat, matanya menatapku tajam. Jelas sekali terlihat dia tidak suka mendengar ucapanku.. "Maksudmu apa?" "Aku menyerah, Mas. Aku tidak sanggup lagi menjadi istrimu," ucapku pelan, bahkan nyaris tidak terdengar. Mas Elman menghembuskan nafas kasar, dia menatapku dalam-dalam. "Kenapa tiba-tiba? Pernikahan kita baik-baik saja. Aku merasa kita tidak ada masalah. Tolong jelaskan apa alasannya, apa ini ada hubungannya dengan pergimu semalam?" Aku mengangguk tanpa bersuara. "Memangnya kamu pergi kemana? Ketemu siapa?" cercanya."Jawabannya ada dikamu, Mas.""Maksudmu?""Kamu bisa jawab pertanyaanmu sendiri, Mas.""Nira, tolong jelaskan sejelas-jelasnya, nggak usah muter-muter. Kepalaku pusing, kamu pergi tanpa sepengetahuanku, dan tiba-tiba minta cerai. Kenapa aku yang harus menjelaskan." Nada suara Mas Elman terd
"Aku mencintaimu""Aku nggak mau kehilangan kamu""Aku nggak sanggup hidup tanpamu""Aku mohon jangan pergi""Jangan tinggalkan kami"Entah berapa kali Mas Elman mengulang kata-kata itu sepanjang perjalanan kami, tapi aku memilih membisu. Untuk apa bersuara, kalau dia tetap pada pendiriannya. Menyimpan rapat rahasia, dengan alasan belum saatnya aku tahu. Bukankah dalam sebuah pernikahan harus landasi keterbukaan, kejujuran. Emang dia nggak tahu, komunikasi itu penting banget agar hubungan tetap langgeng? Kalau dia tetap teguh dengan pendiriannya, aku juga bisa. Usai berbalas pesan dengan kepala daycare, minta ijin tidak masuk, aku memasukkan ponsel ke dalam tas, lalu menoleh ke arah jendela. Bagiku pemandangan lebih menarik, daripada mendengar ocehan Mas Elman. Percuma dia keluarkan segala rayuan gombal, nggak mempan. Hatiku sudah terlanjur membatu. "Ra!" Mas Elman meraih jemariku dalam genggamannya, tapi buru-buru ku tarik. Malas aku bersentuhan dengan laki-laki pembohong seperti d
"Lho, Nak Elman nggak ikut nginep sekalian?" Suara Ibu bernada kecewa. Saat Mas Elman berpamitan. "Ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggal, Bu. Lagipula saya dan Zila tidak bawa baju ganti, memang dari awal niatnya hanya ngantar Dek Nira saja." Mas Elman menolak permintaan Ibu. "Padahal sejak menikah, Nak Elman belum pernah nginep di sini lho." Setelah ijab kabul terucap, Mas Elman langsung memboyongku ke rumah Eyang tanpa menunggu malam. Waktu itu pernikahan kami digelar secara sederhana, hanya akad dan resepsi kecil-kecilan. "Ada pekerjaan yang tidak bisa saya tinggal, Bu.""Ya .... Sayang sekali, padahal sudah sampai sini, kenapa nggak nginep sekalian?" Ibu menatap kecewa Mas Elman. "Maaf, Bu. Saya terlanjur membuat janji. Insya Allah saya akan menginap di sini, kalau ada waktu longgar." Elak Mas Elman. Aku jadi mikir, apa dia janjian sama Mbak Dita? Menang banyak dong, Mas Elman. Aku nggak di rumah, dia bisa bebas ketemuan sama mantan pacarnya itu. Eh, ngapain aku mikirin mer
Pov Elman"El!" Baru saja aku turun dari mobil, hendak membuka pintu pagar, Dita datang berjalan ke arahku. "Kamu kemana aja seharian? Ponselmu mati, aku cari di kantor nggak ada. Aku khawatir banget tahu, nggak?" Wajah Dita nampak khawatir. "Aku ngantar Nira pulang tadi. Ada apa?" jawabku datar. Harusnya aku senang, mendapat perhatian dari wanita secantik Dita, tapi sayangnya hatiku terlanjur membencinya. Sebenernya bukan dia yang aku benci, melainkan ayahnya. Tapi sikapnya yang terus mengejarku, membuatku tidak nyaman. Benar-benar wanita nggak punya hati, berusaha merebut laki-laki yang sudah menjadi milik wanita lain. "Ck, cuek banget sih, jadi orang! Aku bingung tahu! Kamu nggak bisa dihubungi, orang kantor juga nggak tahu kamu kemana? Kan aku jadi panik! Takut kamu kenapa-napa! Ngabarin apa susahnya sih!" Dita bersungut-sungut dengan bibir mengerucut. Kalau ini terjadi lima tahun yang lalu, pasti aku sudah mengacak rambutnya, karena gemas. Tapi itu dulu, saat di hatiku dipe
