Share

Bab 47

Penulis: Muzdalifah Muthohar
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Jantungku berdegup kencang, tanganku basah mengeluarkan keringat dingin. Berulangkali aku menatap ke arah pintu ruang sidang, menunggu namaku dipanggil.

Ya, hari ini adalah sidang terakhir perceraianku dengan Mas Elman, dengan agenda ikrar talak. Meski ini saat yang kunantikan, tapi rasa cemas tak bisa hilang begitu saja. Jujur aku belum siap menyandang status baruku, menjadi janda bukan impianku dan aku yakin bukan impian semua mahluk bernama perempuan. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tetap harus menjalani fase ini.

"Kamu deg-degan, Ra?" Aku menoleh ke arah Mas Elman yang duduk di sampingku. Bisa kulihat jelas wajah tegangnya.

Aku hanya menghela nafas, seraya mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaannya. "Sama, aku juga deg-degan banget. Lihat nih!" Mas Elman menunjukkan kedua telapak tangannya yang basah padaku. "Saking groginya, aku sampai berkeringat dingin," lanjutnya kemudian.

Kembali hening, kami saling diam menikmati rasa campur aduk yang mendera hati masing-masing.

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Menyerah   Bab 48

    Pov ElmanZila masih menangis, ketika Nira menyerahkannya ke gendonganku. "Sudah dong, sayang. Jangan nangis terus, nanti jelek lho!" bujukku, sambil menepuk pelan punggung anak gadisku ini, berharap tangisnya reda. Aku sungguh tak sanggup melihat Zila seperti ini. Ku akui dia begitu dekat dengan Nira daripada aku, ayah kandungnya. Bisa kurasakan ikatan batin di antara keduanya, meski tak darah yang sama, yang mengalir di tubuh mereka. Nira tulus mencintai Zila. "Hu ... hu ... Zila mau Bunda pulang ke rumah," ucap Zila disela isak tangisnya. "Kan tadi Bunda sudah bilang, kalau Bunda dan papa nggak boleh tinggal satu rumah lagi," jelasku mencoba memberi pengertian pada Zila. Jangan tanya bagaimana rasanya hatiku, patah hati terberat sepanjang umurku adalah hari ini. Kehilangan istri tercinta, dan yang paling menyakitkan adalah melihat patah hati yang dialami Zila. Percayalah, mengakhiri pernikahan di meja pengadilan bukan hal yang menyenangkan. Seandainya aku diberi pilihan, aku t

  • Menyerah   Bab 48

    Pov ElmanZila masih menangis, ketika Nira menyerahkannya ke gendonganku. "Sudah dong, sayang. Jangan nangis terus, nanti jelek lho!" bujukku, sambil menepuk pelan punggung anak gadisku ini, berharap tangisnya reda. Aku sungguh tak sanggup melihat Zila seperti ini. Ku akui dia begitu dekat dengan Nira daripada aku, ayah kandungnya. Bisa kurasakan ikatan batin di antara keduanya, meski tak darah yang sama, yang mengalir di tubuh mereka. Nira tulus mencintai Zila. "Hu ... hu ... Zila mau Bunda pulang ke rumah," ucap Zila disela isak tangisnya. "Kan tadi Bunda sudah bilang, kalau Bunda dan papa nggak boleh tinggal satu rumah lagi," jelasku mencoba memberi pengertian pada Zila. Jangan tanya bagaimana rasanya hatiku, patah hati terberat sepanjang umurku adalah hari ini. Kehilangan istri tercinta, dan yang paling menyakitkan adalah melihat patah hati yang dialami Zila. Percayalah, mengakhiri pernikahan di meja pengadilan bukan hal yang menyenangkan. Seandainya aku diberi pilihan, aku t

  • Menyerah   Bab 48

    Pov ElmanZila masih menangis, ketika Nira menyerahkannya ke gendonganku. "Sudah dong, sayang. Jangan nangis terus, nanti jelek lho!" bujukku, sambil menepuk pelan punggung anak gadisku ini, berharap tangisnya reda. Aku sungguh tak sanggup melihat Zila seperti ini. Ku akui dia begitu dekat dengan Nira daripada aku, ayah kandungnya. Bisa kurasakan ikatan batin di antara keduanya, meski tak darah yang sama, yang mengalir di tubuh mereka. Nira tulus mencintai Zila. "Hu ... hu ... Zila mau Bunda pulang ke rumah," ucap Zila disela isak tangisnya. "Kan tadi Bunda sudah bilang, kalau Bunda dan papa nggak boleh tinggal satu rumah lagi," jelasku mencoba memberi pengertian pada Zila. Jangan tanya bagaimana rasanya hatiku, patah hati terberat sepanjang umurku adalah hari ini. Kehilangan istri tercinta, dan yang paling menyakitkan adalah melihat patah hati yang dialami Zila. Percayalah, mengakhiri pernikahan di meja pengadilan bukan hal yang menyenangkan. Seandainya aku diberi pilihan, aku t

