"Aduh El .... Kamu ngapain aja sih? Aku WA nggak dibalas, ditelfon nggak diangkat. Aku ke kantormu, katanya kamu ada perlu di luar. Untung lokasimu nyala, jadi aku bisa menemukan kamu di sini."
Aku dan Mas Elman saling tatap, bisa ku lihat suamiku ini merasa tidak nyaman dengan kehadiran Mbak Dita di antara kami. Tapi aku masih menunggu, bagaimana reaksi Mas Elman, apa yang akan dia katakan pada Mbak Dita? Mas Elman meletakkan sendok di atas piring, aktivitas menyuapi Zila dia hentikan. "Hm!" Mas Elman berdehem, lalu dia menatapku beberapa saat, seperti minta persetujuan. " Telfon sengaja aku silence. Lagi pengen quality time sama anak istri," jawab Mas Elman datar. Mbak Dita menghempaskan pantatnya di kursi sebelah Mas Elman, lalu berkata, "tapi nggak harus matiin HP juga, kan? Bukan acara penting, ini." Wajah Mbak Dita merengut, bibirnya mengerucut. Lagaknya sok manja, harusnya dia tahu sikapnya itu tidak pantas dilakukan oleh perempuan seumuran dia, apalagi pada suami orang.Tak tahan dengan sikap Mbak Dita, yang menurutku sok imut itu, aku pun angkat bicara. "Nggak penting, ya? Jelas nggak penting menurut Mbak Dita, karena Mbak Dita itu orang luar. Wajar dong kami ngumpul begini, namanya juga keluarga," sindirku, berharap Mbak Dita cukup peka. Aku berusaha bersikap tenang, dan tidak terbawa emosi. Meski dalam hati ingin memaki-maki wanita tak tahu diri ini. "Aku nggak ngomong sama kamu!" ketusnya, "El, kamu kok diam aja sih? Istrimu itu lho, nyebelin banget, sih." Mbak Dita merajuk manja. "Ta, tolong jaga sikapmu!" Mas Elman terlihat mulai jengkel, tapi nada suaranya masih pelan. "Kok kamu malah marah sama aku, sih?" protes Mbak Dita tak terima. "Aku nggak marah, Ta. Tapi kamu harus tahu tempat. Apa kamu nggak malu jadi tontonan orang?" Beberapa pengunjung memang terlihat mengalihkan pandangan ke arah kami. Dalam hati aku tertawa sinis, umur saja sudah tua, tapi kelakuan kayak balita. Padahal dia lulusan luar negeri, apa dia nggak bisa mikir pakai logika. Dilihat dari sisi manapun, sikapnya sangat tidak pantas, bermanja-manja pada pria beristri, di depan anak istrinya pula. "Kamu berubah El, nggak seperti dulu lagi. Semua ini pasti gara-gara dia, kan?" Mbak Dita menatapku penuh kebencian. Perempuan ini makin lama, makin ngelunjak, mentang-mentang aku diam, dia jadi makin kebablasan. Sepertinya dia harus ditegasi, biar tidak semakin kurang ajar. "Jelas Mas Elman berubah, Mbak. Dan memang harus berubah, karena dia sudah punya istri. Yang keterlaluan itu kamu! Apa diluar sana sudah tidak ada laki-laki singel yang menarik? Atau Mbak Dita sudah tidak laku? Sampai-sampai mengejar suami orang?" ejekku. Dari kemarin aku sudah menahan diri, menjaga sikap dan ucapan. Berusaha bersabar, berharap Mbak Dita punya sedikit merasa sungkan. Tapi sepertinya Mbak Dita bukan tipe orang yang