Pov ElmanZila masih menangis, ketika Nira menyerahkannya ke gendonganku. "Sudah dong, sayang. Jangan nangis terus, nanti jelek lho!" bujukku, sambil menepuk pelan punggung anak gadisku ini, berharap tangisnya reda. Aku sungguh tak sanggup melihat Zila seperti ini. Ku akui dia begitu dekat dengan Nira daripada aku, ayah kandungnya. Bisa kurasakan ikatan batin di antara keduanya, meski tak darah yang sama, yang mengalir di tubuh mereka. Nira tulus mencintai Zila. "Hu ... hu ... Zila mau Bunda pulang ke rumah," ucap Zila disela isak tangisnya. "Kan tadi Bunda sudah bilang, kalau Bunda dan papa nggak boleh tinggal satu rumah lagi," jelasku mencoba memberi pengertian pada Zila. Jangan tanya bagaimana rasanya hatiku, patah hati terberat sepanjang umurku adalah hari ini. Kehilangan istri tercinta, dan yang paling menyakitkan adalah melihat patah hati yang dialami Zila. Percayalah, mengakhiri pernikahan di meja pengadilan bukan hal yang menyenangkan. Seandainya aku diberi pilihan, aku t
Pov ElmanZila masih menangis, ketika Nira menyerahkannya ke gendonganku. "Sudah dong, sayang. Jangan nangis terus, nanti jelek lho!" bujukku, sambil menepuk pelan punggung anak gadisku ini, berharap tangisnya reda. Aku sungguh tak sanggup melihat Zila seperti ini. Ku akui dia begitu dekat dengan Nira daripada aku, ayah kandungnya. Bisa kurasakan ikatan batin di antara keduanya, meski tak darah yang sama, yang mengalir di tubuh mereka. Nira tulus mencintai Zila. "Hu ... hu ... Zila mau Bunda pulang ke rumah," ucap Zila disela isak tangisnya. "Kan tadi Bunda sudah bilang, kalau Bunda dan papa nggak boleh tinggal satu rumah lagi," jelasku mencoba memberi pengertian pada Zila. Jangan tanya bagaimana rasanya hatiku, patah hati terberat sepanjang umurku adalah hari ini. Kehilangan istri tercinta, dan yang paling menyakitkan adalah melihat patah hati yang dialami Zila. Percayalah, mengakhiri pernikahan di meja pengadilan bukan hal yang menyenangkan. Seandainya aku diberi pilihan, aku t
Pov ElmanZila masih menangis, ketika Nira menyerahkannya ke gendonganku. "Sudah dong, sayang. Jangan nangis terus, nanti jelek lho!" bujukku, sambil menepuk pelan punggung anak gadisku ini, berharap tangisnya reda. Aku sungguh tak sanggup melihat Zila seperti ini. Ku akui dia begitu dekat dengan Nira daripada aku, ayah kandungnya. Bisa kurasakan ikatan batin di antara keduanya, meski tak darah yang sama, yang mengalir di tubuh mereka. Nira tulus mencintai Zila. "Hu ... hu ... Zila mau Bunda pulang ke rumah," ucap Zila disela isak tangisnya. "Kan tadi Bunda sudah bilang, kalau Bunda dan papa nggak boleh tinggal satu rumah lagi," jelasku mencoba memberi pengertian pada Zila. Jangan tanya bagaimana rasanya hatiku, patah hati terberat sepanjang umurku adalah hari ini. Kehilangan istri tercinta, dan yang paling menyakitkan adalah melihat patah hati yang dialami Zila. Percayalah, mengakhiri pernikahan di meja pengadilan bukan hal yang menyenangkan. Seandainya aku diberi pilihan, aku t
Pov AuthorElman menjabat tangan penghulu, seraya mengucap ijab dengan lantang tanpa kendala. Ini pernikahan ketiganya, tentu saja dia sudah hafal di luar kepala ikrar suci yang harus dia ucap. Sesuai janjinya, Elman menikahi Dita segera setelah surat merah keluar. Digelar di KUA, tanpa pesta tanpa makan-makan, akad nikah antara Elman dan Nira dilaksanakan. Hanya dihadiri Dito dari pihak Dita, Hardiono berhalangan hadir, karena kondisi kesehatan yang terus menurun akibat permasalahan yang mendera keluarganya. Sementara dari pihak mempelai pria, Edwin yang Elman hadirkan sebagai pengganti keluarganya. Meski masih ada hubungan saudara dengan Dita, toh keluarga besar Elman tak pernah suka dengan Dita.Air mata Dita menitik, usai Elman mengucap ijab. Hatinya lega luar biasa. Ini memang bukan pernikahan impian, tapi bagi Dita ini sudah lebih dari cukup. Impiannya untuk memberi status jelas pada anaknya terkabul sudah. Dita mencium punggung tangan Elman dengan takzim, yang kemudian diba
