Heh."Oh. Sepertinya aku datang terlambat, kalian sudah mulai ya?" kata seseorang dengan nada yang angkuh.Saat semua orang menoleh, terlihat Glenn yang mengenakan setelan jas putih. Dia berjalan masuk dengan santai dan tersenyum sambil membawa sebuah kotak hadiah yang mewah.Selain itu, ada seorang pria lain yang mengenakan kacamata tanpa bingkai dan setelan jas hitam berdiri di samping Glenn juga. Tubuhnya tinggi serta tegap dan wajahnya agak mirip dengan Glenn, tetapi ekspresinya lebih lembut. Saat mengangkat kepalanya, sepasang mata di balik lensa kacamata yang jernih itu langsung tertuju pada wanita yang berdiri di atas panggung dan secara refleks tersenyum.Yoana yang tadinya masih merasa bangga, matanya langsung membelalak dan mencengkeram tangan Alicia dengan erat saat melihat pria itu.Alicia juga langsung merasa cemas. Namun, dia segera menenangkan dirinya dan menepuk tangan Yoana untuk meyakinkannya.Setelah menarik napas dalam-dalam, Yoana baru berhasil menekan ekspresinya
Begitu mendengar perkataan itu, Yoana langsung membeku. Apa yang dikatakan Glenn tadi? Anjing baik tidak menghalangi jalan? Dia berdiri kaku di tempatnya, bahkan tangan yang diulurkannya tadi untuk menerima hadiah pun lupa ditarik kembali.Saat Glenn langsung melewati Yoana dan berjalan menuju Eleanor yang berdiri di belakangnya, dia tersadar kembali dari perasaan terkejutnya dan menoleh ke belakang.Pada saat itu, Glenn sudah berdiri di depan Eleanor dan berkata sambil tersenyum dengan ramah, "Eleanor, selamat ulang tahun."Suara Glenn tidak keras, tetapi perkataannya terdengar sangat jelas karena suasana di sekeliling tiba-tiba menjadi sunyi. Mata Yoana membelalak dan perhatian semua orang tertuju pada keduanya saat dia menyerahkan hadiah di tangannya kepada Eleanor.Eleanor yang tidak menyangka Glenn akan datang pun bertanya dengan pelan, "Bukankah kamu bilang kamu sangat sibuk?"Glenn mengernyitkan alis. "Aku ingin memberimu kejutan. Cepat terima hadiahnya. Kalau kamu nggak menerim
Semua orang juga mengira Glenn sudah ditipu oleh Eleanor, sehingga mereka makin marah dengan tindakan Eleanor."Eleanor, jangan membuat keributan lagi. Apa gunanya mengganggu pesta pertunangan orang lain? Malah membuatmu terlihat konyol.""Kamu bahkan menipu Glenn untuk datang merayakan ulang tahunmu, kamu ini benar-benar nggak tahu malu. Cepat turun dari panggung itu.""Cepat turun dari panggung dan kembalikan tempat ini."Mendengar makin banyak orang yang memarahi Eleanor, ekspresi Glenn menjadi muram. Namun, saat dia hendak berbicara, Eleanor malah menghentikannya dan menggelengkan kepala sebagai isyarat agar dia tidak gegabah.Charlie yang menyaksikan kejadian itu dari ruangan di lantai atas menyipitkan mata dan tatapannya terlihat berbahaya. Dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang. "Cepat ke sini.""Tuan Charlie, mereka itu dari Keluarga Adrian, aku benar-benar nggak berani menentang mereka," kata orang itu."Jadi, kamu berani menentangku? Siapa yang salah dalam hal ini