punya etika. Buktinya, bukannya sadar diri, dia malah semakin menjadi-jadi. "Kamu!" Mbak Dita bangun dari duduknya, dia menatapku tajam, tangannya terayun ke udara siap menamparku, tapi dengan cepat Mas Elman menangkisnya."Sebaiknya kamu pergi dari sini, Ta. Kamu nggak mau diseret satpam karena membuat keributan, kan?" ucap Mas Elman dingin. Aku tersenyum menang, sementara Mbak Dita menatapku tajam. "Kamu jangan seneng dulu, karena Elman membelamu. Dia hanya tidak ingin terjadi keributan. Ingat! Aku masih akan tetap memperjuangkan Elman!" ucap Mbak Dita sebelum meninggalkan area food court. "Omongan Dita nggak usah kamu masukin hati, dia hanya terbawa emosi saja," ucap Mas Elman setelah Mbak Dita pergi. "Gimana nggak kepikiran, Mas. Sejak pemakaman eyang, sudah kelihatan sekali dia ingin mendekatimu lagi. Apalagi sekarang dia terang-terangan mengakui, akan memperjuangkan kamu," jawabku sedikit kesal, mendengar ucapan Mas Elman, yang kesannya menganggap sepele sikap Mbak Dita, yang jelas-jelas melampui batas. "Ayo makan! Kamu lapar kan?" Ini yang tidak kusuka dari Mas Elman. Sikapnya selalu ambigu, tidak jelas apa maunya. Andai saja dia bisa bersikap tegas, tentu Mbak Dita tidak akan seberani itu. * * * * * * * * * * * * * * *Sepanjang perjalanan pulang, kami saling diam. Hanya celoteh Zila mengisi kebisuan di antara kami. Sampai rumah, Mas Elman membuktikan ucapannya membantuku membereskan belanjaan, dia bahkan tidak kembali ke kantor. "Kamu masih marah?" Kami sedang di kamar Zila sekarang. Aku yang sedang menidurkan Zila, pura-pura tidak mendengar ucapannya. "Aku harus apa? Biar kamu nggak marah lagi?" Dasar nggak peka, rutukku dalam hati. "Ra, jangan diam saja. Lebih baik kamu marah, biar aku tahu maumu apa? Kalau kamu diam terus, aku jadi bingung sendiri."Itu juga yang aku rasakan selama menjadi istrimu, Mas. Kamu lebih banyak diam, aku sampai tidak tahu harus bersikap seperti apa. "Ra!" Mas Elman menggoyang pelan kakiku. "Sstt! Jangan berisik, nanti Zila bangun," ucapku pelan. "Y, kalau gitu kamu ngomong, jangan diam aja.""Ini kan sudah ngomong, Mas.""Maksudku, kamu ngomong. Kenapa kamu diemin aku dari siang?" Mas Elman menyugar rambutnya kasar. "Kita ngomong di luar aja, kalau di sini, takutnya Zila keganggu," ucapku seraya bangun dari posisiku yang sedang rebahan. "Sekarang katakan, apa yang ingin Mas dengar dari aku?" Sekarang kami sudah di ruang TV, duduk bersisian. "Kenapa kamu diemin aku? Aku punya salah apa?" Apa hanya suamiku yang tidak peka, atau semua laki-laki memang tidak memiliki kepekaan terhadap wanita? "Oke, aku akan jujur. Dan aku harap, Mas juga jujur padaku." Aku menjeda ucapan, mencari kalimat yang tepat, agar Mas Elman paham maksudku. "Katakan, perasaan Mas yang sebenarnya pada Mbak Dita," tuntutku."Perasaan? Perasaan apa?" Ck, masih tidak mau jujur.