  • Menyerah   Bab 49

    Pov AuthorElman menjabat tangan penghulu, seraya mengucap ijab dengan lantang tanpa kendala. Ini pernikahan ketiganya, tentu saja dia sudah hafal di luar kepala ikrar suci yang harus dia ucap. Sesuai janjinya, Elman menikahi Dita segera setelah surat merah keluar. Digelar di KUA, tanpa pesta tanpa makan-makan, akad nikah antara Elman dan Nira dilaksanakan. Hanya dihadiri Dito dari pihak Dita, Hardiono berhalangan hadir, karena kondisi kesehatan yang terus menurun akibat permasalahan yang mendera keluarganya. Sementara dari pihak mempelai pria, Edwin yang Elman hadirkan sebagai pengganti keluarganya. Meski masih ada hubungan saudara dengan Dita, toh keluarga besar Elman tak pernah suka dengan Dita.Air mata Dita menitik, usai Elman mengucap ijab. Hatinya lega luar biasa. Ini memang bukan pernikahan impian, tapi bagi Dita ini sudah lebih dari cukup. Impiannya untuk memberi status jelas pada anaknya terkabul sudah. Dita mencium punggung tangan Elman dengan takzim, yang kemudian diba

  • Menyerah   Bab 50

    Pov Author Dita lari seperti orang kesetanan, begitu keluar dari mobil. Bahkan high heels yang dipakai, dia lepas begitu saja. Tujuannya adalah kamar orang tuanya, dimana sang Mama tengah terbaring. Matanya nanar menatap pemandangan menyedihkan di depannya. Pembantu setianya tengah memegang tangan kanan Mira, dengan kepala menunduk dekat telinga, seraya menyebut asma Allah berulang-ulang. "Mama .... !" Dita menghambur ke tubuh mamanya. "Non, jangan nangis! Ayo tuntun Ibu menyebut nama Allah!" bisik Bi Arum pelan.Suasana sangat mencekam, Mira tengah berhadapan dengan malaikat maut. Bukan tangis yang dia butuhkan, tapi tuntutan agar tetap mengingat Sang Pencipta di akhir usianya. Dita mengambil alih tangan mamanya dari Bi Arum, kini dia menuntun Mira melafazkan asma Allah. Dito yang baru saja masuk tak kalah kagetnya, mendapati mamanya sudah dalam keadaan tidak sadar. Tatapan ke atas dengan nafas tersengal-sengal. Sadar Mira sedang dijemput malaikat Izrail, Dito pun melakukan ha

  • Menyerah   Bab 51

    Pov Author. Dita terlonjak kaget ketika pintu kamarnya terbuka, dan mendapati sosok Elman tengah berdiri menatapnya. "Mau apa kamu kesini?" ketus Dita, sakit hati yang dia rasakan masih begitu terasa, apalagi kepergian mamanya masih menyisakan duka. Dan tiba-tiba Elman muncul di kamarnya, jelas ini bukan pertanda baik. Itu yang terlintas di kepala Dita. "Aku mau menawarkan kesepakatan," jawab Elman datar, dia melangkah ke arah Dita yang tengah duduk di depan meja rias. "Jangan mendekat!" Dita mengangkat telapak tangannya ke depan, kode agar Elman menghentikan langkahnya. "Kesepakatan apalagi? Kamu belum puas melihat kehancuran keluargaku?" sinis Dita. "Bukan, bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin kita berdamai, demi anak kita." Nada suara Elman mulai melunak, tak lagi terdengar dingin dan datar. "Huh! Kamu pikir aku nggak punya hati? Seenaknya kamu sakiti, dan sekarang kamu tawarkan perdamaian? Perdamaian macam apa? Palingan kamu hanya mau memanfaatkan aku lagi, setelah mendap

