"Kamu mau mengabaikanku sampai kapan?" tanya Jeremy sambil mencengkeram pergelangan tangan Eleanor.Eleanor menoleh. "Bukannya aku mengabaikanmu, tapi memang nggak ada yang bisa kita bicarakan."Eleanor memang tidak tahu apa yang harus dikatakannya kepada Jeremy lagi."Kamu nggak tahu harus bicara apa denganku, tapi bisa bercanda sama Charlie? Kalian bahkan berpelukan tadi," sindir Jeremy.Jeremy sudah lama tidak melihat senyuman Eleanor yang begitu natural. Sejak pulang dari luar negeri, Eleanor selalu bersikap dingin kepadanya.Eleanor menatap Jeremy. "Ya, aku memang suka ngobrol dengannya. Kenapa memangnya kalau kami berpelukan? Bahkan kalau kami berciuman, itu nggak ada urusannya denganmu."Ucapan Eleanor ini sama saja dengan menyiram bensin ke api. Seketika, amarah Jeremy memuncak."Bagus, bagus sekali." Jeremy tiba-tiba membungkuk dan menggendong Eleanor.Eleanor pun terperanjat karena tiba-tiba kehilangan keseimbangan. Secara refleks, dia memeluk leher Jeremy."Jeremy, apa yang
Sambil mencium Eleanor, Jeremy terus terbayang akan adegan berpelukan tadi serta senyuman cerah Eleanor. Sungguh menusuk mata!Mata Jeremy memerah. Dia melepaskan Eleanor, lalu mendapatkan dua tamparan. Jeremy menatap wajah yang memerah karena marah itu sambil bertanya, "Kamu berniat membawa anak-anak pergi bersamamu?"Napas Eleanor terhenti untuk sesaat. Dia tidak mengatakan apa-apa."Jawab aku."Eleanor menahan dada Jeremy, lalu mendorongnya. "Lepaskan aku sekarang juga!"Tubuh tinggi dan tegap itu bagaikan dinding kokoh. "Bukannya kamu bilang ingin membuatku nyesal? Bukannya kamu bilang kamu nggak bersalah? Kalau begitu, keluarkan buktinya. Kalau nggak, jangan harap bisa bawa anak-anakmu pergi.""Kamu ingin menahanku di ibu kota ini? Menahanku di sisimu? Kamu merasa aku nggak bakal bisa menemukan bukti atau merasa semua omonganku adalah kebohongan? Kenapa memangnya kalau aku ingin pergi? Apa urusannya denganmu?"Ekspresi Jeremy dipenuhi amarah. Berengsek!"Aku memang ingin meninggal
Yoana menarik napas dalam-dalam. "Ibu, biarkan mereka masuk untuk membantu merias wajahku lagi. Sekalipun Remy nggak datang, aku tetap harus tampil cantik di depan semua orang. Aku nggak boleh kalah dari wanita jalang seperti Eleanor.""Begitu dong, itu baru putriku. Tentu saja, kamu harus tampil memukau dan menjadi pusat perhatian." Alicia menepuk bahu Yoana dengan puas.Yoana tersenyum lembut, menatap dirinya yang cantik di cermin. Dia tidak peduli bagaimana caranya untuk bisa menikah dengan Jeremy. Asalkan dia bisa menikah dengannya, itu sudah cukup.Dia percaya, seiring berjalannya waktu, Jeremy akan menyadari kebaikannya. Adapun jalang seperti Eleanor ....Ketika memikirkan Eleanor, tatapan Yoana menjadi penuh kebencian. Wanita itu harus disingkirkan. Sudah terlalu lama dia dibiarkan berbuat semaunya.....Sementara itu, Eleanor dan Charlie berdiri di salah satu ruang kecil lantai atas, mengamati aula utama di bawah.Para tamu sudah mulai berdatangan, tetapi sejauh ini belum ada y