"Kalian pernah menjalin cinta, kan? Sebelum Mas Elman akhirnya menikahi Mbak Diana? Kalau menurut pandanganku, cinta itu masih ada di antara kalian." Aku berkata sambil menatapnya dalam-dalam, sementara Mas Elman membuang pandangan. "Jangan salah paham, Ra. Aku sudah tidak punya perasaan apa-apa sama Dita." Kali ini tatapan Mas Elman lurus ke depan. "Aku salah paham? Bukannya Mbak Dita sudah terang-terangan mengakuinya? Kenapa Mas Elman nggak mau jujur saja, sih? Kalau memang Mas Elman sudah tidak mencintai Mbak Dita, kenapa nggak terus terang saja, biar Mbak Dita nggak terus-terusan ngejar kamu. Kalau memang kalian masih cinta, aku ikhlas kok. Aku akan mundur!" Nada suaraku mulai meninggi. "Nggak seperti itu, Ra. Bukannya aku nggak bisa tegas sama Dita. Aku hanya kasihan sama dia?" Kupikir orang pendiam seperti Mas Elman, kalau bicara akan to the point, tapi nyatanya muter-muter juga. "Kasihan?" Mas Elman mengangguk. "Kasihan Dita, dia menjadi korban --- " ucapan Mas Elman menggantung. Seperti ada sesuatu yang berat, yang membuatnya sulit berkata. Bersambung ..."Kasihan?" Mas Elman mengangguk. "Kasihan Dita, dia menjadi korban --- " ucapan Mas Elman menggantung. Seperti ada sesuatu yang berat, yang membuatnya sulit berkata. "Korban? Korban apa? Nggak usah nyari alasan, untuk membenarkan kesalahan kalian," sahutku ketus. Menurutku Mas Elman hanya mengada-ada, masa wanita dewasa seperti Mbak Dita perlu dikasihani. Dia cantik, mandiri, karir cemerlang, segalanya dia punya, kurang apalagi? "Dengar dulu, jangan nyela! Aku tahu kamu nggak suka sama Dita, tapi setelah kamu mendengar ceritaku, pandanganmu berubah.""Iya, iya.""Aku kenal Dita di kampus, dia gadis yang enerjik dan menarik. Meski beda prodi, itu menyurutkan keinginanku untuk mendekatinya. Singkat kata, kami menjalin hubungan. Setelah beberapa bulan pacaran, aku membawanya ke rumah, untuk berkenalan dengan Eyang. Awalnya Eyang menyambutnya dengan baik, dan ramah. Tapi setelah Dita menceritakan siapa kedua orang tuanya, Eyang tiba-tiba berubah sikap. Keramahan yang tadi ditunjukkan h
Tut ... Tut ... tiba-tiba ponsel Mas Elman berdering. Wajahnya berubah panik saat mendengar suara dari seberang. "Siapa Mas?""Dita ... " Mas Elman bangkit dari duduknya, kemudian buru-buru berjalan ke kamar, tak lama kemudian keluar, sambil memakai jaketnya. Wajahnya paniknya nampak makin menjadi. "Mas, mau kemana?" tanyaku bingung. "Dita kecelakaan, aku ke rumah sakit sekarang!" Tanpa menunggu jawabanku, Mas Elman berlalu. Tak lama kemudian terdengar suara mobilnya meninggalkan rumah. Aku mengerang kecewa, katanya nggak punya perasaan apa-apa, tapi mendengar Mbak Dita kecelakaan, paniknya luar biasa. Akhirnya aku memutuskan kembali ke kamar Zila, setelah mengunci pintu dan pagar. Meski tidak mengantuk, tetap kupaksa mata ini agar terpejam. Azan subuh membangunkan tidurku, gegas aku bangkit, untuk menjalani kewajibanku. Saat kulihat kamar Mas Elman, maksudku kamar kami berdua, kosong. Mas Elman tidak ada. Pun di tempat lain, tak kutemukan keberadaan suamiku itu. Mencoba berfik
"Kalian dari mana saja? Aku sampai panik, bangun-bangun kalian udah nggak ada," ucap Mas Elman menyambut kedatanganku. Ada sorot khawatir dalam tatapannya, tulus, tidak dibuat-buat. "Aku dari daycare, Papa." Zila yang menjawab, bukan aku. Mas Elman berjongkok, menyamai tinggi putrinya. "Dari daycare?" Gadis berambut kepang itu mengangguk antusias. "Seneng dong? Tadi di sana ketemu siapa?" tanya Mas Elman kemudian. "Tante Lianti, sama temen-temen Zila," jawab Zila, dengan gaya bicara khas anak kecil. Mas Elman memeluk dan mencium pipi Zila. "Zila, ke kamar dulu ya? Papa mau bicara sama bunda sebentar." Gadis itu mengangguk lalu berlari. "Kenapa nggak pamit dulu?" ucap Mas Elman lembut. "Kan kamu tidur, Mas. Aku nggak berani ganggu, kayaknya kamu capek banget," jawabku datar. "Ya kalau hanya untuk pamitan, kan nggak pa-pa Ra. Daripada aku kebingungan, mana telfonnu nggak bisa dihubungi lagi. Aku sampai mikir yang enggak-enggak tadi, takut kalau terjadi sesuatu sama kalian.""Tel