  • Menyerah   Bab 52

    "Ra, jangan ngambek gitu dong ...." dokter Bagus berusaha mengejar langkahku yang tergesa-gesa. Aku makin mempercepat langkahku, bosen aku sama kelakuannya. Entah ini kali keberapa dia mengingkari janjinya padaku. Pernah suatu kali kami janji nonton berdua, aku sudah dandan cantik siap pergi. Eh dua jam aku menunggu, dia tidak nongol juga. Pernah juga janji makan malam, udah nunggu sampai ketiduran dia baru muncul, mana sudah jam sebelas lagi, mau kemana selarut itu? Bisa-bisa dikira Mbak Kunti, karena keluar tengah malam. Kalau kemarin-kemarin aku bisa menerima dan memaafkan, karena posisi di rumah. Mau ngapa-ngapain juga nyaman-nyaman aja, lha sekarang? Aku lagi ditempat kursus, dari tadi dikerubutin laler gara-gara nungguin dia, gimana nggak emosi coba?Ah ya, aku terpaksa ambil kursus akuntansi, karena calon suamiku ini memaksa agar membantu di klinik milik ayahnya itu. Maka aku harus tahu tentang pembukaan, karena aku pegang bagian keuangan. Padahal aku buta sama sekali, aku ka

  • Menyerah   Bab 53

    "Ini mau langsung pulang, atau mau kemana dulu?" tanya Bagus sesaat setelah mobil melaju meninggalkan area parkir LPK. Aku bergeming, malas menanggapi pria nggak peka di sebelahku ini. kelakuannya itu lho, bener-bener nyebelin. Habis bikin jengkel orang kok nggak merasa bersalah sama sekali. Kayak, udah selesai ya udah, nggak usah diperpanjang lagi. Padahal sebagai perempuan aku juga pengen dirayu atau dibujuk, agar aku merasa dicintai. Lha ini? Daripada jadi penyakit karena menyimpan masalah sendiri dalam hati, maka kuputuskan untuk bicara. Percuma ngasih kode, dia nggak bakal paham. "Mas!" Sejak resmi bertunangan, aku merubah panggilan, dari hanya nama jadi ada embel-embel Mas-nya. "Ya?" jawabnya tanpa menoleh padaku, dia masih fokus nyetir. "Kamu serius sama aku nggak, sih?" Akhirnya kukeluarkan pertanyaan yang sudah lama mengganjal di hati. "Ya serius, lah. Kalau serius mana mungkin aku bawa keluargaku untuk meminangmu. Kenapa tiba-tiba tanya begitu?" Bagus masih fokus den

Bab terbaru

  • Menyerah   Bab 58

    Pov Elman. 15 tahun kemudian. "Pa, Zila berangkat kuliah dulu ya." Zila mencium takzim punggung tanganku, kemudian berlalu, meninggalkanku sendiri di atas kursi roda ini. Kutatap punggung anak gadisku hingga menghilang di balik pintu. Tak terasa lima belas tahun berlalu, gadis kecil yang dulu rambutnya selalu dikepang dua itu, kini telah dewasa. Dia tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan mandiri, pantang menyerah dan lebih dewasa dari umurnya. Dialah yang selama ini menjadi penyemangatku, menjadi penghiburku dan menjadi sumber kebahagiaanku. Entah apa yang terjadi, andai tak ada Zila? Zila juga yang memaksaku bangkit, dari keterpurukan. Memaksaku menghadapi kenyataan, bahwa hidup bukan hanya untuk diratapi tapi dijalani. "Papa nggak kasihan Zila? Kalau Papa gini terus, nanti sekolah Zila gimana?" ucap Zila yang kala itu baru berusia delapan tahun. Tepatnya tiga tahun pasca tragedi kecelakaan, yang merenggut semua mimpi dan harapankan. Saat itu adalah titik terendah dalam hidupku,

  • Menyerah   Bab 57

    Aku buru-buru lari ke IGD begitu selesai bicara dengan petugas rumah sakit, sementara Mas Bagus mengurus administrasi, bertindak sebagai wakil keluarga. Mas Elman hanya punya saudara satu ayah, itupun tinggal di Kalimantan sana. Sementara keluarga yang di sini hanya sepupu jauh, dan hubungan mereka tidak terlalu dekat. Apalagi ini sudah malam, kalau menunggu mereka datang akan kelamaan. Terpaksalah aku dan Mas Bagus yang mengurus semuanya. "Bundaa .... !" Zila langsung menghambur ke pelukanku begitu aku berada di dekatnya. "Zila takut, hu .... " Tangisnya kembali pecah, begitu kusandarkan kepalanya di sela leherku. "Cup, cup, nggak pa-pa sayang, ada Bunda di sini," ucapku sambil mengelus lembut punggungnya. Malam ini seharusnya menjadi malam pertamaku dengan Mas Bagus, tapi kabar dari rumah sakit yang menyampaikan kalau mobil yang ditumpangi Mas Elman mengalahkan kecelakaan, membuat kami menunda malam indah kami. Aku dan Mas Bagus yang baru selesai bersih-bersih badan, akhirnya la