Pov Elman"Pak Elman, di depan ada Pak Susilo mau ketemu," ucap Edwin, sekretarisku. "Suruh langsung masuk aja!" Edwin membungkuk sopan lalu meninggalkan ruanganku. Tak lama kemudian orang yang dimaksud Edwin tersebut datang. "Pak Elman apa kabar?" Pak Susilo menyapa ramah seraya mengulurkan tangan padaku. "Baik Pak, Alhamdulillah .... baik," jawabku seraya menyambut uluran tangan Pak Susilo."Gimana-gimana ada kabar baik apa ini, sampai-sampai Pak Elman Branch manager PT. Sedayu ini menghubungi saya?" Wajah Pak Susilo nampak semringah, sejak tadi senyum tak pernah pudar dari wajahnya. Tentu saja dia senang bukan main, perusahaan tempatku bekerja melelang tender besar. Ada beberapa perusahaan yang menjadi pesertanya. Diantaranya perusahaan milik Pak Susilo, PT HD group milik Hardiono orang tua Dita dan beberapa perusahaan rekanan lainnya. Beberapa kali perusahaan milik Pak Susilo ini ikut tender, tapi kalah terus karena dianggap tidak memenuhi kualifikasi, aku tahu karena aku sal
"Siapa dia?" Mas Elman bertanya dengan nada dingin, tak lupa tatapan tajamnya yang terus mengarah pada dr. Bagus yang berjalan menjauh. "dr. Bagus, kenapa?" jawabku malas. "Dia dokter? Kok bisa-bisanya sok akrab sama kamu?" cercanya. Dari bicaranya, ada nada tidak suka. Dia cemburu, kah? Kalau bukan di rumah sakit sudah aku maki-maki dia, bisa-bisanya cemburu pada dr. Bagus. Kami hanya berbincang biasa, tak ada sentuhan fisik, bagian mananya yang membuat Mas Elman cemburu? Bagaimana kalau aku bergelendot manja pada dr. Bagus, seperti Mbak Dita padanya? "Tadinya aku memeriksakan Bapak ke klinik dr. Bagus, tahu kan kliniknya yang dekat jalan raya itu?" Mas Elman mengangguk. "Setelah diperiksa, gejalanya merujuk ke DB. Lalu tes darah di laborat, ternyata trombositnya rendah banget. Karena di klinik itu nggak punya fasilitas rawat inap, maka dirujuk ke rumah sakit ini," ucapku menjelaskan kronologinya. "Tapi nggak dia nggak perlu ikut juga, kan?" protesnya tidak suka, sementara aku m
Pov Elman. 15 tahun kemudian. "Pa, Zila berangkat kuliah dulu ya." Zila mencium takzim punggung tanganku, kemudian berlalu, meninggalkanku sendiri di atas kursi roda ini. Kutatap punggung anak gadisku hingga menghilang di balik pintu. Tak terasa lima belas tahun berlalu, gadis kecil yang dulu rambutnya selalu dikepang dua itu, kini telah dewasa. Dia tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan mandiri, pantang menyerah dan lebih dewasa dari umurnya. Dialah yang selama ini menjadi penyemangatku, menjadi penghiburku dan menjadi sumber kebahagiaanku. Entah apa yang terjadi, andai tak ada Zila? Zila juga yang memaksaku bangkit, dari keterpurukan. Memaksaku menghadapi kenyataan, bahwa hidup bukan hanya untuk diratapi tapi dijalani. "Papa nggak kasihan Zila? Kalau Papa gini terus, nanti sekolah Zila gimana?" ucap Zila yang kala itu baru berusia delapan tahun. Tepatnya tiga tahun pasca tragedi kecelakaan, yang merenggut semua mimpi dan harapankan. Saat itu adalah titik terendah dalam hidupku,
Aku buru-buru lari ke IGD begitu selesai bicara dengan petugas rumah sakit, sementara Mas Bagus mengurus administrasi, bertindak sebagai wakil keluarga. Mas Elman hanya punya saudara satu ayah, itupun tinggal di Kalimantan sana. Sementara keluarga yang di sini hanya sepupu jauh, dan hubungan mereka tidak terlalu dekat. Apalagi ini sudah malam, kalau menunggu mereka datang akan kelamaan. Terpaksalah aku dan Mas Bagus yang mengurus semuanya. "Bundaa .... !" Zila langsung menghambur ke pelukanku begitu aku berada di dekatnya. "Zila takut, hu .... " Tangisnya kembali pecah, begitu kusandarkan kepalanya di sela leherku. "Cup, cup, nggak pa-pa sayang, ada Bunda di sini," ucapku sambil mengelus lembut punggungnya. Malam ini seharusnya menjadi malam pertamaku dengan Mas Bagus, tapi kabar dari rumah sakit yang menyampaikan kalau mobil yang ditumpangi Mas Elman mengalahkan kecelakaan, membuat kami menunda malam indah kami. Aku dan Mas Bagus yang baru selesai bersih-bersih badan, akhirnya la