#Merengkuh_Hati_Suamiku 9Alunan ayat suci yang biasa dilantunkan sebelum azan mengusik tidurku, perasaan baru tidur sebentar, tiba-tiba saja sudah mau subuh. Perlahan kubuka mata, aku sedikit terkejut mendapati diri ini tidur dalam pelukan Mas Elman. Apalagi saat melihat tubuh polos kami di bawah selimut yang sama. Aku jadi tersenyum sendiri, mengingat aktivitas kami sebelum terlelap. Nggak nyangka, aku sudah menjadi istri sepenuhnya. Perlahan ku singkirkan tangan Mas Elman yang melingkar di perutku, bermaksud turun dari tempat tidur. Aku butuh membersihkan diri."Mau kemana? Masih pagi ini, tidur aja lagi," ucap Mas Elman dengan suara serak, khas orang bangun tidur. Tanpa membuka mata. "Aku mau mandi, Mas. Sudah mau subuh." Bukannya melepaskan, Mas Elman justru semakin mempererat pelukannya. "Mas .... Lepas dong! Aku mau mandi, badanku rasanya lengket semua," rengekku manja. "Aku masih belum bisa move on, Sayang. Lagi yuk!" Duh, kenapa Mas Elman jadi mesum begini, padahal biasan
Waktu menunjukkan pukul setengah sembilan, saat Zila terlelap. Berarti sudah lebih dari satu jam, Mas Elman ngobrol dengan tamunya. Perlahan aku beringsut dari tempat tidur, bermaksud menyusul suamiku. Penasaran, obrolan apa yang membuat mereka berlama-lama di ruang tamu. "Terimakasih ya, El, kamu memang berhati baik. Coba kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu apa yang terjadi padaku malam itu." Tunggu, kok ada suara perempuan? Perasaan tadi Dito sendirian, mana suaranya familiar sekali di telingaku. Itu suara Mbak Dita. "Sama-sama, aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan," balas Mas Elman. "Aku harap kamu mempertimbangkan tawaran ku, kalau kamu takut istrimu melarang, kamu diam aja nggak usah cerita. Toh kamu bisa melakukannya setelah pulang kerja." Duh, bikin penasaran aja. Apa sih maksud Mbak Dita ngomong kayak gitu? Jangan-jangan dia minta dinikahi Mas Elman, bisa jadi kan? Itu tidak boleh terjadi, aku harus menggagalkan rencana mereka. "Eh, ada Mbak Dita. Apa kabar, Mbak
Sejak malam kedatangan Mbak Dita dan adiknya, sikap Mas Elman berubah 180°, tak lagi hangat dan mesra, seperti saat hubungan kami membaik. Bahkan dia sering pulang malam dalam keadaan capek, kalau sudah begitu, dia akan langsung tidur setelah mandi. Ritual sarapan pagi pun, dia lewatkan begitu saja. Alasannya, pekerjaan sudah menunggu. Sesibuk itukah suamiku? Aku dan Zila terpaksa berangkat ke day care berdua, naik motor matic yang kubeli sebelum menikah. Rasanya hubunganku dengan Mas Elman lebih buruk daripada awal menikah dulu. Kalau dulu masih ada Eyang, dia masih bersikap mesra, meski hanya pura-pura. Tapi sekarang? Ingin sekali aku menjadi detective dadakan, menyelidiki kegiatan suamiku bila sedang di luaran. Namun apa daya, aku harus bekerja, dan masih harus mengurus Zila. Untuk menyewa orang membuntuti suamiku, aku tak tahu harus menyuruh siapa. Aku belum lama tinggal di kota ini, tak banyak kenalan. Hanya Riyanti teman dekatku, tapi gadis itu pun sama denganku, dia pendatang