Saat ini, Yoana sudah penuh dengan amarah. Mengapa semua orang membantu Eleanor? Apa yang istimewa dari Eleanor ini? Jika bukan karena dia berusaha keras untuk menahan amarahnya, dia mungkin sudah menggila. "Kakek Simon ...."Melihat ekspresi Yoana yang sangat sedih, Simon teringat dengan cucunya yang belum lahir itu. Merasa kasihan karena Yoana harus menanggung semua ini, tatapannya menjadi lebih lembut. Saat kembali menatap Eleanor, dia mendengus dan memutuskan untuk tidak berbelas kasihan pada Eleanor lagi. "Pengawal, cepat usir dia keluar. Dia nggak berhak untuk mengacaukan pesta ini.""Berhenti!" terdengar suara yang dingin dan tajam dari arah pintu.Suasana di aula pesta itu langsung menjadi hening dan semua orang menoleh untuk melihat ke arah datangnya suara itu. Mereka melihat seorang pria perlahan-lahan masuk dari luar. Tubuhnya yang tinggi dan auranya yang berwibawa pun perlahan-lahan terlihat jelas.Pria itu mengenakan jas hitam yang rapi dan terawat. Wajahnya tampan, hidung
Jeremy sama sekali tidak melirik Alicia. Suaranya sedingin es yang diselimuti embun beku, "Bukankah lelucon ini memang untuk diperlihatkan kepada orang lain?""Ini ...." Alicia terdiam, tidak bisa berkata-kata. Dia lantas menoleh ke arah Simon dengan tatapan meminta bantuan.Simon mengernyit. Suaranya lebih rendah dari biasa. "Jeremy, apa yang kamu lakukan? Kalau ada masalah, bicarakan setelah pesta pertunangan selesai.""Aku bukan datang untuk menghadiri pesta pertunangan." Sambil berkata, Jeremy mengarahkan pandangannya ke Eleanor. "Aku datang untuk menghadiri pesta ulang tahunnya."Suasana sontak menjadi heboh. Ucapan Jeremy seperti setetes air yang jatuh ke minyak panas.Wajah Yoana seketika menjadi sangat masam."Jeremy!" bentak Simon.Akhirnya, Jeremy menoleh ke arah Simon yang berada di bawah panggung, lalu berkata dengan datar, "Kakekku sudah mulai pikun. Pengawal, antar dia kembali untuk istirahat.""Minggir!" Simon sangat marah hingga urat di dahinya menonjol. "Jeremy, apa ka
"Dokumen apa ini?"Andy terdiam sejenak, lalu menyahut dengan agak gugup, "Sepertinya ... sepertinya itu adalah laporan tes DNA."Tangan Jeremy yang memegang amplop itu sontak membeku. Dadanya bak dihantam sesuatu, membuat hatinya bergetar.Di bawah tatapannya, Eleanor tetap berdiri tenang di tempatnya. Wajahnya yang begitu cantik menampilkan ekspresi paling dingin. Bahkan saat mendengar kata tes DNA, matanya tak berkedip sedikit pun. Jelas, dia sudah mengetahuinya.Jeremy mengerutkan alisnya semakin dalam. Eleanor tetap tenang, tetapi orang-orang di sekitar tidak, terutama Yoana.Ekspresi Yoana sungguh tak terkendali, seolah-olah tenggelam dalam ketakutan yang luar biasa. Tes DNA? Siapa yang melakukan tes DNA? Siapa yang mengirimkan hasilnya?Yoana dan Alicia membelalakkan mata. Saat berikutnya, Yoana tiba-tiba menatap Eleanor.Eleanor mengangkat alisnya yang indah, sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis.Eleanor! Pasti Eleanor! Eleanor diam-diam melakukan tes DNA dan seng
Jeremy menggenggam erat laporan tes DNA itu, matanya tampak dalam dan penuh emosi. Tatapannya tertuju pada hasil tes di atas kertas ....Hubungan biologis dikonfirmasi!Melihat hasilnya, napasnya terhenti sejenak .... Anak-anak .... Mereka adalah darah dagingnya!Daniel dan Harry adalah putranya. Mereka adalah anak kandungnya bersama Eleanor.Jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. Tidak ada yang tahu betapa terguncangnya Jeremy saat membaca kata-kata itu.Selama ini, dia selalu mengira anak-anak itu adalah milik orang lain, tetapi kenyataannya mereka adalah anak kandungnya sendiri.Selama lima tahun, masalah ini terus menghantuinya. Kini ....Jeremy tersenyum pahit. Saat kebenaran akhirnya terungkap, dia merasakan campuran antara kegembiraan dan penyesalan yang luar biasa. Betapa bodohnya dia ....Emosi yang tak terhitung jumlahnya membanjiri hati, menyelimutinya secara habis-habisan. Pada akhirnya, hanya ada satu kalimat yang terngiang di benaknya, Jeremy, kamu memang bodoh!Dia menga