Pov Elman"Hai ....!" pekik kedua perempuan itu lalu saling cium pipi kanan kiri, kemudian berpelukan. Padahal selama saling mengenal, Dita dan Nira tidak pernah akur. Jangankan berpelukan, bicara saja seperlunya. Kenapa sekarang mereka seperti dua orang sahabat yang sudah lama tidak bertemu? "Ya Allah .... Kamu cantik banget, Ra. Selamat ya, semoga kalian berbahagia sampai kakek nenek," ucap Dita masih memeluk tubuh ramping Nira. "Makasih, Mbak. Mbak Dita juga cantik banget, aura bumil memang beda," Nira membalas pujian Dita. Basa-basi yang membosankan, saling puji padahal aslinya ingin memuji diri sendiri. Dasar perempuan. "Masa sih? Kamu bisa aja." Tuh kan? Pada dasarnya perempuan memang gila pujian. "Terimakasih lho, Mbak Dita mau datang kesini. Padahal jauh, mana lagi hamil lagi. Berapa bulan ini, Mbak?" Nira mengelus lembut perut buncit Dita. "Tujuh bulan, Ra. Kamu cepet isi ya?""Iya, Mbak. Langsung gas pokoknya." Aku tersenyum kecut mendengar kelakar Nira. Sok akrab b
Pov ElmanAku menatap nanar surat undangan, yang baru saja diserahkan oleh asisten rumah tanggaku. Alhamdulillah, akhirnya Nira berjodoh dengan dokter ganteng itu. Aku turut bahagia, semoga Bagus bisa menjadi suami yang baik dan setia untuk Nira. Tidak sepertiku, lelaki tak tahu diri yang hanya bisa menyakiti. Sejak bercerai, aku dan Nira putus komunikasi, tak ada yang mengikat kami, jadi tak ada alasan untukku bicara apapun. Tapi dengan Zila, dia masih telfonan. Pernah suatu hari Zila merengek memintaku mengantar ke rumah orang tua Nira, tapi aku menolak keras. Aku sudah tak punya muka untuk bertemu mereka, rasanya nggak nyaman saja, sudah bercerai tapi masih merepotkan. Sedangkan Zila bukan darah dagingnya. Lagipula aku ingin Zila terbiasa tanpa Nira. "Ini surat undangan dari siapa, Pa?" pertanyaan Zila yang datang tiba-tiba membuatku terlonjak kaget. "Eh, anak papa bikin kaget aja."Zila mengambil undangan yang masih berada di tanganku, dilihatnya dengan seksama kertas berwarna
Pov Elman. "Resign?" Aku menatap lembar kertas yang baru saja diserahkan oleh Edwin, sekretaris pribadiku. "Ada masalah apa?" tanyaku seraya meletakkan kertas itu di atas meja. "Tidak ada masalah apa-apa, Pak. Saya hanya ingin mencari pengalaman di luar?" jawab Edwin diplomatis. "Apa gaji yang diberikan kantor kurang?" tanyaku to the point. Posisi Edwin ini cukup strategis, dia bisa mendapat promosi kenaikan jabatan karena prestasi kerjanya. Gajinya juga tidak kecil, kenapa dia tiba-tiba ingin resign? "Tidak Pak, hanya ingin ganti suasana saja," jawabnya tanpa menjelaskan secara detail alasannya mengundurkan diri. Sebenarnya aku tidak bisa menahan karyawan yang ingin berhenti kerja, tapi Edwin ini spesial. Dia bisa diandalkan, saat aku sedang bermasalah dulu, dia yang meng-handle pekerjaanku. Kalau sekarang dia resign, siapa lagi yang bisa ku andalkan? Orang baru belum tentu bisa seperti Edwin, butuh pelatihan yang memakan waktu. Dan aku merasa aneh, tidak ada tanda apa-apa tiba