Atas ide Riyanti, aku meretas WA Mas Elman. Meski terlihat polos, ternyata gadis itu lihai juga urusan sadap menyadap HP. "Nih! Kamu sudah memantau komunikasi suamimu," ucap gadis yang usianya lebih muda tiga tahun dariku itu, sambil menyerahkan ponsel. "Makasih ya?" Aku menerima ponsel itu, sambil men scrol riwayat chat suamiku. Nggak ada yang aneh, semuanya normal. Percakapan pun membahas seputar pekerjaan. "Aman aja, Ri. Nggak ada yang aneh," gumamku. "Mungkin chat lama sudah dihapus, sementara belum ada chat baru yang masuk. Biasanya orang selingkuh itu lihai, pinter nyari celah. Mereka sudah mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang bisa membongkar kebejatan mereka." Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasan Riyanti. Masa iya Mas Elman sudah se-ekspert itu? Perasaan dia orangnya kalem. Selama ini tidak ada gejala-gejala yang aneh, hanya sering pulang malam itu saja. "Kalau misalnya mereka pakai aplikasi lain gimana? Kan ada telegram, messenger, we chat, atau mungkin kak
Aku bisa saja melabrak mereka, menampar keduanya, melampiaskan semua amarah, melampiaskan kekecewaan atas penghianatan mereka. Tapi apa daya, nyatanya aku tak sanggup melihat mereka bersikap mesra, aku tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi berikutnya. Apakah mereka sekedar makan malam, atau berlanjut hingga ke ranjang. Kuputuskan untuk segera pulang, bagiku pertemuan ini sudah cukup membuktikan, bahwa selama ini Mas Elman membohongiku. Tak ada lagi kompromi, penghianatan tak bisa dimaafkan. Setengah mati aku berusaha menjadi istri dan ibu yang baik untuk anaknya, tapi mendapat balasan yang sangat menyakitkan. Sepanjang jalan aku hanya bisa menangis, meski awalnya sudah menduga, tapi melihat kenyataannya ternyata sakit luar biasa. Kenapa Mas Elman tidak jujur saja, kalau masih mencintai Mbak Dita. Kenapa dia memintaku membuatnya jatuh cinta, kalau nyatanya hati dia masih milik Mbak Dita. Rasanya tidak akan sesakit ini, kalau aku tidak terlanjur jatuh cinta. Hal yang palin
Pov Elman. 15 tahun kemudian. "Pa, Zila berangkat kuliah dulu ya." Zila mencium takzim punggung tanganku, kemudian berlalu, meninggalkanku sendiri di atas kursi roda ini. Kutatap punggung anak gadisku hingga menghilang di balik pintu. Tak terasa lima belas tahun berlalu, gadis kecil yang dulu rambutnya selalu dikepang dua itu, kini telah dewasa. Dia tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan mandiri, pantang menyerah dan lebih dewasa dari umurnya. Dialah yang selama ini menjadi penyemangatku, menjadi penghiburku dan menjadi sumber kebahagiaanku. Entah apa yang terjadi, andai tak ada Zila? Zila juga yang memaksaku bangkit, dari keterpurukan. Memaksaku menghadapi kenyataan, bahwa hidup bukan hanya untuk diratapi tapi dijalani. "Papa nggak kasihan Zila? Kalau Papa gini terus, nanti sekolah Zila gimana?" ucap Zila yang kala itu baru berusia delapan tahun. Tepatnya tiga tahun pasca tragedi kecelakaan, yang merenggut semua mimpi dan harapankan. Saat itu adalah titik terendah dalam hidupku,
Aku buru-buru lari ke IGD begitu selesai bicara dengan petugas rumah sakit, sementara Mas Bagus mengurus administrasi, bertindak sebagai wakil keluarga. Mas Elman hanya punya saudara satu ayah, itupun tinggal di Kalimantan sana. Sementara keluarga yang di sini hanya sepupu jauh, dan hubungan mereka tidak terlalu dekat. Apalagi ini sudah malam, kalau menunggu mereka datang akan kelamaan. Terpaksalah aku dan Mas Bagus yang mengurus semuanya. "Bundaa .... !" Zila langsung menghambur ke pelukanku begitu aku berada di dekatnya. "Zila takut, hu .... " Tangisnya kembali pecah, begitu kusandarkan kepalanya di sela leherku. "Cup, cup, nggak pa-pa sayang, ada Bunda di sini," ucapku sambil mengelus lembut punggungnya. Malam ini seharusnya menjadi malam pertamaku dengan Mas Bagus, tapi kabar dari rumah sakit yang menyampaikan kalau mobil yang ditumpangi Mas Elman mengalahkan kecelakaan, membuat kami menunda malam indah kami. Aku dan Mas Bagus yang baru selesai bersih-bersih badan, akhirnya la
