Untuk menghindari perhatian, kedua anak itu sepakat untuk bertemu di dalam mobil Harry. Ini adalah pertama kalinya mereka bisa saling melihat satu sama lain dengan jelas dari jarak dekat. Hal itu membuat keduanya merasa sedikit bersemangat.Harry langsung memeluk Daniel, lalu berucap, "Kak, akhirnya kita bisa bertemu!"Daniel merasakan hangatnya pelukan Harry. Ekspresinya yang dingin pun perlahan melunak. Dia mendongak untuk membalas pelukan adiknya."Kak, kenapa kamu bisa sama Papa Jahat? Aku dan Mama dulu selalu berpikir .... Kami selalu berpikir ...." Harry berhenti sejenak dan matanya mulai memerah.Daniel melepaskan pelukannya dan menatap Harry, lalu bertanya, "Berpikir apa?"Harry membalas, "Kami pikir kamu sudah nggak ada, tapi ternyata kamu masih hidup. Kalau Mama tahu, dia pasti akan sangat senang."Mata Daniel mulai berbinar-binar. Dia bertanya, "Benarkah? Kalau Mama tahu aku masih ada, dia benar-benar akan merasa senang?"Harry mengangguk dengan penuh semangat ketika merespo
Ketika Andy dan yang lainnya menemukan Harry, dia sedang duduk di bawah lampu jalan dengan sebatang rumput di mulutnya. Harry menopang wajah kecilnya, seolah-olah memang sedang menunggu mereka datang."Daniel," panggil Andy yang terengah-engah. Bersama para pengawalnya, dia berlari menghampiri Harry, lalu bertanya, "Daniel, kenapa kamu di sini? Kami sangat khawatir. Ayo, kita segera pulang."Harry berdiri dan menatap Andy. Dia tahu bahwa pria ini adalah asisten Jeremy. Harry menjelaskan, "Paman Andy, aku nggak pergi jauh kok. Aku menunggu kalian di sini dari tadi. Tapi kalian lambat sekali. Begitu aku menoleh, kalian sudah hilang."Dua pengawal yang bertugas melindungi Daniel, menunduk dan merasa bersalah saat berdiri di belakang Andy.Andy pun menghela napas dan berjongkok di depan Harry dengan wajah tegang. Dia memberi tahu, "Daniel, Bos sangat marah karena kamu pergi tanpa izin hari ini. Kita sebaiknya cepat pulang.""Kalau Papa Jahat ... Papa marah, sangat menakutkan?" tanya Harry
Jeremy bertanya sambil mengernyit, "Membelikan aku kue?"Harry mengangguk, lalu meletakkan kue di sofa dan mulai naik ke sofa sendiri. Sofanya agak tinggi. Berhubung belakangan dia makan terlalu banyak, naiknya menjadi agak susah.Jeremy memperhatikan Harry yang menggunakan tangan dan kakinya untuk naik ke sofa. Pemandangan itu terlihat lucu dan menggemaskan."Tentu saja, ini kejutan buat Papa," ucap Harry dengan bangga.Jeremy bertanya, "Kamu kabur dari pengawal cuma untuk beli ini?"Harry tertegun sebentar, lalu cepat-cepat mengangguk dengan tegas. Dia menjelaskan, "Ya, benar! Aku sengaja beli ini buat Papa biar Papa nggak tahu dulu. Namanya juga kejutan!"Sambil berkata begitu, Harry langsung membuka kue dan mengambil sesendok besar. Kemudian, dia menyodorkannya ke mulut Jeremy sambil berucap, "Ayo, Pa. Coba dulu. Rasanya manis dan enak!"Jeremy mengangkat alis. Aura dingin di wajahnya perlahan-lahan menghilang. Dia menolak dengan lembut, "Aku nggak makan yang manis-manis ...."Namu
Eleanor mengelus kepala anaknya, lalu memberi tahu, "Mama nggak marah kok. Mama senang Harry bisa datang. Tenang saja, Mama pasti akan melindungimu."Daniel mengangguk dengan semangat ketika menimpali, "Aku juga akan melindungi Mama."Tatapan Eleanor terlihat lembut. Dia bertanya sambil tersenyum puas. "Harry sudah makan?"Daniel menggeleng, lalu menjawab, "Belum."Berhubung sibuk kabur dari pengawal dan merencanakan sesuatu dengan Harry, dia sampai lupa makan."Kalau begitu, Mama buatkan mi kesukaanmu ya," ucap Eleanor.Daniel mengangguk berulang kali, lalu berucap, "Ma, aku mau bantu."Eleanor memberi tahu, "Oke. Oh ya Harry, kita akan tinggal di sini untuk waktu yang lama. Jadi, besok Mama akan ajak kamu pilih sekolah."Daniel kembali mengangguk dengan patuh, lalu membalas, "Oke, aku nurut saja."Melihat anaknya yang sangat nurut, Eleanor merasa ada yang aneh. Sebelumnya, Harry memang anak yang baik, tapi hari ini sikapnya lebih manis dari biasanya. Dia terus menempel padanya, bahka