"Ini mau langsung pulang, atau mau kemana dulu?" tanya Bagus sesaat setelah mobil melaju meninggalkan area parkir LPK. Aku bergeming, malas menanggapi pria nggak peka di sebelahku ini. kelakuannya itu lho, bener-bener nyebelin. Habis bikin jengkel orang kok nggak merasa bersalah sama sekali. Kayak, udah selesai ya udah, nggak usah diperpanjang lagi. Padahal sebagai perempuan aku juga pengen dirayu atau dibujuk, agar aku merasa dicintai. Lha ini? Daripada jadi penyakit karena menyimpan masalah sendiri dalam hati, maka kuputuskan untuk bicara. Percuma ngasih kode, dia nggak bakal paham. "Mas!" Sejak resmi bertunangan, aku merubah panggilan, dari hanya nama jadi ada embel-embel Mas-nya. "Ya?" jawabnya tanpa menoleh padaku, dia masih fokus nyetir. "Kamu serius sama aku nggak, sih?" Akhirnya kukeluarkan pertanyaan yang sudah lama mengganjal di hati. "Ya serius, lah. Kalau serius mana mungkin aku bawa keluargaku untuk meminangmu. Kenapa tiba-tiba tanya begitu?" Bagus masih fokus den
"Ra, jangan ngambek gitu dong ...." dokter Bagus berusaha mengejar langkahku yang tergesa-gesa. Aku makin mempercepat langkahku, bosen aku sama kelakuannya. Entah ini kali keberapa dia mengingkari janjinya padaku. Pernah suatu kali kami janji nonton berdua, aku sudah dandan cantik siap pergi. Eh dua jam aku menunggu, dia tidak nongol juga. Pernah juga janji makan malam, udah nunggu sampai ketiduran dia baru muncul, mana sudah jam sebelas lagi, mau kemana selarut itu? Bisa-bisa dikira Mbak Kunti, karena keluar tengah malam. Kalau kemarin-kemarin aku bisa menerima dan memaafkan, karena posisi di rumah. Mau ngapa-ngapain juga nyaman-nyaman aja, lha sekarang? Aku lagi ditempat kursus, dari tadi dikerubutin laler gara-gara nungguin dia, gimana nggak emosi coba?Ah ya, aku terpaksa ambil kursus akuntansi, karena calon suamiku ini memaksa agar membantu di klinik milik ayahnya itu. Maka aku harus tahu tentang pembukaan, karena aku pegang bagian keuangan. Padahal aku buta sama sekali, aku ka
Pov Author. Dita terlonjak kaget ketika pintu kamarnya terbuka, dan mendapati sosok Elman tengah berdiri menatapnya. "Mau apa kamu kesini?" ketus Dita, sakit hati yang dia rasakan masih begitu terasa, apalagi kepergian mamanya masih menyisakan duka. Dan tiba-tiba Elman muncul di kamarnya, jelas ini bukan pertanda baik. Itu yang terlintas di kepala Dita. "Aku mau menawarkan kesepakatan," jawab Elman datar, dia melangkah ke arah Dita yang tengah duduk di depan meja rias. "Jangan mendekat!" Dita mengangkat telapak tangannya ke depan, kode agar Elman menghentikan langkahnya. "Kesepakatan apalagi? Kamu belum puas melihat kehancuran keluargaku?" sinis Dita. "Bukan, bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin kita berdamai, demi anak kita." Nada suara Elman mulai melunak, tak lagi terdengar dingin dan datar. "Huh! Kamu pikir aku nggak punya hati? Seenaknya kamu sakiti, dan sekarang kamu tawarkan perdamaian? Perdamaian macam apa? Palingan kamu hanya mau memanfaatkan aku lagi, setelah mendap
Pov Author Dita lari seperti orang kesetanan, begitu keluar dari mobil. Bahkan high heels yang dipakai, dia lepas begitu saja. Tujuannya adalah kamar orang tuanya, dimana sang Mama tengah terbaring. Matanya nanar menatap pemandangan menyedihkan di depannya. Pembantu setianya tengah memegang tangan kanan Mira, dengan kepala menunduk dekat telinga, seraya menyebut asma Allah berulang-ulang. "Mama .... !" Dita menghambur ke tubuh mamanya. "Non, jangan nangis! Ayo tuntun Ibu menyebut nama Allah!" bisik Bi Arum pelan.Suasana sangat mencekam, Mira tengah berhadapan dengan malaikat maut. Bukan tangis yang dia butuhkan, tapi tuntutan agar tetap mengingat Sang Pencipta di akhir usianya. Dita mengambil alih tangan mamanya dari Bi Arum, kini dia menuntun Mira melafazkan asma Allah. Dito yang baru saja masuk tak kalah kagetnya, mendapati mamanya sudah dalam keadaan tidak sadar. Tatapan ke atas dengan nafas tersengal-sengal. Sadar Mira sedang dijemput malaikat Izrail, Dito pun melakukan ha