  • Menyerah   Bab 56

    Pov Elman"Hai ....!" pekik kedua perempuan itu lalu saling cium pipi kanan kiri, kemudian berpelukan. Padahal selama saling mengenal, Dita dan Nira tidak pernah akur. Jangankan berpelukan, bicara saja seperlunya. Kenapa sekarang mereka seperti dua orang sahabat yang sudah lama tidak bertemu? "Ya Allah .... Kamu cantik banget, Ra. Selamat ya, semoga kalian berbahagia sampai kakek nenek," ucap Dita masih memeluk tubuh ramping Nira. "Makasih, Mbak. Mbak Dita juga cantik banget, aura bumil memang beda," Nira membalas pujian Dita. Basa-basi yang membosankan, saling puji padahal aslinya ingin memuji diri sendiri. Dasar perempuan. "Masa sih? Kamu bisa aja." Tuh kan? Pada dasarnya perempuan memang gila pujian. "Terimakasih lho, Mbak Dita mau datang kesini. Padahal jauh, mana lagi hamil lagi. Berapa bulan ini, Mbak?" Nira mengelus lembut perut buncit Dita. "Tujuh bulan, Ra. Kamu cepet isi ya?""Iya, Mbak. Langsung gas pokoknya." Aku tersenyum kecut mendengar kelakar Nira. Sok akrab b

  • Menyerah   Bab 55

    Pov ElmanAku menatap nanar surat undangan, yang baru saja diserahkan oleh asisten rumah tanggaku. Alhamdulillah, akhirnya Nira berjodoh dengan dokter ganteng itu. Aku turut bahagia, semoga Bagus bisa menjadi suami yang baik dan setia untuk Nira. Tidak sepertiku, lelaki tak tahu diri yang hanya bisa menyakiti. Sejak bercerai, aku dan Nira putus komunikasi, tak ada yang mengikat kami, jadi tak ada alasan untukku bicara apapun. Tapi dengan Zila, dia masih telfonan. Pernah suatu hari Zila merengek memintaku mengantar ke rumah orang tua Nira, tapi aku menolak keras. Aku sudah tak punya muka untuk bertemu mereka, rasanya nggak nyaman saja, sudah bercerai tapi masih merepotkan. Sedangkan Zila bukan darah dagingnya. Lagipula aku ingin Zila terbiasa tanpa Nira. "Ini surat undangan dari siapa, Pa?" pertanyaan Zila yang datang tiba-tiba membuatku terlonjak kaget. "Eh, anak papa bikin kaget aja."Zila mengambil undangan yang masih berada di tanganku, dilihatnya dengan seksama kertas berwarna

  • Menyerah   Bab 54

    Pov Elman. "Resign?" Aku menatap lembar kertas yang baru saja diserahkan oleh Edwin, sekretaris pribadiku. "Ada masalah apa?" tanyaku seraya meletakkan kertas itu di atas meja. "Tidak ada masalah apa-apa, Pak. Saya hanya ingin mencari pengalaman di luar?" jawab Edwin diplomatis. "Apa gaji yang diberikan kantor kurang?" tanyaku to the point. Posisi Edwin ini cukup strategis, dia bisa mendapat promosi kenaikan jabatan karena prestasi kerjanya. Gajinya juga tidak kecil, kenapa dia tiba-tiba ingin resign? "Tidak Pak, hanya ingin ganti suasana saja," jawabnya tanpa menjelaskan secara detail alasannya mengundurkan diri. Sebenarnya aku tidak bisa menahan karyawan yang ingin berhenti kerja, tapi Edwin ini spesial. Dia bisa diandalkan, saat aku sedang bermasalah dulu, dia yang meng-handle pekerjaanku. Kalau sekarang dia resign, siapa lagi yang bisa ku andalkan? Orang baru belum tentu bisa seperti Edwin, butuh pelatihan yang memakan waktu. Dan aku merasa aneh, tidak ada tanda apa-apa tiba