Jadi, perintah Daniel memang tidak bisa mereka abaikan. Seorang pembantu bertanya pada pembantu yang paling berpengalaman di antara mereka, "Haruskah kita cabut?"Orang itu menjawab, "Cabut saja. Kita cuma mengikuti perintah Tuan Daniel. Kalau sampai Tuan Jeremy marah, itu bukan salah kita." Mendengar itu, para pembantu langsung mulai mencabut bunga-bunga di taman.Yoana tahu bahwa Jeremy masih marah padanya. Hanya saja dia khawatir jika masalah ini dibiarkan, hubungan mereka akan menjadi makin renggang.Itu sebabnya, pagi-pagi sekali Yoana datang ke rumah Keluarga Adrian untuk menemui Jeremy. Baru saja masuk ke halaman depan, dia langsung menjerit."Berhenti! Semuanya, berhenti! Kalian lagi apa?" tanya Yoana. Melihat bunga-bunganya yang hampir habis dicabut, dia terpaku di tempat.Para pembantu yang masih memegang bunga mawar yang sudah dicabut, bingung ketika melihat Yoana. Salah satu pembantu membalas, "Nona Yoana ... ini ...."Yoana sangat marah hingga tubuhnya gemetar. Dia pun ber
Harry menggertakkan giginya. Dari caranya yang sangat terlatih, dia bisa memastikan bahwa wanita jahat ini pasti sering mencubit kakaknya seperti itu.Harry melirik ke arah para pembantu di sekitarnya. Beberapa tidak memperhatikan dan sibuk dengan pekerjaan masing-masing, sementara yang lain jelas melihat tetapi sengaja menunduk. Mereka berpura-pura tidak tahu.Dari sini, Harry yakin bahwa sebagian pembantu di rumah ini telah disogok oleh Yoana. Dia juga percaya bahwa Daniel pasti sudah pernah melaporkan perlakuan buruk wanita ini pada Jeremy, tetapi ayah mereka tidak percaya. Itu sebabnya, wanita jahat ini bisa bertindak sesuka hati.Melihat anak ini diam saja, Yoana merasa puas. Dia yakin sudah berhasil menakuti bocah itu lagi. Beraninya Daniel berusaha melawannya?Bahkan Eleanor saja bisa Yoana injak-injak, apalagi anak ini. Yoana percaya bahwa dia bisa menekan mereka berdua selamanya."Sudah sadar harus patuh, 'kan?" tanya Yoana dengan nada penuh ancaman.Harry berpura-pura menyera
"Kalau begitu, peluk aku dong," ucap Vivi sambil membuka kedua lengannya lebar-lebar.Daniel melirik Eleanor sambil bertanya dengan matanya. Dia tidak terlalu terbiasa berinteraksi dengan orang lain.Namun mengingat sifat hangat Harry, Daniel merasa harus berpura-pura agar tidak ketahuan. Akhirnya, dia mendekat dan memeluk Vivi sebentar.Vivi terlihat sangat gembira sampai-sampai tidak bisa berhenti tersenyum. Dia bertanya, "Oh ya. Eleanor, sudah ketemu sekolah buat Harry?"Eleanor menjawab seraya mengangguk, "Sudah. Lusa, dia bisa mulai sekolah.""Bagus. Kamu pasti sibuk sama pekerjaan nanti. Gimana kalau kita bergantian untuk jemput Harry?" usul Vivi.Eleanor sudah mempertimbangkan masalah antar jemput. Usulan Vivi memang bagus, tetapi Eleanor tidak ingin terus merepotkannya.Eleanor menolak, "Kamu adalah CEO perusahaan, pasti lebih sibuk daripada aku. Aku berencana mencari pengasuh untuk mengantar jemput Harry. Kurasa, lebih praktis begitu."Vivi pun mengangguk, lalu berucap, "Biar
"Suruh Daniel turun." Suara Jeremy terdengar berat. Di sisi lain, Yoana dan Rina saling bertukar senyum secara diam-diam.Yoana berjalan mendekati Jeremy, lalu menghela napas panjang sebelum berujar, "Sudahlah, Remy. Aku nggak marah sama Daniel. Dia itu masih anak-anak, wajar kalau belum mengerti. Nanti kalau dia turun, jangan marahi dia ya. Bicaralah baik-baik."Di sudut tangga, Harry yang bergerak santai memperhatikan Yoana mulai berakting. Dia tentu tidak bisa kalah dalam hal ini.Dengan langkah lambat, Harry mendekati Jeremy. Dia melirik sekilas ke arah Yoana, lalu langsung bersembunyi di belakang Jeremy dengan ekspresi ketakutan, tanpa menunggu reaksi orang lain.Pakaian yang dikenakan anak itu sangat tipis. Ditambah sikapnya yang terlihat gemetar, Harry terlihat sangat lemah dan menyedihkan.Yoana memicingkan mata. Dia memikirkan trik apa lagi yang ingin dimainkan anak ini. Jeremy berucap dengan serius, "Daniel, ke sini!"Harry mendongak dengan hati-hati dan melirik Jeremy yang s