Namun, sekarang orang-orang itu tidak tahu mengapa Jeremy bisa marah. Mereka berusaha menahan napas mereka agar keberadaan mereka tidak terlalu menonjol.Jeremy menatap ke luar jendela dengan tatapan dan ekspresi yang dingin. Tidak ada yang tahu saat ini dia sedang memikirkan wanita gila di ibu kota itu yang selalu membuatnya marah. Apakah malam ini wanita itu akan mempermalukan dirinya sendiri sampai tidak tahu harus bagaimana? Namun, Jeremy merasa semua itu tidak ada hubungannya dengannya, dia tidak perlu mengkhawatirkan Eleanor.Dia berpikir bukankah Eleanor tidak ingin ada hubungan dengannya dan ingin membawa anaknya pergi? Oleh karena itu, dia pergi dari ibu kota untuk memberi Eleanor kesempatan itu. Bukankah Eleanor tidak ingin bertemu dengannya? Dia pun pergi agar Eleanor tidak perlu merasa kesal saat melihatnya.Dia sudah memaksakan dirinya untuk mengabulkan keinginan Eleanor dan tidak memikirkan Eleanor. Namun, setelah tinggal di sini selama dua hari, dia malah merasa makin ge
"Apa terjadi sesuatu pada Daniel?" tanya Eleanor."Bukan. Eleanor, ternyata pesta pertunangan Jeremy dan Yoana juga diadakan di aula yang sama dengan pesta ulang tahunmu," jelas Vivi.Vivi tidak berani percaya akan terjadi hal seperti ini, apalagi para tamu dari kedua belah pihak pun sudah berada di bawah. Satu pesta ulang tahun dan satunya lagi pesta pertunangan, jelas ada salah satu pihak yang tidak bisa menggunakan aula itu. Dia tahu ini pasti ulah Yoana agar Eleanor tidak bisa menggunakan aula itu dan dipermalukan di depan semua tamu. Dia marah sampai hampir mengumpat.Namun, ekspresi Eleanor malah tetap tenang, seolah-olah sudah menduga hal ini akan terjadi. "Jangan panik, aku sudah tahu.""Kamu sudah tahu?" tanya Vivi dengan terkejut."Ya," jawab Eleanor."Jadi, siapa yang sebenarnya memesan aula ini? Siapa juga yang sudah mengatur dekorasinya?" tanya Vivi lagi.Eleanor menjawab, "Aku yang memesan aulanya dulu dan Charlie yang mengatur dekorasinya.""Jadi, Yoana berniat menggunak
Melihat para tamu yang berbisik-bisik, Simon mengernyitkan alis dan bertanya, "Apa yang sedang terjadi? Apa yang sedang mereka bicarakan?""Nona Yoana sudah turun," teriak seseorang mendadak.Semua orang langsung menoleh ke arah tangga di sebelah kanan dan melihat Yoana serta Alicia yang turun dari tangga secara bersamaan.Yoana mengenakan gaun putih mewah yang menonjolkan tubuh ramping serta anggun dan dandanannya yang sempurna juga memancarkan aura yang lembut, anggun, serta bermartabat. Dia melangkah dengan penuh percaya diri sambil tersenyum. Dia yang dibesarkan di keluarga kaya sudah terbiasa menghadiri acara seperti ini, tentu saja tahu bagaimana menunjukkan sisi terbaik dari dirinya.Melihat penampilan Yoana seperti ini, Simon tersenyum dengan puas. "Nona Yoana benar-benar cantik. Aura nona muda yang tumbuh di keluarga besar memang berbeda."Melihat Yoana yang turun, para tamu dari pihak Yoana merasa lebih tenang. Mereka menatap para tamu dari pihak Eleanor dan menyindir, "Lihat
Begitu mendengar perkataan Eleanor, semua orang di sekitar mulai berbisik."Apa yang sebenarnya telah terjadi? Pesta ulang tahun dan pesta pertunangan di aula yang sama? Nggak mungkin.""Benar, ini pasti bercanda."Simon menyipitkan matanya dan bertanya dengan nada muram, "Apa yang sedang terjadi?"Yoana menatap Simon dengan ekspresi sedih saat mendengar pertanyaan Simon, lalu kembali menatap Eleanor dan bertanya, "Eleanor, hari ini adalah hari pertunanganku, jadi kamu sengaja membuat keributan di sini? Aku tahu kamu membenciku, tapi ini adalah hari terpenting di hidupku. Bisakah kamu pergi dari pestaku?""Nggak ada yang ingin pesta pertunangannya dihancurkan. Bisakah kita menyelesaikan dendam dan permusuhan kita di lain hari saja?"Nada bicara Yoana terdengar seolah-olah sedang memohon.Saat mendengar kata dendam dan permusuhan, para tamu pun menatap Eleanor.Pada saat itu, seseorang tiba-tiba teringat sesuatu dan berteriak, "Eleanor? Bukankah dia mantan istri Tuan Jeremy?""Benar. Pa