"Dia menyewa orang untuk membunuh anak kita! Anakku baru berusia 8 bulan, tetapi dia mati karena Eleanor menyuruh seseorang menabraknya dengan mobil! Kamu lupa? Apa kamu benar-benar lupa?" teriak Yoana sekuat tenaga, suaranya penuh dengan keputusasaan."Diam! Suruh dia diam!" Simon terbatuk keras beberapa kali, lalu berteriak dengan nada tegas dan marah.Aib keluarga tidak boleh tersebar! Bagaimana bisa Yoana bersikap seperti ini di depan umum? Dengan keadaan seperti ini, Yoana tidak pantas menyandang gelar Nyonya Keluarga Adrian!Alicia buru-buru menutup mulut Yoana, tetapi Yoana meronta-ronta dengan sekuat tenaga. Meskipun dua orang menahannya, mereka tetap tidak bisa menghentikannya.Air mata mengalir di seluruh wajahnya, membuatnya tampak seperti orang gila. Tak ada lagi jejak keanggunan dan martabat putri keluarga besar dalam dirinya.Eleanor menatap Yoana dengan dingin. Dia memang seharusnya gila. Dia memang seharusnya menderita. Itu adalah harga yang harus Yoana bayar untuk anak
Bella menggigit bibirnya dengan agak getir. "Hmm.""Semua ini ditulis oleh Jeremy. Awalnya, dia nggak percaya pada hal-hal seperti ini. Tapi karena kamu, setiap malam saat dia nggak bisa tidur, dia berlutut di depan altar dan berdoa. Totalnya ada 248 halaman, dia melakukannya selama 62 hari berturut-turut."Eleanor menatap buku tebal itu. Setiap halaman ditulis dengan rapi, semuanya adalah tulisan tangan Jeremy. Hatinya sedikit bergetar.Eleanor tidak tahu apakah Jeremy benar-benar percaya pada dewa, tetapi yang jelas, dia menulis ini sambil berdoa, sambil menyesali perbuatannya, sambil menyalahkan diri sendiri, sambil merasakan sakit.Melihat tulisan-tulisan itu, Eleanor bisa membayangkan sosok seorang pria yang menunduk sambil mencatat setiap tulisan dengan penuh ketulusan."Jeremy memang pernah menyakitimu. Selama kamu menghilang, dia hidup dalam penderitaan setiap hari, bahkan gangguan tidurnya semakin parah sampai nggak ada obat yang berkhasiat.""Dia sama sekali nggak bisa tidur.
Eleanor mengernyitkan alisnya. "Nggak ada."Semua barang milik Eleanor sudah disimpan oleh Jovita, tidak ada yang tersisa lagi.Jovita menatap mata Eleanor, seolah-olah ingin memastikan yang dikatakan Eleanor memang benar. "Eleanor, coba pikirkan lagi baik-baik, benaran nggak ada benda lain?""Nggak ada," jawab Eleanor dengan tegas sambil menggelengkan kepala. Semua barang peninggalan ibunya untuknya berada di Keluarga Haningrat karena saat itu dia masih berusia puluhan tahun. Dia yang tidak memiliki persiapan apa pun tidak mungkin bisa melawan kelicikan dari Robert dan Felicia, sehingga semua barang itu tidak pernah sampai ke tangannya.Ekspresi Jovita berubah dan menganggukkan kepalanya, seolah-olah merasa lega."Nenek, kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti ini? Apa ada sesuatu yang penting?" tanya Eleanor.Jovita langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak ada apa-apa. Hanya saja tiba-tiba teringat, jadi aku coba bertanya padamu."Eleanor yang cemberut pun menganggukkan kepala dengan