Pov Elman"Hai ....!" pekik kedua perempuan itu lalu saling cium pipi kanan kiri, kemudian berpelukan. Padahal selama saling mengenal, Dita dan Nira tidak pernah akur. Jangankan berpelukan, bicara saja seperlunya. Kenapa sekarang mereka seperti dua orang sahabat yang sudah lama tidak bertemu? "Ya Allah .... Kamu cantik banget, Ra. Selamat ya, semoga kalian berbahagia sampai kakek nenek," ucap Dita masih memeluk tubuh ramping Nira. "Makasih, Mbak. Mbak Dita juga cantik banget, aura bumil memang beda," Nira membalas pujian Dita. Basa-basi yang membosankan, saling puji padahal aslinya ingin memuji diri sendiri. Dasar perempuan. "Masa sih? Kamu bisa aja." Tuh kan? Pada dasarnya perempuan memang gila pujian. "Terimakasih lho, Mbak Dita mau datang kesini. Padahal jauh, mana lagi hamil lagi. Berapa bulan ini, Mbak?" Nira mengelus lembut perut buncit Dita. "Tujuh bulan, Ra. Kamu cepet isi ya?""Iya, Mbak. Langsung gas pokoknya." Aku tersenyum kecut mendengar kelakar Nira. Sok akrab b
Pov ElmanAku menatap nanar surat undangan, yang baru saja diserahkan oleh asisten rumah tanggaku. Alhamdulillah, akhirnya Nira berjodoh dengan dokter ganteng itu. Aku turut bahagia, semoga Bagus bisa menjadi suami yang baik dan setia untuk Nira. Tidak sepertiku, lelaki tak tahu diri yang hanya bisa menyakiti. Sejak bercerai, aku dan Nira putus komunikasi, tak ada yang mengikat kami, jadi tak ada alasan untukku bicara apapun. Tapi dengan Zila, dia masih telfonan. Pernah suatu hari Zila merengek memintaku mengantar ke rumah orang tua Nira, tapi aku menolak keras. Aku sudah tak punya muka untuk bertemu mereka, rasanya nggak nyaman saja, sudah bercerai tapi masih merepotkan. Sedangkan Zila bukan darah dagingnya. Lagipula aku ingin Zila terbiasa tanpa Nira. "Ini surat undangan dari siapa, Pa?" pertanyaan Zila yang datang tiba-tiba membuatku terlonjak kaget. "Eh, anak papa bikin kaget aja."Zila mengambil undangan yang masih berada di tanganku, dilihatnya dengan seksama kertas berwarna
Pov Elman. "Resign?" Aku menatap lembar kertas yang baru saja diserahkan oleh Edwin, sekretaris pribadiku. "Ada masalah apa?" tanyaku seraya meletakkan kertas itu di atas meja. "Tidak ada masalah apa-apa, Pak. Saya hanya ingin mencari pengalaman di luar?" jawab Edwin diplomatis. "Apa gaji yang diberikan kantor kurang?" tanyaku to the point. Posisi Edwin ini cukup strategis, dia bisa mendapat promosi kenaikan jabatan karena prestasi kerjanya. Gajinya juga tidak kecil, kenapa dia tiba-tiba ingin resign? "Tidak Pak, hanya ingin ganti suasana saja," jawabnya tanpa menjelaskan secara detail alasannya mengundurkan diri. Sebenarnya aku tidak bisa menahan karyawan yang ingin berhenti kerja, tapi Edwin ini spesial. Dia bisa diandalkan, saat aku sedang bermasalah dulu, dia yang meng-handle pekerjaanku. Kalau sekarang dia resign, siapa lagi yang bisa ku andalkan? Orang baru belum tentu bisa seperti Edwin, butuh pelatihan yang memakan waktu. Dan aku merasa aneh, tidak ada tanda apa-apa tiba