Heh."Oh. Sepertinya aku datang terlambat, kalian sudah mulai ya?" kata seseorang dengan nada yang angkuh.Saat semua orang menoleh, terlihat Glenn yang mengenakan setelan jas putih. Dia berjalan masuk dengan santai dan tersenyum sambil membawa sebuah kotak hadiah yang mewah.Selain itu, ada seorang pria lain yang mengenakan kacamata tanpa bingkai dan setelan jas hitam berdiri di samping Glenn juga. Tubuhnya tinggi serta tegap dan wajahnya agak mirip dengan Glenn, tetapi ekspresinya lebih lembut. Saat mengangkat kepalanya, sepasang mata di balik lensa kacamata yang jernih itu langsung tertuju pada wanita yang berdiri di atas panggung dan secara refleks tersenyum.Yoana yang tadinya masih merasa bangga, matanya langsung membelalak dan mencengkeram tangan Alicia dengan erat saat melihat pria itu.Alicia juga langsung merasa cemas. Namun, dia segera menenangkan dirinya dan menepuk tangan Yoana untuk meyakinkannya.Setelah menarik napas dalam-dalam, Yoana baru berhasil menekan ekspresinya
Bella menggigit bibirnya dengan agak getir. "Hmm.""Semua ini ditulis oleh Jeremy. Awalnya, dia nggak percaya pada hal-hal seperti ini. Tapi karena kamu, setiap malam saat dia nggak bisa tidur, dia berlutut di depan altar dan berdoa. Totalnya ada 248 halaman, dia melakukannya selama 62 hari berturut-turut."Eleanor menatap buku tebal itu. Setiap halaman ditulis dengan rapi, semuanya adalah tulisan tangan Jeremy. Hatinya sedikit bergetar.Eleanor tidak tahu apakah Jeremy benar-benar percaya pada dewa, tetapi yang jelas, dia menulis ini sambil berdoa, sambil menyesali perbuatannya, sambil menyalahkan diri sendiri, sambil merasakan sakit.Melihat tulisan-tulisan itu, Eleanor bisa membayangkan sosok seorang pria yang menunduk sambil mencatat setiap tulisan dengan penuh ketulusan."Jeremy memang pernah menyakitimu. Selama kamu menghilang, dia hidup dalam penderitaan setiap hari, bahkan gangguan tidurnya semakin parah sampai nggak ada obat yang berkhasiat.""Dia sama sekali nggak bisa tidur.
Eleanor mengernyitkan alisnya. "Nggak ada."Semua barang milik Eleanor sudah disimpan oleh Jovita, tidak ada yang tersisa lagi.Jovita menatap mata Eleanor, seolah-olah ingin memastikan yang dikatakan Eleanor memang benar. "Eleanor, coba pikirkan lagi baik-baik, benaran nggak ada benda lain?""Nggak ada," jawab Eleanor dengan tegas sambil menggelengkan kepala. Semua barang peninggalan ibunya untuknya berada di Keluarga Haningrat karena saat itu dia masih berusia puluhan tahun. Dia yang tidak memiliki persiapan apa pun tidak mungkin bisa melawan kelicikan dari Robert dan Felicia, sehingga semua barang itu tidak pernah sampai ke tangannya.Ekspresi Jovita berubah dan menganggukkan kepalanya, seolah-olah merasa lega."Nenek, kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti ini? Apa ada sesuatu yang penting?" tanya Eleanor.Jovita langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak ada apa-apa. Hanya saja tiba-tiba teringat, jadi aku coba bertanya padamu."Eleanor yang cemberut pun menganggukkan kepala dengan