"Di mana Nenek?" Eleanor tidak ingin membuang waktu berbicara dengan Tiara.Meskipun Eleanor tahu Tiara hanyalah alat yang dimanfaatkan oleh Yoana untuk menanggung kesalahannya, Tiara tetap memiliki niat buruk terhadap anak-anaknya dan bersedia dimanfaatkan secara sukarela.Saat ini, Eleanor tidak punya waktu untuk berurusan dengannya. Selama Tiara tidak menimbulkan masalah lagi, Eleanor akan menganggapnya tidak ada.Tiara tertegun sejenak sebelum menunjuk ke lantai atas. "Nenek ada di atas."Eleanor langsung menaiki tangga. Begitu dia pergi, Tiara buru-buru menelepon ayah dan ibunya. "Ayah, Eleanor masih hidup ...!"Eleanor tiba di depan kamar Jovita dan mengetuk pintu dengan pelan. Sesaat kemudian, terdengar suara dari dalam. "Masuk."Eleanor membuka pintu dan melangkah masuk. Jovita yang memakai kacamata rabun tua sedang duduk di kursi malas dekat jendela besar sambil merajut sesuatu. Cahaya matahari menyelimuti tubuhnya, memberikan kesan hangat dan damai.Ketika dia mengangkat kepa
"Kukembalikan kepadamu," ujar Jeremy.Charlie mengangkat alis. "Kamu menyelidikiku?"Jeremy menatapnya dengan tenang. "Aku cuma menebak."Selama dua bulan terakhir, kecurigaan Jeremy terhadap Charlie tidak pernah surut. Dia terus mengawasi Charlie dan akhirnya menemukan sejumlah besar uang yang keluar dari rekeningnya.Empat triliun. Bukan jumlah kecil, cukup untuk membeli sebuah kediaman mewah atau barang berharga lainnya. Anehnya, Charlie hanya mengeluarkan uang tanpa membeli aset apa pun.Lebih mencurigakan lagi, transaksi itu terjadi tepat tiga hari setelah Eleanor menghilang. Ditambah dengan pengakuan Eleanor bahwa dia terkena racun yang sangat langka, Jeremy menyimpulkan bahwa uang itu kemungkinan besar telah digunakan untuk menyelamatkan Eleanor.Jika itu memang untuk Eleanor, Jeremy merasa sudah seharusnya dia kembalikan.Charlie tertawa kecil, meletakkan cek itu di atas meja dengan santai. "Kamu ini siapa? Berani sekali kamu menggantikan dia membayar utangnya?"Jeremy menyahut
Langkah kaki Eleanor terhenti sejenak. Masa dia tidak berani duduk di sofa rumah sendiri?Dengan tenang, dia mendekat dan duduk. Jarak di antara dia dan Jeremy tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak jauh, cukup untuk satu orang duduk di antara mereka.Tidak ada yang berbicara. Seolah-olah mereka memang hanya tidak bisa tidur dan duduk untuk menonton film. Namun, nyatanya tidak ada yang benar-benar menonton.Saat film diputar hingga setengah, Jeremy tiba-tiba merasakan beban lembut di bahunya. Hatinya bergetar. Dia menoleh sedikit, dagunya tanpa sengaja menyentuh dahi Eleanor yang tertidur lelap.Perlahan-lahan, dia mengangkat tangannya, setengah merangkul wanita itu. Bibirnya membentuk senyuman tipis.Dia menggendong Eleanor dengan hati-hati, seolah-olah mengangkat barang paling berharga di dunia. Kemudian, dia berbaring di samping Eleanor.Aroma wangi yang samar dari tubuh Eleanor terasa menenangkan, perlahan meredam kegelisahan dalam hati Jeremy. Jeremy menunduk untuk mengecup dahiny
Eleanor memberikan satu set pakaian untuk Vivi, sementara Jeremy sudah membawa anak-anak ke ruang tamu.Lima menit kemudian, mereka semua duduk di ruang tamu, saling bertukar pandang. Vivi melihat Jeremy, lalu Eleanor, kemudian menatap mereka berempat. Di tengah keluarga ini, keberadaannya benar-benar terasa berlebihan.Saat berikutnya, dia teringat kejadian di restoran tadi. Mereka berdua ... mau balikan? Vivi berpikir, merasa lebih baik tidak ikut campur urusan asmara orang lain. Jadi, dia mengambil tasnya dan berdiri. "Aku paham, aku paham."Karena tidak ingin merusak momen, dia langsung bersiap untuk pergi. "Aku datang lagi lain kali."Dalam sekejap, Vivi melesat keluar. Eleanor melihat kepergiannya yang secepat kilat, merasa Vivi sudah sangat mahir dalam seni melarikan diri.Eleanor menatap Jeremy. "Kamu benar-benar mau menginap di sini?""Kalau tidur di luar, aku bisa mati kedinginan. Jadi ...." Jeremy menarik sudut bibirnya. "Kasihanilah aku."Eleanor mengangguk. Dia tidak sekej