"Ini mau langsung pulang, atau mau kemana dulu?" tanya Bagus sesaat setelah mobil melaju meninggalkan area parkir LPK. Aku bergeming, malas menanggapi pria nggak peka di sebelahku ini. kelakuannya itu lho, bener-bener nyebelin. Habis bikin jengkel orang kok nggak merasa bersalah sama sekali. Kayak, udah selesai ya udah, nggak usah diperpanjang lagi. Padahal sebagai perempuan aku juga pengen dirayu atau dibujuk, agar aku merasa dicintai. Lha ini? Daripada jadi penyakit karena menyimpan masalah sendiri dalam hati, maka kuputuskan untuk bicara. Percuma ngasih kode, dia nggak bakal paham. "Mas!" Sejak resmi bertunangan, aku merubah panggilan, dari hanya nama jadi ada embel-embel Mas-nya. "Ya?" jawabnya tanpa menoleh padaku, dia masih fokus nyetir. "Kamu serius sama aku nggak, sih?" Akhirnya kukeluarkan pertanyaan yang sudah lama mengganjal di hati. "Ya serius, lah. Kalau serius mana mungkin aku bawa keluargaku untuk meminangmu. Kenapa tiba-tiba tanya begitu?" Bagus masih fokus den
"Ra, jangan ngambek gitu dong ...." dokter Bagus berusaha mengejar langkahku yang tergesa-gesa. Aku makin mempercepat langkahku, bosen aku sama kelakuannya. Entah ini kali keberapa dia mengingkari janjinya padaku. Pernah suatu kali kami janji nonton berdua, aku sudah dandan cantik siap pergi. Eh dua jam aku menunggu, dia tidak nongol juga. Pernah juga janji makan malam, udah nunggu sampai ketiduran dia baru muncul, mana sudah jam sebelas lagi, mau kemana selarut itu? Bisa-bisa dikira Mbak Kunti, karena keluar tengah malam. Kalau kemarin-kemarin aku bisa menerima dan memaafkan, karena posisi di rumah. Mau ngapa-ngapain juga nyaman-nyaman aja, lha sekarang? Aku lagi ditempat kursus, dari tadi dikerubutin laler gara-gara nungguin dia, gimana nggak emosi coba?Ah ya, aku terpaksa ambil kursus akuntansi, karena calon suamiku ini memaksa agar membantu di klinik milik ayahnya itu. Maka aku harus tahu tentang pembukaan, karena aku pegang bagian keuangan. Padahal aku buta sama sekali, aku ka
Pov Author. Dita terlonjak kaget ketika pintu kamarnya terbuka, dan mendapati sosok Elman tengah berdiri menatapnya. "Mau apa kamu kesini?" ketus Dita, sakit hati yang dia rasakan masih begitu terasa, apalagi kepergian mamanya masih menyisakan duka. Dan tiba-tiba Elman muncul di kamarnya, jelas ini bukan pertanda baik. Itu yang terlintas di kepala Dita. "Aku mau menawarkan kesepakatan," jawab Elman datar, dia melangkah ke arah Dita yang tengah duduk di depan meja rias. "Jangan mendekat!" Dita mengangkat telapak tangannya ke depan, kode agar Elman menghentikan langkahnya. "Kesepakatan apalagi? Kamu belum puas melihat kehancuran keluargaku?" sinis Dita. "Bukan, bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin kita berdamai, demi anak kita." Nada suara Elman mulai melunak, tak lagi terdengar dingin dan datar. "Huh! Kamu pikir aku nggak punya hati? Seenaknya kamu sakiti, dan sekarang kamu tawarkan perdamaian? Perdamaian macam apa? Palingan kamu hanya mau memanfaatkan aku lagi, setelah mendap
Pov Author Dita lari seperti orang kesetanan, begitu keluar dari mobil. Bahkan high heels yang dipakai, dia lepas begitu saja. Tujuannya adalah kamar orang tuanya, dimana sang Mama tengah terbaring. Matanya nanar menatap pemandangan menyedihkan di depannya. Pembantu setianya tengah memegang tangan kanan Mira, dengan kepala menunduk dekat telinga, seraya menyebut asma Allah berulang-ulang. "Mama .... !" Dita menghambur ke tubuh mamanya. "Non, jangan nangis! Ayo tuntun Ibu menyebut nama Allah!" bisik Bi Arum pelan.Suasana sangat mencekam, Mira tengah berhadapan dengan malaikat maut. Bukan tangis yang dia butuhkan, tapi tuntutan agar tetap mengingat Sang Pencipta di akhir usianya. Dita mengambil alih tangan mamanya dari Bi Arum, kini dia menuntun Mira melafazkan asma Allah. Dito yang baru saja masuk tak kalah kagetnya, mendapati mamanya sudah dalam keadaan tidak sadar. Tatapan ke atas dengan nafas tersengal-sengal. Sadar Mira sedang dijemput malaikat Izrail, Dito pun melakukan ha