"Di mana Nenek?" Eleanor tidak ingin membuang waktu berbicara dengan Tiara.Meskipun Eleanor tahu Tiara hanyalah alat yang dimanfaatkan oleh Yoana untuk menanggung kesalahannya, Tiara tetap memiliki niat buruk terhadap anak-anaknya dan bersedia dimanfaatkan secara sukarela.Saat ini, Eleanor tidak punya waktu untuk berurusan dengannya. Selama Tiara tidak menimbulkan masalah lagi, Eleanor akan menganggapnya tidak ada.Tiara tertegun sejenak sebelum menunjuk ke lantai atas. "Nenek ada di atas."Eleanor langsung menaiki tangga. Begitu dia pergi, Tiara buru-buru menelepon ayah dan ibunya. "Ayah, Eleanor masih hidup ...!"Eleanor tiba di depan kamar Jovita dan mengetuk pintu dengan pelan. Sesaat kemudian, terdengar suara dari dalam. "Masuk."Eleanor membuka pintu dan melangkah masuk. Jovita yang memakai kacamata rabun tua sedang duduk di kursi malas dekat jendela besar sambil merajut sesuatu. Cahaya matahari menyelimuti tubuhnya, memberikan kesan hangat dan damai.Ketika dia mengangkat kepa
"Kukembalikan kepadamu," ujar Jeremy.Charlie mengangkat alis. "Kamu menyelidikiku?"Jeremy menatapnya dengan tenang. "Aku cuma menebak."Selama dua bulan terakhir, kecurigaan Jeremy terhadap Charlie tidak pernah surut. Dia terus mengawasi Charlie dan akhirnya menemukan sejumlah besar uang yang keluar dari rekeningnya.Empat triliun. Bukan jumlah kecil, cukup untuk membeli sebuah kediaman mewah atau barang berharga lainnya. Anehnya, Charlie hanya mengeluarkan uang tanpa membeli aset apa pun.Lebih mencurigakan lagi, transaksi itu terjadi tepat tiga hari setelah Eleanor menghilang. Ditambah dengan pengakuan Eleanor bahwa dia terkena racun yang sangat langka, Jeremy menyimpulkan bahwa uang itu kemungkinan besar telah digunakan untuk menyelamatkan Eleanor.Jika itu memang untuk Eleanor, Jeremy merasa sudah seharusnya dia kembalikan.Charlie tertawa kecil, meletakkan cek itu di atas meja dengan santai. "Kamu ini siapa? Berani sekali kamu menggantikan dia membayar utangnya?"Jeremy menyahut
Langkah kaki Eleanor terhenti sejenak. Masa dia tidak berani duduk di sofa rumah sendiri?Dengan tenang, dia mendekat dan duduk. Jarak di antara dia dan Jeremy tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak jauh, cukup untuk satu orang duduk di antara mereka.Tidak ada yang berbicara. Seolah-olah mereka memang hanya tidak bisa tidur dan duduk untuk menonton film. Namun, nyatanya tidak ada yang benar-benar menonton.Saat film diputar hingga setengah, Jeremy tiba-tiba merasakan beban lembut di bahunya. Hatinya bergetar. Dia menoleh sedikit, dagunya tanpa sengaja menyentuh dahi Eleanor yang tertidur lelap.Perlahan-lahan, dia mengangkat tangannya, setengah merangkul wanita itu. Bibirnya membentuk senyuman tipis.Dia menggendong Eleanor dengan hati-hati, seolah-olah mengangkat barang paling berharga di dunia. Kemudian, dia berbaring di samping Eleanor.Aroma wangi yang samar dari tubuh Eleanor terasa menenangkan, perlahan meredam kegelisahan dalam hati Jeremy. Jeremy menunduk untuk mengecup dahiny
Eleanor memberikan satu set pakaian untuk Vivi, sementara Jeremy sudah membawa anak-anak ke ruang tamu.Lima menit kemudian, mereka semua duduk di ruang tamu, saling bertukar pandang. Vivi melihat Jeremy, lalu Eleanor, kemudian menatap mereka berempat. Di tengah keluarga ini, keberadaannya benar-benar terasa berlebihan.Saat berikutnya, dia teringat kejadian di restoran tadi. Mereka berdua ... mau balikan? Vivi berpikir, merasa lebih baik tidak ikut campur urusan asmara orang lain. Jadi, dia mengambil tasnya dan berdiri. "Aku paham, aku paham."Karena tidak ingin merusak momen, dia langsung bersiap untuk pergi. "Aku datang lagi lain kali."Dalam sekejap, Vivi melesat keluar. Eleanor melihat kepergiannya yang secepat kilat, merasa Vivi sudah sangat mahir dalam seni melarikan diri.Eleanor menatap Jeremy. "Kamu benar-benar mau menginap di sini?""Kalau tidur di luar, aku bisa mati kedinginan. Jadi ...." Jeremy menarik sudut bibirnya. "Kasihanilah aku."Eleanor mengangguk. Dia tidak sekej