Jeremy terdiam sejenak, lalu menghela napas. Akhirnya, dia berkata, "Mobilku rusak."Mobil rusak, artinya dia tidak bisa pulang.Eleanor menatapnya. Pria ini ingin menginap? Jangan mimpi!Berpura-pura tidak mengerti, Eleanor berujar, "Tunggu sebentar."Jeremy tidak tahu maksudnya, sampai dia melihat Eleanor mengambil kunci mobil dan menjelaskan di mana mobilnya diparkir dengan sabar. "Pakai saja, besok suruh orang antar kembali."Jeremy menatap kunci mobil di telapak tangannya, lalu tiba-tiba tersenyum. Wanita ini sengaja!"Tebak gimana aku bisa membawa mereka ke sini?" tanyanya."Hm?" Eleanor berkedip bingung."Aku bilang kalau aku nggak melihatmu, aku akan mati. Kalau aku pulang, apakah orang tua keras kepala itu akan memindahkan rumahnya ke sini malam ini juga?"Eleanor melihat kedua anak yang dipegangnya. Dia tahu betapa keras kepala dan semena-menanya Simon. Pria tua itu memang akan melakukan hal seperti itu.Jadi, maksud Jeremy adalah kalau dia di sini, anak-anak di sini. Kalau d
Simon perlahan-lahan menuruni tangga. "Sudah tengah malam, kalian mau ke mana?""Nggak bisa tidur, jadi mau jalan-jalan sebentar," balas Jeremy dengan tenang sambil menoleh, tanpa tanda-tanda berbohong."Nggak bisa tidur, jadi jalan-jalan?" Simon mengulangi kata-katanya, lalu mendengus dingin. "Jalan-jalan sebentar, lalu ujung-ujungnya pergi menemui Eleanor, 'kan?"Ekspresi Simon penuh dengan ketegasan. Kedua anak itu tinggal di rumah Keluarga Adrian. Selama Eleanor masih hidup, cepat atau lambat dia pasti akan kembali.Melihat perubahan sikap kedua anak itu terhadap Jeremy, Simon pun bisa menebak bahwa Eleanor pasti masih hidup dan sudah kembali. Hal ini membuat tatapan Simon dipenuhi kekhawatiran.Jeremy menggigit bibirnya erat-erat, lalu tiba-tiba berkata dengan nada ringan, "Aku hampir mati.""Apa?" Simon mengernyit tajam."Gangguan tidur. Bastian bilang kalau aku nggak segera mendapat perawatan, aku akan mati." Nada suara Jeremy begitu datar, seolah-olah dia hanya sedang membicara
Jeremy mengusap keningnya, berjalan ke sisi tempat tidur. Dia melihat dua bagian pada selimutnya sedikit menggembung dan terus bergerak seperti ulat.Dia menarik selimut itu. Di bawahnya, terlihat dua bocah kecil yang sedang berbaring di atas tempat tidurnya. Mereka menatapnya dengan senyuman penuh harapan."Papa, akhirnya kamu datang! Malam ini kami tidur bersamamu ya. Cepat naik!"Harry menepuk tempat di sebelahnya, sementara Daniel bergeser ke samping, memberikan ruang yang lebih luas untuk Jeremy.Alis Jeremy berkedut keras. "Kalian sedang merencanakan apa?""Papa 'kan susah tidur malam-malam. Nih, buatmu."Jeremy menatap buku pelajaran yang tiba-tiba diselipkan ke tangannya. Alisnya semakin berkedut. "Buat apa ini?""Baca buku! Aku selalu mengantuk kalau baca buku. Sangat efektif. Coba saja!"Jeremy sungguh kehabisan kata-kata melihat tingkah mereka.Harry masuk ke dalam selimut, lalu menatap Jeremy. "Cepat baca."Jeremy mengusap keningnya dengan pasrah. "Kalau ada sesuatu yang in