Pov Author Dita lari seperti orang kesetanan, begitu keluar dari mobil. Bahkan high heels yang dipakai, dia lepas begitu saja. Tujuannya adalah kamar orang tuanya, dimana sang Mama tengah terbaring. Matanya nanar menatap pemandangan menyedihkan di depannya. Pembantu setianya tengah memegang tangan kanan Mira, dengan kepala menunduk dekat telinga, seraya menyebut asma Allah berulang-ulang. "Mama .... !" Dita menghambur ke tubuh mamanya. "Non, jangan nangis! Ayo tuntun Ibu menyebut nama Allah!" bisik Bi Arum pelan.Suasana sangat mencekam, Mira tengah berhadapan dengan malaikat maut. Bukan tangis yang dia butuhkan, tapi tuntutan agar tetap mengingat Sang Pencipta di akhir usianya. Dita mengambil alih tangan mamanya dari Bi Arum, kini dia menuntun Mira melafazkan asma Allah. Dito yang baru saja masuk tak kalah kagetnya, mendapati mamanya sudah dalam keadaan tidak sadar. Tatapan ke atas dengan nafas tersengal-sengal. Sadar Mira sedang dijemput malaikat Izrail, Dito pun melakukan ha
Pov Author. Dita terlonjak kaget ketika pintu kamarnya terbuka, dan mendapati sosok Elman tengah berdiri menatapnya. "Mau apa kamu kesini?" ketus Dita, sakit hati yang dia rasakan masih begitu terasa, apalagi kepergian mamanya masih menyisakan duka. Dan tiba-tiba Elman muncul di kamarnya, jelas ini bukan pertanda baik. Itu yang terlintas di kepala Dita. "Aku mau menawarkan kesepakatan," jawab Elman datar, dia melangkah ke arah Dita yang tengah duduk di depan meja rias. "Jangan mendekat!" Dita mengangkat telapak tangannya ke depan, kode agar Elman menghentikan langkahnya. "Kesepakatan apalagi? Kamu belum puas melihat kehancuran keluargaku?" sinis Dita. "Bukan, bukan begitu maksudku. Aku hanya ingin kita berdamai, demi anak kita." Nada suara Elman mulai melunak, tak lagi terdengar dingin dan datar. "Huh! Kamu pikir aku nggak punya hati? Seenaknya kamu sakiti, dan sekarang kamu tawarkan perdamaian? Perdamaian macam apa? Palingan kamu hanya mau memanfaatkan aku lagi, setelah mendap
"Ra, jangan ngambek gitu dong ...." dokter Bagus berusaha mengejar langkahku yang tergesa-gesa. Aku makin mempercepat langkahku, bosen aku sama kelakuannya. Entah ini kali keberapa dia mengingkari janjinya padaku. Pernah suatu kali kami janji nonton berdua, aku sudah dandan cantik siap pergi. Eh dua jam aku menunggu, dia tidak nongol juga. Pernah juga janji makan malam, udah nunggu sampai ketiduran dia baru muncul, mana sudah jam sebelas lagi, mau kemana selarut itu? Bisa-bisa dikira Mbak Kunti, karena keluar tengah malam. Kalau kemarin-kemarin aku bisa menerima dan memaafkan, karena posisi di rumah. Mau ngapa-ngapain juga nyaman-nyaman aja, lha sekarang? Aku lagi ditempat kursus, dari tadi dikerubutin laler gara-gara nungguin dia, gimana nggak emosi coba?Ah ya, aku terpaksa ambil kursus akuntansi, karena calon suamiku ini memaksa agar membantu di klinik milik ayahnya itu. Maka aku harus tahu tentang pembukaan, karena aku pegang bagian keuangan. Padahal aku buta sama sekali, aku ka
"Ini mau langsung pulang, atau mau kemana dulu?" tanya Bagus sesaat setelah mobil melaju meninggalkan area parkir LPK. Aku bergeming, malas menanggapi pria nggak peka di sebelahku ini. kelakuannya itu lho, bener-bener nyebelin. Habis bikin jengkel orang kok nggak merasa bersalah sama sekali. Kayak, udah selesai ya udah, nggak usah diperpanjang lagi. Padahal sebagai perempuan aku juga pengen dirayu atau dibujuk, agar aku merasa dicintai. Lha ini? Daripada jadi penyakit karena menyimpan masalah sendiri dalam hati, maka kuputuskan untuk bicara. Percuma ngasih kode, dia nggak bakal paham. "Mas!" Sejak resmi bertunangan, aku merubah panggilan, dari hanya nama jadi ada embel-embel Mas-nya. "Ya?" jawabnya tanpa menoleh padaku, dia masih fokus nyetir. "Kamu serius sama aku nggak, sih?" Akhirnya kukeluarkan pertanyaan yang sudah lama mengganjal di hati. "Ya serius, lah. Kalau serius mana mungkin aku bawa keluargaku untuk meminangmu. Kenapa tiba-tiba tanya begitu?" Bagus masih fokus den