Jeremy terdiam sejenak, lalu menghela napas. Akhirnya, dia berkata, "Mobilku rusak."Mobil rusak, artinya dia tidak bisa pulang.Eleanor menatapnya. Pria ini ingin menginap? Jangan mimpi!Berpura-pura tidak mengerti, Eleanor berujar, "Tunggu sebentar."Jeremy tidak tahu maksudnya, sampai dia melihat Eleanor mengambil kunci mobil dan menjelaskan di mana mobilnya diparkir dengan sabar. "Pakai saja, besok suruh orang antar kembali."Jeremy menatap kunci mobil di telapak tangannya, lalu tiba-tiba tersenyum. Wanita ini sengaja!"Tebak gimana aku bisa membawa mereka ke sini?" tanyanya."Hm?" Eleanor berkedip bingung."Aku bilang kalau aku nggak melihatmu, aku akan mati. Kalau aku pulang, apakah orang tua keras kepala itu akan memindahkan rumahnya ke sini malam ini juga?"Eleanor melihat kedua anak yang dipegangnya. Dia tahu betapa keras kepala dan semena-menanya Simon. Pria tua itu memang akan melakukan hal seperti itu.Jadi, maksud Jeremy adalah kalau dia di sini, anak-anak di sini. Kalau d
Simon perlahan-lahan menuruni tangga. "Sudah tengah malam, kalian mau ke mana?""Nggak bisa tidur, jadi mau jalan-jalan sebentar," balas Jeremy dengan tenang sambil menoleh, tanpa tanda-tanda berbohong."Nggak bisa tidur, jadi jalan-jalan?" Simon mengulangi kata-katanya, lalu mendengus dingin. "Jalan-jalan sebentar, lalu ujung-ujungnya pergi menemui Eleanor, 'kan?"Ekspresi Simon penuh dengan ketegasan. Kedua anak itu tinggal di rumah Keluarga Adrian. Selama Eleanor masih hidup, cepat atau lambat dia pasti akan kembali.Melihat perubahan sikap kedua anak itu terhadap Jeremy, Simon pun bisa menebak bahwa Eleanor pasti masih hidup dan sudah kembali. Hal ini membuat tatapan Simon dipenuhi kekhawatiran.Jeremy menggigit bibirnya erat-erat, lalu tiba-tiba berkata dengan nada ringan, "Aku hampir mati.""Apa?" Simon mengernyit tajam."Gangguan tidur. Bastian bilang kalau aku nggak segera mendapat perawatan, aku akan mati." Nada suara Jeremy begitu datar, seolah-olah dia hanya sedang membicara
Jeremy mengusap keningnya, berjalan ke sisi tempat tidur. Dia melihat dua bagian pada selimutnya sedikit menggembung dan terus bergerak seperti ulat.Dia menarik selimut itu. Di bawahnya, terlihat dua bocah kecil yang sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Mereka menatapnya dengan senyuman penuh harapan."Papa, akhirnya kamu datang! Malam ini kami tidur bersamamu ya. Cepat naik!"Harry menepuk tempat di sebelahnya, sementara Daniel bergeser ke samping, memberikan ruang yang lebih luas untuk Jeremy.Alis Jeremy berkedut keras. "Kalian sedang merencanakan apa?""Papa 'kan susah tidur malam-malam. Nih, buatmu."Jeremy menatap buku pelajaran yang tiba-tiba diselipkan ke tangannya. Alisnya semakin berkedut. "Buat apa ini?""Baca buku! Aku selalu mengantuk kalau baca buku. Sangat efektif. Coba saja!"Jeremy sungguh kehabisan kata-kata melihat tingkah mereka.Harry masuk ke dalam selimut, lalu menatap Jeremy. "Cepat baca."Jeremy mengusap keningnya dengan pasrah. "Kalau ada sesuatu yang in