  • Menyerah   Bab 53

    "Ini mau langsung pulang, atau mau kemana dulu?" tanya Bagus sesaat setelah mobil melaju meninggalkan area parkir LPK. Aku bergeming, malas menanggapi pria nggak peka di sebelahku ini. kelakuannya itu lho, bener-bener nyebelin. Habis bikin jengkel orang kok nggak merasa bersalah sama sekali. Kayak, udah selesai ya udah, nggak usah diperpanjang lagi. Padahal sebagai perempuan aku juga pengen dirayu atau dibujuk, agar aku merasa dicintai. Lha ini? Daripada jadi penyakit karena menyimpan masalah sendiri dalam hati, maka kuputuskan untuk bicara. Percuma ngasih kode, dia nggak bakal paham. "Mas!" Sejak resmi bertunangan, aku merubah panggilan, dari hanya nama jadi ada embel-embel Mas-nya. "Ya?" jawabnya tanpa menoleh padaku, dia masih fokus nyetir. "Kamu serius sama aku nggak, sih?" Akhirnya kukeluarkan pertanyaan yang sudah lama mengganjal di hati. "Ya serius, lah. Kalau serius mana mungkin aku bawa keluargaku untuk meminangmu. Kenapa tiba-tiba tanya begitu?" Bagus masih fokus den

  • Menyerah   Bab 52

    "Ra, jangan ngambek gitu dong ...." dokter Bagus berusaha mengejar langkahku yang tergesa-gesa. Aku makin mempercepat langkahku, bosen aku sama kelakuannya. Entah ini kali keberapa dia mengingkari janjinya padaku. Pernah suatu kali kami janji nonton berdua, aku sudah dandan cantik siap pergi. Eh dua jam aku menunggu, dia tidak nongol juga. Pernah juga janji makan malam, udah nunggu sampai ketiduran dia baru muncul, mana sudah jam sebelas lagi, mau kemana selarut itu? Bisa-bisa dikira Mbak Kunti, karena keluar tengah malam. Kalau kemarin-kemarin aku bisa menerima dan memaafkan, karena posisi di rumah. Mau ngapa-ngapain juga nyaman-nyaman aja, lha sekarang? Aku lagi ditempat kursus, dari tadi dikerubutin laler gara-gara nungguin dia, gimana nggak emosi coba?Ah ya, aku terpaksa ambil kursus akuntansi, karena calon suamiku ini memaksa agar membantu di klinik milik ayahnya itu. Maka aku harus tahu tentang pembukaan, karena aku pegang bagian keuangan. Padahal aku buta sama sekali, aku ka

  • Menyerah   Bab 51

    Pov Author. Dita terlonjak kaget ketika pintu kamarnya terbuka, dan mendapati sosok Elman tengah berdiri menatapnya. "Mau apa kamu kesini?" ketus Dita, sakit hati yang dia rasakan masih begitu terasa, apalagi kepergian mamanya masih menyisakan duka. Dan tiba-tiba Elman muncul di kamarnya, jelas ini bukan pertanda baik. Itu yang terlintas di kepala Dita. "Aku mau menawarkan kesepakatan," jawab Elman datar, dia melangkah ke arah Dita yang tengah duduk di depan meja rias. "Jangan mendekat!" Dita mengangkat telapak tangannya ke depan, kode agar Elman menghentikan langkahnya. "Kesepakatan apalagi? Kamu belum puas melihat kehancuran keluargaku?" sinis Dita. "Bukan, bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin kita berdamai, demi anak kita." Nada suara Elman mulai melunak, tak lagi terdengar dingin dan datar. "Huh! Kamu pikir aku nggak punya hati? Seenaknya kamu sakiti, dan sekarang kamu tawarkan perdamaian? Perdamaian macam apa? Palingan kamu hanya mau memanfaatkan aku lagi, setelah mendap

  • Menyerah   Bab 50

    Pov Author Dita lari seperti orang kesetanan, begitu keluar dari mobil. Bahkan high heels yang dipakai, dia lepas begitu saja. Tujuannya adalah kamar orang tuanya, dimana sang Mama tengah terbaring. Matanya nanar menatap pemandangan menyedihkan di depannya. Pembantu setianya tengah memegang tangan kanan Mira, dengan kepala menunduk dekat telinga, seraya menyebut asma Allah berulang-ulang. "Mama .... !" Dita menghambur ke tubuh mamanya. "Non, jangan nangis! Ayo tuntun Ibu menyebut nama Allah!" bisik Bi Arum pelan.Suasana sangat mencekam, Mira tengah berhadapan dengan malaikat maut. Bukan tangis yang dia butuhkan, tapi tuntutan agar tetap mengingat Sang Pencipta di akhir usianya. Dita mengambil alih tangan mamanya dari Bi Arum, kini dia menuntun Mira melafazkan asma Allah. Dito yang baru saja masuk tak kalah kagetnya, mendapati mamanya sudah dalam keadaan tidak sadar. Tatapan ke atas dengan nafas tersengal-sengal. Sadar Mira sedang dijemput malaikat Izrail, Dito pun melakukan ha

DMCA.com Protection Status